Anda di halaman 1dari 28

Tragedi Semanggi

program tujuan falkutas.

Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar


kualitasnya dapat dipastikan.
Pelajari selengkapnya

Korban tragedi semanggi I


Tragedi Semanggi menunjuk kepada 2
kejadian protes masyarakat terhadap
pelaksanaan dan agenda Sidang
Istimewa MPR yang mengakibatkan
tewasnya warga sipil. Kejadian pertama
dikenal dengan Tragedi Semanggi I
terjadi pada tanggal 11-13 November
1998, masa pemerintah transisi
Indonesia, yang menyebabkan tewasnya
17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal
dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada
24 September 1999 yang menyebabkan
tewasnya seorang mahasiswa dan 11
orang lainnya di seluruh Jakarta serta
menyebabkan 217 korban luka-luka.
Tragedi I
Pada bulan November 1998
pemerintahan transisi Indonesia
mengadakan Sidang Istimewa untuk
menentukan Pemilu berikutnya dan
membahas agenda-agenda
pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali karena
mereka tidak mengakui pemerintahan
Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak
percaya dengan para anggota DPR/MPR
Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk
menyingkirkan militer dari politik serta
pembersihan pemerintahan dari orang-
orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak
Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga
menentang dwifungsi ABRI/TNI.
Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa
itu masyarakat bergabung dengan
mahasiswa setiap hari melakukan
demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan
kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Peristiwa ini mendapat perhatian sangat
besar dari seluruh Indonesia dan dunia
internasional Hampir seluruh sekolah dan
universitas di Jakarta, tempat
diadakannya Sidang Istimewa tersebut,
diliburkan untuk mencegah mahasiswa
berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh
mahasiswa mendapat perhatian ekstra
ketat dari pimpinan universitas masing-
masing karena mereka di bawah tekanan
aparat yang tidak menghendaki aksi
mahasiswa.

Garis waktu …

Pada tanggal 11 November 1998,


mahasiswa dan masyarakat yang
bergerak dari Jalan Salemba, bentrok
dengan Pamswakarsa di kompleks
Tugu Proklamasi.
Pada tanggal 12 November 1998,
ratusan ribu mahasiswa dan
masyrakat bergerak menuju ke gedung
DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-
Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang
berhasil menembus ke sana karena
dikawal dengan sangat ketat oleh
tentara, Brimob dan juga
Pamswakarsa (pengamanan sipil yang
bersenjata bambu runcing untuk diadu
dengan mahasiswa). Pada malam
harinya terjadi bentrok di daerah Slipi
dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa
masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa
dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang
pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka
berat dan masuk rumah sakit.
Beberapa hari kemudian ia meninggal
dunia.
Esok harinya, Jumat-13 November
1998, mahasiswa dan masyarakat
sudah bergabung dan mencapai
daerah Semanggi dan sekitarnya,
bergabung dengan mahasiswa yang
sudah ada di kampus Universitas Atma
Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah
dihadang oleh aparat sejak malam hari
dan pagi hingga siang harinya jumlah
aparat semakin banyak guna
menghadang laju mahasiswa dan
masyarakat. Kali ini mahasiswa
bersama masyarakat dikepung dari
dua arah sepanjang Jalan Jenderal
Sudirman dengan menggunakan
kendaraan lapis baja[1]

Deskripsi …

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang


bergabung diperkirakan puluhan ribu
orang dan sekitar jam 15:00, kendaraan
lapis baja bergerak untuk membubarkan
massa membuat masyarakat melarikan
diri, sementara mahasiswa mencoba
bertahan namun saat itu juga terjadilah
penembakan membabibuta oleh aparat
ketika ribuan mahasiswa sedang duduk
di jalan. Saat itu juga beberapa
mahasiswa tertembak dan meninggal
seketika di jalan. Salah satunya adalah
Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa
Institut Teknologi Indonesia yang
merupakan korban meninggal pertama
pada hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus
Universitas Atma Jaya untuk berlindung
dan merawat kawan-kawan sekaligus
masyarakat yang terluka. Korban kedua
penembakan oleh aparat adalah Wawan,
yang nama lengkapnya adalah Bernardus
Realino Norma Irmawan, mahasiswa
Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta,
tertembak di dadanya dari arah depan
saat ingin menolong rekannya yang
terluka di pelataran parkir kampus
Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai
dari jam 3 sore itu sampai pagi hari
sekitar jam 2 pagi terus terjadi
penembakan terhadap mahasiswa di
kawasan Semanggi dan penembakan ke
dalam kampus Atma Jaya. Semakin
banyak korban berjatuhan baik yang
meninggal tertembak maupun terluka.
Gelombang mahasiswa dan masyarakat
yang ingin bergabung terus berdatangan
dan disambut dengan peluru dan gas
airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu
sehingga jumlah korban yang meninggal
mencapai 17 orang. Korban lain yang
meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo
(YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka),
Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta),
Muzammil Joko (Universitas Indonesia),
Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus
Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto,
Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim
Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah
17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang
mahasiswa dari berbagai Perguruan
Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2
orang anggota aparat keamanan dari
POLRI, seorang anggota Satpam Hero
Swalayan, 4 orang anggota Pam
Swakarsa dan 3 orang warga
masyarakat. Sementara 456 korban
mengalami luka-luka, sebagian besar
akibat tembakan senjata api dan pukulan
benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini
terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan,
aparat keamanan dan anggota
masyarakat lainnya dari berbagai latar
belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna
Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun,
terkena peluru nyasar di kepala[3][4]
Tragedi II
Pada tanggal 24 September 1999, untuk
yang kesekian kalinya tentara melakukan
tindak kekerasan kepada aksi-aksi
mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh
pemerintahan transisi untuk
mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU
PKB) yang materinya menurut banyak
kalangan sangat memberikan
keleluasaan kepada militer untuk
melakukan keadaan negara sesuai
kepentingan militer. Oleh karena itulah
mahasiswa bergerak dalam jumlah besar
untuk bersama-sama menentang
diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia,
Yun Hap meninggal dengan luka tembak
di depan Universitas Atma Jaya.

Daerah lain …

Selain di Jakarta, pada aksi penolakan


UU PKB ini korban juga berjatuhan di
Lampung dan Palembang. Pada Tragedi
Lampung 28 September 1999, 2 orang
mahasiswa Universitas Lampung,
Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul
Fitriah, tewas tertembak di depan
Koramil Kedaton.

Di Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer


Ardiansyah (Universitas IBA Palembang)
tewas karena tertusuk di depan Markas
Kodam II/Sriwijaya.

Film dokumenter
Student Movement in Indonesia,
produksi Jakarta Media Syndication,
1999 (Youtube )

Film dokumenter tentang gerakan


mahasiswa Indonesia selama tahun
1998. Versi aslinya dengan narasi dan
teks berbahasa Inggris. Diputar di
bioskop-bioskop di Indonesia dengan
judul Tragedi Jakarta 1998.

Perjuangan Tanpa Akhir, produksi


Aliansi Korban Kekerasan Negara
(AKKRa), 2005

Film dokumenter berdurasi 28 menit ini


bercerita tentang perjuangan orang tua
korban Tragedi Trisakti (1998), Semanggi
I (1998), dan II (1999) dalam upaya
mereka meraih keadilan.

Indonesian Student Revolt. Don’t


Follow Leaders, produksi Offstream
[1] , 2001
Film dokumenter tentang perjalanan
gerakan mahasiswa Indonesia dari
1966–1998.

Peringatan
Pada tanggal 14 November 2005, para
mahasiswa menaburkan bunga di Jl.
Sudirman tepat di depan kampus
Universitas Atma Jaya untuk
memperingati tujuh tahun Tragedi
Semanggi I. Sehari sebelumnya,
peringatan Tujuh Tahun Tragedi
Semanggi I diadakan di Sekretariat
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban
Pelanggaran HAM (JSKK), Jalan Binong
1A, samping kompleks Tugu Proklamasi.
Dimulai dengan konferensi pers, diskusi,
dan ditutup dengan pemutaran film
dokumenter Perjuangan Tanpa Akhir
karya AKKRa (Aliansi Korban Kekerasan
Negara). [5][6]

Pengusutan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) dalam pertemuannya
dengan Presiden Habibie saat itu
meminta pemerintah untuk memberi
penjelasan tentang sebab dan akibat
serta pertanggungjawaban mengenai
peristiwa tanggal 13 November itu
secara terbuka pada masyarakat luas
karena berbagai keterangan yang
diberikan ternyata berbeda dengan
kenyataan di lapangan. (Kompas, 16
November 1998).
Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto,
dalam jumpa pers di Hankam mengakui
ada sejumlah prajurit yang terlalu
defensif dan menyimpang dari prosedur,
menembaki dan memukuli mahasiswa.
Namun, Wiranto menuduh ada kelompok
radikal tertentu yang memancing
bentrokan mahasiswa dengan aparat,
dengan tujuan menggagalkan Sidang
Istimewa. (Kompas, 23 November
1998).[7]

Pengadilan HAM ad hoc …

Harapan kasus Tragedi Trisakti dan


Semanggi I dan II untuk menggelar
pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum
tragedi berdarah itu dipastikan gagal
tercapai. Badan Musyawarah (Bamus)
DPR pada 6 Maret 2007 kembali
memveto rekomendasi tersebut. Putusan
tersebut membuat usul pengadilan HAM
kandas, karena tak akan pernah disahkan
di rapat paripurna. Putusan penolakan
dari Bamus itu merupakan yang kedua
kalinya. Sebelumnya Bamus telah
menolak, namun di tingkat rapim DPR
diputuskan untuk dikembalikan lagi ke
Bamus. Hasil rapat ulang Bamus kembali
menolaknya. Karena itu, hampir pasti usul
yang merupakan rekomendasi Komisi III
itu tak dibahas lagi.
Rapat Bamus dipimpin Ketua DPR Agung
Laksono. Dalam rapat itu enam dari
sepuluh fraksi menolak. Keenam fraksi
itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi
Partai Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi PKS,
Fraksi PBR, dan Fraksi Bintang Pelopor
Demokrasi (BPD). Sementara fraksi yang
secara konsisten mendukung usul itu
dibawa ke paripurna adalah Fraksi PDI
Perjuangan, Fraksi Kebangkitan Bangsa
(FKB), Fraksi PAN, dan Fraksi PDS.[8]
Keputusan Badan Musyawarah (Bamus)
DPR, ini menganulir putusan Komisi III-
yang menyarankan pimpinan DPR
berkirim surat kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk membentuk
Pengadilan HAM Ad Hoc-membuat
penuntasan kasus pelanggaran hak asasi
manusia Trisakti dan Semanggi semakin
tidak jelas.
Pada periode sebelumnya 1999–2005,
DPR juga menyatakan bahwa kasus
Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II
bukanlah pelanggaran berat HAM.
Tanggal 9 Juli 2001 rapat paripurna DPR
RI mendengarkan hasil laporan Pansus
TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno.
Isi laporan tersebut:

F-PDI P, F-PDKB, F-PKB (3 fraksi)


menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I
dan II terjadi unsur pelanggaran HAM
Berat.
Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-
PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU
(7 fraksi) menyatakan tidak terjadi
pelanggaran HAM berat pada kasus
TSS [9]

Lihat pula
Pasukan Pengamanan Masyarakat
Swakarsa
Tragedi Trisakti
Peristiwa Gejayan

Rujukan
1. ^ Semanggi Peduli
2. ^ Menanti Keadilan atas Kasus
Trisakti dan Semanggi , Suara
Pembaruan, 12 Mei 2007
3. ^ Pernyataan Pers Tim Relawan
untuk Kemanusiaan tentang Tragedi
Sidang Istimewa MPR Tanggal 10-
13 November 1998
4. ^ Pengobatan Ayu Ratnasari, Korban
Semanggi , Kickandy.com
5. ^ Peringatan Tujuh Tahun Tragedi
Semanggi I
. ^ Tabur Bunga Untuk Korban
Semanggi , Kompas 14 November
2005
7. ^ Menolak Kejahatan Kebisuan ,
Kompas 10 November 2003
. ^ DPR menolak Pengadilan HAM
Trisakti-Semanggi , Indymedia
Jakarta
9. ^ Kegiatan Advokasi Kasus TSS
2006 , Kontras

Pranala luar
SemanggiPeduli
IndoProtest
Tragedi Semanggi, arsip milis
apakabar
Peringatan Tujuh Tahun Tragedi
Semanggi I
Blood in the streets
Menolak Kejahatan Kebisuan , Kompas
10 November 2003
Perjuangan melawan Lupa , Situs
Universitas Atma Jaya
Tragedi Semanggi, di Bawah Sepatu
Lars dan Permainan Hukum , Situs
Universitas Atma Jaya
Tragedi Semanggi Jangan Dilupakan ,
Tempo

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Tragedi_Semanggi&oldid=16465675"
Terakhir disunting 4 bulan yang lalu oleh HsfBot

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali


dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai