Anda di halaman 1dari 51

Makalah

Sejarah Indonesia Kontemporer

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DI MASA ORBA

Disusun Oleh:

Firta Rahmadeni 14046005

Febi Rahmanita Suhari 14046051

Putri Utami 14046080

Reski Resmala 14046082

Benny Hamdani 14046094

PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2017

1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Era Orde Baru merupakan salah satu rezim pemerintahan yang terlama di
Indonesia. Yaitu berlangsung selama kurun waktu tiga dekade, dari tahun 1968
hingga tahun 1998. Rezim ini secara kontinyu dipimpin oleh Jenderal Soeharto
yang dipilih oleh MPRS untuk menempati posisi Presiden RI yang sebelumnya
dijabat oleh Ir. Soekarno. Sehingga kemudoian secara otomatis, Soeharto menjadi
pimpinan tertinggi dalam politik luar negeri Indonesia selama era Orde Baru.
Politik luar negeri pada Orde Baru banyak dianggap sebagai antitesa dari
politik luar negeri Orde Lama yang bersifat high profile, revolusioner dan tegas.
Pada era ini, sifat dan sikap politik luar negeri ndonesia mengalami sejarah
dinamika yang panjang. Soeharto sebagai putra dari garis pertahanan NKRI
memiliki karakter kepemimpinan yang mengutamakan visi dan misi jangka
panjang. Ia terkenal pandai dalam hal mengatur strategi, detail dan cerdas dalam
mengolah kesempatan. Berbeda dengan Soekarno yang hangat dan populer,
Soeharto cenderung muncul sebagai sosok yang formal dan tidak hangat dalam
bergaul. Hal ini justru menjadikan tindakan yang diambil Soeharto dalam
kebijakan politik luar negeri Indonesia cenderung efisien dan tidak pandang bulu.
Gaya kepemimpinannya sangat terpusat dan banyak mengerahkan militer sebagai
garda utama.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakangan diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah
antara lain :

1.Apakah Landasan dan P elaksanaan Dalam Perjalanan Sejarah Pemerintah


RI ?
2.Bagaimanakah peranan Indonesia dalam Kerjasama Regional ?
3.Bagaimanakah peranan Indonesia dan Kerjasama Keamanan Regional ?
4.Bagaimanakah pelaksanaan Normalisasi Hubungan RI dan RRC ?

2
Bab II
Perbaharuan Politik Luar Negeri Indonesia
a. Landasan dan Pelaksanaan dalam Perjalanan Sejarah Pemerintah
RI
Politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan action theory, atau
kebijakasanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai
suatckepentingan tertentu. Secara pengertian umum, politik luar negeri (foreign
policy)cmerupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk
mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam
percaturan dunia internasional. Suatu komitmen yang pada dasarnya merupakan
strategi dasar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam konteks dalam negeri dan
luar negeri serta sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara di dalam isu-isu
internasional atau lingkungan sekitarnya.
Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan
jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar negeri. Politik
(policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak,
atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep pilihan
(choices): memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai
suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep wilayah
akan membantu upaya memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti
kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar
negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang
ditujukan ke luar wilayah suatu negara.
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat
oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit
politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional
spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.1 Kebijakan luar
negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk

1 Jack C. Plano dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin, hal. 5.

3
mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun
kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentutakan oleh siapa yang
berkuasa pada waktu itu. Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya itu, negara-
negara maupun aktor dari Negara tersebut melakukan berbagai macam kerjasama
diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional dan multilateral.2
Menjelang masa pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu dari tahun 1965
sampai tahun 1998, politik luar negeri Indonesia menjadi lebih condong ke kanan.
Hal ini ditunjukkan dengan membaiknya hubungan Indonesia dengan negara-
negara Barat seperti Amerika Serikat. Indonesia, yang pada jaman pemerintahan
Soekarno sangat anti-Barat, menjadi mau tidak mau sangat bergantung pada
kekuatan negara Barat. Kedekatan Indonesia dengan Barat ini berkaitan erat
dengan kepentingan nasional Indonesia kala itu, yaitu sebagai negara yang sedang
mengalami fase pembangunan, serta sebagai negara baru yang sedang berbenah.
Berbagai pembangunan yang dilakukan ini tentunya membutuhkan dana yang
cukup besar. Dana ini diperoleh Indonesia dari pinjaman pada negara-negara
Barat. Faktor mencari bantuan luar negeri sangat mendominasi diplomasi
Indonesia pada tahun-tahun pertama Orde Baru3. Kedekatan Indonesia dengan
Barat kala itu tidak hanya berlaku di bidang ekonomi, namun juga di bidang
industri dan keamanan.
Walaupun Orde Baru dianggap bobrok, namun kekuatan diplomasi
Indonesia dianggap kembali pada kejayaannya dengan kembali diperhitungkannya
keberadaan Indonesia dalam kancah politik dan ekonomi. Indonesia dipandang
sebagai negara tempat berinvestasi yang menjanjikan dan suara Indonesia
didengarkan di kawasan Asia Tenggara. Pada masa orde baru, landasan
operasional politik luar negeri indonesia kemudian semakin dipertegas dengan
beberapa peraturan formal, diantaranya adalah ketetapan MPRS no. XII/
MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan
2 Mochtar Masoed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES, hal.184.

3 Bantarto Bandoro. 1995. Indonesia dan Negara-negara Besar Jakarta : Centre for Strategic and
International Studies, , hal. 977.

4
kebijaksanaan politik luar negeri indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa
sifat politik luar negeri indonesia adalah:
1. Bebas aktif, anti-imperealisme dan kolonialisme dalam segala bentuk
manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2..Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.
Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa untuk melakukan pembangunan,

Indonesia membutuhkan dana yang sangat besar. Karenanya kerja sama


dengan negara-negara lain ini mulai dibuka untuk mendapatkan bantuan luar
negeri demi melaksanakan pembangunan ekonomi dalam negeri. Diplomasi yang
dilakukan oleh Orde Baru banyak disebut sebagai Diplomasi Pembangunan
(Diplomacy For Development). Salah satu hasil diplomasi pembangunan Orde
Baru terkait dengan upaya untuk mendapatkan bantuan luar negeri adalah Inter-
Governmental Group on Indonesia (IGGI/Kelompok Antarpemerintah Mengenai
Indonesia).4
Usaha untuk membentuk IGGI tersebut mulai dilakukan pada bulan
September 1966 dalam pertemuan antara 12 negara kreditor yang dilaksanakan di
Tokyo untuk mengetahui rencana Indonesia dalam memperbaiki keadaan ekonomi
dan evaluasi IMF akan rencana tersebut. Dalam forum ini, Indonesia berhasil
menggalang dukungan dan menegosiasikan utangnya kepada para kreditur dalam
forum Paris Club dan dirasakan perlunya forum antar pemerintah untuk
membantu pembangunan di Indonesia, baik berupa dana maupun pemikiran.
Kesepakatan untuk membentuk sebuah forum formal dalam rangka membantu
perekonomian Indonesia dicapai pada pertemuan ini. Hal ini dapat dikatakan
sebagai sebuah keberhasilan diplomasi pembangunan waktu itu. Pada tanggal 20
Februari 1967, IGGI dibentuk melalui pertemuan formal di Amsterdam yang
dihadiri oleh sejumlah negara kreditor utama dan lembaga Internasional.

4 Riza Sihbudi. Politik Luar Negeri RI Mau Ke Mana?.


http://www.polarhome.com/pipermail/nasional -m/2014-October/000341.html, diakses pada 1 Mei
2017.

5
Diplomasi pembangunan Indonesia pada masa awal Orde Baru tersebut
dapat dikatakan berhasil dalam memperoleh bantuan luar negeri. Hal ini sesuai
dengan tujuan dari diplomasi ekonomi, yaitu mengamankan resources ekonomi
yang berasal dari luar negeri untuk pembangunan ekonomi luar negeri. Dalam hal
ini, resources ekonomi utama yang berusaha diamankan adalah bantuan luar
negeri yang berasal dari negara negara maju. Pembentukan IGGI ini dapat kita
anggap sebagai pelaksanaan dari teori containment untuk mencegah Indonesia
kembali memihak blok Timur seperti pada masa Demokrasi Terpimpin. Indonesia
dinilai sebagai sebuah negara yang sangat strategis dalam pelaksanaan teori
containment ini karena merupakan negara Asia Tenggara yang cukup terkemuka.
Karena itu, penanaman pengaruh blok Barat pada Indonesia dinilai sangat penting
untuk menjaga dan meningkatkan pengaruh blok Barat di kawasan Asia Tenggara.
Masuknya bantuan luar negeri tersebut juga bertujuan untuk mengendalikan
berbagai kebijakan dalam negeri Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mengamankan
kepentingan para negara kreditor tersebut di Indonesia, terutama kepentingan
ekonomi.5
Sesuai dengan perspektif realis yang menyatakan bahwa pemberian bantuan
luar negeri pada dasarnya dilakukan atas dasar kepentingan negara pemberi
bantuan tersebut. Pemberian bantuan dengan tujuan seperti ini membuat Indonesia
terjebak dalam kondisi dependensi. Indonesia menjadi sangat tergantung dengan
bantuan asing tersebut, yang terlihat dari dimasukkannya hutang luar negeri dalam
daftar sumber dana APBN. Ketergantungan terhadap sumber pendanaan asing ini
memungkinkan intervensi pihak asing terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Dengan begitu, lewat bantuan luar negeri, maka negara negara Barat dapat
mengontrol kehidupan politik dan ekonomi dalam negeri. Hal ini terlihat dari
penguasaan pihak asing terhadap sumber daya alam di Indonesia, kemudahan
masuknya barang impor dari negara negara Barat, dan berbagai kebijakan
Pemerintah yang selalu memihak terhadap perusahaan asing jika terjadi konflik

5 Sinar Harapan. Melihat Arah Politik Luar Negeri Indonesia, Dari Bung Karno yang Vokal ke
Mbak Mega yang Bungkam. http://www.sinarhara pan.co.id/berita/0107/27/lua02.html, diakses
pada 1 Mei 2017.

6
antara buruh lokal dan perusahaan asing tersebut. Indonesia dalam hal ini berada
dalam posisi sebagai negara perifer yang selalu bergantung pada negara negara
sentral. Indonesia diposisikan sebagai pemasok tenaga kerja yang murah serta
bahan mentah dalam pembagian kerja global tersebut.
Kondisi dependensia ini menjadi sebuah bom waktu bagi Indonesia.
Terbukti, setelah Perang Dingin berakhir dan nilai strategis Indonesia dalam teori
containment hilang, maka berbagai akses terhadap sumber pendanaan luar negeri
tersebut menjadi sulit. Stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri menjadi
terganggu dan akhirnya berpuncak pada terjadinya Krisis Moneter tahun 1998.
Pihak asing pun telah menguasai banyak sumber daya strategis dalam negeri
melalui berbagai perusahaan multinasional.
Meski begitu, di luar berbagai efek negatif yang disebabkan oleh bantuan
luar negeri yang masuk ke Indonesia, terbentuknya IGGI tetap dapat dilihat
sebagai keberhasilan diplomasi pembangunan pertama Indonesia, karena
merupakan bentuk kepercayaan luar negeri yang dilembagakan. Hal lain yang
menjadi sasaran politik luar negeri indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan
rinci pada TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983 yang menandakan bahwa indonesia
sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu.
Indonesia berusaha untuk mengangkat hubungan yang lebih akrab dengan
tetangga-tetangganya yang satu kawasan melalui peningkatan hubungan ASEAN. 6
Dengan demikian, Soeharto mengalihkan prioritas politik luar negeri Indonesia
dari lingkungan geografis yang lebih luas, yakni dari Gerakan Asia-Afrika dan
Non Blok, ke lingkungan geografis yang lebih kecil.
Soeharto berusaha untuk mengangkat regionalisme Asia Tenggara sebagai
landasan politik luar negeri Indonesia. Ia memberikan prioritas yang paling utama
kepada hubungan yang dekat dan harmonis melalui penggalangan kerja sama
yang lebih mantap dengan negara-negara tetangga karena di sinilah terletak
kepentingan nasional kita yang paling vital. Karenanya penciptaan kestabilan dan
kerja sama regional di Asia Tenggara mendapatkan prioritas yang tinggi". Asia

6 Mawarti Joened, Poesponogoro. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka,
hal 560

7
Tenggara yang diidam-idamkan Jenderal Soeharto adalah suatu Asia Tenggara
yang terintegrasi, ia menjadi benteng dan pangkalan paling kuat untuk
menghadapi pengaruh ataupun intervensi dari luar. Ia juga harus mampus
menghadapi imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apa pun dan dari pihak
mana pun.7
Untuk mencapai peningkatan stabilitas dan pengembangan itulah Indonesia
memprakarsai pembentukan ASEAN yang lebih terintegrasi melalui
pembukaanpembukaan jalan menuju Komunitas ASEAN yang diharapkan dapat
memupuk dan membina kerja sama yang lebih erat dan berguna bagi
pengembangan ketahanan masing-masing.

B. Indonesia dan Kerjasama Regional


1. ASEAN
ASEAN merupakan kerjasama regional yang didirikan oleh lima negara
yaitu Indonesia, Malaysia, Filiphina, Thailand, Singapura berdasarkan
kesepakatan bersama pada 8 agustus 1967 yang dikenal dengan deklarasi
Bangkok 1967. Walaupun masing-masing negara anggota berbeda satu sama lain
dalam hal bahasa, budaya, agama, dan geografi pengalaman sejarah namun lambat
laun semakin menumbuhkan rasa kepercayaan.8
Masa awal pendirian ASEAN lebih diwarnai oleh upaya-upaya membangun
rasa saling percaya di antara anggotanya untuk mengembangkan kerjasama yang
lebih baik. Perkembangan keamanan nasional dan internasional kawasan ASEAN
mengalami perkembangan yang pesat kerjasama ASEAN mulai menyentuh segala
aspek tidak hanya permasalahan ekonomi dan sosial budaya namun ASEAN mulai
merambah bidang yang di anggap sensitif oleh negara ASEAN yaitu bidang
politik dan keamanan. Hal ini tidak lepas dari perkembangan lingkungan domestik

7Bantoro Bandoro. 1994. Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Jakarta: CSIS,
Hal 4

8Cipto, Bambang. 2006. Hubungan Internasional Asia Tenggara. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, hal
68

8
dan internasional sehingga membentuk pola-pola kerjasama antar anggota
ASEAN.
Pembentukan ASEAN tidak lepas dari peran Soeharto yang cenderung
mengedepankan politik luar negeri bertetangga baik, masa orde baru berupaya
melakukan pencitraan yang tidak agresif, dimana Indonesia pada pemeritahan
orde lama yang memilih politik konfrontasi dengan Malaysia yang dianggap
sebagai negara perpanjangan tangan kolonial Inggris, setelah lengsernya Soekarno
pada tahun 1967. Seoeharto mengambil alih kekuasan dan melakukan reformasi
kebijakan dengan menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Soeharto yang
menginginkan pembangunan ekonomi nasional dengan mendukung kerjasama
regional dan menginginkan kawasan yang damai dimana tidak ada adanya perang.
Sehingga Indonesia dalam pertemuan dengan negara-negara pendiri Asean, ialah
Thailand, Filipina. Malaysia, dan Singapura di Bangkok Indonesia yang diwakili
Adam Malik merencanakan pembentukan organisasi kawasan agara tercipatanya
kawasan yang stabil dan damai.
ASEAN merupakan prioritas utama dalam politik luar negeri Indonesia,
karena negara-negara ASEAN merupakan lingkaran terdalam dari lingkaran-
lingkaran konsentris pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Pendekatan
lingkaran-lingkaran konsentrismenegaskan besarnya pengaruh lingkungan
eksternal terdekat terhadap situasi domestik Indonesia. Oleh karena itu,
terciptanya kawasan Asia Tenggara yang stabil, aman, damai, dan konddusif, serta
terjalinnya hubungan harmonis dengan negara-negara di Asia Tenggara dirasakan
sangat penting dan merupakan modal dasar pembangunan nasional Indonesia.
Mengingat Indonesia menempatkan ASEAN sebagai lingkungan utama dari
politik luar negerinya, Indonesia telah memainkan peran penting dalam
perkembangan ASEAN. Indonesia seringkali dianggap oleh negara-negara di luar
kawasan ASEAN sebagai tulang punggung ASEAN. Indonesia dianggap
berpengaruh besar terhadap stabilitas regional Asia Tenggara. Sebagai contoh
pernyataan yang dilontarkan Ketua Komisi Keamanan Parlemen Jepang, Chiken
Kakazu pada saat bertemu dengan Ketua Komisi I DPR RI, Theo Sambuagadi
Tokyo, Selasa 11 Desember 2007, Upaya menciptakan stabilitas kawasan Asia
Timur mau tidak mau akan menempatkan Indonesia sebagai pilar utamanya.

9
Keamanan Asia Timur dipengaruhi stabilitas di kawasan Asia Tenggara, dan tentu
saja ini banyak dipengaruhi Indonesia.Peran Indonesia di ASEAN sendiri tidak
bisa diremehkan. Indonesia telahberkontribusi dalam berbagai bidang demi
kemajuan ASEAN.
Pada masa Soeharto, Indonesia berperan semakin aktif dalam berbagai
forum regional dan internasional, salah satu diantaranya adalah dengan
menyumbangkan inisiatif-inisiatif segar dalam berbagai forum tersebut yang
membahas berbagai persoalan dan isu-isu dunia. Dalam konteks ASEAN,
Indonesia sudah mampu memerankan sebagai pemimpin dari negara-negara di
Asia Tenggara, dengan gaya kepemimpinan Soeharto Indonesia mampu menjalin
hubungan dan kerjasama yang baik dengan negara-negara di kawasan Asia
Tenggara.9
Selama pemerintahan orde baru pembangunan dalam negeri Indonesia
sangat menekankan pendekatan keamanan komprehensif tersebut dengan
melakukan sekuritisasi terhadap hampir setiap aspek kehidupan politik, ekonomi,
maupun sosial budaya sebagai strategi menciptkan stabilitas dan keamanan.
meskipun di dominasi kekuatan militer, pemerintah orde baru tidak
mengedepankan organisasi militer atau pertahanan militer sebagai strategi
pertahanan dan keamanan, baik dalam menghadapi ancaman dari dalam maupun
dari luar negeri. Doktrin yang dikembangkan Indonesia mengenai ketahanan
nasional di adopsi dalam Bali Concord.10
Salah satu butir tujuan dibentuknya ASEAN adalah mempercepat kerjasama
ekonomi, kemajuan sosial, serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini guna
meciptkan masyarakat sejahtra dan damai dan meningkatkan perdamaian dan
stabilitas regional dengan menghormati keadilan dan tertib di dalam hubungan di
negara-negara kawasan ini, serta mematuhi PBB. Indonesia mempertegas tujuan
ASEAN dengan mengembangkan doktrin ketahanan Nasional, Ketahanan
nasional yang dimaksud adalah menggunakan kemampuan nasional untuk
9 Bantoro Bandoro. 1994. Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Jakarta: CSIS,
Hal 36

10Luhulima, CPF. dkk. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015.
Yogjakarta. Pustaka Pelajar. hal 88

10
mengatasi dan mempertahankan negara dari segala bentuk ancaman dari luar dan
dalam bahkan berjuang untuk mencapai kepentingan nasional. Ketahanan nasional
merupakan konseptualisasi yang berlandaskan berdasarkan sejarah Indonesia
selama perjuangan kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, dimana setiap gangguan
dan ancaman hanya bisa diselesaikan Indonesia sendiri tanpa intervensi dari pihak
lain.11
Berangkat dari pemahaman tersebut, Indonesia berkeinginan untuk
membangun kemampuan bersama di antara masyarakat Asia tenggara untuk
mengurus masa depan intervensi bangsa lain. Melalui mentri luar negeri Adam
Malik memperkenalkan doktrin ketahanan nasional pada petemuan ASEAN
ministerial meeting ke 5 di Singapura 1972. Indonesia juga menyampaikan
makalah yang bejudul reflection untuk mengajak anggota lainnya mengadakan
evaluasi terhadap kesepakatan ekonomi sebelumnya, program ekonomi yang
sebelumnya terbentuk berkaitan dengan program kerjasama sektoral di beberapa
bidang, yaitu produksi pangan, komunikasi, penerbangan dan turisme, ASEAN
menetapkan suatu proyek ASEAN, yaitu yang cepat memberikan hasil, yang dapat
dinikmati semua anggota dan yang memerlukan pembiayaan tidak besar, maka
proyek ASEAN merupakan proyek yang kecil. Ini merupakan indikator Indonesia
mempunyai perhatian tidak hanya dalam bidang keamanan namun juga ekonomi,
sekaligus ASEAN dimata Indonesia merupakan kawasan yang dianggap penting
untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia.12
Pada KTT ASEAN di Bali sebagai respon terhadap campur tangan negara
luar Indonesia 1976 Indonesia mengusulkan dalam sebuah paper untuk
membentuk sebuah formasi kerjasama keamanan dan melakukan latihan militer
bersama negara-negara ASEAN, meskipun usulan tersebut menuai penolakan dari
beberapa negara ASEAN. Hasil dari KTT tersebut menghasilkan dua kesepakatan
yaitu Ketahanan nasional dan Ketahanan regional. konsep tersebut merupakan
kontribusi Indonesia di ASEAN dalam melegalkan prinsip non-intevensi,

11Ibid. hal. 88

12Ibid. hal. 89

11
organisasi ini tidak boleh mengganggu kemerdekaan, kedaulatan, persamaan,
keutuhan wilayah, dan kepribadian nasional tiap bangsa di Asia Tenggara artrinya
bahwa tiap negara harus dapat melangsungkan kehidupan nasionalnya, bebas dari
campur tangan, subversi atau tekanan dari luar, bahwa tidak ada campur tangan
mengenai urusan dalam negeri satu sama lain, tiap perselisihan atau persengketaan
harus diselesaikan dengan cara damai, dan setiap pengancaman dengan kekerasan
atau penggunaan kekerasan tidak dapat dibenarkan
Indonesia berperan penting dengan pengadaan program ZOPFAN
(SoutheastAsian Zone of Peace, Freedom, and Neutrality) dan NFZ (southeast
asian nuclear freezone) yang disepakati pada deklarasi Kuala Lumpur pada tahun
1971 dan disetujui semua negara ASEAN. Dengan adanya PT PINDAD sebuah
industri yang memproduksi senjata dan peralatan perang yang banyak digunakan
oleh militer-militer di negara di ASEAN membuktikan bahwa Indonesia turut membantu
dengan ekonomi militer nya untuk memajukan ASEAN di bidang pertahanan dan
keamanan.
2. GNB
Pada masa kepemimpinan Soeharto dalam GNB, Soeharto menganggap
bahwa GNB pasca perang dingin masih relevan, sehingga beliau selaku Ketua
GNB telah memperlihatkan usaha dan niat yang sungguh-sungguh untuk
menemukan kembali arah GNB dan mengembangkan melalui usaha nyata yang
dikenal dengan Kerjasama Selatan-Selatan. Dalam masa kepemimpinan Soeharto,
GNB menorehkan bebarapa kemajuan yang diantaranya adalah sebagai berikut:13

1) Gerakan Non Blok memperjuangkan kemerdekaan Palestina


Presiden Soeharto mendapat dukungan dari Menlu Palestina Farouk
Kaddoomi setelah sidang Komite Palestina GNB di Bali yang dalam hal ini
menurutnya keputusan tersebut menunjukkan dukungan Gerakan Non Blok
kepada rakyat Palestina dalam memperoleh haknya kembali dan akan berusaha
membuat warga Israel mundur dari kawasan yang diduduki. Komite Palestina
GNB terdiri dari Aljazair, India, Bangladesh, Senegal, Gambia, Zimbabwe,
Palestina dan Indonesia, komisi GNB untuk Palestina diketuai oleh Indonesia.

13Wuryandari, Ganewati. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik
Domestik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hal. 91-92

12
2) Gerakan Non Blok ingin berdialog dengan Peserta KTT G7 di Tokyo
Presiden Soeharto mengadakan kerjasama dengan negara-negara Afrika
mengirimkan petani atau petugas Keluarga Berencana ke Indonesia untuk
melakukan magang. Namun karena Indonesia dan negara Afrika itu tidak
memiliki dana yang cukup untuk membiayai program magang ini, maka akan
dicari negara ketiga terutama negara maju yang bersedia membiayai pengiriman
petani Afrika ke Indonesia. Dialog negara maju dan berkembang disebut sebagai
dialog Utara-Selatan.
Dialog yang diharapkan akan tercapai itu ternyata tidak dapat dicapai
sehubungan dengan tidak diundangnya Presiden Soeharto sebagai ketua GNB
dalam KTT G-7 di Tokyo. Apa yang hendak disampaikan adalah buah pikiran
negara anggota GNB terhadap keadaan dunia saat itu, situasi dunia yang tengah
dihadapi dan usulan terhadap upaya bersama yang dapat dijalin oleh negara maju
maupun negara sedang berkembang.

1. Upaya Penyelesaian Hutang Negara-Negara Selatan


Beban hutang negara-negara anggota GNB adalah masalah penting untuk
dibahas dan dicari penyelesaiannya. Untuk itu, cukup banyak mendapat sorotan
dan diharapkan agar di bawah kepemimpinan Indonesia, masalah hutang yang
menjadi salah satu agenda utama KTT Non Blok ke X bisa diselesaikan dengan
terobosan-terobosan yang cukup berarti. Presiden Soeharto mengundang negara-
negara untuk berbagi pengalaman di mana Indonesia sebagai negara penghutang
pada negara negara lain dinilai oleh Bank Dunia dapat membayar hutangnya
sesuai waktu yang telah ditentukan.
Selanjutnya, Presiden Soeharto juga menekankan pentingnya Kerjasama
Selatan-Selatan, bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah sosio-ekonomi
tetapi juga melalui kerjasama konkret antara Selatan-Selatan untuk memberi
bobot dalam dialog dengan Utara. Kepala negara mengingatkan negara maju yang
disebut Kelompok Utara dan negara berkembang yang disebut Negara Selatan
untuk saling membutuhkan.

2. Bantuan untuk Petani Afrika

13
Secara khusus Presiden Soeharto mengundang Brunei Darussalam untuk
turut serta dalam Kerjasama Selatan-Selatan. Dalam hal ini, Indonesia
menawarkan untuk berbagi pengalaman dalam upaya meningkatkan produk
pertanian kepada negara negara Afrika yang mengalami kelaparan. Indonesia
rnengundang para petani negara-negara Afrika untuk melihat secara langsung
model pertanian Indonesia. Dalam hal ini Brunei Darussalam diminta memberikan
dana guna membiayai perjalanan para petani Afrika, karena baik negara-negara
Afrika itu maupun Indonesia tidak mampu membiayai program ini.
3. Pidato Soeharto pada KTT Pernbangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark
KTT yang diprakarsai oleh PBB di Kopenhagen telah memberikan
kesempatan dan menjadi momentum yang tepat bagi Presiden Soeharto sebagai
pemipinan Gerakan Non Blok dengan rnernberikan pidato pertama yang
menyerukan kerjasama di antara negara maju dan negara berkembang guna
memperbaiki nasib orang miskin.
Masalah yang mendapat perhatian khusus adalah hutang luar negeri, sistem
perdagangan bebas serta pengendalian jumlah penduduk khususnya serta masalah
keamanan pangan di Afrika. GNB telah mencoba meringankan kemiskinan
melalui berbagai cara seperti peningkatan produksi pangan dan dalam hal ini
mengharapkan kerjasarna maksimal dari PBB sebagai badan dunia untuk
memainkan peranan yang lebih penting dengan mencoba mewujudkan tatanan
Tata Dunia Baru dalam usaha memecahkan masalah keterbelakangan dan
kemiskinan.
4. Pertemuan Informal Negara Berpenduduk Banyak
Di sela-sela KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Presiden Soeharto
sebagai pemimpin GNB mengadakan pertemuan informal dengan 9 negara yang
memiliki penduduk terbanyak di dunia yaitu, Indonesia, Bangladesh, Brazil, Cina,
Mesir, India, Meksiko, Nigeria dan Pakistan. Pertemuan informal ke 9 negara
berkembang tersebut membahas masalah pendidikan bagi semua (Education For
All) yang diselenggarakan oleh Badan-Badan PBB yaitu UNESCO, UNICEF,
UNFPA dan UNDP. Gerakan Non Blok memandang perlu bahwa pendidikan
merupakan landasan penting bagi upaya meningkatkan kemajuan, kemakmuran
dan kesejahteraan. Di Indonesia sendiri, realisasi program ini adalah adanya
program wajib belajar sembilan tahun.

14
5. Kunjungan Pemimpin Gerakan Non Blok ke Zagreb, Kroasia dan
Sarajevo, Bosnia
Pasca KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, pemimpin GNB telah
mengadakan kunjungan yang dianggap oleh PBB sangat berani dan beresiko
tinggi yaitu ke Kroasia dan Sarajevo yang tengah dilanda peperangan antaretnis.
Selaku pemimpin GNB, Presiden Soeharto telah menyuarakan pandangan GNB
terhadap bekas salah satu negara pendiri GNB yaitu Yugoslavia, dengan
menyatakan bahwa bahwa tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan pertikaian
etnis di antara mereka kecuali oleh para pemimpin negara-negara kawasan bekas
Yugoslavia sendiri. GNB mencoba membantu tanpa ikut campur secara langsung
melalui jalur diplomatik yang sesuai dengan prinsip. Secara moril, kunjungan
pemimpin GNB dianggap sebagai dorongan dan perhatian bahwa GNB sangat
prihatin akan masalah yang berkepanjangan.
3. G 77
Kelompok 77 (G-77) dibentuk pada tanggal 15 Juni 1964 melalui
pengesahan Joint Declaration dari 77 anggota negara berkembang pada saat
berlangsungnya sidang Sesi Pertama United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD) di Jenewa. Sampai saat ini, Kelompok 77 dan China
telah beranggotakan 133 negara. G-77 saat ini juga memiliki Chapter di 6 kota
dunia, yaitu di Jenewa, Paris, Roma, Nairobi, New York, dan Wina.14
Kelompok 77 dan China pada dasarnya merupakan forum yang bertujuan
mendorong kerja sama internasional di bidang pembangunan, khususnya bagi
negara-negara berkembang. Pada perkembangannya, kegiatan Kelompok 77 dan
China ditujukan tidak saja untuk memberikan dorongan dan arah baru bagi
pelaksanaan kerja sama Utara-Selatan di berbagai bidang pembangunan
internasional, tetapi juga dimaksudkan untuk memperluas kerja sama dalam
memantapkan hubungan yang saling menguntungkan dan saling mengisi antara
sesama negara berkembang melalui Kerja Sama Selatan-Selatan.
Kelompok 77 dan China memiliki kegiatan-kegiatan penting dalam
kerangka PBB, terutama untuk merundingkan berbagai isu dan keputusan/resolusi
yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan PBB. Kegiatan-
14 Dimuat dalam http://kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?
Name=MultilateralCooperation&IDP=5&P=Multilateral&l=id,diakses tanggal 1Mei 2017.

15
kegiatan tersebut antara lain adalah tindak lanjut pelaksanaan Program Aksi KTT
Pembangunan Sosial di Kopenhagen, KTT Wanita di Beijing, Sidang Khusus
SMU PBB mengenai obat-obat terlarang, modalitas penyelenggaraan Konferensi
Internasional mengenai Pendanaan untuk Pembangunan, Pengkajian Tiga Tahunan
Kegiatan Operasional PBB untuk Pembangunan, Pelaksanaan Dialog di SMU
PBB mengenai Globalisasi, Pertemuan Interim Development Committee
IMF/Bank Dunia, ECOSOC, dan usulan reformasi PBB di bidang ekonomi dan
sosial.
Bagi Indonesia, kerja sama dalam wadah Kelompok 77 dan China
merupakan sarana yang baik untuk penguatan Kerja Sama Selatan-Selatan, antara
lain melalui Perez-Guererro Fund. Kelompok 77 dan China juga telah
memberikan dukungan bagi Indonesia dalam bentuk pendekatan dari 133 negara
berkembang anggota Kelompok 77 dan China untuk kebijakan-kebijakan
pemerintah Indonesia di PBB. Salah satu contohnya adalah ketika Indonesia
menjabat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, serta dalam
kebijakan lainnya di PBB.15
4. OKI
OKI merupakan organisasi Negara-negara Islam dan negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam yang dibentuk sebagai reaksi terhadap
pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel pada tanggal 21 Agustus 1969 yang
merupakan salah satu tempat suci umat Islam, selain Mekkah dan Madinah serta
bentuk penolakan terhadap pendudukan wilayah-wilayah arab oleh Israel
termasuk pula penguasaan atas Yerussalem semenjak tahun 1967.

Tujuan OKI adalah sebagai berikut:


Memelihara dan meningkatkan solidaritas diantara negara-negara
anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan
politik dan pertahanan keamanan.
Mengkoordinasikan usaha-usaha untuk melindungi tempat-tempat
suci.

15Dimuat dalam http://kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?


Name=MultilateralCooperation&IDP=5&P=Multilateral&l=id, diakses tanggal 1Mei 2017.

16
Membantu dan bekerjasama dalam memperjuangkan kemerdekaan
rakyat Palestina.
Berupaya melenyapkan perbedaan rasial, diskriminasi, kolonialisme
dalam segala bentuk.
Memperkuat perjuangan umat Islam dalam melindungi martabat
umat, dan hak masing-masing negara Islam.
Menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis, saling pengertian
antar negara OKI dan Negara-negara lain.

Beberapa peran aktif Indonesia di OKI yang menonjol adalah ketika pada
tahun 1993 Indonesia menerima mandat sebagai ketua Committee of Six, yang
bertugas memfasilitasi perundingan damai antara Moro National Liberation Front
(MNLF) dengan pemerintah Filipina. Kemudian pada tahun 1996, Indonesia
menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta.
Selain itu, Indonesia juga memberikan kontribusi untuk mereformasi OKI
sebagai wadah untuk menjawab tantangan umat Islam memasuki abad ke-21. Pada
penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di Dakar Senegal, Indonesia mendukung
pelaksanaan OIC's Ten-Year Plan of Action. Dengan diadopsinya piagam ini,
Indonesia memiliki ruang untuk lebih berperan dalam memastikan implementasi
reformasi OKI tersebut. Indonesia berkomitmen dalam menjamin kebebasan,
toleransi dan harmonisasi serta memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam,
demokrasi dan modernitas.
Bagi Indonesia, OKI merupakan wahana untuk menunjukkan citra Islam
yang santun dan moderat. Sebagaimana yang ditunjukkan Indonesia pada dunia
internasional dalam pelaksanaan reformasi 1998 serta kemampuan Indonesia
melewati transisi menuju negara yang demokratis melalui penyelenggarakan
pemilihan umum legislatif ataupun pemilihan presiden secara langsung yang
berjalan dengan relatif baik. Pengalaman Indonesia tersebut dapat dijadikan
rujukan bagi negara-negara anggota OKI lainnya, khususnya negara-negara di
Timur Tengah dan Afrika Utara yang sedang mengalami proses demokratisasi.16

16 Bantarto Bandoro, hal 160

17
5. AFTA
AFTA yang merupakan singkatan dari ASEAN Free Tread Area memiliki
arti sebagai kawasan perdagangan bebas ASEAN, pertama kali disepakati pada
tanggal 28 Januari 1992 waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV
di Singapura oleh enam negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam kemudian bergabung pada tahun 1995,
serta Laos dan Myanmar pada tahun 1997, dan Kamboja pada tahun 1999.
AFTA di bentuk dengan dengan tujuan agar menjadikan kawasan ASEAN
sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya
saing kuat di pasar global, dan menarik lebih banyak Foreign Direct Investment
(FDI) yaitu penanaman modal asing yang direpresentasikan di dalam asset riil
seperti: tanah, bangunan, peralatan dan teknologi, serta meningkatkan
perdagangan antar negara anggota ASEAN.
Dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, diberlakukanlah penurunan tarif
barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 05 %) maupun
hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN melalui skema Common
Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) dimana
selain penurunan tarif juga dimaksudkan untuk penghapusan pembatasan
kwantitatif (kuota) dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.
Melihat dari banyaknya kelebihan dari skema dan tujuan-tujuan yang
diharapkan dapat terlaksana dalam AFTA, maka dapat dicermati keuntungan yang
akan diperoleh Indonesia dalam AFTA ini, yaitu dengan tanpa dikenanya tarif,
produk-produk Indonesia dapat di ekspor ke kawasan negara-negara ASEAN
dengan lebih murah, tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan yang dulu
dikenakan sebelum persetujuan AFTA, kini produk-produk Indonesia dapat
dengan mudah berada di kawasan ASEAN, hal ini tentu tidak hanya memberikan
keuntungan dengan kemudahan perdagangan internasional dalam regional
ASEAN tetapi juga akan memacu kreativitas dalam negeri sebab produk-produk
negara lain di kawasan ASEAN pun akan marak di dalam negeri, sehingga jika
dalam negeri tidak meningkatkan kreativitasnya, maka dengan mudah dilindas
oleh produk-produk impor.
Adapun hal yang mencengangkan dengan adanya AFTA akan membuka
peluang pasar yang besar dan luas bagi produk Indonesia, dimana penduduk yang

18
notabene adalah konsumen dengan jumlah sebesar 500 juta jiwa berada di area
ASEAN sehingga akan lebih memperlancar proses perputaran perdagangan bagi
produk-produk Indonesia dan tingkat pendapatan masyarakat yang beragam akan
membantu terdistribusinya produk-produk Indonesia dengan level yang bervariasi
kepada tingkat sosial masyarakat yang variatif pula.
Selain itu para pengusaha/produsen Indonesia akan lebih rendah
mengeluarkan biaya produksi, dimana diketahui bahwa beberapa produk
Indonesia ada juga yang membutuhkan barang modal dan bahan baku/penolong
dari negara anggota ASEAN lainnya sehingga dengan adanya pembebasan tarif
akan lebih meringankan pengeluaran biaya produksi yang juga akan secara
bersamaan mengurangi biaya pemasaran, sehingga harga produk Indonesia
tersebut dapat lebih ditekan yang akhirnya dengan kualitas yang baik produk
Indonesia dapat dipasarkan dengan harga terjangkau yang kemudian akan
memberikan keuntungan sebab para konsumen akan lebih tertarik dengan nilai
harga yang ditawarkan.
Tidak hanya para pebisnis yang akan merasakan keuntungan melalui AFTA
ini, konsumen di Indonesia pun yang merupakan konsumen terbesar dari 9 negara
anggota AFTA akan menerima nilai plus pula, dimana dengan maraknya produk
luar di pasar domestik akan memberikan keragaman produk dengan harga yang
variatif yang dapat disesuaikan dengan kemampuan kantong setiap individu, dan
pada bagian awal yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa dengan maraknya
produk luar yang menggrogoti pasar domestik Indonesia, akan memacu kreativitas
produsen lokal untuk bersaing agar tidak kehilangan konsumennya, serta memacu
pula pemanfaatan sumber daya alam dan manusia pada tingkatan maksimal.
Serta keuntungan lain yang dapat diperoleh Indonesia adalah terbukanya
kerjasama dalam menjalankan bisnis dengan beraliansi bersama pelaku bisnis di
negara anggota ASEAN lainnya. Melalui aliansi ini, para pebisnis Indonesia akan
lebih memperluas jaringannya, yang kelak akan mengamtarkan mereka tidak
hanya berbisnis di area ASEAN saja tetapi juga dapat menjadi batu loncatan ke
pasar global, hal ini akan sangat bermanfaat untuk prosuden-produsen rumahan,
yang akan lebih meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya serta memberikan
keuntungan bagi negara dimana akan terbentuk pemahaman di benak konsumen

19
luar negeri bahwa produk-produk yang dihasilkan oleh pasar domestik Indonesia
memiliki kualistas internasional dengan penanganan yang berstandar tinggi.17
6. NAFTA

NAFTA (North America Free Trade Aggreemnet) merupakan suatu bentuk


organisasi kerjasama perdagangan bebas negara-negara Amerika. NAFTA
didirikan pada tanggal 12 Agustus 1992 di Washington DC oleh wakil-wakil dari
pemerintahan Kanada serta pemerintahan tuan rumah yaitu Amerika Serikat. Dan
diresmikan pada tanggal 1 Januari 1994. Pada dasarnya NAFTA merupakan
organisasi yang menjanjikan kemudahan bagi negara-negara persertanya di bidang
ekonomi, mulai dari diberikannya pembebasan tarif bea masuk bagi komoditi-
komoditi tertentu hingga adanya perlakuan adil terhadap penanam modal asing
yang akan menanamkan modalnya di masing-masing negara peserta.

NAFTA menghilangkan semua batas-batas nontarif bagi perdagangan


sektor pertanian antara Amerika dan Meksiko. Ketentuan-ketentuan agrikultural
Amerika-Kanada digabungkan dengan NAFTA dengan bergabungnya Meksiko.
Dengan ketentuan tersebut semua tarif pada perdagangan sektor pertanian antara
Kanada dan Amerika dicakup oleh tariff-rate quotas (TRQs) dihapus sejak 1
Januari 1998. Tujuan pembentukan NAFTA adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja melalui usaha menghilangkan
berbagai hambatan perdagangan, menciptakan iklim untuk mendorong persaingan
yang adil, meningkatkan peluang investasi, memberikan perlindungan terhadap
hak milik intelektual, dan menciptakan prosedur yang efektif dalam penyelesaian
perselisihan perdagangan antara ketiga negara anggotanya.

NAFTA adalah blok perdagangan Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko


untuk membentuk kawasan perdagangan bebas. Latar belakang dibentuknya
NAFTA:

a. Adanya perubahan global baik ekonomi, perdagangan maupun informasi.


17 Mawarti Joened dan Poesponogoro. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai
Pustak, hal 614

20
b. Perubahan internal, yaitu kemajuan ekonomi negara-negara anggota.

c. Hasil kerja sama blok lainnya yang kurang menggembirakan.

d. Penggalangan persatuan regional untuk meningkatkan posisi dan daya


saing.

TUJUAN NAFTA
1. Meningkatkan kegiatan ekonomi para anggota
2. Pengaturan impor dan produksi sesama anggota
3. Adanya standarisasi barang-barang yang diperdagangkan
4. Mengusahakan adanya perlindungan bagi konsumen mengenai keselamatan,
kesehatan, dan lingkungan hidup.

Ketentuan yang Mengatur Anggota NAFTA

Tujuan utama NAFTA adalah untuk mengatur hak-hak dan kewajiban serta
kepentingan-kepentingan negara-negara anggotanya dalam bidang sebagai
berikut:

1) Perdagangan

Dalam bidang perdagangan pengaturannya memuat ketentan tentang


penghapusan hambatan tarif dan non tarif. Tarif akan diturunkan secara perlahan,
tergantung jenis dan tingkat kepentingan terhadap produk. Menjelang tahun 1994,
50% tarif dihilangkan dan penurunan terhadap tarif yang lain dilakukan dalam
waktu 5 s/d 10 tahun diharapkan secara perlahan ketiga negara NAFTA pada
akhirnya dapat memperoleh keuntungan dari penghapusan tarif.. Hambatan non
tarif seperti user fees, izin impor (import License) dan kuota akan segera di hapus
dengan beberapa pengecualian, kuota masih dikenakan terhadap bidang energi,
pertanian, otomotif dan tekstil.

2) Keimigrasian

21
Di bidang keimigrasian, NAFTA memberikan kemudahan bagi pengusaha
yang akan melakukan kegiatan bisnisnya, NAFTA mengizinkan adanya visa
sementara kepada pengusaha dan barang barang untuk tujuan tertentu (temporary
entry for bussines person & goods), bentuk insentif yang diberikan untuk
mempermudah investasi dengan membebaskan orang, barang, peralatan promosi
seperti televisi alat peraga, barang-barang dengan tujuan pameran serta barang
modal dibebaskan masuk secara temporer.

3) Finansial

Dalam bidang finansial, hak-hak yang diatur adalah hak untuk transfer
mata uang dalam investasi dan perdagangan, pembebasan penggunaan mata uang
ketiga negara berdasarkan nilai pasar pada saat hari transaksi. Ketentuan dalam
bidang finansial ini juga mengatur tentang larangan transfer yang berkitan dengan
kepailitan.

4) Investasi

NAFTA mengatur tentang Investasi, yang menurut definisi umum berarti


pembelian aset untuk meningkatkan nilai suatu produk, yang meliputi tanah,
bangunan, barang modal dan bahan baku serta bahan penolong untuk kegiatan
produksi, Investasi dalam pengertian NAFTA bukan merupakan investasi
portofolio. Definisi investasi meliputi juga Stock, Bond, Loans, Income, Profit,
Interest, Real Estate. Dalam bidang investasi NAFTA memberlakukan ketentuan
equal treatment, persamaan perlakuan terhadap investor di masing-masing
negara anggota. Investor yang menanamkan investasi di Kanada akan mendapat
perlakuan yang sama di negara Amerika Serikat dan Meksiko, begitu juga
sebaliknya, investor dari Amerika Serikat dan Meksiko akan diperlakukan sama di
Kanada. Perlakuan kepada investor masing-masing negara ini berdasarkan
perdagangan internasional yang adil, transparan dan liberal dan akan memperoleh
proteksi penuh dan jaminan keamanan di masing masing negara, negara bagian.

22
Dalam ketentuan NAFTA tercakup juga masalah jaminan Investasi,
pelarangan pengistimewaan sumber-sumber lokal bagi kepentingan ketiga negara,
transfer teknologi, keseimbangan perdagangan dan pengistimewaan pemakaian
produk NAFTA terhadap pihak diluar NAFTA. Dalam beberapa hal tertentu
negara anggota masih di mungkinkan memperlakukan khusus terhadap investor
tertentu yang memiliki arti penting bagi perekonomian negara. Beberapa
pengecualian dalam bidang investasi yang lain dalam ketentuan NAFTA adalah
sektor-sektor yang secara konstitusi dilarang untuk investasi asing, seperti
pelarangan pemerintah Meksiko terhadap Investasi asing untuk sektor energi, rel
kereta api, perumahan/property yang terletak di perbatasan dan di sepanjang
pantai. Pengecualian lain adalah masalah monopoli, bentuk-bentuk monopoli
perusahaan negara masih dimungkinkan, sepanjang tidak menggunakan posisi
monopoli untuk bersaing di pasaran non monopoli. Perhatian lain dari ketentuan
NAFTA adalah terhadap masalah lingkungan, negaranegara NAFTA setuju untuk
tetap mempertahankan standar baku mutu lingkungan.

Ketentuan NAFTA terhadap Pihak Luar

1). Perdagangan

Ketentuan terhadap pihak diluar NAFTA dalam masalah perdagangan,


memberlakukan ketentuan proteksi untuk memaksimalkan keuntungan angota
NAFTA. Produk-produk perdagangan dari negara diluar NAFTA, disamping
dikenakan hambatan tarif yang bervariasi, juga dikenakan hambatan non tariff
yang ditujukan untuk melindungi, memaksimalkan produksi dan penggunaan
tenaga kerja anggota NAFTA. Untuk mendeteksi barang-barang yang berasal
dari luar NAFTA maka, diberlakukan ketentuan asal barang, yang di dalamnya
juga diperinci presentase bahan baku, asal bahan baku dan komponen biaya
lain seperti upah buruh, transportasi dan lain-lain.

2). Investasi

23
Dalam meningkatkan kesempatan investasi, akan memiliki pengaruh
secara langsung terhadap pihak-pihak di luar NAFTA. Peningkatan
kesempatan investasi ini bisa berarti membuka peluang semakin banyaknya
investor menanamkan modal di NAFTA dengan memberlakukan proteksi yang
di tujukan untuk menarik investasi asing masuk ke dalam NAFTA Investor
yang akan diperlakukan diskriminatif adalah mereka :

1). Mereka yang tidak memiliki bisnis yang substansial, yaitu mereka yang
tidak melakukan investasi nyata di bidang bidang manufaktur atau kegiatan
lain yang memberikan keuntungan substansial bagi NAFTA.

2). Investor yang memiliki perusahaan di NAFTA, namun pengendali


perusahaan itu berasal dari negara-negara yang memliki hubungan diplomatik
yang buruk dengan negara anggota NAFTA atau negara yang diembargo salah
satu negara NAFTA.

2. Imigrasi

Dalam NAFTA di atur ketentuan mengenai Temporary entry for business


person (TEFBP). TEFBP ini di berikan kepada para pengusaha yang berasal
dari luar NAFTA yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan dan
investasi, yaitu pekerja professional, pedagang dan investor substantial,
perpindahan perkerja antar perusahaan danPengusaha yang melakukan
kunjungan bisnis. Keempat golongan tersebut di bebaskan dari keharusan
memiliki sertifikat/perijinan kerja, di bebaskan dan keharusan mengikuti test
kelayakan kerja. Ketentuan NAFTA ini bersifat diskriminatif terhadap orang-
orang di luar keempat golongan di atas. Dengan adanya ketentuan ini, investor
potensial di beri kemudahan untuk melakukan bisnis di NAFTA.

Dampak NAFTA terhadap Perdagangan Internasional

NAFTA sebagai instrumen baru perdagangan international, bersifat liberal


dan terkedepan dalam melaksanakan ketentuan GATT, namun sangat protektif

24
dan diskriminatif bagi pihak lain diluar NAFTA. Sebagai suatu blok
perdagangan yang memproteksi investasi dan perdagangan negara-negara
anggotanya, NAFTA telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur
perdagangan dunia dan menyebabkan terjadinya perubahan peta lokasi
industri dunia. Perubahan struktur perdagangan dunia disebabkan oleh
besarnya peran perekonomian negara-negara NAFTA dalam perdagangan
dunia. Sebagai blok perdagangan yang protektif, ketentuan NAFTA telah
menyebabkan terjadinya pemisahan siapa yang diuntungkan dan siapa yang
dirugikan, serta merubah jenis barang yang dapat diperdagangkan. Mereka
yang diuntungkan adalah mereka yang karena ketentuan NAFTA dapat
melakukan kegiatan perdagangan, menggatikan posisi pihak yang tidak lagi
dapat melakukan kegiatan perdagangan dan investasi di NAFTA.

NAFTA memberlakukan proteksi untuk tujuan menarik investor asing


yang di sebut dengan istilah Administered protection to encourage foreign
investment. Strategi ini menuntun investor asing untuk masuk ke dalam
Dinding Proteksi (inside protection wall). Mereka yang dianggap anggota
NAFTA adalah investor yang berasal dari luar NAFTA namun berinvestasi dan
memiliki bisnis yang substansial di NAFTA maka mereka akan dianggap
sebagai anggota NAFTA.

Negara yang memiliki Hubungan Bilateral dengan anggota NAFTA Kata


bilateral menunjukan hubungan parsial Amerika Serikat negara anggota
NAFTA lainnya dengan negara tertentu untuk dapat mengakses pasar NAFTA.
Amerika Serikat mempelopori hal ini dengan menandatangani perjanjian
bilateral dengan beberapa negara untuk menjamin akses pasar produk negara
tersebut ke pasar Amerika Serikat NAFTA dalam ketentuannya juga
memberikan keuntungan kepada negara-negara yang memiliki perjanjian
perdagangan bilateral setelah perjanjian bilateral dengan Israel yang lebih
bersifat politis, Amerika Serikat juga menandatangani beberapa perjanjian
bilateral dengan negara-negara Karibia, Singapore dan Vietnam . Vietnam

25
adalah contoh yang menggambarkan pengaruh hubungan bilateral dengan AS
terhadap perkembangan perdagangan dan investasi Vietnam.

Negara negara Asia Tenggara dan Negara Industri Baru Asia merupakan
negara yang export utama produk mereka bergeser dari produk pertanian dan
hasil alam ke produk manufaktur. Ini menunjukkan bahwa peran industri
manufaktur sangat besar dalam nilai export negara Negara Industri Baru Asia
dan Asia Tenggara. Thailand merupakan contoh negara yang mengalami
kerugian akibat berlakunya NAFTA, Tahun 2000 ekspor produk manufaktur
Thailand tercatat sebesar US$ 69.270. juta Pada periode Januari Juli 2001,
ekspor Thailand tercatat US$ 38.376.juta sedangkan impornya US$ 38.129
juta, dibandingkan periode yang sama tahun 2000 ekspor meningkat 21,85%
dan import meningkat 25,45%. Negara tujuan ekspor utama, AS (turun 0,47%)
, Jepang (naik 7,69%). Singapore (turun 2,58%) Hongkong (naik 0,81%)
Malaysia (naik 11,08%), China (naik 11,26%) Inggris (naik 12,84%) negara
tujuan ekspor yang tumbuh mencapai 30-40% adalah sejumlah negara Eropa,
Asia Tenggara, Timur tengah dan Amerika Latin. Ekspor Thailand ke tujuan
Amerika serikat di dominasi produk pertanian, elektronik, dan Garmen,
penurunan ekspor Thailand ke tujuan Amerika Serikat merupakan dampak
berlakunya NAFTA, yang menyebabkan perusahaan industri melakukan
relokasi perusahaan keluar dari Thailand, terutama ke Vietnam yang upah
buruhnya lebih murah dan memiliki akses pasar ke Amerika Serikat.

Sebagai blok perdagangan yang protektif, NAFTA menyebabkan


terjadinya perubahan lokasi industri. Proteksi memang cenderung untuk
membuat terjadinya perubahan lokasi industri. Amerika Serikat pada tahun
1970-an, memproteksi produk otomotif Jepang, mobil sedang berukuran besar
dilarang untuk memasuki pasar Amerika Serikat, akibatnya Jepang justru
mengembangkan mobil-mobil kecil, dan merelokasi pabriknya ke kawasan
Asia Tenggara. Adanya proteksi Amerika Serikat terhadap produk ekspor
tekstil negara lain, dengan memberikan kelonggaran kepada negara
berkembang untuk memasuki pasar Amerika Serikat melalui skema Sertifikat

26
Asal Barang, telah menyebabkan perusahaan-perusahaan yang berasal dari
negara-negara yang tidak lagi tergolong negara berkembang seperti Korea,
Taiwan dan Hongkong, mengalihkan investasinya ke negara berkembang
seperti Indonesia dan Thailand dengan tujuan untuk dapat memasuki pasar
Amerika Serikat. Adanya proteksi yang diberlakukan NAFTA, menyebabkan
terjadinya perpindahan lokasi industri.

Dampak Nafta Terhadap Negara Indonesia


Indonesia merupakan contoh lain negara mengalami kerugian akibat
berlakunya ketentuan NAFTA, Indonesia dalam upaya meningkatkan
perekonomian, berusaha untuk meningkatkan ekspor non migas. Bidang usaha
yang marak di Indonesia adalah bidang usaha yang mengandalkan tenaga kerja
murah. Bidang industri andalan adalah garmen, tekstil, elektronik, alas kaki dan
boneka. Industri tekstil indonesia mengalami kesulitan untuk mendapatkan order
dari pembeli, ada sekitar 124 perusahaan tekstil yang berpotensi putus, 40 di
sekitar Jakarta dan 84 di Jawa Tengah

7. APEC
Pada tahun 1989, para pemimpin negara negara yang terletak dilingkar
luar Samudra Pasifik mengadakan pertemuan multilateral dan mendeklarasikan
berdirinya APEC ( Asia Pasific Economic Cooperation). Visi APEC adalah untuk
mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lain di wilayah Asia Pasifik,
menciptakan ekonomi domestik yang efisien dan secara dramatis meningkatkan
ekspor. Kunci untuk mencapai visi APEC adalah apa yang disebut dengan
Deklarasi Bogor , yaitu bahwa negara yang sudah pada tingkat industrialisasi
(negara negara maju) akan mencapai sasaran perdagangan dan investasi yang
bebas dan terbuka (liberalisasi) paling lambat tahun 2010, dan wilayah yang
tingkat ekonominya sedang berkembang paling lambat tahun 2020.
Dari segi organisasi, kelompok bernama APEC ini adalah yang terbesar di
dunia. Selain beranggotakan 21 negara, APEC memiliki kekuatan ekstra besar
yang tidak dimiliki organisasi serupa di dunia ini dalam konteks perekonomian.
APEC berpenduduk 2,3 miliar jiwa dari 6 miliar jiwa penduduk dunia. Setengah
dari perdagangan dunia terjadi di APEC. Sebesar 18 triliun dollar AS Produc

27
Domestic Bruto (PDB) dunia dari total 30 triliun dollar lebih PDB dunia ada di
APEC.
Anggota APEC merupakan negara yang berada di lingkar luar Samudra
Pasifik, yaitu Amerika Serikat, Australia, Brunei Darussalam, Cile, Cina, Filipina,
Hong Kong, Indonesia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko,
Papua Nugini, Peru, Rusia, Selandia Baru, Singapura, Taiwan, Thailand, dan
Vietnam.
Lima dari sepuluh negara yang memiliki kekuatan perekonomian terbesar di
dunia ada di APEC, yakni Amerika Serikat, Jepang, Cina, Kanada, dan Meksiko.
Sejak digelarnya APEC Economic Leaders Meeting (AELM) di Seattle, AS tahun
1993, setiap tahun dilahirkan deklarasi atau kesepakatan bersama di antara para
pemimpin negara negara anggota APEC.18
Peran APEC bagi Indonesia setelah Bogor Goals (1994) merupakan sebuah
misi APEC untuk kemajuan liberalisasi perdagangan dan investasi bagi Indonesia.
APEC masih membawa pengaruh positif bagi ekonomi Indonesia. Bagi Indonesia,
anggota anggota yang tergabung dalam APEC merupakan mitra dagang yang
utama. Bogor Goals juga menjadi pemicu bagi anggota-anggota APEC untuk
meningkatkan kerjasama mereka. Anggota-anggota APEC tidak hanya berbicara
tentang isu-isu ekonomi saja, namun juga implementasi nyata untuk mencapai
Bogor Goals dalam bentuk proyek-proyek. Dapat dikatakan bahwa sejak saat
itulah APEC berkembang pesat dan APEC terus mendapatkan dukungan dari
anggota-anggotanya. Salah satu indikator utama dukungan tersebut adalah
diakuinya eksistensi negara-negara penyelenggara pertemuan APEC. Meskipun
penyelenggara pertemuan APEC berganti setiap tahun, prioritas-prioritas tahunan
selalu berkaitan erat dengan bagaimana APEC bekerja. Pertemuan tahunan APEC
bertujuan menghadirkan manfaat bagi semua kawasan sesuai prioritas. Negara
penyelenggara pertemuan APEC harus memastikan prioritas-prioritas yang
diharapkan mampu menghadirkan manfaat bagi semua anggota APEC. Semua
anggota APEC secara bergiliran menjadi penyelenggara pertemuan APEC,

18 Sjahrir. 1995. Catatan Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Adhiprint Indonesia, hal : 80

28
sehingga masing-masing anggota akan dapat memainkan peran pentingnya dalam
mengatur prioritas-prioritas tahunan.19
Peran lain APEC bagi Indonesia adalah sebagai komunitas bisnis
pengembangan kebijakan seperti pengembangan kapasitas melalui pemanfaatan
proyek-proyek, forum bertukar pengalaman, forum yang memungkinkan
Indonesia untuk memproyeksikan kepentingan-kepentingannya dan
mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas
dan terbuka.20
8. OPEC
OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) adalah
organisasi/himpunan negara-negara pengekspor minyak bumi yang beranggotakan
negara-negara penghasil minyak bumi. OPEC merupakan organisasi permanen
antar pemerintah yang didirikan melaui Konferensi Baghdad pada tanggal 10-14
September 1960 oleh lima negara pemilik sumber minyak raksasa, yaitu Iran,
Irak, Kuwait, Arab Saudi dan Venezuela.
Setahun kemudian mulai muncul negara-negara lain yang ingin bergabung
dengan OPEC. Mereka ada 9 negara. Pertama diawali Qatar yang bergabung pada
tahun 1961, kemudian disusul Indonesia pada tahun 1962 (namun Indonesia
ditangguhkan keanggotaannya sejak januari 2009 hingga sekarang), Libya 1962,
Uni Emirat Arab 1967, Aljazair 1969, Nigeria 1971, Ekuador 1973 (Ekuador
ditangguhkan keanggotaannya dari desember 1992 sampai oktober 2007), Angola
2007, dan Gabon 1975-1994.
Tujuan OPEC adalah untuk mengkoordinasikan dan menyatukan kebijakan
perminyakan di antara negara-negara anggotanya dan menjamin stabilisasi pasar
perminyakan dalam rangka mengamankan pasokan yang efisien, ekonomis dan
pasokan minyak yang teratur kepada konsumen, penghasilan tetap kepada
produsen dan pengembalian modal yang adil bagi mereka yang berinvestasi dalam
industri perminyakan.

19 Hasyim Djalal. 1997. Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990. Jakarta: CSIS,
hal 80

20 Bandoro, hal :190

29
Pada lima tahun pertama keberadaannya, OPEC memiliki kantor pusat di
Jenewa, Swiss. Kemudian pada tanggal 11 september 1965 dipindahkan ke Wina,
Austria hingga sekarang. OPEC memiliki peranan penting dalam menjaga
stabilitas ekonomi dunia sejak didirikan pada tahun 1960 hingga sekarang.
Indonesia sangat berkepentingan dengan organisasi ini sebab minyak dan
gas merupakan sumber devisa terpenting untuk membiayai kelangsungan hidup
negara.Dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak ini, Indonesia pernah
menempatkan dua tokoh yang berhasil menjadi Presiden OPEC, yaitu Prof. Dr.
Soebroto (1985-1987) dan Ida Bagus Sudjana pada tahun 1997.
Indonesia keluar dari OPEC pada Mei 2008, dikarenakan mulai tahun 2003
Indonesia telah menjadi importir minyak dan tidak mampu memenuhi Quota yang
telah di tetapkan oleh OPEC.21
C. Indonesia dan Kerjasama Keamanan Regional
Deklarasi Bangkok 1967 menetapkan bahwa bidang ekonomi dan sosial
budaya merupakan bidang-bidang penting ASEAN. Deklarasi Bangkok ini tidak
secara eksplisit menyebut kerjasama politik dan keamanan. sejak awal berdirinya
ASEAN, kerjasama politik dan keamanan mendapat perhatian dan dinilai penting.
Kerjasama politik dan keamanan diarahkan untuk mengembangkan penyelesaian
secara damai sengketa-sengketa regional yang terjadi,menciptakan dan
memelihara kawasan yang damai dan stabil, serta mengupayakan koordinasi sikap
politik dalam menghadapi berbagai masalah politik regional dan global. Deklarasi
Bangkok mengandung keinginan politik para pendiri ASEAN untuk hidup
berdampingan secara damai dan mengadakan kerjasama regional.
kerjasama politik dan keamanan ASEAN ini mempunyai arah dalam
menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan yang bertumpu pada dinamika
dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sekaligus dapat membangun
rasa saling percaya (confidence building) menuju suatu masyarakat kepentingan
keamanan bersama di Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang kemudian sehingga
menumbuhkan pengharapan terciptanya sebuah lingkungan strategis yang
diharapkan.

21 Bandoro , hal 220

30
Dengan berakhirnya perang dingin,menciptakan kesulitan-kesulitan baru
dalam menghadapi kekuatan dan ancaman luar yang semakin sulit ditebak karena
terjadi perubahan sistem internasional menjadi multipolar. ASEAN sebagai
organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan dan ancaman
terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap segala keadaan
yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari kawasan yang
lebuh luas, seperti Asia Pasifik.
besarnya potensi konflik yang ada di kawasan Asia Tenggara seperti konflik
laut cina selatan, yang dimana memeberi pengaruh stabilitas kawasan Asia
Tenggara, membuat ASEAN untuk berfikir untuk menjaga segala gangguan
keamanan yang datang.,termsuk konflik atau permasalahan-permasalahan yang
ada di kawasan Asia Tenggara . Penyelesaian ini dapat dilakukan melalui dua
pendekatan yaitu, mengurangi kemungkinan munculnya konflik diantara negara-
negara tetangga dan memaksimalkan proses pembangunan ekonomi untuk
menunjang peningkatan ketahanan Regional secara kolektif.
ASEAN mulai menghadapi tantangan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kawasannya terutama dalam sengketa antar negara kawasan laut
Cina Selatan.Adanya konflik ini akan membawa dampak yang besar tidak
terhadap kerjasama ekonomi ASEAN yang selama ini telah membawa hasil yang
maksimal, tetapi juga terhadap kelangsungan ASEAN sebagai organisasi regional
yang memayungi kepentingan nasional masing-masing anggotanya. Oleh karena
itu, hal yang paling penting dari eksistensi ASEAN adalah pembentukkannya dan
pencapaian tujuannya,ada komitmen politik dan keamanan regional. Sejak
ASEAN didirikan ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan
landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik. Keempat keputusan
organisasional tersebut yaitu:
a. Deklarasi Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral
(ZOPFAN).
ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) merupakan sikap
ASEAN yang sesungguhnya tidak mau menerima keterlibatan yang terlalu jauh
dari negara-negara besar wilayah Asia Tenggara. ASEAN mengusahakan

31
pengakuan dan penghormatan Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas dan netral
oleh kekuatan luar seraya memperluas kerjasama antar negara se-kawan sebagai
persyarat bagi memperkuat kesetiakawanan dan keakraban semua negara yang ada
di kawasan. ZOPFAN yang dirumuskan April 1972 sebenarnya memberikan
kontribusi besar bagi kehidupan regional di Asia Tenggara.
b. Traktat Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan
oleh KTT ASEAN I 1976.
Sementara untuk menunjang ZOPFAN dan dalam upaya mencairkan
kebekuan hubungan bilateral karena adanya perbedaan-perbedaan mulai terlihat
saat dikeluarkannya dekalrasi perjanjian persahabatan dan kerjasama (Treaty of
Amity and Cooperation-TAC). Perjanjian ini ditandatangani pada KTT I ASEAN
di Bali tahun 1976. Inti perjanjiannya adalah bagaimana menggunakan cara-cara
damai dalam menyelesaikan persengketaan intra ASEAN. Perjanjian ini
merupakan prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi negara-negara ASEAN
dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam hubungan bilateral anggota
ASEAN. Didalam perkembangannya TAC telah dijabarkan dan diperluas
perannya untuk dapat ikut mencari penyelesaikan sengketa secara damai atau
paling tidak dapat berfungsi sebagai pencegah konflik sebagaimana dipertegas
dalam perjanjian TAC bab IV, mengenai prinsip-prinsip penyelesaian secara
damai (the pasific settlement of disputes).
Berkaitan dengan potensi Konflik Laut Cina Selatan, maka prinsip-prinsip TAC
dapat diberlakukan dalam pengelolahannya. Hal ini berdasarkan Deklarasi
Prinsip-prinsip Laut Cina Selatan, yang mendesak semua pihak guna
memerapkan prinsip-prinsip yang termaktub dalam TAC sebagai dasar untuk
merumuskan code of international conduct di Laut Cina Selatan. Sedangkan SEA-
NWFZ merupakan langkah kedua setelah TAC dalam perwujudan ZOPFAN.
c. Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di
bangkok tahun 1994.
ASEAN Regional Forum (ARF) adalah forum dialog resmi antarpemerintah
dan merupakan bagian dari upaya membangun saling percaya di kalangan negara-
negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah keamanan regional

32
secara lebih langsung dan terbuka. Salah satu tujuannya adalah menciptakan
lingkungan keamanan yang lebih luas sehingga wilayah ASEAN dapat tumbuh
secara lebih kuat dan mandiri. ARF lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya
sistem bipolar di Asia pasifik. Implikasi tersebut mengharuskan negara-negara
Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan baru atas masalah-masalah
keamanan di kawasan. Dari sini kemudian muncul pemikiran tentang regionalisasi
masalah keamanan. Negara-negara ASEAN dan negara-negara besar di kawasan
mempunyai alasan yangrasional mengapa pendekatan baru diperlukan.
ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk
membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah
langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan
kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah satu bukti
keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan
kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral
tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya
penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa
perbatasan di kawasan Asia pasifik.
Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan
dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna
ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling
banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya,
forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu
keamanan regional di Laut Cina Selatan.
d. KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas Senjata
Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone
SEANWFZ).
Pada KTT IV di Singapura telah mengikrarkan bahwa SEA-NWFZ terus
diusahakan, mengingat adanya upaya beberapa negara besar yang ada di kawasan
maupun di luar kawasan tetap mengembangkan nuklirnya sebagai bukti
kapabilitas pertahanannya.

33
Baik konsep ZOPFAN, NWFZ maupun TAC pada prinsipnya adalah
zooning arrangement yang merupakan instrumen dasar konsep keamanan
ASEAN yang juga dapat bertindak sebagai instrumen pembangunan kepercayaan
di Asia Pasifik khususnya dalam mencegah Konflik di Laut Cina Selatan.
Selain konflik laut Cina Selatan, di Asia tenggara juga terdapat konflik-
konflik lain, diantaranya Sengketa Preah Vihear, yang melibatkan dua Negara
yaitu Thailand dan Kamboja. Thailand dan Kamboja adalah 2 negara anggota
ASEAN yang saling mengklaim kepemilikan tanah seluas 4,6 km di sekitar
Candi Preah Vihear. Tahun 1962, Pengadilan Internasional memutuskan candi
Hindu berusia lebih dari 900 tahun tersesbut menjadi milik Kambodja. Akan
tetapi, status tanah di sekitarnya belum jelas. Pintu masuk ke Candi Vihear yang
paling mudah diakses adalah melalui Provinsi Sisaket di Thailand. Jika hendak
masuk dari Kambodja, turis harus mendaki gunung dengan hutan belantara di
sekitarnya atau menyewa helikopter.
Ketegangan militer antara Kambodja dan Thailand itu berawal Juli 2008
ketika UNESCO menyetujui usulan Kambodja memasukkan Candi Preah Vihear
yang terletak di perbatasan Thailand-Kambodja sebagai salah satu situs warisan
dunia. Penetapan UNESCO itu menimbulkan aksi protes dari aktivis Thailand
mengingat sebagian besar wilayah di sekitar Candi Preah Vihear masih dalam
status sengketa. Kedua negara kemudian mengerahkan hingga 1.000 tentara ke
perbatasan, yang berhadapan selama enam pekan. Usul Sengketa Wilayah Candi
Preah Vihear Dibahas di KTT ASEAN, Phnom Penh, Kamboja mengajak
tetangganya, Thailand, untuk membawa sengketa perbatasan kedua negara terkait
wilayah Candi Preah Vihear dimasukkan ke Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15
ASEAN di Hua Hin, Thailand, 21-25 Oktober 2009.
e. Tidak Berfungsinya High Council atau Dewan Agung dalam Treaty of Amity and
Cooperation sebagai Badan yang bisa menyelesaikan konflik internal ASEAN.
Terbentuknya ASEAN bukan merupakan jaminan bahwa tidak akan terjadi
pertikaian wilayah di kalangan negara anggotanya. Dalam kenyataan masalah
perbatasan wilayah ini terus berlangsung hingga berakhirnya Perang Dingin.
Bahkan jauh sesudah Perang Dingin berakhir pertikaian wilayah masih terus

34
berlangsung dan membentuk salah satu karakter hubungan Internasional di Asia
Tenggara.22
Walaupun negara-negara ASEAN berhasil membangun suatu wilayah
keamanan di daerah mereka, masih banyak persoalan perbatasan dan klaim
wilayah antar mereka yang belum dapat diselesaikan. ASEAN hanya berhasil
meredam konflik-konflik antar negara anggota; ia belum berhasil
menyelesaikannya, kendatipun instrument untuk melakukan hal itu sudah diakui
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Instrument itu ialah Perjanjian Persahabatan dan
Kerjasama di Asia Tenggara yang mengandung Pacific Settlement of Disputes.
Sengketa antara Thailand dan Kambodja, sesama anggota ASEAN, yang
kian memanas seharusnya dilerai dengan memanfaatkan Traktat Persahabatan dan
Kerja Sama ASEAN, TAC. Traktat ini sudah dibuat tahun 1976, yang isinya
antara lain meminta sesama anggota saling menghargai dan menghindari
pertikaian. Sekjen ASEAN menegaskan, ASEAN selama ini sangat mengagung-
agungkan TAC dan bangga memiliki dokumen itu. Akan menjadi suatu keanehan
jika ASEAN sendiri tidak menggunakan TAC dalam menyelesaikan konflik antara
Thailand dan Kambodja, atau bahkan tidak melihatnya sebagai sebuah acuan.
Padahal semula Kamboja berupaya meminta bantuan ASEAN, tetapi
ASEAN malah mendorong ke 2 negara itu bisa menyelesaikan sendiri masalahnya
secara bilateral. Jika negara-negara anggota ASEAN sendiri tidak pernah
menghormati perjanjian yang telah disusun sendiri, bagaimana mungkin ASEAN
bisa berharap negara lain mau menghormati perjanjian TAC dan perluasannya
tersebut. Bahkan didalam ASEAN Charter, walaupun Treaty of Amity and
Cooperation dirujuk sebagai mekanisme penyelesaian sengketa internal negara
anggota ASEAN (Pasal 24 ayat 2), namun anehnya negara-negara anggota
ASEAN yang terlibat dalam sengketa juga bisa meminta bantuan Sekretaris
Jenderal ASEAN untuk menyediakan jasa baik, konsiliasi dan mediasi dalam
rangka menyelesaikan sengketa dengan batas waktu yang disepakati (Pasal 23
ayat 2). Hal ini bisa dilihat sebagai langkah mundur dari apa yang telah tertuang

22 Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap


Dinamika, Realitas, Dan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 200.

35
dalam Viantiane Action Programme (2004) yang lebih mempromosikan high
council dalam TAC untuk penyelesaian sengketa teritorial. Salah satu alasan
kenapa High Council tidak pernah digunakan oleh negara anggota ASEAN untuk
menyelesaikan konflik internalnya adalah karena hampir semua konflik teritorial
di kawasan Asia Tenggara selalu berhubungan dengan Malaysia sebagai pihak
yang bersengketa.
Memang sudah tiba waktunya bagi ASEAN untuk mengusahakan
penyelesaian konflik-konflik potensial itu di masa mendatang dengan
menggunakan Treaty of Amity and Cooperation. Bahwa pemanfaatan ini sampai
kini belum dilakukan untuk menyelesaikan masalah Sabah dan Ligitan-Sipadan,
misalnya, tidak berarti bahwa upaya itu tidak perlu diteruskan. Instrument ini
sudah diratifkasi semua anggota ASEAN dan perlu diusahakan untuk
menggunakannya dalam penyelesaian masalah-masalah territorial dan perbatasan.
Berlarut-larutnya usaha penyelesaian masalah yang sangat sensitif dan eksplosif
ini dapat mengganggu usaha Confidence Building Measure yang sudah berjalan
dengan baik sejak pembentukan ASEAN.23
Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity
and Cooperation): regionalisme Asia Tenggara tidak boleh mengganggu
kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian
nasional setiap bangsa; bahwa setiap negara harus dapat melangsungkan
kehidupan nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan dari
luar; bahwa tidak ada campur tangan mengenai urusan dalam negeri satu sama
lain; bahwa setiap perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan dengan
cara-cara damai; dan bahwa setiap pengancaman dengan kekerasan atau
penggunaan kekerasan tidaklah dapat diterima.
Batasan ini dengan tegas memberikan corak kepada bentuk regionalisme
yang diperjuangkan bangsa-bangsa di Asia Tenggara, yang diprakarsai oleh
Indonesia, Filipina, Thailand, Singapura dan Malaysia. Kadar regionalisme Asia
Tenggara hanya dapat meningkat apabila para anggota bersedia mengurangi

23 Luhulima, C.P.F., et all. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015,
Yogyakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI dan Pustaka Pelajar, hal. 47

36
kepekaan akan kedaulatannya itu demi suatu keuntungan yang lebih besar. Fungsi
Standing Committee ialah mengawasi dan melindungj kedaulatan masing-masing
negara anggota sesuai dengan tingkat kerelaan untuk mengurangi kedaulatan
nasional itu dalam rangka peningkatan regionalisme ASEAN.
Batasan-batasan itu sekaligus pula mendasari perdamaian ASEAN ke dalam
dan ke luar. Apabila terjadi persengketaan yang diperkirakan akan mengganggu
perdamaian dan keserasian regional, dan apabila pihak-pihak yang bersengketa
tidak dapat menyelesaikan persengketaan antara mereka sendiri, maka sesuai
dengan tata cara regional, mereka membentuk suatu Dewan Agung (High
Council), yang terdiri atas seorang wakil dari masing-masing negara setingkat
menteri untuk mencari cara-cara penyelesaian yang wajar. Cara-cara penyelesaian
itu memang banyak bersandar pada Pasal 33 (1) Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Ketentuan ini tentu saja hanya berlaku apabila pihak-pihak yang
bersengketa sepakat untuk memberlakukan instrument itu terhadap persengketaan
mereka.
Secara implisit Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara
(TAC), instrument penyelesaian perselisihan antarnegara anggota itu, menyatakan
adanya kesediaan untuk menghadapi pertentangan dan konflik yang mereka
kesampingkan dalam proses pembangunan ASEAN, adanya suatu komitmen pada
cara-cara penyelesaian konflik secara damai; dan kesadaran bahwa perwujudan
konsep regionalisme di Asia Tenggara tidak akan bergerak jauh apabila tidak
dicari jalan untuk menangani, dan, kalau mungkin, menghapus unsur-unsur yang
menghambat peningkatan keakraban dan saling pengertian antarnegara anggota.24
Treaty of Amity and Cooperation sebenarnya mengandung makna yang
sangat idealis untuk mengatur negara-negara yang menjadi anggota ASEAN.
Paling tidak keidealan tersebut terlihat pada pasal 2 ayat b, c, dan d. Pada ayat c
disebutkan bahwa menjadi hak setiap negara untuk menjalankan eksistensinya
bebas dari pengaruh-pengaruh eksternal. Ayat c menyebutkan bahwa tidak
dibenarkan setiap negara anggota untuk melakukan campur tangan terhadap

24 Ibid , hal. 304-305

37
urusan dalam negeri negara lain. Kemudian ayat d, menyebutkan bahwa setiap
perbedaan atau persengketaan yang muncul diantara negara anggota harus
diselesaikan dengan cara-cara yang damai.
Melanjuti dari ayat d, tersebut Bab IV dari TAC mengandung ketentuan-
ketentuan mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Menurut Pasal 14 TAC,
pihak-pihak yang ada dalam kesepakatan tersebut akan membentuk suatu High
Council atau Dewan Agung sebagai suatu badan berlanjut yang terdiri dari
seorang wakil tingkat menteri dari setiap anggota. Sedangkan Pasal 17
menyebutkan juga penyelesaian sengketa secara damai, dengan menunjuk kepada
ketentuan yang ada dalam Piagam PBB. Ditentukan bahwa tidak suatu hal pun
dalam perjanjian ini akan mencegah penggunaan cara-cara penyelesaian sengketa
secara damai sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB.
Dengan melihat ketentuan-ketentuan seperti yang dipaparkan di atas, dalam
perjalanan waktu kemudian, ASEAN sebenarnya tidak berhasil dalam
menjalankan misi yang ada dalam Treaty of Amity and Cooperation. Setelah
kerjasama politik yang merupakan penyimpangan dari Deklarasi Bangkok,
beberapa peristiwa yang terjadi pada ASEAN terlihat kemudian menyimpang
terhadap apa yang tertuang dalam Treaty of Amity and Cooperation.25
D. Normalisasi Hubungan RRC-Indonesia
Hubungan diplomatik antara RRC dan Indonesia mengalami hubungan
pasang surut. Hal ini terhitung sejak indonesia merdeka. Pada awal kemerdekaan
Indonesia hubungan kedua negara ini tidakbisa dibilang serius, hal ini disebabkan
oleh faktor kesibukakan kedua negara dalam menuntaskan revolusinya yang
belum selesai. Di RRC perseteruan terus politik terus bergulir dalam bentuk
perang saudara sehingga RRC memusatkan konsentrasinya untuk permasalahan
dalam negeri. Pada masa yang bersamaan, Indonesia yang baru merdeka juga
sibuk membenahi diri dari segala macam usaha untuk meruntuhkan republik muda
tersebut. Hal ini menyebabkan Indonesia tidak banyak mengadakan kontak secara

25 GPB Suka Arjawa, Beberapa Penyimpangan ASEAN Setelah Berusia 36 Tahun, Majalah
Ilmu Hukum Kertha Patrika No.1/Vol.29 (2004), hal.43-44.

38
ekonomi dan sosial dengan negara-negara lain, melainkan hanya konttak politik
yang intinya mencari dukungan atau kemerdekaan negerinya.
Maka, setelah masa revolusi kedua negara segera menjalin hubungan
diplomatik. Hubungan dekat kedua negara semakin terlihat sejak masa awal 1950-
an. Hubungan diplomatik Indonesia-Cina secara resmi dimulai semenjak tahun
1950. Hubungan awal ini belum berjalan baik sebab kedua negara masih dalam
tahap perkembangan. Cina, seiring berjalannya waktu berkembang dan maju
lebih pesat daripada Indonesia dilihat dari meningkatnya ekonomi Cina dalam
segi industri. Pada tahun kedua setelah RRC didirikan oleh Partai Komunis Cina
(PKC) pada tahun 1949, Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang mengakui
berdirinya Cina baru di bawah pemerintahan komunis dan hubungan ini semakin
erat menjelang meletusnya peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Hubungan erat ini
dapat terlihat dari dibentuknya poros Jakarta-Pnom Penh- Hanoi-Peking. Selain
itu juga terlihat dari terbentuknya Ganefo dan Oldefo yang merupakan
perkumpulan negara-negara yang sangat menentang kapitalisme dan
imperialisme. Pembentukan organisasi ini lebih menguntukan pihak komunis.
Bahkan, Soekarno yang pada masa itu menjadi presiden secara terang-terangan
mencaci Amerika dan sekutunya dalam setiap kesempatan pidatonya. Hal ini
mengundang tanggapan negatif dari negara barat, terutama Amerika. Amerika
melihat Indonesia telah dilencengkan oleh komunis, sehingga berbagai usaha
dilakukan untuk mengembalikan Indonesia sesuai dengan politik luar negerinya
(Bebas Aktif). Salah satu langkah Amerika yaitu, membantu PRRI/PERMESTA.
Amerika menganggap PRRI/PERMESTA mampu menghancurkan kesombongan
Soekarno dan menghancurkan kekuatan komunis. 26
Setelah peristwa G 30 S/PKI hubungan politik Indonesia dan RRC menjadi
goyah. Akibatnya, seiring dengan pernyataan bahwa PKI adalah partai terlarang di
Indonesia maka hubungan diplomatik antara RRC dan Indonesia pun terputus.
Penghentian hubungan atau pembekuan ini mulai terjadi pada 30 November
1967. Dimulai dari pernyataan Adam Malik yaitu Cina telah ikut campur dalam

26 Bustamam. 2011. Sejarah Asia Timur. UNP Press. Hal, 110.

39
masalah domestik Indonesia dengan mendukung upaya kudeta PKI dan Cina di
duga memberi latihan kepada ratusan orang Indonesia yang tinggal di Cina untuk
melakukan sabotase militer dan ekonomi di Indonesia (Sukma,1994:54). Dengan
adanya pandangan buruk terhadap masing-masing negara maka kedua negara
saling menarik mundur perwakilan diplomatik mereka.
Hubungan keduanya mulai drencanakan terjadi normalisasi dimana dalam
normaliasi itu terdapat 2 periode yang pertama ialah di tahun 1970-1977.
Normalisasi yang dilakukan selain dipengaruhi dari keadaan domestik dalam
negeri Indonesia juga dipengaruhi hubungan Cina dengan Asia Tenggara.
Hubungan itu terlihat pada saat Vietnam mengintervensi Kamboja. Cina
mengeluarkan kebijakan yakni (1) mencegah kekuatan Komunis di Asia tenggara,
hal itu sama dengan keinginan dari Politik Luar Negeri Indonesia, (2) Cina
mengambil tindakan terhadap Vietnam dengan menyerang tetangganya karena
takut di intervensi oleh Vietnam dan (3) Cina aktif dalam berhubungan dengan
Indonesia serta mendukung ASEAN yang juga menginginkan pasukan Vietnam
mundur dari Kamboja. Meskipun demikian hubungan Cina dan Indonesia masih
mengalami kerenggangan.
1. Proses perbaikan hubungan antara Indonesia dengan RRC (1970-1977)
Awal dari proses perbaikan hubungan adalah ketika Menteri Luar Negeri
Indonesia Adam Malik dengan Menteri Luar Negeri Cina Ji Pengfei menjalin
pertemuan di Paris mengenai Vietnam pada tahun 1973 walaupun hanya
pertemuan tak resmi, pertemuan tersebut menjadikan cikal bakal proses perbaikan
antara kedua negara. Sebenarnya, RRC telah menunjukan tanda-tanda ingin
memperbaiki hubungan dengan menunjukan sikap-sikap RRC mendukung
Indonesia dalam kasus Selat Malaka dan lain-lain. Namun, dalam satu sisi
Indonesia hanya menjadikan itu semua sebagai proses awal sebagai tahap saling
mengenal terlebih dahulu mengingat situasi yang lumayan panjang sejak 6 tahun
dibekukannya hubungan kedua negara tersebut.
Alasan mengapa Indonesia pada tahun 1973 belum membuka hubungan
kembali dengan RRC adalah karena masih belum percayanya Indonesia dengan
RRC, Indonesia masih dulu menunggu sikap yang dikeluarkan negara ASEAN

40
dengan RRC sendiri. Indonesia juga pada akhirnya pada tahun 1970-an masih
terus tidak untuk menjalin hubungan dengan RRC, banyak prasyarat yang coba
dilontarkan, prasyarat nya adalah RRC harus mengakui pemerintahan Orde Baru,
menghormati integritas Indonesia, dan tidak mencampuri masalah-masalah dalam
negeri Indonesia.
Diawal masa pembekuan hubungan antara Indonesia dan RRC terlihat
sangat jelas RRC adalah negara yang mencoba memperbaiki hubungannya
kembali dengan Indonesia, banyak motif seperti nya yang melatarbelakangi hal
tersebut. Salah satu motifnya adalah RRC tetap akan berusaha meraih posisi
sebagai global power sebagai negara penguasa27. RRC paling peka terhadap
kawasan Laut China Selatan dan khususnya yang memisahkan Cina dan Taiwan
hingga sangat dibutuhkan menjalin hubungan dengan Indonesia, selain motif ini
motif lain adalah perihal peranakan Tionghoa di Indonesia, peranakan Tionghoa
yang banyak, hingga banyaknya pengusaha Cina yang bersemayam di Indonesia,
membuat RRC sadar benar bahwasanya hal tersebut bisa saling dimanfaatkan
demi menyukseskan kepentingan negaranya.
Menyambung perihal peranakan Tionghoa di Indonesia kala itu, pada tahun
1976 Adam Malik mencoba menegaskan bahwa proses terhambatnya hubungan
Indonesia dan RRC kembali normal bukan dikarenakan faktor dari luar melainkan
dari dalam, yaitu mengenai kaum minoritas di Indonesia yaitu peranakan
Tionghoa dan masalah keamanan negara Indonesia. Perihal keamanan, pemerintah
Indonesia pada saat itu sangat takut dengan adanya kemungkinan kembalinya
komunisme di Indonesia.28 Sejak peristiwa gerakan 30 September, para pimpinan
Indonesia dan khusunya militer dan golongan Islam menganggap komunisme
sebagai ancaman utama bagi Indonesia. Sebenarnya, masalah keamanan yang
dikatakan Adam Malik juga berkaitan dengan masalah kaum minoritas Tionghoa
di Indonesia, Adam Malik kala itu berpendapat bahwa masyarakat mayoritas

27

28 Bantarto Bandoro, et al., Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru, (Jakarta.
1994), hal. 60.

41
Indonesia masih memendam kecurigaan bahwa negara RRC masih mencoba
memanfaatkan peranakan Tionghoa untuk kepentingan nasionalnya, ketika itu
RRC masih dianggap memanfaatkan situasi peranakan Tionghoa di Indonesia
untuk keuntungan kepentingan nasionalnya, melihat ke masa lalu banyak
peranakan Tionghoa digunakan untuk melakukan kegiatan politik negara RRC.
Kala itu, RRC masih dianggap bisa menggunakan kaum minoritas Tionghoa untuk
masuk melakukan gerakan menjatuhkan kekuasaan Orde Baru.
Pada tahun 1977, desas-desus normalisasi hubungan Indonesia dengan RRC
kembali mencuat ketika datangnya Perdana Menteri Papua Nugini ke Indonesia
dalam kesempatan tersebut PM Papua Nugini dikabarkan membawa pesan khusus
dari ketua Partai Komunis Cina, pesan itu intinya menjelaskan bahwa posisi RRC
terbuka untuk menjalin hubungan baik kembali dengan Indonesia, namun apa
yang ada dipikiran pihak Indonesia kala itu tidak merespon pesan tersebut.
Intinya, dari Indonesia masih menjadikan isu keamanan dan kaum minoritas
Tionghoa di Indonesia menjadi masalah utama yang harus diselesaikan sebelum
terjadi perbaikan hubungan dengan pihak RRC. Kaum militer dan kaum Islam
juga menganjurkan agar Indonesia jangan terlalu terburu-buru untuk membuka
kembali kerjasama dengan RRC secara formal. Pada bulan Oktober 1977 Adam
Malik membantah berbagai spekulasi tentang adanya perbaikan hubungan dengan
RRC, dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri RRC Huang Hua di New
York Adam Malik meminta RRC untuk bersabar.29

2. Proses perbaikan hubungan antara Indonesia dengan RRC (1977-


1990)
Sesudah periode tahun 1970-an mengenai proses perbaikan hubungan antara
Indonesia dan RRC. Masalah keamanan dan kaum keturunan Tionghoa menjadi
persoalan yang belum terselesaikan. Dalam periode berikutnya, bidang ekonomi
jadi fokus utama kedua negara tersebut demi terjadinya proses perbaikan
hubungan. Periode awal terlihat ketika pada bulan November 1977 sebuah

29 Ibid., hal. 62.

42
delegasi Kamar Dagang dan Indutri (KADIN) Indonesia bertolak ke RRC untuk
mengunjungi Canton Fair.30 Hubungan perdagangan langsung dengan RRC adalah
fokus utama mengapa harus mengambil langkah nyata normalisasi dengan RRC,
sepertinya KADIN pada saat itu sangat serius untuk membuka hubungan dagang
dengan RRC. Banyak yang diuntungkan jika terjadi hubungan dagang diantara
kedua negara ini, seperti Indonesia bisa megirimkan bahan-bahan mentah nya ke
RRC dan Indonesia bisa mendapatkan mesi-mesin untuk kepentingan industrinya.
Namun, suara dari KADIN pada saat itu kurang mendapat perhatian dari
pemerintah Indonesia kala itu, mengingat kepentingan politik Indonesia masih
menjadi acuan utama dalam kebijakan perdagangan sekali pun.
Jika melihat ini semua ini ada hal yang menarik ketika sebenarnya
hubungan antara Indonesia dan RRC adalah perihal penanaman modal asing yang
merupakan kebijakan pada masa Orde Baru. Pada masa Orde baru, Presiden
Soeharto memberikan penegasan tentang terjaminnya keuntungan ekonomis dan
mantapnya keamanan sebagai peluang menarik bagi modal asing untuk
mnegoperasikan modalnya di negeri Indonesia.31 Terjadi hal paradoks ketika
normalisasi hubungan dengan RRC selalu terhambat perihal masalah idiologi
komunis, pemerintah Orde Baru justru banyak memanfaatkan penguasa Cina
untuk menjayakan kepentingannya. Penguasa Cina pada saat itu diberi akses
penguasaan pasar dan memperoleh secara murah atas sumber-sumber bahan
mentah.32 Mungkin pada akhirnya bidang ekonomi lah yang menjadikan Indonesia
lebih membuka diri terhadap RRC ketika perihal permasalahan politik tidak
kunjung selesai. Namun, secara formal terjadi paradoksasi kebijakan ketika itu
Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bahwa
perihal peranakan Tionghoa di Indonesia harus diselesaikan terlebih dahulu.
Disini dapat dilihat secara kasat mata pemerintah Orde Baru masih

30 Bantarto Bandoro, et all., Loc. Cit., hal. 62.

31 Suryadi A. Radjab, Praktik Culas Gaya Orde Baru, (Jakarta. 1999), hal. 86.

32 Ibid., hal. 57

43
mempersoalkan peranakan Tionghoa di Indonesia padahal secara tersirat, sumber
lain mengatakan bahwa pada masa Orde Baru, para biraokrat politik Orde Baru
lebih menyukai menjalin hubungan dengan pengusaha peranakan Tionghoa
ketimbang pemodal pribumi demi kepntingan ekonomi dan bisnis. 33 Pada
dasarnya, Pemerintah Indonesia Orde Baru masih menaruh kecurigaan atas
peranakan Tionghoa yang bisa dimanfaatkan oleh RRC, yang bersumber pada
pidato Menteri Luar Negeri Huang Hua pada bulan Februari 1978. 34 Namun,
dilain sisi memanfaatkan peranakan Tionghoa tersebut untuk kepentingan
ekonomi Orde Baru.
Sebenarnya, hal yang membuat terhambatnya proses normalisasi antara
Indonesia dan RRC adalah masih ragunya pihak Indonesia terhadap RRC sendiri,
mengingat bahaya komunisme masih melekat ditubuh RRC. Dia akhir 1978,
Menteri Luar negeri Indonesia pada saat itu masih meragukan RRC secara
tergambar bahwa perihal keamanan dan pernakan Tionghoa masih jadi fokus
Indonesia. RRC selalu bisa memanfaatkan keturunan Tionghoa sebagai alat
politiknya dan RRC bisa dikhawatirkan bisa membantu pembrontakan komunis
terjadi lagi di Indonesia.
Tahun 1980 terjadi perubahan besar di negara RRC sendiri, Deng Xiao
Ping berhasil mengakihiri kekuasaan Ketua PKC (Partai Komunis Cina) Hua
Guofeng. RRC dibawah pimpinan Deng Xiao Ping menganut sejumlah kebijakan
yang dikenal dengan empat modernisasi, yang meliputi bidang-bidang pertanian,
industri, ilmu pengetahuan, dan teknolgi serta pertanian. Jadi, pemerintah RRC
telah mengambil keputusan mengenai liberalisasi terbatas di bidang ekonomi
dan hubungan dengan negara-negara industri.35 Pada intinya, Cina melakukan

33 Ibid

34 Bantarto Bandoro. 1994. Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Jakarta: CSIS,
hal. 64

35 Hasyim Djalal. 1997. Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990. Jakarta: CSIS,
hal. 83.

44
politik yang moderat kepada negara-negara lain demi terciptanya kedamaian
menuju Cina yang sosialis modern.
Situasi di RRC sendiri akhirnya mengubah banyak pandangan terhadap
negara tersebut pada tahun 1980-an. Permasalahan terhadap peranakan Tionghoa
terbukti ada solusi nyata diantara kedua negara untuk menyelesaikannya. Solusi
terbaik perihal peranakan Tionghoa adalah ketika Presiden Soeharto
mengeluarkan peraturan mengenai kewarganegaraan, RRC merespon hal tersebut
dengan mengeluarkan Undang-undang kewarganegaraan baru dan mengakhiri
sistem dwikewarganegaraan baru pada bulan Agustus 1980. Undang-undang ini
akhirnya menetapkan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di negara lain dan
telah menjadi warga negara itu dengan jalan naturalisasi atau telah memperoleh
kewarganegaraan asing atas kemauannya sendiri, akan kehilangan
kewarganegaraan Cinanya.36
Walaupun mengenai keputusan kewarganegaraan direspon baik oleh RRC
mengenai keturunan Tionghoa, masalah lain tidak begitu saja selesai. Bidang
ekonomi sebagai media perbaikan hubungan Indonesia dan RRC kembali
mencuat. Dalam kesempatan tertentu Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar
mengatakan bahwa Indonesia dan RRC harus melakukan sebuah langkah kongkret
untuk membuka hubungan dagang langsung dengan RRC kala itu. Dapat dilihat
dalam berbagai kesempatan sejak tahun 1981 telah tejadi kegiatan ekspor dan
impor antara Indonesia dan RRC walaupun tidak dalam catatan resmi kedua
negara.37
Di awal tahun 1983, Mengingat keseriusan yang cukup terasa di pihak
Departemen Perdagangan untuk berusaha sekeras-kerasnya melampaui sasaran
ekspor nonmigas dalam APBN 1983/1984 sejumlah 4,2 miliar dolar.38 Kondisi

36 Bantarto Bandoro, hal. 66.

37 Ibid 67

38 Sjahrir. 1995. Catatan Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Adhiprint Indonesia, hal. 16

45
perekonomian kala itu menjadikan ekspor nonmigas menjadi acuan utama
mengingat jatuhnya harga minyak dunia. Harga minyak dunia yang tak menentu
mejadikan ekspor non migas menjadi target utama perdagangan, hingga
menjadikan pengusaha di Indonesia menjadikan RRC sebagai target pasar mereka.
Pada akhirnya Menteri Luar Negeri Indonesia kali itu menyebutkan bahwa
keinginan yang besar oleh pengusaha Indonesia membuka diri mereka kepada
RRC menjadikan pemerintah Indonesia menentukan sikap bahwa pasar RRC
merupakan hal potensial untuk dimasuki pengusaha Indonesia.
Pada tahun 1984, terjadi hal yang baru dalam perkembangan proses
perbaikan hubungan kedua negara yaitu ketika Indonesia Commodities Centre dan
RRC melakakuan penandatangan kontrak di Canton. Walaupun kontrak tersebut
hanya sebatas dengan pengusaha Indonesia, hal tersebut menjadi cikal bakal yang
menjadikan Indonesia membuka hubungan dagang dengan RRC secara langsung
sebelum melakukan perbaikan hubungan secara politik. Pengaruh kerjasama
pengusaha Indonesia dengan RRC kala itu akhirnya mendapatkan tanggapan
serius dengan terbukti pada tanggal 5 Juli 1985 di Singapura, Indonesia dan RRC
sepakat mengdakan MoU mengenai hubungan dagang langsung diantara kedua
negara.
Sebenarnya kegiatan perdagan menjadikan perlunya adanya kerjasama
antara kedua negara bukan hanya situasi di Indonesia yang mengharuskan
kegiatan kerjasama, situasi di RRC sendiri menjadikan kerjasama perdagangan
harus dilakukan. Perekonomian RRC pada saat itu mendapat masalah seperti
kekurangan devisa, budget defisit, kurang modal dalam mendorong investasi baru
dan tingkat inflasi yang cukup tinggi.39 Untuk menyehatkan ekonomi RRC
tersebut akhirnya melakukan kerjasama dengan Indonesia karena Indonesia dinilai
dapat membantu menyehatkan ekonomi RRC kala itu baik dalam impor dan
ekspor nya.
Kepentingan bisnis menjadikan proses normalisasi hubungan antara
Indonesia dan RRC sudah didepan mata ketika itu, namun masih ada yang

39 Hasyim Djalal, hal. 89.

46
menganjal Indonesia mengenai gerakan komunis. Pada tahun 1984 Menteri Luar
Negeri Indonesia Mochtar menyatakan bahwa Indonesia mempunyai prasyarat
bahwasanya RRC tidak boleh mendukung dan membantu kegiatan partai-partai
komunis di Indonesia.40 Dalam kaitan ini akhirnya pemerintah Indonesia
menentukan sikap bahwasanya hubungan perdagangan yang telah terjalin dengan
RRC sejak tahun 1980-an tidak boleh berkaitan dengan politik. Bidang ekonomi
dan politik harus dipisahkan dalam hubungan kedua negara. Jadi dalam
perkembangannya, proses normalisasi hubungan secara diplomatik belum
terlaksana ketika masih adanya sikap RRC yang masih megantung mengenai
gerakan komunis di Indonesia.

40 Bantarto Bandoro, hal . 72.

47
Bab III
Kesimpulan
Banyak perubahan arah yang dilakukan Soeharto terkait politik luar negeri
Indonesia terutama melalui sisi pendekatan yang dipilih. Sejumlah kebijakan yang
konfrontatif yang dulu banyak diambil pada era Orde Lama kemudian dialihkan
menjadi kebijakn yang cenderung bersahabat. Dimulai dengan penandatanganan
persetujuan normalisasi hubungan Indonesia Malaysia pada 11 Agustus 1966 di
Jakarta. Kemudian dilanjutkan dengan aktifnya kembali keanggotaan Indonesia di
PBB dan pemberian usulan tentang pembentukan sebuah hubungan persahabatan
di antara negara- negara di Asia Tenggara dalam sebuah forum kerjasama bernama
ASEAN. Meskipun pada awalnya terdapat keraguan dari beberapa negara seperti
Malaysia dan Filipina terhadap usulan Indonesia ini, namun pada akhirnya mereka
setuju sehingga dapat terbentuklah ASEAN seperti yang saat ini berdiri.
Soeharto banyak melakukan perbaikan hubungan luar negeri Indonesia
terutama dengan pihak Barat. Pemerintahan Orde Baru yang mendukung
pembangunan ekonomi menyadari kebutuhan akan bantuan dan dukungan dari
negara- negara Barat. Sehingga profil keras yang muncul pada rezim sebelumnya
diganti dengan profi yang lebih lunak dan bersahabat dengan negara-negara Barat.
Hasilnya, pemerintah Orde Baru mendapatkan dukungan dari berbagai negara
Barat yang lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi dalam negeri.
Pertengahan tahun 1980-an kemudian menjadi momen dimana Indonesia berhasil
menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dikawasan Asia Tenggara.
Bahkan Indonesia sempat disebut sebagai the next asian tiger dalam pembangunan
ekonomi akibat dominasinya di kawasan Asia Tenggara dan juga dalam kerjasama
ASEAN. Pendekatan low profile ini juga mengubah citra Indonesia menjadi

48
negara yang bersahabat dan dapat dipercaya. Tak pelak kemudian sejumlah
prestasi pernah diraih Indonesia berkaitan dengan politik luar negeri, antara lain
ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI), ketua Gerakan Non Blok dan
Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).

Namun di sisi lain, Indonesia justru membekukan hubungan dengan negara-


negara komunis terutama China berkaitan dengan peristiwa G 30 S PKI yang
kelam di akhir masa kepemimpinan Soekarno. Walaupun demikian pada tahun
1990, Indonesia membuka kembali hubungan dengan China karena alasan
ekonomi. Kebijakan ini diambil untuk meredam sentiment dalam negeri terhadap
komunis dan juga membuka hubungan baik dengan Barat. Hal ini berkaitan erat
dengan kepentingan nasional Indonesia pada saat itu, yaitu untuk menciptakan
stabilitas nasional dari segi ekonomi dan politik, kesejahteraan rakyat,
penyelesaian hutang- hutang luar negeri dan melakukan pembangunan nasional
yang sempat tertinggal pada rezim sebelumnya. Jika pada era Orde Baru politik
luar negeri lebih focus pada ranah global, maka pada era Orde Baru focus politik
luar negeri secara bertahap bergerak dari ranah regional kemudian ke ranah
global. Instrumen yang sering digunakan untuk memenuhi kepentingan nasional
ialah investasi swasta, diplomasi untuk bantuan dan dukungan asing, perdagangan
bebas, kekuatan militer dan daya tahan regional

49
Daftar Pustaka
Jack C. Plano dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung:
Abardin

Mochtar Masoed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.


Jakarta: LP3ES.

Bantarto Bandoro. 1995. Indonesia dan Negara-negara Besar Jakarta : Centre for
Strategic and International Studies

Sjahrir. 1995. Catatan Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Adhiprint Indonesia

Mawarti Joened, Poesponogoro. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta :


Balai Pustaka.

Sjahrir. 1995. Catatan Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Adhiprint Indonesia.

Cipto, Bambang. 2006. Hubungan Internasional Asia Tenggara. Yogyakarta.


Pustaka Pelajar.

Hasyim Djalal. 1997. Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990.
Jakarta: CSIS

Luhulima, CPF. dkk. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas


ASEAN 2015. Yogjakarta. Pustaka Pelajar.

Wuryandari, Ganewati. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran


Politik Domestik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Sumber Online:

http://www.polarhome.com/pipermail/nasional -m/2014-October/000341.html,
diakses pada 1 Mei 2017.

50
http://www.sinarhara pan.co.id/berita/0107/27/lua02.html, diakses pada 1 Mei
2017.

http://kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?
Name=MultilateralCooperation&IDP=5&P=Multilateral&l=id,diakses tanggal
1Mei 2017.

51

Anda mungkin juga menyukai