Anda di halaman 1dari 12

PERAN INDONESIA DALAM KONFLIK LAUT CHINA SELATAN

DAN PENGARUHNYATERHADAP POLITIK LUAR NEGERI


INDONESIA
Satrio Nugroho Pamungkas (L1A022082)
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial & Politik, Universitas Mataram

JL. Majapahit No.62, Gomong, Kec. Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, 83125

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu isu yang hingga sekarang menjadi isu utama di kawasan regional dan
global yang mana penyelesainnya membutuhkan waktu dan upaya yang cukup serius dari
negara-negara penuntut dan negara-negara ketiga. Tiongkok telah mengklaim hampir
menguasai seluruh wilayah atau sekitar 90 persen dari wilayah Laut China Selatan dan telah
sukses membangun beberapa fasilitas maliter dan bangunan lainnya di beberapa kepulauan
yang ada di sekitar Laut China Selatan. Isu Laut China Selatan ini apabila terus berlangsung
semakin lama, maka Tiongkok akan semakin kuat posisinya atas klaim terhadap Laut China
Selatan, sehingga berpotensi akan dapat merebut lebih jauh hak-hak negara-negara penuntut
atau bahkan menutup kebebasan untuk bernavigasi dan akses melintasi Laut China Selatan.
Terkait strategi kebebasan bernavigasi, Amerika Serikat telah mengerahkan segala usaha
serta upaya untuk mendukung kebijakannya di Laut China Selatan dan mengerahkan
kekuatan militernya untuk melawan rasa agresiv Tiongkok di Laut China Selatan. (Hutama,
2019)
Permasalahan pada Laut China Selatan berhubungan dengan masalah sengketa yang
cukup pelik. Sengketa tersevut menyangkut masalah territorial dan juga sengketa batas
wilayah maritim yang mana hingga sekarang, permasalahan tersebut belum menemukan titik
temu atau jalan keluarnya. Dalam konflik laut China selatan ini, selain permasalahan tentang
klaim-klaim yang saling tumpeng tindih antara negara-negara yang bersengketa, juga adanya
hubungan yang tidak harmonis antara China dan dua negara anggota ASEAN yaitu Filipina
dan Vietnam. Ketegangan yang terjadi terlihat memulai meningkat pada tahun 2014 tepatnya
pada bulan Mei. Meningkatnya ketegangan yang dapat dikatakan drastis tersebut terjadi
ketika kilang minyak Tiongkok His Yang Shi You 981 melakukan kegiatan pengeboman
minyak yang masih termasuk ke dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) serta landas kontinen
Vietnam.
Salah satu negara yang paling aktif melakukan protes terhadap klaim Tiongkok
mengenai kepemilikan atas semua wilayah Laut China Selatan tersebut ialah Filipina. Bahkan
Filipina telah beberapa kali memberikan laporan terkait berbagai pelanggaran yang dilakukan
oleh kapal-kapal China yang melewati daerah perairan yang disengketakan, bahkan kerap
juga terjadi insiden antara kapal patrol China dan kapal nelayan Filipina. Selain itu juga
China dituduh melakukan intimidasi terhadap kapal-kapal eksplor minyak Filipina. Berbagai
usaha
telah diupayakan untuk meredam dan penyelesaian isu ini, salah satu upayanya yaitu adanya
negosiasi bilateral antara Tiongkok dengan negara-negara penuntut. (Laksmi dkk, 2022)
Pada awal tahun 2011, Vietnam setidaknya telah melakukan empat kali pertemuan
bilateral dengan China untuk membahas terkait perbedaan kepentingan antar mereka
mengenai Laut China Selatan tersebut. Namun, pertemuan bilateral yang dilakukan kedua
negara tersebut seperti mengukir di atas air, disebabkan oleh China yang semakin
meningkatkan jumlah kegiatan penangkapan ikan di wilayah laut Vietnam. Insiden lain juga
seperti pemotongan kawat di tempat eksplorasi minyak Vietnam yang dilakukan oleh China
menyebabkan semakin mengeruhnya suasana yang kemudian membuat Vietnam melakukan
insiatif baru untuk selalu meningkatkan kapabilitas militernya di Laut China Selatan atau
Laut Tiongkok Selatan tersebut. (Sudira, 2014)
Dalam perebutan kepemilikan dari Laut China Selatan, negara-negara kawasan yang
terlibat umumnya menggunakan dasar historis juga geografis. China sebagai contohnya,
mengklaim wilayah yang menjadi rebutan beberapa negara tersebut atas dasar kepemilikan
bangsa China terhadap wilayah laut dan dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly sejak
2000 tahun lalu. China telah mengerahkan segala upaya untuk berusaha melindungi wilayah
Laut China Selatan yang diklaim sebagai wilayah kesatuan mereka tersebut.
Salah satu upaya yang dilakukan ialah mereka (China) mengklaim telah
mengeluarkan sebuah peta yang di dalamnya terdapat rincian mengenai kedaulatan China
atas laut China selatan pada tahun 1947, yang kemudia dikenal dengan istilah Nine Dashed
Line. Maksud dari nine dashed line tersebut adalah peta territorial yang meletakkan sembilan
garis putus-putus yang digunakan sebagai batas atau penanda pemisah imajiner yang
digunakan pemerintah China untuk melakukan klaim terhadap Sebagian besar atau 90 persen
dari wilayah Laut China Selatan. China sebagai aktor utama dalam sengketa wilayah perairan
Laut China Selatan tersebut mengklaim semua wilayah yang terletak di dalam garis putus-
putus tersebut merupakan termasuk ke dalam kedaulatan mereka. Klaim China tersebut tidak
hanya diperlihatkan dalam bentuk sikap politik saja, tetapi selain itu, China juga mewujudkan
dalam bentuk lain, di bidang militer contohnya, China kerap melakukan aksi patrol di
perairan tersebut yang tak jarang memancing terjadinya insiden dengan kapal dari negara-
negara lain seperti Filipina dan Vietnam. Pada bidang eksplorasi, China juga melokasikan
peralatan pengeboman pada beberapa titik di Laut China Selatan. (Laksmi dkk, 2022)
Dalam kasus ini, Indonsesia juga ikut terlibat di dalamnya, keterlibatan Indonesia
pada sengketa tersebut didasari pada salah satu kalimat yang terdapat pada pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kepentingan nasional untuk ikut serta memelihara
perdamaian dunia serta rasa sadar terhadap manfaat dari penyelesaian konflik yang ada,
upaya untuk mencegah dan menemukan serta meredam akan timbulnya penyebab konflik,
keyakinan akan kemampuan yang tersedia, juga pilihan yang dirasa benar terkait mekanisme
penyelesaian konflik. Meskipun secara langsung Indonesia tidak berhubungan dengan klaim
Tiongkok, tetapi Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kepentingan di kawasan Laut
China Selatan karena pada salah satu kawasan wilayah perairan dan pulau terluar Indonesia
termasuk Zona Ekonomi Eksklusif pulau Natuna adalah bagian yang tak terpisahkan dengan
satu kesatuan wilayah negara. Pulau natuna merupakan wilayah yang terdampak dari
sengketa Laut
China Selatan. Usaha pencegahan bisa dilakukan dengan peran diplomasi Indonesia. (Massie,
2020)

Masalah konflik Indonesia dengan China terkait dengan masalah Laut China Selatan
dan blok Natuna adalah konflik yang bersinggungan dengan geopolitik, masalah
kemaritiman, dan hukum internasional. Beberapa hal tersebut berdasar pada kebijakan
politik luar negeri yang dimiliki oleh Indonesia. Politik luar negeri yang selama ini diterapkan
pemerintah Indonesia ialah politik luar negeri bebas aktif yang berdasar pada filosofis dari
presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno atau kerap disapa Bung Karno. Pada masa
pemerintahan Joko Widodo, konsep filosofis trisakti mendapatkan pengakuan kembali
dengan beberapa kebaruan, teremasuk dalam ruang lingkup politik luar negeri. (Laksmi dkk,
2022)

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana peran Indonesia terhadap konflik Laut China Selatan dan pengaruhnya terhadap
politik luar negeri Indonesia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Konseptual


a. Konsep Politik Luar Negeri
Politik luar negeri adalah suatu kerangka kerja strategis yang digunakan oleh sebuah
negara untuk merumuskan dan melaksanakan rencana serta langkah-langkah yang diperlukan
dalam mengelola interaksi dan hubungannya dengan negara-negara lain di lingkungan
internasional. Hal ini melibatkan serangkaian kebijakan, sikap, dan tindakan yang diterapkan
oleh pemerintah suatu negara untuk mencapai tujuan nasional yang telah ditetapkan.
Kebijakan luar negeri ini tidak hanya berhenti pada tingkat perencanaan, tetapi juga
mencakup pelaksanaan nyata melalui berbagai instrumen, seperti diplomasi, perjanjian
internasional, sanksi ekonomi, kerjasama internasional, serta dalam beberapa kasus,
penggunaan kekuatan militer. Ini merupakan refleksi dari nilai-nilai, kepentingan, dan
aspirasi nasional yang menjadi panduan dalam menjalankan hubungan dengan aktor-aktor di
dunia internasional.
Kebijakan luar negeri suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal mencakup dinamika politik, ekonomi, dan sosial dalam negeri, serta
preferensi dan visi pemerintah yang berkuasa. Faktor eksternal mencakup kondisi
internasional, seperti perkembangan politik dan ekonomi global, hubungan dengan negara-
negara tetangga, dan isu-isu keamanan regional maupun global. Selain itu, kebijakan luar
negeri juga dapat berubah seiring dengan perubahan dalam kepemimpinan negara atau
perubahan dalam situasi internasional, membutuhkan adaptasi dan penyesuaian dalam strategi
yang digunakan.
Dalam menjalankan politik luar negeri, diplomasi memegang peran kunci. Negara-
negara berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan negara lain, menyelesaikan konflik
melalui perundingan, dan mempromosikan kepentingan mereka melalui dialog diplomatik.
Selain itu, negara-negara juga menggunakan berbagai alat lain seperti bantuan luar negeri,
perjanjian perdagangan, dan kebijakan lingkungan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Isu-isu global seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, migrasi, dan isu-isu
kemanusiaan juga menjadi bagian penting dari politik luar negeri, karena negara-negara
bekerja sama untuk mencari solusi terhadap tantangan-tantangan bersama ini.
Pentingnya politik luar negeri dalam menjaga stabilitas, keamanan, dan kepentingan
nasional suatu negara tidak dapat diabaikan. Kemampuan untuk mengelola hubungan dengan
negara lain dan beradaptasi dengan dinamika global menjadi kunci untuk mencapai tujuan
nasional yang berubah seiring waktu, dan untuk menjaga posisi dan reputasi suatu negara di
panggung internasional (Setiawan dan Sulastri, 2017).
b. Teori Pilihan Rasional
Menurut teori realisme dalam hubungan internasional, negara-negara dianggap
sebagai entitas tunggal yang bertindak seperti aktor-aktor individual. Artinya, ketika negara
membuat kebijakan luar negeri, mereka cenderung fokus pada kepentingan nasional mereka
sendiri. Ide ini menekankan bahwa negara akan berusaha untuk mencapai maksimal
keuntungan dan keamanan bagi negaranya.
Berdasarkan asumsi dasar realisme, proses pembuatan kebijakan luar negeri oleh
pemimpin dan pembuat kebijakan lainnya cenderung menghasilkan pilihan yang sama.
Mereka akan menggunakan pemikiran rasional dalam mengambil keputusan, dengan
mempertimbangkan manfaat dan kerugian yang mungkin terjadi. Dalam konteks ini,
pemilihan kebijakan akan berfokus pada apa yang dianggap paling menguntungkan bagi
negara mereka, sambil berusaha untuk meminimalkan potensi kerugian terhadap kepentingan
nasional.
Dalam analisis kebijakan luar negeri, terdapat pendekatan yang dikenal sebagai model
rasional atau teori Pilihan Rasional. Pendekatan ini memandang negara-negara sebagai entitas
yang berusaha untuk mencapai kepentingan nasional mereka dengan cara yang didasarkan
pada perhitungan rasional. Dalam hal ini, tindakan dan reaksi negara dalam urusan luar
negeri dianggap sebagai langkah-langkah yang dipilih dengan cermat untuk mencapai hasil
yang paling menguntungkan.
Meskipun model ini telah menjadi kerangka kerja yang kuat dalam menganalisis
hubungan internasional, ada juga pendekatan lain yang menekankan faktor-faktor yang lebih
kompleks. Beberapa pendekatan tersebut mencakup peran budaya, identitas, dan nilai-nilai
dalam memahami perilaku negara-negara dalam urusan luar negeri. Ini berarti bahwa tidak
selalu segalanya bisa dijelaskan dengan perhitungan rasional semata, karena faktor-faktor
non-ekonomi dan non-rasional juga dapat memainkan peran penting dalam kebijakan luar
negeri suatu negara (Perwita, 2017)
Analisis peran Indonesia dalam konflik Laut China Selatan dan pengaruhnya terhadap
politik luar negeri Indonesia dapat dilakukan dengan pendekatan berdasarkan model rasional.
Secara rasional, Indonesia memiliki kepentingan dalam konflik Laut China Selatan karena
wilayah perairan tersebut berbatasan langsung dengan perairan Indonesia, terutama di sekitar
Kepulauan Natuna. Indonesia berusaha untuk mempertahankan kedaulatannya atas wilayah
tersebut dan menjaga stabilitas di kawasan tersebut agar tidak merugikan kepentingan
ekonomi dan keamanan nasionalnya. Upaya rasional Indonesia termasuk diplomasi,
negosiasi, dan partisipasi dalam forum-forum multilateral seperti ASEAN untuk mencari
solusi damai dalam konflik tersebut (Ramdani, 2019)
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Konflik Laut China Selatan


Konflik Laut China Selatan adalah sebuah isu yang hingga kini masih belum
menemukan penyelesaian dalam ruang lingkup regional maupun global, serta dikhawatirkan
mengganggu stabilitas kawasan di waktu yang akan datang. Klaim sepihak yang dilakukan
China untuk memperluas wilayah perairannya sehingga dapat menjangkau wilayah laut
negara Filipina. Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam menjadi awal mula
terjadinya konflik ini. Konflik di laut China Selatan ini merupakan salah satu ancaman yang
berkemungkinan akan menimbulkan dampak negative yang besar, dengan adanya gangguan
stabilitas di kawasan Asia Tenggara. (Itasari dan Mangku, 2020)
Alasan Laut China Selatan diperebutkan oleh negara-negara yang terlibat konflik
tersebut ialah karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang strategis, dikelilingi oleh
sepuluh negara. Kaya akan sumber daya perikanan penyumbang 10 persen dari perikanan
global, juga merupakan wilayah yang menjadi sumber potensi migas yang begitu besar, 11
miliar barrel cadangan minyak dan 190 triliun kubik kaki kandungan gas alam. Di luar itu,
kapal-kapal ikan berbagai negara selalu menjadikan Natuna sebagai incaran karena terdapat
potensi perikanan 504 ribu ton atsu penyumbang 21 persen hasil tangkapan ikan Indonesia.
Menjadi jalur perdagangan lintas laut yang menjadi pengubung antara jalur perdagangan
Eropa, Amerika, dan Asis, membuat China bahkan Amrika Serikat sangat ingin untuk
menguasai kontrol atau pengaruh terhadap wilayah laut China selatan yang dikatakan sangat
strategis yang dapat memberikan manfaat ekonomis begitu besar bagi suatu negara.
(Arifianto, 2018)
Untuk memperkuat klaimnya, China menerbitkan sebuah peta yang peruntukkan
sebagai perinci kedaulatan China atas Laut China Selatan, peta tersebut dolenal dengan nine
dash line. Nine Dash Line merupakan peta territorial yang meletakkan Sembilan garis putus-
putus sebagai penanda atau batas pemisah imajiner yang digunakan pemerintah China untuk
mengklaim 90 persen dari wilayah perairan tersebut (Laksmi dkk, 2022). Salah satu masalah
yang timbul dari peta tersebut ialah garis yang terdapat di peta tersebut tidak kontinyu dan
tidak ada peta yang bisa menunjukkan seperti apa bentuknya apabila dibuat menyambung.
Sebab China tidak pernah memberi penjelasan terkait hal tersebut, maka tidak ada yang tahu
pasti arti serta tujuan sebenarnya dari dibuatnya garis tersebut dalam konteks strategi.
Beberapa ahli ada yang mengatakan bahwa nine dash line tersebut tidak dapat disahkan
sebagai perbatasan territorial karena tidak sesuai dengan hukum internasional yang
mengungkapkan bahwa perbatasan territorial harus stabil dan terjelaskan dengan baik. Garis
tersebut dikatakan tidak stabil karena dengan mudah bisa berubah dari sebelas menjadi
Sembilan garis tanpa alasan yang pasti dan tidak bisa didefinisikan dengan jelas karena tidak
terdapat koordinat geografis spesifik dan tidak menjelaskan bagaimana bentuknya apabila
semua garis tersebut dihubungkan. (Nugraha, 2011)
Wilayah Laut China Selatan mempunyai peran dan makna geopolitik yang cukup
besar karena menjadi penghubung Negara China dengan negara-negara tetangganya, terutama
negara-negara yang berada di wilayah ASEAN, juga meliputi masalah territorial, pertahanan
dan juga keamanan. Dengan dasar sejarah dan penemuan demi penemuan benda-bendaa kuno
oleh China kerap dijadikan sebagai alasan untuk dapat melakukan klaimnya atas kepemilikan
wilayah Laut China Selatan. Sejak awal era 1970-an, China telah menunjukkan simbol-
simbol kedaulatannya bahkan sering kali diwujudkan dengan cara yang agresif yang
sekaligus memperlihatkan dirinya sebagaai negara yang memiliki power lebih daripada
negara-negaraa pengklaim lainnya, seperti melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal
asing yang melintasi perairan Laut China Selatan yang dilakukan untuk mempertahankan
sumber-sumber potensial barunya yang dapat digunakan untuk mendukung kepentingan
nasionalnya.
Negara-negara Asia Tenggara yang notabene adalah “negara lemah” dipaksa untuk
berada dalam beberapa opsi. Peratama, bekerja sama dengan China agar tidak menjadi musuh
atau opsi kedua, dengan memperkuat diri dengan membentuk satu ikatan bersama dengan
tujuan berusaha menyeimbangkan China. Dengan hal tersebut, ASEAN masih terus
menghadapi isu Laut China Selatan sebagai jalur perairan utama dalam meyoritas kegiatan
laut, yang juga berada di antara negara-negara. (Itasari dan Mangku, 2020)
Sejak Tiongkok mengeluarkan peta klaimnya yang diberi nama nine dash line,
masalah batas negara sekarang menjadi cukup penting perbatasan suatu negara merupakan
perwujudan utama kedaulatan suatu negara, termasuk penentuan batas wilayah kedaulatan,
pemanfaatan sumber daya alam, juga keamanan dan keutuhan wilayah (Laksmi dkk, 2022).

3.2 Peran Indonesia terhadap konflik Laut China Selatan dan Pengaruhnya Terhadap
Politik Luar Negeri Indonesia
Dalam segi historis, penyelesaian sengketa Laut China Selatan, sebenarnya Indonesia
telah memulai sejak akhir tahun 1980-an. Ketika itu, Indonesia menggandeng promotor dari
Kanada melalui Canadian Intrnational Development Agency (CIDA) dan British Columbia
University dengan melakukan pengadaan lokakarya yang disebut the Workshop on Managing
Potential Conflict in the South China Sea. Diplomasi pertama diadakan pada tahun 1990
dengan vara menghadrirkan semua negara yang ikut melakukan pengakuan kepuluan Spratly,
termasuk Tiongkok. Untuk menghindari kecemasan pihak Tiongkok terhadap proses
persekutuan negara-negara anggota ASEAN, Indonesia mengatakan bahwa diplomasi atau
pertemuan tersebut bersifat informal. Pertemuan tersebut bersifat multilateral, diadakan satu
kali dalam setahun pada perkembangannya diikuti oleh semua negara anggotta ASEAN
dalam usaha memberi bantuan sara dan pandangan teknis terkait proses negosiasi (Laksmi
dkk, 2022)
Terkait klaim China terhadap wilayah Laut China Selatan, pada tahun 2010, Indonesia
secara resmi mengirimkan surat putusan kepada PBB supaya pihak China memberi
penjelasan tentang latar belakang, serta hukum apa yang mereka gunakan. Hingga kini China
masih belum memberikan respon atau jawaban secara resmi terhadap laporan tersebut.
Meskipun begitu, Indonesia tetap mengutamakan diplomasi sebagai upaya menyelesaikan
permasalahan antar ngara terutama masalah wilayah perbatasan. Sebagai bentuk
eksistensinya, Indonesia masih melakukan aktivitas eksplorasi minyak di laut Natuna.
Sebagai upayanya juga, dalam menjaga keamanan di wilayah perbatasan, Indonesia tetap
melakukan perundingan secara kontinyu dalam perundingan perbatasan (diplomacy borde)
dengan tujuan terdapat kejelasan garis perbatasan Indonesia dengan negara tetangga.
Dengan adanya aktivitas langsung dari Indonesia di wilayah-wilayah perbatasan akan
semakin memperkuat kedudukan Indonesia untuk mengakui daerah tersebut. Memanfaatkan
sumber daya alam di laut Natuna merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah
Indonesia. Eksistensi Indonesia di laut Natuna bisa berdampak pada kelangsungan ekonomi
nasional di masa yang akan datang serta terjaganya keutuhan wulayah dari gangguan dan
pengakuan negara-negara tetangga. Dikarenakan Indonesia merupakan negara yang netral
dan memiliki kebijakan politik luar negeri bebs aktif, Indonesia memahami kesulitan dari
konflik Laut China Selatan.
Indonesia memposisikan diri sebagai negara yang tidak temasuk ke dalam claimant
state dalam konflik Laut China Selatan sebab Indonesia menganggap bahwa jika Indonesia
dan China telah memiliki klaim yang tumpeng tindih kepada pulau-pulau, maka seharusnya
kedua negara tersebut tidak memiliki perselihan mengenai perairan, mengingat begitu
mendasarnya peran laut baik dari segi keamanan, ekonomi, maupun politik. Komponen
utama kepemimpinan wilayah kawasan ialah proses inisiasi. Menginisiasi kebijakan atau
strategi tertentu guna mencapai kepentingan regional merupakan kemampuan yang
diharapkan dimiliki pemimpin regional.
Landasan keterlibatan Indonesia dalam upaya pengelolaan sengketa Laut China
Selatan. Pertama, pembukaan Unndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesiaa Tahun
1945 (UUD 1945), lebih tepatnya pada Alinea ke-empat pembukaan UUD 1945 berbunyi,
“…ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial…” (UUD, 1945). Kedua dasar operasional keikut sertaan Indonesia
dalam upaya perdamaian dunia ialah pada arah Politik Luar Negeri Indonesia (PLNI) yang
menganut prinsip bebas-aktif. Indonesia menyatakan bahwa prinsip ‘bebas-aktif’ berdasarkan
kemandirian, kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan. Kemudian prinsip bebas-aktif tidak
bermakna netral. Indonesia memilih untuk membuat perdamaian dan ketertiban dunia dengan
mendukung kemandirian negara-negara berlandaskan pada kebebasan yang berdaulat seperti
kerja sama dan diplomasi.
Ketiga, putusan pada konvensi United Nation Cnvention on the Law of the Sea
(UNCLOS) yang mengatur penetapan 12 mil batas laut territorial, hak bebas lintas negara-
negara kepulauan yang mempunyai selat perairan dalam, fitur 24 dirilis sebagai zona
tambahan, fitur 200 mil keluar ZEE dan fitur 200 mil batas landas kontinental. Dalam
UNCLOS juga dijelaskam ketentuan umum dalam upaya penyelesaian sengketa yaitu dengan
menggunakan jalan damai sesuai dengan pesan Piagam PBB.
Keempat adalah DoC dan Code of Conduct (CoC). Ada sepuluh isi dari DoC. (a)
semua pihak yang ada menegaskan kembali komitmennya terkait tujuan dan prinsip piagam
PBB. (b) semua pihak memiliki komitmen untuk membangun kepercayaan sesuai dengan
norma yang telah disepakati atas dasar kesetaraan dan rasa saling hormat. (c) semua pihak
menegaskan kembali komitmen tentang kebebasan navigasi jalur laut dan udara sesuai
ketentuan UNCLOS. (d) semua pihak berkepentingan menuntaskan perselisihan territorial
dan yurisdiksi dengan cara damai. (e) semua piha harus menahan diri untuk tidak
mempersulit keadaan. (f) semua pihak perlu mengesampingkan sengketa dengan cara
meningkatkan upaya kerja sama. (g) semua pihak berkepentingan melakukan pembahasan
secara kontinyus dan dialog mengenai isu-isu yang relevan. (h) semua pihak akan
menghormati komitmen dan konsisten pada isi kesepakatan deklarasi. (i) semua pihak saling
mendukung negara lain untuk mentaati asas-asas yang terdapat dalam deklarasi. (j) pihak-
pihak berkepentingan menegaskan kembali bahwa penerapan kode etik dalam DoC
merupakan upaya yang mendorong perdamaian di wilayah Laut Cina Selatan.
Dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Indonesia dalam konflik tersebut ialah ikut
serta menciptakan sebuah keadaan damai di seluruh dunia sesuai dengan mandate landasan
yuridis tersebut. Indonesia lebih condong untuk mengupayakan jalan damai seperti kerja
sama dan diplomatic. Semua itu merupakan karakteristik Indonesia dan menjadi modalitas
Indonesia dalam menggelar pertemuan informal. Keterlibatan Indonesia pada konflik Laut
Cina Selatan merupakan inisiatif menciptakan kawasan LCS aman, stabil, dan damai. Kerja
sama yang diupayakan Indonesia merupakan Langkah preverentif munculnya konflik terbuka
di kawasan LCS. Indonesia menempatkan diri sebagai penengah bagi negara yang
bersengketa. Upaya indinesia tersebut dapat dikatakan cukup berhasil mewakili perannya
sebagai penengah adalah dengan menyelenggarakan pertemuan The Workshop on Managing
Potential Conflict in the South China Sea (SCS Workshop) secara rutin sejak tahun 1990.
(Haffsari dan Kurniawan, 2018)
Selain didasari oleh kepentingan nasional untuk turut serta dalam pemeliharaan
perdamaian perdamaian dunia, keterlibatan Indonesia dalam manajemen konflik LCS juga
didasari pada kesadaran Indonesia terhadap manfaat dari konflik tersebut. Jika dilihat dari
aspek manfaatnya, pencapaian sebuah resolusi konflik bagi persoalan LCS tidak hanya
bermanfaat secara ekonomi, tapi juga secara politik dan keamanan. Adanya potensi ekonomi
yang cukup besar seperti jalur pelayaran, kandungan alam seperti minyak, dan mineral serta
kekayaan ikan di kawasan LCS jika bisa dimanfaatkan serta dikelola akan sangat berharga
bagi setiap negara yang terlibat. Penyelesaian konflik akan memberi manfaat yang signifikan,
tidak hanya bagi masyarakat LCS tetapi juga bagi Indonesia. Terdapat dua hal yang menjadi
pertimbangan Indonesia dalam asas manfaat ini.
Pertama, Indonesia perlu terus mewaspadai situasi keamanan di LCS yang dijadikan
sengketa oleh beberapa negara. Konflik akan mempengaruhi secara ekonomi karena selain
letak Indonesia secara geografis cukup dekat dengan ZEE Indonesia, wilayah itu juga
menjadi salah satu jalur lintas ekonomi Internasional. Kedua, Indonesia merasa harus dan
segera menentukan jalan yang tepat untuk penyelesaian masalah LCS. Karena denga car aitu,
Indonesia dapat menunjukkan partisipasinya dalam menjaga perdamaian dunia yang dimulai
dengan menciptakan perdamaian dunia (Sudira, 2014).
Kepentingan ekonomi dan politik berimplikasi pula terhadap kepentingan pertahanan.
Kebijakan luar negeri Indonesia dari awal 1990-an selalu berupaya mencari solusi untuk
menengahi potensi konflik di perairan LCS. Masuknya isu sengketa LCS dalam agenda
ASEAN pada dasarnya merupakan hasil dari kebijakan luar negeri Indonesia ke lingkup
ASEAN. Kebijakan luar negeri Indonesia sejak masa ORBA hingga sekarang menetapkan
kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah paling vital dalam kebijakan luar negeri. Kawasan
Asia Tenggara yang stabil akan menguntungkan Indonesia dalam mengamankan kepentingan
nasionalnya, hingga dapat dikatakan bahwa stabilitas kawasan ini adalah bagian dari
kepentingan nasional Indonesia.
Stabilitas kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu isu pokok dalam kebijakan
luar negeri Indonesia, sebab stabilitas kawasan Asia Tenggara merupakan prasyarat bagi
pembangunan di Indonesia. Dengan berada pada kawasan yang stabil, Indonesia secara
internal dapat melakukan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Walaupun pemerintah
Indonesia menyadari konflik LCS bisa menimbulkan instabilitas keamanan dan berdampak
luas terhadap kepentingan nasional Indonesia, namun antisipasi yang dilakukan masih
terbatas pada upaya diplomasi semata.
Sejak 1993, Indonesia memberikan perhatian khusus kepada klaim Sembilan garis
putus-putus Cina di ZEE Indonesia dan laut Natuna. Hal ini mendorong Indonesia pada tahun
1996 menggelaar militer besar besaran di Laut Natuna. Akan tetapi, hingga saat ini, paska
pelatihan militer itu, kebijakan pertahanan Indonesia yang terkait dengan Laut China Selatan
belum tampak secara jelas. Belum tampak adanya penekanan atau perhatian secara khusus
terhadap sengketa di laut China Selatan. (Prabowo, 2013)
Jokowi Dodo selaku presiden ke-7 RI sering menjadikan ASEAN sebagai alat untuk
kepentingan politik, dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN
sehingga memiliki pengaruh yang cukuop besar di antara negara-negaara anggota lainnya.
Salah satu upaya ASEAN pada pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan permasalahan
LCS adalah pada KTT ASEAN ke-33 di singapura pada 13 november 2018. Dalam
pertemuan tersebut, negara-negara anggota ASEAN bersama dengan China membahas
sejumlah isu strategi bagi China dan kawasan Asia Tenggara, termasuk juga salah satunya
mengenai masalah LCS. Negara-negara anggota ASEAN menyepakati teks negosiasi tunggal
untul Laut China Selatan. Kesepakatan teks negosiasi tunggal tersebut berujuk bahwa negara-
negara anggota ASEAN memiliki pandangan yang cukup sama sehuingga akan menjadikan
proses negosiasi terhadap China tersebut berjalan dengan lebih mudah. (Wijaya, 2019)
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada konflik persengketaan Laut China Selatan oleh beberapa negara yang
berada pada kawasan tersebut merupakan konflik yang hingga kini belum menemukan sisi
terang yang menuju pada penyelesaian, konflik ini dikhawatirkan akan memicu ketidak
stabilan di beberapa wilayah Asia apabila terus menerus berlangsung semakin lama.
Tentunya beberapa negara telah melakukan upaya-upaya agar masalah ini tidak terlalu
memanas dan bisa diredam sedikit demi sedikit. Tidak terkecuali Indonesia, Indonesia cukup
berperan dalam konflik yang terjadi ini, beberapa upaya dilakukan Indonesia agar konflik
tersebut tidak semakin parah dan membesar. Didasari dengan kepentingan nasional negara
Indonesia yaitu melaksanakan perdamaian dan ketertiban dunia, maka Indonesia berupaya
untuk menjadi penangah dari konflik tersebut, didorong juga oleh politik luar negeri yang
bersifat bebas aktif. Di luar dai perannya dalam menyelesaikan konflik tersebut, Indonesia
telah memikirkan segalanya termasuk dari asas manfaar yang ada dibalik masalah tersebut.
dengan dilakukannya beberapa upaya oleh indonesia, baik yang dilakukan secara langsung
maupun melalui ASEAN. Hal itu dapat menambah eksistensi di mata dunia, selain itu,
wilayah Asia Tenggara yang stabil, sangat menguntungkan bagi Indonesia dalam bidang
ekonomi maupun politik, serta pertahanan, dan juga, apabila Indonesia berada di kawasan
yang aman dan stabil, maka hal itu akan berdampak baik untuk proses pembangunan
Indonesia. Oleh sebab itu Indonesia melakukan upaya-upaya agar konflik yang terjadi di LCS
dapat terselsaikan dengan melihat manfaat-manfaat yang ada dari segi politik luar negeri
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Arifianto, A. (2018). Politik Indonesia Dalam Konflik Laut Cina Selatan Blok Natuna.
Prosiding Konferensi Nasional Ke-7 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi
Muhammadiyah ‘Aisyiyah (APPPTMA).
Haffsari, P. P., & Kurniawan, Y. (2018). Peran Kepemimpinan Indonesia dalam Pengelolaan
Sengketa Laut Cina Selatan. Sospol: Jurnal Sosial Politik, 4(1), 55-77.
Hutama, MDP (2019). Intervensi Negara Ketiga dan Peran Indonesia Bersama ASEAN
dalam Penyelesaian Isu Laut Cina Selatan (LCS). Dinamika Global: Jurnal Ilmu
Hubungan Internasional , 4 (02), 329-346.
Itasari, E. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Elaborasi Urgensi Dan Konsekuensi Atas
Kebijakan Asean Dalam Memelihara Stabilitas Kawasan Di Laut Cina Selatan Secara
Kolektif. Harmony: Jurnal Pembelajaran IPS dan PKN, 5(2), 143-154.
Massie, S. M. (2020). Peran Diplomasi Indonesia Dalam Penyelesaian Sengketa di Kawasan
Laut China Selatan Pasca Putusan Permanent Court of Arbitration, 2016. LEX ET
SOCIETATIS, 8(2).
Perwita, A. B. (2017). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Prabowo, EE (2013). KEBIJAKAN DAN STRATEGI PERTAHANAN INDONESIA (Studi
Kasus Konfl ik Di Laut Cina Selatan). Jurnal Ketahanan Nasional , 19 (3), 118-129.
Setiawan, A., & Sulastri, E. (2017). Pengantar Studi Politik Luar Negeri.
Shintia Ramadani, S. T. (2019). Analisis Kebijakan Luar Negeri Filipina Terkait Sengketa
Laut Cina Selatan Pada Masa Duterte. Intermestic: Journal of International Studies,
49-50.
Sudira, I. N. (2014). Konflik Laut Cina Selatan dan Politik Luar Negeri Indonesia ke
Amerika dan Eropa. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 10(2).
WIJAYA, M. F. A. KEBIJAKAN JOKOWI TERKAIT LAUT CINA SELATAN.

Anda mungkin juga menyukai