Anda di halaman 1dari 28

PAKTA WARSAWA

Latar Belakang
Latar Belakang Pakta Warsawa ialah nama yang diberikan kepada
kesepakatan antara beberapa negara Komunis Eropa. Hal ini juga dikenal
sebagai Perjanjian Warsawa Persahabatan, Kerjasama dan Donasi Reksa.
Pakta Warsawa didirikan pada tahun 1955, di Polandia.Uni Soviet
memprakarsai Pakta Warsawa dalam menanggapi pembentukan Pakta
Pertahanan Atlantik Utara (NATO), nan pada gilirannya dibentuk sebagai
tanggapan terhadap ancaman terhadap Eropa dan negara-negara Atlantik
Utara oleh Uni Soviet. Pakta Warsawa dibuat tersedia dalam bahasa
Polandia, Ceko, Jerman, Hungaria, Rumania, dan Rusia. Dibentuknya
Pakta Warsawa dipicu oleh integrasi Jerman Barat ke dalam NATO
melalui ratifikasi Persetujuan Paris dengan tujuan untuk mengorganisir
diri terhadap kemungkinan ancaman NATO.
Konsekunsi logisnya, Uni Soviet berhak melakukan intervensi jika suatu
negara di nilai melanggar prinsip-prinsip utama sosialisme serta ketentuan
mengenai fungsi-fungsi partai komunis yang secara eksplisit dinyatakan
dalam Doktrin Brezniev . b. Geostrategis adalah Uni Soviet termotifasi
untuk mencegah wilayahnya di invasi oleh kekuatan Eropa Barat, seperti
yang dilakukan oleh nazi Jerman padatahun 1941. Runtuhnya Pakta
Warsawa Pakta Warsawa berakhir disebabkan oleh beberapa faktor
berikut: a. Pakta ini berperan sebagai sandaran bagi Rezim komunis Eropa
Timur yang tidak populer. Dukungan rakyat disetiap negara anggotanya
sedikit sekali. b. Berkuasanya orang-orang nonkomunis di negara-negara
anggota Uni Soviet membuat pengaruh pakta semakin melemah. c.
Pemerintah Uni Soviet menunjukkan komitmen untuk mempertahankan
pakta tersebut, terlihat jelas bahwa musuh-musuh terbesar mengancam
perjanjian itu berasal dari dalam organisasi sendiri. Musuh yang di
maksud adalah negara-negara Eropa Timur sendiri yang takut akan
serangan dari Uni Soviet d. Moskua sendiri bahkan meninggalkan Pakta
tersebut. Hal ini dipicu oleh kesulitan ekonomi akibat ketidak mampuan
meanggung beban pengeluaran militer yang berlebihan. Menteri luar
negeri Eduard Shevardnadze, misalnya pernah menyimpulkan Eropa
Timur telah menjadi beban bagi Musko. Dengan menunjuk pada situasi-
situasi yang di gambarkan tersebut, para menteri luar negeri dan
pertahanan negar-negara yang bergabung dalam Pakta Warsawa
mengadakan pertemuan pada 25 Februari 1991 di Hungaria guna
mengakhiri pakta itu.pada 1 Juli 1991, Pakta Warsawa secara resmi
berakhir yang berbarengan dengan gelombang revolusi demokratis di
Eropa Timur dan bubarnya Unvi Soviet pada tahun yang sama.

Pengertian
Pakta Warsawa adalah aliansi militer negara-negara Blok Timur di Eropa
Timur, yang bertujuan mengorganisasikan diri terhadap kemungkinan
ancaman dari aliansi NATO (yang dibentuk pada 1949
Negara negara anggotanya
 Uni soviet
 Bulgaria
 Romania
 Jerman timur
 Hungaria
 Polandia
 cekoslowakia

Sejarah
Pembentukan Pakta Warsawa dipicu oleh integrasi Jerman Barat ke dalam
NATO melalui ratifikasi Perjanjian Paris. Pakta Warsawa dirancang oleh
Nikita Khrushchev pada tahun 1955 dan ditanda tangani di Warsawa pada
14 Mei 1955.
Pakta ini berakhir pada 31 Maret 1991, dan diakhiri secara resmi dalam
sebuah pertemuan di Praha pada 1 Juli 1991.
GATT

Pengertian GATT
General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT) adalah suatu
perjanjian multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Berdasarkan mukadimahnya, tujuan perjanjian ini adalah "pengurangan
substansial atas tarif dan hambatan perdagangan lainnya dan penghapusan
preferensi, berdasarkan asas timbal balik dan saling menguntungkan."
Perjanjian ini dinegosiasikan selama Konferensi Perdagangan dan
Ketenagakerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan merupakan hasil dari
kegagalan negosiasi antarbangsa untuk menciptakan Organisasi
Perdagangan Internasional (International Trade Organization atau ITO).
GATT ditandatangani oleh 23 negara di Jenewa, Swiss, pada tanggal 30
Oktober 1947 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1948. GATT
berlaku hingga penandatanganan Perjanjian Putaran Uruguay oleh 123
negara di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 14 April 1994, yang
menetapkan berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization atau WTO) pada tanggal 1 Januari 1995.
Negara Negara Anggota
► Australia, 1 Januari 1948
►Belgium, 1 Januari 1948.
► Brazil, 30 Juli 1948.
► Zimbabwe, 11 Juli 1948.
► Kanada, 1 Januari 1948.
► Cuba, 1 Januari 1948.
► Prancis, 1 Januari 1948.
► India, 8 Juli 1948.
► Luxembourg, 1 Januari 1948.
► Myanmar, 29 Juli 1948.
► Netherlands, 1 Januari 1948.
► New Zealand 30 Juli 1948.
► Norway, 10 Juli 1948.
► Pakistan, 30 Juli 1948.
► South Africa, 13 June 1948.
► Sri Lanka 29 Juli 1948.
► Inggris, 1 Januari 1948.
► Amerika Serikat, 1 Januari 1948.
► Chile, 16 Maret 1949.
► Denmark, 28 Mei 1950.
► Finland, 25 Mei 1950.
► Republik Dominika, 19 Mei 1950.
► Greece, 1 Maret 1950.
► Haiti, 1 Januari 1950.
► Indonesia, 24 Februari 1950.
► Italy, 30 Mei 1950.
► Nicaragua 28 Mei 1950.
► Sweden, 30 April 1950.
►Austria, 19 Oktober 1951.
► Germany, 1 Oktober 1951.
► Peru, 7 Oktober 1951.
► Turkey, 17 Oktober 1951.
► Uruguay, 6 Desember 1953.
► Japan, 10 September 1955.
► Ghana, 17 Oktober 1957.
► Malaysia, 24 Oktober 1957.
► Nigeria, 18 November 1960.
► Sierra Leone, 19 Mei 1961.
► Tanzania, 9 Desember 1961.
► Portugal, 6 Mei 1962.
► Trinidad and Tobago, 23 Oktober 1962.
► Israel, 5 Juli 1962.
► Uganda, 23 Oktober 1962.
►Benin, 12 September 1963.
► Burkina Faso, 3 Mei 1963.
► Kamerun, 3 Mei 1963.
► Central African Republic, 3 Mei 1963.
► Chad, 12 Juli 1963.
► Côte d'Ivoire, 31 Desember 1963.
► Cyprus, 15 Juli 1963.
► Congo, 3 Mei 1963.
► Gabon, 3 Mei 1963.
► Jamaica, 31 Desember 1963.
► Madagascar 30 September 1963.
► Niger, 31 Desember 1963.
► Mauritania, 30 September 1963.
► Kuwait, 3 Mei 1963.
► Spain 29 Agustus1963.
► Senegal, 27 September 1963.
► Malta, 17 November 1964.
► Malawi, 28 Agustus1964.
► Kenya, 5 Februari 1964.
► Togo, 20 Maret 1964.
► Burundi, 13 Maret 1965.
► Gambia, 22 Februari 1965.
► Guyana, 5 Juli 1966.
► Rwanda, 1 Januari 1966.
► Switzerland, 1 Agustus 1966.
► Yugoslavia, 25 Agustus1966.
►Argentina, 11 Oktober 1967.
►Barbados, 15 Februari 1967.
► Ireland, 22 Desember 1967.
► Korea, Republic of 14 April 1967.
► Poland, 18 Oktober 1967.
► Iceland, 21 April 1968.
► Mesir, 9 Mei 1970.
► Mauritius, 2 September 1970.
► Romania, 14 November 1971.
► Zaire, 11 September 1971 (sekarang dikenal dengan nama Democratic
Republic of the Congo) .
►Bangladesh, 16 Desember 1972.
► Hungary, 9 September 1973.
► Singapore, 20 Agustus1973.
► Suriname, 22 Maret 1978.
► Philippines, 27 Desember 1979.
► Colombia, 3 Oktober 1981.
► Thailand, 20 November 1982.
► Zambia, 10 Februari 1982.
►Belize, 7 Oktober 1983.
► Maldives, 19 April 1983.
► Meksiko, 24 Agustus1986.
► HongKong, 23 April 1986.
►Antigua and Barbuda, 30 Maret 1987.
►Botswana, 28 Agustus1987.
► Maroko, 17 June 1987.
► Lesotho, 8 Januari 1988.
►Bolivia, 8 September 1990.
► Costa Rica, 24 November 1990.
► Venezuela, 31 Agustus1990.
► Tunisia, 29 Agustus1990.
► Macao 11 Januari 1991.
► Guatemala, 10 Oktober 1991.
► El Salvador, 22 Mei 1991.
► Mozambique 27 Juli 1992.
► Namibia, 15 September 1992.
►Bahrain, 13 Desember 1993.
► Fiji, 16 November 1993.
► Czech Republic, 15 April 1993.
► Dominica, 20 April 1993.
► Brunei Darussalam, 9 Desember 1993.
► Slovak Republic 15 April 1993.
► Mali, 11 Januari 1993.
► Saint Lucia, 13 April 1993.
► Saint Vincent and the Grenadines, 18 Mei 1993.
► Swaziland, 8 Februari 1993.
► Angola 8 April 1994.
► Djibouti, 16 Desember 1994.
► Grenada, 9 Februari 1994.
► Guinea, 8 Desember 1994.
► Guinea, Bissau 17 Maret 1994.
► Honduras, 10 April 1994.
► Liechtenstein, 29 Maret 1994.
► Papua New Guinea 16 Desember 1994.
► Paraguay, 6 Januari 1994.
► Qatar, 7 April 1994.
► Slovenia, 30 Oktober 1994.
► Solomon Islands, 28 Desember 1994.
► Saint Kitts and Nevis, 24 Maret 1994.
► United Arab Emirates, 8 Maret 1994.
Sejarah tentang organisasi
Pada akhir Perang Dunia II, dunia perekomian internasional berubah
menjadi suatu entitas yang makin luas dan kompleks.Hal ini disebabkan
oleh semakin terintegrasinya perekonomian dunia dan liberalisme
perdagangan yang mulai diterapkan oleh beberapa negara maju untuk
saling menjalin kerjasama perdagangan antar satu dan
lainnya.Kompleksitas dan makin dinamisnya perdagangan dan moneter
internasional membentuk suatu gagasan pendirian suatu organisasi
perekonomian yang mendaulati terbentuknya International Monetary
Fund (IMF).IMF kemudian membentuk suau badan khusus yakni General
Agreements on Tariffs and Trade (GATT) yang berfokus menyelesaikan
dan mengatur persoalan perdagangan. Gagasan untuk mendirikan suatu
organisasi perdagangan multilateral telah mulai dirintis dengan
disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada
tahun 1947, sebagai awal dari rencana pembentukan International Trade
Organization (ITO), yang merupakan satu dari 3 (tiga) kerangka Bretton
Woods Institution. Kedua organisasi lainnya adalah International
Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) yang sering dikenal dengan World Bank. GATT
sebenarnya hanya salah satu dari IX Chapters yang direncanakan menjadi
isi dari Havana Charter mengenai pembentukan International Trade
Organization (ITO) pada tahun 1947, yaitu Chapter IV: Commercial
Policy. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah sebagai
suatu persetujuan internasional yang mengatur mengenai tarif tarif
perdagangan yang dirumuskan di Jenewa, Swiss. GATT ini didirikan pada
tahun 1948.Pembentukan GATT atau General Agreement on Tariffs and
Trade ini dilatar belakangi oleh tidak adanya aturan mengenai
perdagangan internasional sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran
serta diskriminasi dalam perdagangan internasional tersebut.Namun,
GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus
pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa yang
terjadi saat itu.Hal ini disebabkan oleh sifat ad-hoc yang diusung oleh
rezim tersebut. Namun, dibalik kelemahan rezim tersebut terdapat adanya
perlakuan yang sama pada setiap anggota GATT atau General Agreement
on Tariffs and Trade serta rezim mengusung transparansi dan
kompetitifitas yang mewajibkan setiap negara untuk mengetahui
kebijakan negara lain. Karena rezim ini berprinsip most favored nations
(MFN). Namun International Trade Organization (ITO) tidak berhasil
didirikan, walaupun Havana Charter sudah disepakati dan ditandatangani
oleh 53 negara pada Maret 1948.Hal tersebut dikarenakan Amerika
Serikat menolak untuk meratifikasinya di mana Kongres Amerika Serikat
khawatir wewenangnya dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat
semakin berkurang. GATT kemudian dimasukkan hanya sebagai
perjanjian sementara (interim) melalui sebuah Protocol of Provisional
Application sampai Havana Charter dapat diberlakukan dan sebagai
badan pelaksana GATT adalah Committee-ITO/GATT yang dipimpin
oleh seorang Direktur Jenderal.

Memperhatikan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam


hubungan perdagangan internasional sejak berdirinya GATT
menimbulkan pandangan perlunya beberapa peraturan dan prosedur
diperbaharui, khususnya didasarkan akan kebutuhan untuk memperketat
prosedur penyelesaian sengketa. Timbul pemikiran untuk membentuk
suatu badan tingkat tinggi yang permanen untuk mengawasi bekerjanya
sistem perdagangan multilateral dan diarahkan pula untuk menjamin agar
negara-negara peserta (Contracting parties) GATT mematuhi peraturan-
peraturan yang telah disepakati dan memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Dalam Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay
Round), Punta Del Este, 20 September 2006, pemikiran tentang
pembentukan suatu organisasi perdagangan multilateral dimaksud secara
implisit termuat di dalam Deklarasi Punta del Este. Hal tersebut
merupakan salah satu dari 15 bidang perundingan dalam Putaran
Uruguay, yaitu negosiasi mengenai upaya untuk meningkatkan fungsi
sistem GATT. Tujuan yang hendak dicapai dalam negosiasi fungsi sistem
GATT ini adalah: • Meningkatkan fungsi pengawasan GATT agar dapat
memantau kebijakan dan perdagangan yang dilakukan oleh contracting
parties (CPs) dan implikasi terhadap sistem perdagangan internasional. •
Memperbaiki seluruh aktivitas dan pengambil keputusan GATT sebagai
suatu lembaga, termasuk keterlibatan para menteri yang berwenang
menangani masalah perdagangan • Meningkatkan kontribusi GATT untuk
mencapai “greater coherence” dalam pembuatan kebijakan ekonomi
global melalui peningkatan hubungan dengan organisasi internasional
lainnya yang berwenang dalam masalah moneter dan keuangan. Sesudah
melalui tahapan-tahapan proses perundingan yang alot dan konsultasi-
konsultasi maraton yang intensif atas draft-draft yang diusulkan lebih dari
120 negara, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting
Parties GATT di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 12-15 April 1994,
disahkan Final Act tanggal 15 April 1994 dan tanggal berlakunya WTO.
Persetujuan pembentukan WTO terbuka bagi ratifikasi oleh negara-
negara dan diharapkan dapat diberlakukan efektif pada 1 Januari 1995.
Untuk mengatasi adanya kekosongan antara Pertemuan Tingkat Menteri
di Marrakesh, Maroko sampai dengan tanggal berlakunya WTO,
dibentuklah suatu lembaga sementara yaitu Implementation Committee
yang bertugas antara lain memperhatikan program kerja WTO, masalah
anggaran dan kontribusi serta masalah keanggotaan WTO. Pada
pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha (Doha
Round), Qatar dari tanggal 9-14 November 2001, Indonesia
mengikutsertakan 32 orang delegasi. Putaran Doha merupakan putaran
kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan sejak sistem
multilateral terbentuk tahun 1947. Delapan putaran selanjutnya
diluncurkan di bawah payung GATT, yang kemudian berganti nama
menjadi WTO tahun 1995. Disebapkan rezim GATT atau General
Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada pendistribusian
barang dan kurang memperhatikan arus jasa, pada tahun 1955 para
anggota rezim tersebut menginginkan adanya perubahan dalam rezim
tersebut. Sehingga pada Januari 1995 GATT atau General Agreement on
Tariffs and Trade secara resmi berubah menjadi WTO atau World Trade
Organization yang dihasilkan melalui negosiasi multirateral
dalamUruguay Round tahun 1986 sampai 1994. Rezim WTO atau World
Trade Organization ini diharapkan mampu memperlancar arus
perdagangan bebas seperti yang diharapkan oleh para negara anggota
rezim tersebut.Namun, dalam rezim WTO atau World Trade Organization
ini, negara – negara berkembang kurang mendapat keuntungan karena
rezim ini didominasi oleh negara – negara barat yang mampu
merealisasikan interest mereka dalam rezim ini.Hegemoni Amerika
Serikat tak dapat dipungkiri sebagai aktor dibalik perubahan rezim
tersebut (Ford 2002). Berikut ini beberapa hal yang kemudian menjadi
kelemahan GATT sehingga posisinya digantikan oleh WTO:
 Dalam mengatur hubungan perdagangan internsional, GATT hanya
berfokus pada arus jual beli barang antar negara saja. GATT tidak hirau
pada perdagangan jasa yang sama- sama termasuk ke dalam aktifitas
perdagangan.
 GATT tidak dapat dijalankan secara menyeluruh karena hanya
membahas suatu tujuan atau bersifat ad hoc dan berlaku pada kurun waktu
tertentu.
 Segala jenis kesepakatan dan hasil perjanjian yang dihasilkan oleh
GATT tidak membutuhkan ratifikasi oleh parlemen dari negara anggota.

Akan tetapi berdirinya WTO masih banyak perundingan yang dilakukan


dalam rangka memujudkan perjanjian multilateral berkaitan dengan
perdagangan antara lain: 1. Tahun 1947-1948: Untuk pertama kalinya
sejak PD II berakhir, negara-negara di dunia terutama dari Blok Barat
menginginkan adanya suatu bentuk sistem perdagangan internasional
yang lebih adil dan komprehensif untuk membangun ekonomi dunia yang
hancur akibat perang. Pada tahun 1947 di Geneva diadakan perundingan
perumusan perjanjian GATT yang menetapkan penurunan 45.000 jenis
tarif dengan nilai 10 miliar dolar AS. Perundingan ini diikuti 23 negara.
2. 1949: Pada tahun 1949 di Kota Annecy berlangsung perundingan yang
lebih dikenal sebagai “Perundingan Annecy”. Dalam perundingan kali ini,
telah disepakati untuk meratifikasi 5000 jenis tarif yang diikuti 33 negara.
3. 1950-1951: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Torquay” yang
diselenggarakan di Kota Torquay dimana disepakati untuk meratifikasi
5,500 jenis tarif yang diikuti oleh 34 negara. 4. 1955-1956: Pada periode
ini berlangsung “Perundingan Jenewa” yang diselenggarakan di Kota
Jenewa di mana disepakati untuk meratifikasi sejumlah jenis tarif dengan
nilai perdagangan sejumlah 2,5 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34
negara. 5. 1960-1961: Pada periode ini berlangsung Perundingan yang
lebih dikenal sebagai “Putaran Dillon”, yang diselenggarakan di Kota
Jenewa, putaran GATT kali ini diikuti oleh 45 negara yang menghasilkan
kesepakatan untuk meratifikasi 4.400 jenis tarif dengan nilai perdagangan
sejumlah 4,9 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 6. 1964-1967:
Putaran GATT kali ini lebih dikenal sebagai “Putaran Kennedy”, yang
diselenggarakan di Jenewa. Perundingan ini menyepakati penurunan
sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 40 miliar dolar AS
dan kesepakatan anti-dumping yang diikuti 48 negara. 7. 1973-1979:
Putaran GATT yang lebih dikenal sebagai “Putaran Tokyo”, Jepang
dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain; ratifikasi
sejumlah jenis tarif dan non-tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 155
miliar dolar AS. Perundingan kali ini diikuti oleh 99 negara. 8. 1986-
1988: Dalam periode ini, negara-negara peserta mengadakan perundingan
di Jenewa berdasarkan mandat Deklarasi Punta Del Este. Perundingan
kali ini tidak hanya membahas peratifikasian tarif dan non-tarif sejumlah
komoditas, namun juga telah membahas bidang jasa dalam perdagangan
dunia. Di tahun 1980-an, Indonesia memainkan peranan aktifnya dalam
putaran GATT ini dengan ditariknya suatu konklusi bahwa Indonesia
harus mengubah haluan dari orientasi yang berbasis impor ke arah strategi
orientasi ekspor. 9. 1988: Pada bulan Desember tahun 1988 di Montreal,
Kanada telah diadakan pertemuan tingkat meneteri yang dikenal sebagai
Mid-Term Ministerial Meetinguntuk mereview kembali beberapa poin
yang telah dicapai dalam perundingan sebelumnya. Pada sidang tersebut
telah dicapai kemajuan pada 11 bidang kecuali pertanian. Dalam periode
ini, Indonesia mulai memainkan peranan aktifnya dalam Putaran
Uruguay. 10. 1989: Perundingan ini diselenggarakan pada April 1989
untuk meneruskan kembali kemaetan perundingan pada putaran
sebelumnya yang deadlock pada masalah pertanian. 11. 1990: Pada bulan
Desember 1990 di Brussel, telah diselenggarakan sidang tingkat menteri.
Namun, kali ini tidak dihasilkan kesepakatan apapun, karena Amerika
Serikat dan Uni Eropa sebagai negara utama menolak untuk meratitikasi
bidang pertaniannya. Dengan demikian, perundingan pada semua bidang
mencapai deadlock. 12. 1991: Pada bulan Desember 1991, Direktorat
Jenderal GATT selalu ketua Trade Negotiations Committee (TNC) pada
tingkat pejabat tinggi telah menyerahkan Draft Final Act sebagai hasil
akhir dari Uruguay Round. 13. 1992-1993: Pada tanggal Januari 1992,
TNC bersidang untuk menampung reaksi negara-negara peserta dan
menentukan langkah selanjutnya dalam perundingan. Negara-negara
perserta menyatakan kesulitannya untuk menerapkan DFA pada berbagai
bidang termasuk kewajiban menghapus subsidi pertanian dan sistem
proteksi atas beberapa jenis komoditas. Dalam perundingan yang
berlangsung di Jenewa ini, telah dilakukan pembahasan antara lain; tariff
dan non-tarif, perdagangan jasa, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta),
komoditas tekstil, serta pertanian. Dalam periode ini juga telah disepakati
untuk membentuk kerangka kerja WTO yang merupakan kelanjutan dari
GATT. Pada tanggal 14 Desember 1993, Indonesia telah menyatakan
komitmennya untuk mulai membuka akses pasar secara bertahap pada
sector telekomunikasi, industri, angkutan laut, turisme dan jasa keuangan.
14. 1994: Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh tercapai kesepakatan
mengenai hasil perundingan dari Putaran Uruguay sebagai suatu paket
yang ditandatangani oleh Negara peserta yang kemudian melahirkan
WTO. Sementara dalam tahun yang sama, Indonesia telah menyelesaikan
prosedur ratifikasi dengan DPR pada bulan Oktober 1994. Sehingga
Indonesia siap memberlakukan kewajiban perjanjian sesuai ketentuan
dalam perjanjian tersebut, antara lain; perlindungan terhadap hak atas
kekayaan intelektual, perdagangan jasa, turisme, telekomunikasi, dan
beberapa sektor lain. Perubahan GATT menjadi WTO membawa fase
baru.WTO menjadi suatu badan yang mengurusi perdagangan dunia lebih
kompleks dan efektif dibanding GATT.WTO memberikan fokus yang
besar bagi perdagangan seluruh sektor, termasuk barang dan jasa. Selain
itu WTO juga terdiri dari anggota yang tetap , dimana keanggotaan suau
negara melibatkan keputusan dari parlemen negara bersangkutan. Hal ini
berkaitan dengan status WTO yang sebagai organisasi
internasional.Sebagai suatu organisasi internasional, WTO memiliki
aturan yang lebih jelas dan legal untuk dipatuhi.Hal ini kemudian
mendorong legitimasi sah yang perlu dipatuhi oleh negara- negara
anggota serta perdagangan internasional. Dalam stuktur organisasinya,
WTO terdiri dari direktur jendral, deputi direktur jendral, dan sekretariat
yang bertempat di Jenewa, Swiss (Peet, 2003). Aktivitas WTO sendiri,
meliputi pengadaan pertemuan antara perwakilan negara anggota dengan
agenda meregulasi kembali sistem perdagangan yang ada. Regulasi-
regulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk semakin
membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk
tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan perdagangan internasional.
WTO disini memposisikan untuk bertindak netral dalam mengelola
persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam negosiasi
perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan,
meninjau kebijakan perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk
negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan
teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi
internasional lainnya. (Peet, 2003).Sikap netral yang dipegang oleh WTO,
membuat WTO sebagai suatu forum yang tidak memiliki kapasitas lebih
dalam memberikan keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi
negara-negara.

WTO merupakan suatu wadah bagi negara-negara di dunia dalam


membicarakan perdagangan internasional, dan juga memberikan bantuan
internasional untuk meningkatkan kemajuan perdagangan negara-negara
anggotanya. Hingga saat ini WTO beranggotakan 160 negara.Jumlah ini
telah mewakili sebanyak 97% perdagangan yang ada di dunia.Dua pertiga
dari jumlah keseluruhan negara anggota WTO terdiri dari negara
berkembang.Status negara berkembang sendiri ditentukkan oleh masing-
masing negara bukan oleh WTO ataupun negara anggota lainnya.Proporsi
ini kemudian berkaitan dengan sistem pemngutan suara yang diterapkan
oleh WTO. WTO menerapkan prinsip konsensus, melalui pemungutan
suara atau voting. Sistem voting yang ada didasrkan pada persentase
keikutsertaan suatu negara dalam perdagangan internasional. Sebagai
contoh, adalah Amerika Serikat yang memiliki 17% suara, sedangkan
negara berkembang yang memiliki andil perdagangan kurang dari 1% dari
perdagangan dunia juga memiliki kurang dari 1% suara (Peet, 2003).
Dalam sejarah terbentuknya, WTO terus menerus mengundang pro dan
kontra dari dunia internasional. Banyak negara beranggapan bahwa WTO
merupakan organisasi bentukan barat yang setuju akan aliran
perekonomian kapitalis dan membawa negara berkembang tertindas
dalam lingkaran kapitalisme barat. Prinsip dasar WTO yang mendukung
liberalisme perdagangan dianggap para kaum kritik sebagai keberpihakan
pada negara- negara maju saja, dan tidak menghiraukan negara
berkembang. Prinsip keadilan perdagangan (fair-trade) dinilai hanya adil
bagi negara maju saja, tidak bagi negara miskin dan berkembang.
Keadilan berlaku bagi negara- negara yang menerapkan perekonomian
bebas, seperti yang tercantum dalam asas liberalisme ekonomi. Kritik lain
juga menyebutkan mengenai ketidaksesuaian aturan yang dikeluarkan
oleh WTO dengan kenyataan kondisi dunia internasional. Hal ini terjadi
pada Meksiko, dimana keuntungan yang diraih oleh negaranya tidak
sebanyak perdagangan yang dilakukan.Namun berbeda dengan Taiwan
yang mendapatkan banyak keuntungan walaupun sedikit melakukan
kegiatan perdagangan dan tidak mendapat investasi asing yang begitu
besar. Perubahan dalam rezim perdagangan internasional tersebut dapat
dipaahami melalui beberapa pendekatan.Pertama, pendekatan
tradisional.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim adalah alat
negara dan kekuatan kelas.Rezim tersebut dapat membantu negara dalam
merealisasikan kepentingan negara tersebut serta menjadi penengah
dalam fenomena rezim tersebut.Karena didasari oleh materi, hal ini
menyebabkan peran negara bermateri kuat tersebut lebih besar dibanding
dengan negara bermateri lemah.Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu
menjelaskan peran negara berkembang dalam memperkuat rezim
perdagangan internasional multirateral tersebut.Serta pendekatan ini
mengabaikan kenyataan bahwa semua terjadinya perubahan turut serta
berpengaruh dalam perubahan agen melalui tindakan dan struktur
interaksi yang didasari oleh manusia dan juga mereka sendiri sebagai
aktor (Ford 2002).Kedua, pendekatan strukturalis.Pendekatan ini
berpendapat bahwa negara hegemon memiliki kekuatan besar dalam
perubahan rezim.Pendapat tersebut seperti yang diungkapkan oleh
neorealis dan neomarxis.Neorealis mengungkapkan bahwa perubahan
rezim merupakan alat bagi negara hegemon untuk mencapai kepentingan
nasional serta keuntungan ekonomi.Sementara neomarxis
mengungkapkan bahwa kapitalisme global sebagai pendukung rezim
perdagangan internasional. Negara hegemon berusaha mati-matian untuk
memperoleh kepentingan mereka, namun ia mengorbankan negara lain
dengan kedok kemaslahatan bersama atau universal. Inilah yang menjadi
kelemahan pendekatan strukturalis.Ketiga, pendekatan
neoliberalisme.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim sebagai alat
negara dan sebagai ekspresi dari kepentingan negara
tersebut.Kepentingan negara yang dimaksud oleh pendekatan
neoliberalisme adalah kepentingan Negara-negara yang menciptakan
rezim tersebut. Sehingga rezim digunakan sebagai perwujudan norma
yang memfasilitasi kerja sama, menyediakan informasi, dan lain-lain.
Sehingga negara anggota rezim yang tidak termasuk dalam rezim tersebut
kurang terealisasikan kepentingan nasionalnya. Jadi, rezim perdagangan
internasional adalah sebuah distribusi ide secara kolektif mengenai
perdagangan internasional yang mengatur mengenai perilaku dalam
perdagangan bebas tersebut serta menjelaskan mengenai peran negara
sebagai aktor (Ford 2002). Perubahan dari rezim perdagangan
internasional dari GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade,
menjadi WTO atau World Trade Organization menunjukkan bahwa
perdagangan internasional berkembang secara pesat sehingga distribusi
barang-barang ke berbagai negara dapat dilaksanakan dengan mudah.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menganalisa perubahan
dalam rezim internasional tersebut pasti memiliki kelemahan.Karena
setiap pendekatan dalam Hubungan Internasional bersifat pelengkap
kekurangan dari pendekatan-pendekatan yang sudah ada sebelumnya
dengan sudut pandang yang dimiliki oleh para pemikir pendekatan
tersebut sehingga menyebabkan keragaman dalam pendekatan dalam
Hubungan Internasional. Pada tahun 1995Sesuai dengan hasil
kesepakatan dari Putaran Uruguay, maka pada tanggal 1 Januari 1995 di
Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri dengan beranggotakan 146 negara
termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil kesepakatan Putaran Uruguay,
terdapat beberapa hal yang bersifat new issues, antara lain; trade in
services, intellectual property rights, dan trade-related investment
measures (TRIMs). Beberapa hal yang menjadi perhatian Indonesia
sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaannya dalam WTO antara lain;
masalah tarif, akses pasar, komiditas tekstil, produk pertanian, regulasi
dan penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan intelektual, bidang jasa dan
investasi. Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article
III WTO, yaitu:
(1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan
persetujuan yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian
tersebut,
(2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai
perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya,
termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam
Perundingan Tingkat Menteri,
(3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa
perdagangan;
(4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan,
dan
(5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja
sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World
Bank), serta badan-badan yang berafiliasi. Dari fungsi-fungsi WTO,
tampak fungsi-fungsi tersebut merupakan upaya untuk menafsirkan dan
menjabarkan lebih lanjut tentang Multilateral Trade Agreements (MTAs)
dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs), termasuk mengawasi
pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta perbedaan pendapat
mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. WTO juga akan
melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap
negara anggota dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian.

Dengan demikian, seperti halnya IMF dan World Bank, WTO memiliki
alat untuk memaksa negara-neara anggota untuk mengikuti ketentuan-
ketentuannya. Kalau kita melihat jauh kebelakang sejak keberadaan
GATT 1948 sampai terbentuknya WTO pada 1995, sudah dilakukan 8
(delapan) putaran perundingan perdagangan multilateral yakni Jenewa 1
Januari 1995, Singapura, 9 - 13 Desember 1996, Jenewa, 18 - 20 Mei
1998, Seattle, 30 November - 3 Desember 1999, Doha, 9 - 13 November
2001, Cancun, 10 - 14 September 2003, Jenewa, 30 November - 2
Desember 2009, Jenewa, 15-17 Desember 2011 dimana putaran
perundingan kali ini, yaitu Doha Development Agenda (DDA) atau Doha
Round prosesnya memakan waktu paling lama, dan sampai saat ini belum
berhasil diselesaikan. Putaran Uruguay yang dipandang paling luas
cakupannya bisa diselesaikan dalam waktu sekitar 9 (sembilan) tahun.
Perjalanan panjang dalam menata sistem perdagangan multilateral sejak
1948, sedikit demi sedikit telah mengurangi hambatan perdagangan
melalui sejumlah ketentuan yang diperlukan.Pada waktu Putaran
Kennedy, disepakati upaya yang dititikberatkan pada pengurangan
hambatan tariff. Dalam Putaran Tokyo 1979, berhasil disempurnakan
sejumlah ketentuan GATT dengan adanya ketentuan mengenai Technical
Barriers to Trade; Anti Dumping; Subsidies and Countervailing
Measures; Import Licensing; dan Customs Valuation. Pada saat itu pula
Government Procurement pertama kali dibahas dalam GATT. Pada
Putaran Uruguay 1994, selain dihasilkan ketentuan-ketentuan yang
mencakup perdagangan barang, juga disepakati persetujuan-persetujuan
perdagangan yang menyangkut Services, Intellectual Property Rights,
penyempurnaan prosedur penyelesaian sengketa, persetujuan mengenai
perdagangan produk pertanian, dan sanitary and phytosanitary. Putaran
Uruguay juga menghasilkan transformasi GATT menjadi World Trade
Organization (WTO).

Putaran Doha atau yang lebih kita kenal sebagai Doha Development
Round atau Doha Development Agenda (DDA) pada 2001, dimaksudkan
sebagai langkah lanjutan agar tatanan perdagangan multilateral yang ada
bisa sesuai dengan situasi perdagangan terkini. Beberapa diantaranya
menyangkut upaya agar perdagangan produk pertanian dan perdagangan
jasa dapat lebih bebas, menyempurnakan persetujuan-persetujuan yang
sudah ada seperti misalnya Anti Dumping dan subsidies (termasuk subsidi
dibidang perikanan), fasilitasi perdagangan dan sebagainya. Sejauh ini
proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca dimedia - tampaknya
‘mendung’, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa perundingan
sudah ‘macet’. Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau kita
melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal
Lamy, yang mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi
antara para major players dalam perundingan liberalisasi produk industri/
manufaktur atau Non Agriculture Market Access (NAMA) yang dapat
menghambat pembahasan di bidang-bidang perundingan lainnya,
sehingga sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011. Selain itu terdapat
juga pandangan mengenai lambatnya proses perundingan, antara lain
karena peluncuran perundingan DDA yang tidak dipersiapkan secara
matang; sulitnya mencapai konsensus karena meningkatnya jumlah
keanggotaan dalam WTO; agenda DDA dinilai overloaded, dan
mencakup isu-isu kontroversial seperti reformasi bidang pertanian dan
fisheries subsidies; serta prinsip single undertaking hasil perundingan.
Yang mencemaskan adalah pandangan bahwa adanya krisis ekonomi
yang kemudian meningkatkan tindakan proteksionis oleh sejumlah negara
membuat keberadaan dan peran WTO dipertanyakan dan sebagainya.
Sebagai salah satu Original Member (sesuai kriteria Artikel XI Marrakesh
Declaration Establishing the WTO), Indonesia sangat menyadari
pentingnya keberadaan dan peran WTO. Pada masa Orde Baru, Diplomasi
Perdagangan Indonesia tertuang dalam Kebijaksanaan Nasional Sektor
Perdagangan sebagaimana terdapat dalam REPELITA VI yang disusun
berdasarkan arahan GBHN 1993, dimana perdagangan luar negeri salah
satunya adalah untuk meningkatkan kerjasama perdagangan
internasional. Upaya tersebut ditempuh dengan lebih mengefektifkan
kerjasama perdagangan internasional dan melaksanakan hasil-hasil
Putaran Uruguay. Dalam rangka program pembangunan saat itu, terdapat
Program Pengembangan Kerjasama Perdagangan Internasional yang
bertujuan untuk mengembangkan kerjasama perdagangan internasional
dalam rangka memperkuat kedudukan rebut tawar, memperluas pasar di
luar negeri, dan mendorong ekspor non migas yang ditempuh antara lain
dengan berpartisipasi aktif dalam forum internasional, menyelesaikan
sengketa perdagangan internasional, dan memperjuangkan kepentingan
nasional dalam WTO. Pada tataran implementasi, Indonesia terdorong
menyusun dan memperbaiki berbagai peraturan nasional misalnya:
dibidang HAKI, ketentuan nasional yang memungkinkan kita bisa
mengambil tindakan dalam hal terjadinya praktek negara mitra dagang
yang tidak fair, mempersengketakan kebijakan negara mitra dagang yang
bertentangan dengan ketentuan WTO, menyempurnakan peraturan
nasional dibidang perdagangan misalnya tata niaga ekspor-impor,
menerapkan standar dan sebagainya sekaligus sebagai proses
pembelajaran dalam upaya mendudukkan posisi Indonesia dalam kancah
perdagangan internasional. Hal tersebut menggambarkan bahwa upaya
mengintegrasikan perekonomian nasional kedalam perekonomian global
telah dilakukan Indonesia sejak lama, setidaknya selama 15 tahun sejak
terbentuknya WTO.

Dasar kebijakan Diplomasi Perdagangan Indonesia sekarang ini adalah


mengacu pada Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP)
2005-2025 berdasarkan UU 17 Tahun 2007, yang selanjutnya dijabarkan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Saat ini kita mendasarkan pada RPJMN II 2010-2014, dimana Diplomasi
Perdagangan mengacu pada butir 3.3.2 mengenai Peningkatan Ekspor
yang menyebutkan bahwa Strategi Pembangunan yang akan dilaksanakan
dalam pembangunan perdagangan luar negeri, khususnya untuk
mendorong peningkatan ekspor non-migas selama periode tersebut,
antara lain adalah Mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan,
dan kerjasama perdagangan yang lebih menguntungkan kepentingan
nasional. Selanjutnya terdapat Fokus Prioritas Peningkatan Diversifikasi
Pasar Tujuan Ekspor yang didukung oleh Kegiatan Prioritas sebagai
tujuan, yang salah satunya adalah Peningkatan peran dan kemampuan
Diplomasi Perdagangan Internasional. Fokus Prioritas tersebut dijabarkan
dalam Misi, Tujuan, dan Sasaran Rencana Strategis Pembangunan
Perdagangan 2011-2014, yaitu: Meningkatkan kinerja ekspor non-migas
nasional secara berkualitas, Menguatkan pasar dalam negeri, Menjaga
ketersediaan bahan pokok dan penguatan Jaringan Distribusi Nasional
dan Optimalisasi Reformasi Birokrasi. Misi tersebut bertujuan untuk
memperkuat peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Indonesia di
forum internasional. Strategi utama pelaksanaan Misi tersebut adalah
melakukan Multitrack Trade Diplomacy pada tingkat multilateral,
regional, dan bilateral. Salah satu bentuk diplomasi perdagangan
multilateral adalah ‘Penyelesaian Putaran Doha’, karena merupakan
bagian dari Renstra Pembangunan 2011-2014 yang mencerminkan bahwa
Indonesia memandang sangat penting masalah penyelesaian perundingan
DDA. Kurun waktu Renstra dimaksud bukan berarti Indonesia bisa
menerima situasi perundingan DDA yang lambat penyelesaiannya,
namun justru untuk lebih menggambarkan peran strategis pentingnya
perundingan DDA segera diselesaikan. Dari sudut pandang kebijakan,
selama ini Indonesia jelas mempunyai landasan yang kuat dalam
melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan termasuk di forum
WTO.Hal-hal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN merupakan
Mandat Perundingan berdasarkan Undang-undang. Hal ini menjelaskan
bahwa posisi nasional yang dibuat dalam proses perundingan bukan
semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental atau tim negosiasi,
masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya. Kita memiliki
landasan formal dalam melaksanakan Diplomasi Perdagangan yang
diimplementasikan dalam berbagai fora perdagangan internasional
termasuk perundingan DDA.Kita memiliki Tim Nasional mengenai
Perundingan Perdagangan Internasional yang selama ini sangat aktif
melaksanakan fungsinya. Dalam proses perundingan DDA, Indonesia
aktif di G-33, Cairns Group, NAMA 11 dan lain-lain. Tekad dan semangat
Indonesia untuk menyelesaikan perundingan DDA juga tercermin di
berbagai fora internasional seperti ASEAN, APEC, dan G-20.Demikian
pula dalam jejaring kerja yang sudah terbina antar instansi pemerintah,
dunia usaha, kalangan akademisi, LSM dan lain-lain. Rasanya apa yang
sudah dilakukan Indonesia dalam melaksanakan tugas terkait Diplomasi
Perdagangan sudah optimal.

Namun demikian kita juga menyadari bahwa diselesaikannya


perundingan DDA dengan sukses juga tergantung dari negara anggota
WTO lainnya. Mengacu pada harapan Dirjen WTO tentang indikasi
waktu, yaitu KTM WTO ke-8 pada bulan Desember 2011, maka waktu
untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tidaklah terlalu panjang. Kalau
penyelesaian perundingan DDA merupakan Strategi Utama dalam
Diplomasi Perdagangan Indonesia, maka diperlukan upaya yang lebih
keras untuk menyelesaikannya. Menyusun posisi nasional tentunya tidak
terlepas dari situasi dan kondisi pada waktu menyusun posisi
dimaksud.Dari sudut pandang tersebut, tentunya kita perlu mengkaji
ulang posisi yang mungkin dirumuskan pada saat perundingan DDA
dimulai. Oleh sebab itu, seyogyanya dalam menyusun posisi runding
kedepan juga memperhatikan kondisi masa kini Indonesia - meskipun
masih banyak hal yang perlu ditingkatkan - yang dipandang sebagai salah
satu ‘emerging market’. Ekspor non migas yang meningkat dari waktu
kewaktu, anggota G-20, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia,
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, peringkat daya saing yang
meningkat, banyak menjalin kerjasama dalam persetujuan perdagangan
bebas ditingkat bilateral maupun regional dan sebagainya. Kondisi
tersebut tentunya bisa meningkatkan rasa percaya diri sebagai dasar dalam
menyusun posisi runding.Posisi runding yang selama ini terasa defensif
hendaknya mulai mengarah kepada posisi ofensif. Ini merupakan waktu
yang tepat untuk mengawali upaya melihat kembali posisi Indonesia
dalam perundingan DDA selama ini, termasuk pada ‘political
level’.Tahun ini Indonesia adalah Ketua ASEAN, kita juga menghadapi
pertemuan para pemimpin APEC di Amerika Serikat dan G-20 di
Perancis. Oleh sebab itu, acuan waktu kita dalam proses perundingan
DDA hendaknya tidak hanya pada KTM WTO Desember 2011. Semakin
cepat perundingan DDA diselesaikan akan semakin baik karena masih
banyak masalah-masalah dihadapan kita seperti ancaman perubahan
iklim, krisis pangan dan lain-lain yang juga memerlukan perhatian kita
Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan “Uruguay
Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General
Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). WTO saat ini terdiri atas 153
negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan Negara berkembang
atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah
negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development
Agenda” (DDA) yang dimulai tahun 2001. Pengambilan keputusan di
WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara
anggota.Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri
(KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali.Kegiatan-kegiatan
pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di
bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi dewa, komite dan
sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi
penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip
pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan
batas wilayah, memberikan jaminan atas “most-favored-nation principle”
(MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara Negara
anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya.
Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan
pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan
mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan,
meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun
perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar
harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai
dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap
Negara anggota.

Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan


Negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan
membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi
pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi
Negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan
internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu
utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan
pertanian (Non-Agricultural Market Access – NAMA), perdagangan
sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya
terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk pertanian, menjadi
isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian
besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan
permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood
security dan rural development). Sementara bagi Negara maju, pemberian
subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam
kebijakan pertanian mereka. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi
runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya
pertanian dan NAMA.Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga
dilakukan “suspension” pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara
penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007.Pada bulan Juli 2008,
diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati
modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-si single-
undertaking seperti isu jasa, kekayaan intelektual, pembangunan dan
penyelesaian sengketa.Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami
kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan
dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat
Tinggi dan Tingkat Menteri, baik dalam format terbatas (plurilateral dan
bilateral) maupun multilateral.Namun semua upaya tersebut belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan.Pihak-pihak utama yang
terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka. Target
Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 Komite/Negotiating Groups
diharapkan mengeluarkan final texts atau teks modalitas yang akan
menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha, pada bulan
April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran
Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011, dan pada akhirnya,
seluruh Schedule dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai
(ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya
sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap
Program Kerja yang ada. Pada bulan Desember 2011 telah
diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa.
KTM menyepakati elemen-elemen arahan politik (political guidance)
yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha
Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan Politis (political
guidance) yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema:
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO • Penguatan
aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
• Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.
Menyangkut pelaksanaan fungsi politik, KTM menghasilkan Chair’s
Concluding Statement yang berisi rangkuman atas isu-isu negosiasi yang
digarisbawahi Anggota (Bagian Kedua Statement) maupun Arahan Politis
(political guidance) yang disepakati bersama terkait tema-tema :
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO
• Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.
Posisi Indonesia Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara
pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi
PersetujuanPembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1994. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia
bergabung dengan koalisi antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang
kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif
dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama
yang mengedepankan pencapaian development objectives dari DDA.

Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi


kepentingan utama Indonesia seperti pembangunan, kekayaan intelektual,
lingkungan hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur
perdagangan multilateral. Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus
melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan
mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta
Besar/Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan
Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa, demi
tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara
berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi
negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki
pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan anggotanya saat ini
bertambah menjadi 46 negara. Indonesia menilai bahwa apa yang sudah
disepakati sampai saat ini (draft modalitas pertanian dan NAMA)
merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah
mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau
kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan
merubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah
berhasil dicapai. Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis
dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi
dan balance yang ada saat ini untuk kemudian membicarakan ambisi baru
pasca Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk
meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draft
Modalitas tanggal 6 Desember 2008.

Anda mungkin juga menyukai