Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,
puji syukur kami panjatkan kepada sang pencipta jagad raya ini, karena dengan rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai syarat nilai tugas dalam
Mata Kuliah Politik Luar Negeri RI.
Salawat beriringkan salam tidak bosan-bosannya kami paparkan kepada baginda
Muhammad SAW beserta kepada sahabat-sahabat beliau sekalian.
Dalam penyusunan makalah ini kami telah banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak
langsung.Dengan demikian pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini belum sempurna bahkan masih
terdapat kekurangan di berbagai bahasan.Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna dan
dapat dijadikan sebagai rujukan oleh pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN
Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.2
Tujuan Penulisan................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
1.3
1.4
1.5
Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Lama..............6
1.6
1.7
1.8
Politik Mercusuar.............................................................................................10
11
1.2
1.3
1.4
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif memilki landasan yang
kuat dan kokoh. Landasan tersebut tercantum pada alinea pertama dan keempat
Pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 serta pasal 11 UUD
1945. Dalam alinea pertama disebutkan, " penjajahan harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Sedangkan dalam alinea keempat
dinyatakan, " ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial " Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 berbunyi, "Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain."
Selain landasan tersebut, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia bebas aktif
juga berdasar pada Keterangan Pemerintah di depan sidang BP-KNIP tanggal 2
September 1948. Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif tetap diabdikan untuk
mencapai kepentingan dan tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945.
Secara sosial bangsa Indonesia menghendaki kehidupan yang damai dengan
semua negara di dunia. Sebab itu, kita tidak hanya menjalin kerjasama dengan negaranegara tertentu saja. Kita terbuka terhadap semua bangsa dan negara dalam menjalin
kerjasama.
Secara kejiwaan, apabila bangsa kita membatasi diri hanya dengan negara negara tertentu saja, maka dapat menyebabkan bangsa kita terkucil oleh salah satu
kelompok. Karena alasan itu juga, bangsa Indonesia menentukan haluan politik luar
negeri yang bebas aktif. Bebas artinya dalam menjalin hubungan internasional tidak
dibatasi pada negara-negara tertentu saja. Aktif artinya, bangsa kita tak mau tinggal diam
dalam upaya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.
Sebagai negara bekas koloni yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada
sebuah pilihan sulit, tarikan eksternal dan kebutuhan dana untuk menyukseskan program
pembangunan, pilihan untuk membangun perekonomian seringkali berujung pada
masuknya sebuah negara ke kubu-kubu politik tertentu untuk mendapatkan bantuan.
Inilah sebabnya, sebuah pembangunan akan sangat menentukan bagi politik luar negeri
sebuah negara.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, sejak tanggal 2 September 1948, Pemerintah
Indonesia mengambil haluan bebas aktif untuk politik luar negerinya. Dalam sidang
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Pemerintah Indonesia
menyampaikan sikap politik luar negeri Indonesia seperti berikut. Sikap pemerintah
tersebut dipertegas lagi oleh kebijakan politik luar negeri Indonesia yang antara lain
dikemukakan oleh Drs. Moh. Hatta. Ia mengatakan, bahwa tujuan politik luar negeri
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara;
2. Memperoleh barang-barang dari luar untuk memperbesar kemakmuran rakyat,
apabila barang-barang itu tidak atau belum dapat dihasilkan sendiri;
3. Meningkatkan perdamaian internasional, karena hanya dalam keadaan damai
Indonesia dapat membangun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk
memperbesar kemakmuran rakyat;
4. Meningkatkan persaudaraan segala bangsa sebagai cita-cita yang tersimpul dalam
Pancasila, dasar dan falsafah negara Indonesia.
Politik yang bebas aktif, bebas berarti bahwa bangsa Indonesia bebas menentukan
dan berhubungan dengan negara mana pun. Kita tidak membatasi hubungan dengan
bangsa-bangsa Eropa saja atau dengan bangsa Timur saja. Kita berhubungan dengan
semua bangsa di dunia. Aktif, artinya bahwa bangsa Indonesia turut aktif dalam
menciptakan perdamaian dunia. Perwujudannya, bahwa bangsa Indonesia akan berusaha
untuk membantu negara-negara yang terjajah agar terbebas dari penjajahan, tidak mau
menjajah bangsa lain, dan selalu mengutamakan jalan pemecahan dengan cara damai
terhadap setiap konflik yang terjadi. Berikut adalah kutipan dari pernyataan Hatta
Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita
jangan menjadi objek dalam pertarungan internasional, melainkan kita harus tetap
menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan
5
tujuan kita sendiri, yaitu merdeka seluruhnya. Inilah yang kemudian mencetuskan
politik bebas aktif.
e. Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Lama
Pada masa orde lama (Demokrasi Terpimpin), politik luar negeri Indonesia pernah
belok ke arah negara-negara Eropa Timur atau Uni Soviet, dan politik luar negeri
Indonesia juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat itu Indonesia menentang keras
adanya nekolim, yakni imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme (Bunnell,
1966:37).
Kebijakan Soekarno dalam politik luar negeri yang cenderung konfrontatif ini
didasarkan pada dua faktor utama, yakni ideologi dan psikologi. Dari segi ideologi,
Soekarno menganut paham neo-Marxis Leninis yang melihat pada sejarah kontemporer
yang berisikan pertentangan antara negara kapitalis lama (Barat) dengan negara-negara
yang baru muncul serta negara-negara sosialis baru (Bunnell, 1966:38). Sedangkan dalam
segi psikologi, trauma akibat praktek imperialisme dan kolonialisme oleh negara-negara
Barat yang begitu lama membuat Soekarno perlu untuk mencantumkan politik
konfrontasi sebagai arah kebijakan politik luar negerinya.
Ketidaksukaan Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya
terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil
alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat
yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan
Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh
Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan
negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat.
Dengan alasan itu, pemerintah Indonesia akhirnya membelokkan haluan
politiknya ke arah timur (Uni Soviet). Indonesia mengambil haluan politik luar negeri
dengan membentuk Poros Jakarta _ Hanoi _ Phnom Penh _ Peking _ Pyongyang.
menguntungkan Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga khawatir akan terjadinya
konflik bersenjata di tanah Irian Barat. Sehingga 15 Agustus 1962 menjadi hari yang
bersejarah bagi Indonesia. Dimana ditandanginya Perjanjian New York antara Indonesia
dengan Belanda yang bertempat di Markas Besar PBB di New York. Isi perjanjian New
York tersebut adalah :
1. Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana
Sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada
tanggal 1 Oktober 1962.
2. Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat
berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada
tanggal 31 Desember untuk digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi
bendera PBB.
3. Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya
diserahkan kepada pihak Indonesia.
4. Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada
tanggal 1 Mei 1963.
5. Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan
pendapatnya tetap dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Demikian juga ketika Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dalam PEPERA
yang diadakan di akhir tahun 1969 tersebut, rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan
Indonesia. Sehingga Belanda harus secepatnya keluar dari bumi Irian Barat, mengingat
kedua belah pihak baik Indonesia maupun Belanda telah berjanji untuk menghormati
hasil PEPERA tersebut. kemudian, hasil dari PEPERA tersebut dilaporkan ke New York
melalui utusan Sekjen PBB Ortisz Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke
24 pada November 1969.
g. Konfrontasi Terhadap Malaysia ( 1963-1966 )
Disamping permasalahan pembebasan Irian Barat, Indonesia juga mengalami
konfrontasi dengan Malaysia. Konfrontasi tersebut terjadi pada tahun 1963 hingga 1966.
Hal tersebut dilatar belakangi oleh pernyataan Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri
Malaya yang mengemukakan gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari
8
h. Politik Mercusuar
10
Politik luar negeri pasca era Orde Lama juga ditandai dengan usaha keras
Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam
konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia (Bunnell, 1966:42).
Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan
perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Namun seiring
berjalannya waktu, status dan prestige menjadi faktor-faktor pendorong semakin
gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini. Efek samping dari
kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah domestik
seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase
awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau beranggapan
bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi
maupun budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi domestik (Bunnell, 1966:43). Soekarno dengan gencar
melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan kondisi
perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat- marit akibat inflasi yang
terjadi secara terus- menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk
proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging
Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak.
Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab kebobrokan dan krisis
Indonesia pada masa Orde Lama.
Sebagai bangsa yang menganut politik luar negeri bebas aktif, Indonesia
melakukan berbagai kegiatan yang merupakan perwujudan dari politik luar negeri bebas
aktif tersebut. Di antara kegiatan yang dilakukan sebagai wujud dari Politik Luar Negeri
Indonesia Bebas Aktif adalah sebagai berikut.
i.
Konferensi Tingkat Tinggi AsiaAfrika (disingkat KTT Asia Afrika atau KAA;
kadang juga disebut Konferensi Bandung) adalah sebuah konferensi antara negara-negara
Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA
11
diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon),
India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario.
Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung,
Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan AsiaAfrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet,
atau negara imperialis lainnya.
Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada
saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang
sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan
mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin;
kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan
Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang
damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap
kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial
perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam
pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.
Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut
Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kerusuhan
dan kerjasama dunia". Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam
PBB dan prinsip-prinsip Nehru. Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya
Gerakan Non-Blok pada 1961.
Maksud dan tujuan diadakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung adalah
untuk:
1. meningkatkan kemauan baik (goodwill) dan kerja sama antar bangsa-bangsa Asia
Afrika, serta untuk menjajagi dan melanjutkan baik kepentingan timbale balik
maupun kepentingan bersama;
2. mempertimbangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya dalam
hubungannya dengan negara-negara peserta;
3. mempertimbangkan masalah-masalah mengenai kepentingan khusus yang
menyangkut rakyat Asia Afrika, dalam hal ini yang menyangkut kedaulatan
nasional, rasialisme, dan kolonialisme;
4. meninjau posisi Asia Afrika dan rakyatnya dalam dunia masa kini dan saham yang
diberikan untuk peningkatan perdamaian dunia dan kerja sama internasional.
12
ii.
Seusai Perang Dunia II, negara-negara di dunia terbagi ke dalam dua blok, yaitu
Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni
Soviet. Adanya dua kekuatan tersebut menyebabkan terjadinya "Perang Dingin" (Cold
War) di antara kedua blok itu. Akibatnya, suhu politik dunia menjadi memanas dan penuh
dengan ketegangan-ketegangan.
Kata Non-Blok diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri India Nehru
dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. Gerakan Non-Blok bermula dari
sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika sebuah konferensi yang diadakan di
Bandung, Indonesia, pada tahun 1955. Di sana, negara-negara yang tidak berpihak pada
blok tertentu mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi
ideologi Barat-Timur. Pendiri gerakan ini adalah lima pemimpin dunia yang terdiri dari
Josip Broz Tito presiden Yugoslavia, Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser
presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah
dari Ghana.
Pertemuan pertama berlangsung tahun 1961 di Beogard guna mencetuskan prinsip
politik bersama. Pengertian politik itu berbunyi politik berdasarkan koeksistensi damai,
bebas blok, tidak menjadi anggota persekutuan militer dan bercita cita melenyapkan
kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Konferensi pertama negara non
blok September 1961 di Beograd dianggap kelanjutan Konferensi Asia-Afrika 1955 di
Bandung. Sebanyak 25 negara ikut ambil bagian (8 dari Asia, 9 Afrika, 1 Eropa
(Yugoslavia), 1 Amerika Latin (Kuba) dan 6 Arab. Tenaga pendorong konferensi ini
adalah Presiden Tito yang semakin bergeser ke Dunia Ketiga karena ingin lepas dari
isolasi kedua blok. Bertiga dengan Nehru dan Nasser, Tito memerankan kelompok vokal
pertemuan. Konferensi membahas diskriminasi ras, bantuan untuk kemajuan dan
perkembangan serta pelucutan senjata.
iii.
13
Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif menyatakan, bahwa bangsa
Indonesia akan senantiasa aktif dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Untuk
mewujudkan misi ini, maka Indonesia mengirimkan misi perdamaian dunia dengan nama
Pasukan Garuda. Pasukan ini diperbantukan untuk PBB dalam usaha turut mendamaikan
daerah-daerah yang sedang bersengketa.
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Mesir
segera mengadakan sidang menteri luar negeri negara-negara Liga Arab. Pada 18
November 1946, mereka menetapkan resolusi tentang pengakuan kemerdekaan RI
sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Pengakuan tersebut adalah suatu
pengakuan de jure menurut hukum internasional.
Untuk menyampaikan pengakuan ini Sekretaris Jenderal Liga Arab ketika itu,
Abdurrahman Azzam Pasya, mengutus Konsul Jendral Mesir di India, Mohammad Abdul
Mun'im, untuk pergi ke Indonesia. Setelah melalui perjalanan panjang dan penuh dengan
rintangan terutama dari pihak Belanda maka akhirnya ia sampai ke Ibu Kota RI waktu itu
yaitu Yogyakarta, dan diterima secara kenegaraan oleh Presiden Soekarno dan Bung
Hatta pada 15 Maret 1947. Ini pengakuan pertama atas kemerdekaan RI oleh negara
asing.
Hubungan yang baik tersebut berlanjut dengan dibukanya Perwakilan RI di Mesir
dengan menunjuk HM Rasyidi sebagi Charge d'Affairs atau "Kuasa Usaha". Perwakilan
tersebut merangkap sebagai misi diplomatik tetap untuk seluruh negara-negara Liga Arab.
Hubungan yang akrab ini memberi arti pada perjuangan Indonesia sewaktu terjadi
perdebatan di forum Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB yang
membicarakan sengketa Indonesia-Belanda, para diplomat Arab dengan gigih mendukung
Indonesia.
Presiden Sukarno membalas pembelaan negara-negara Arab di forum
internasional dengan mengunjungi Mesir dan Arab Saudi pada Mei 1956 dan Irak pada
April 1960. Pada 1956, ketika Majelis Umum PBB memutuskan untuk menarik mundur
pasukan Inggris, Prancis dan Israel dari wilayah Mesir, Indonesia mendukung keputusan
itu dan untuk pertama kalinya mengirim Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB ke Mesir
yang dinamakan dengan Kontingen Garuda I atau KONGA I.
14
iv.
15
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas kami menyimpulkan bahwa pergerakan politik luar negeri
Indonesia senantiasa berubah dalam implementasinya. Pada masa awal kemerdekaan
politik luar negeri Indonesia adalah bagaimana mencari dukungan sebanyak-banyaknya
untuk mendapat pengakuan internasional. Kemudian lahirlah politik bebas aktif untuk
menyikapi dualisame kekuatan dunia saat itu antara Amerika Serkat dan Uni Soviet.
Selanjutnya di bawah komando Soekarno arah politik luar negeri Indonesia mengalami
pergeseran dari semula yang tidak dipengaruhi oleh blok manapun menjadi lebih condong
ke arah sosialis-komunis. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional
menjadi terbatas pada seputar negara-negara komunis semata. Dari sisi eksternal muncul
konflik dengan Malaysia hingga Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB. Dari sisi
internal Soekarno tidak memperhatikan perkembangan sektor domestik karena menurut
Soekarno pergerakan Indonesia dalam lingkup internasional lebih penting. Meskipun
begitu, masa pemerintahan Soekarno memberikan sumbangsih berarti bagi Indonesia,
contohnya keberhasilan merebut kembali Irian Barat dari Belanda dan keaktifan
Indonesia dalam kancah internasional melaui KAA, KTT Non Blok dan keikutsertaan
Indonesia dalam PBB.
16
REFERENSI
Bunnell, Frederick P., 1966. Guided Democracy Foreign Policy: 1960-1965
President Sukarno Moves from Non-Alignment to Confrontation, dalam Indonesia, 2:
37-76.
Hatta, Mohammad, 1948. Mendayung Antara Dua Karang: Keterangan
Pemerintah tentang Politik-nya kepada Badan Pekerja K.N.P, 2 September 1948, dalam
Sejarah Asal Mula Rumusan Haluan Politik Luar Negeri Bebas Aktif , hlm 12-65.
17