A. Pengertian
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dirancang dan direncanakan
untuk tujuan terapi, dalam rangka membina hubungan antara perawat dengan pasien
agar dapat beradaptasi dengan stress, mengatasi gangguan psikologis, sehingga dapat
melegakan serta membuat pasien merasa nyaman, yang pada akhirnya mempercepat
proses kesembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal dengan titik tolak
saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Tujuan hubungan
terapeutik diarahkan pada pertumbuhan pasien meliputi: realisasi diri, penerimaan diri
dan peningkatan penghormatan terhadap diri. Sehingga komunikasi terapeutik itu
sendiri merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam komunikasi yang dilakukan
secara terencana dan dilakukan untuk membantu proses penyembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien dan membina
hubungan yang terapeutik antara perawat dan klien. Komunikasi terapeutik juga dapat
dipersepsikan sebagai proses interaksi antara klien dan perawat yang membantu klien
mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan
dengan sesuatu yang tidak dapat diubah dan mengatasi hambatan psikologis yang
menghalangi realisasi diri.
Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan perawat untuk
membantu klien beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan patologis dan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain (Northouse, 1998).
Menurut Stuart G. W (1998) mengatakan komunikasi terapeutik merupakan
hubungan interpersonal antara perawat dengan klien dalam memperbaiki klien dalam
hubungan ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam
rangka memperbaiki pengalaman emosi klien.
Berikut definisi dan pengertian komunikasi terapeutik dari beberapa sumber
buku:
Menurut Yubiliana (2017), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang terjalin
dengan baik, komunikatif dan bertujuan untuk menyembuhkan atau setidaknya
dapat melegakan serta dapat membuat pasien merasa nyaman dan akhirnya
mendapatkan kepuasan.
Menurut Priyanto (2009), komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau
keterampilan perawat untuk membantu klien beradaptasi terhadap stres, mengatasi
gangguan psikologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain.
Menurut Purwanto (1994), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien.
Menurut Stuart & Sundeen (1995), komunikasi terapeutik adalah cara untuk
membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan
pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain.
Menurut Suryani (2005), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan
atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat
membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi.
Beberapa prinsip komunikasi terapeutik menurut Boyd & Nihart (1998) adalah:
1. Klien harus merupakan fokus utama dari interaksi.
2. Tingkah laku professional mengatur hubungna terapeutik.
3. Hubungan sosial dengan klien harus dihindari.
4. Kerahasiaan klien harus dijaga.
5. Kompetensi intelektual harus dikaji untuk menentukan pemahaman.
6. Memelihara interaksi yang tidak menilai, dan hindari membuat penilaian tentang
tingkah laku klien dan memberi nasehat.
7. Beri petunjuk klien untuk menginterpretasikan kembali pengalamannya secar
rasional.
8. Telusuri interaksi verbal klien melalui statemen klarifikasi dan hindari perubahan
subyek/topik jika perubahan isi topik tidak merupakan sesuatu yang sangat menarik
klien.
9. Implementasi intervensi berdasarkan teori.
10. Membuka diri hanya digunakan hanya pada saat membuka diri mempunyai tujuan
terapeutik.
C. Helping Relationship
1. Pengertian Helping Relationship
Helping relationship adalah hubungan yang terjadi diantara dua (atau lebih)
individu maupun kelompok yang saling memberikan dan menerima bantuan atau
dukungan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sepanjang kehidupan.
Pada konteks keperawatan hubungan yang dimaksud adalah hubungan antara
perawat dan klien. Ketika hubungan antara perawat dan klien terjadi, perawat
sebagai penolong (helper) membantu klien sebagai orang yang membutuhkan
pertolongan, untuk mencapai tujuan yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia
klien.
2. Karakteristik Helping Reletionship
Menurut Roger dalam Stuart G.W (1998), ada beberapa karakteristik seorang
helper (perawat) yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang
terapeutik,yaitu:
Kejujuran
Kejujuran sangat penting, karena tanpa adanya kejujuran mustahil bisa
terbina hubungan saling percaya. Seseorang akan menaruh rasa percaya pada
lawan bicara yang terbuka dan mempunyai respons yang tidak dibuat-buat,
sebaliknya ia akan berhati-hati pada lawan bicara yang terlalu halus sehingga
sering menyembunyikan isi hatinya yang sebenarnya dengan kata-kata atau
sikapnya yang tidak jujur (Rahmat, J.,1996 dalam Suryani, 2005).
Sangat penting bagi perawat untuk menjaga kejujuran saat berkomunikasi
dengan klien, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan maka klien akan
menarik diri, merasa dibohongi, membenci perawat atau bisa juga berpura-pura
patuh terhadap perawat.
Tidak membingungkan dan cukup ekspresif
Dalam berkomunikasi dengan klien, perawat sebaiknya menggunakan
kata-kata yang mudah dipahami oleh klien dan tidak menggunakan kalimat
yang berbelit-belit. Komunikasi nonverbal perawat harus cukup ekspresif dan
sesuai dengan verbalnya karena ketidaksesuaian akan menimbulkan
kebingungan bagi klien.
Bersikap positif
Bersikap positif terhadap apa saja yang dikatakan dan disampaikan lewat
komunikasi nonverbal sangat penting baik dalam membina hubungan saling
percaya maupun dalam membuat rencana tindakan bersama klien. Bersikap
positif ditunjukkan dengan bersikap hangat, penuh perhatian dan penghargaan
terhadap klien.
Untuk mencapai kehangatan dan ketulusan dalam hubungan yang
terapeutik tidak memerlukan kedekatan yang kuat atau ikatan tertentu diantara
perawat dan klien akan tetapi penciptaan suasana yang dapat membuat klien
merasa aman dan diterima dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya
(Burnard. P dan Morrison P, 1991 dalam Suryani, 2005).
Empati bukan simpati
Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan
sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien
seperti yang dirasakan dan dipikirkan klien (Brammer, 1993 dalam Suryani,
2005).
Dengan bersikap empati perawat dapat memberikan alternative pemecahan
masalah karena perawat tidak hanya merasakan permasalahan klien tetapi juga
tidak berlarut-larut dalam perasaaan tersebut dan turut berupaya mencari
penyelesaian masalah secara objektif.
Mampu melihat permasalahan dari kacamata klien
Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat harus berorientasi pada
klien (Taylor, Lilis dan Le Mone, 1993), oleh karenaya perawat harus mampu
untuk melihat permasalahan yang sedang dihadapi klien dari sudut pandang
klien. Untuk mampu melakukan hal ini perawat harus memahami dan memiliki
kemampuan mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian.
Mendengarkan dengan penuh perhatian berarti mengabsorpsi isi dari
komunikasi (kata-kata dan perasaan) tanpa melakukan seleksi. Pendengar
(perawat) tidak sekedar mendengarkan dan menyampaikan respon yang di
inginkan oleh pembicara (klien), tetapi berfokus pada kebutuhan pembicara.
Mendengarkan dengan penuh perhatian menunjukkan sikap caring sehingga
memotivasi klien untuk berbicara atau menyampaikan perasaannya.
Menerima klien apa adanya
Seorang helper yang efektif memiliki kemampuan untuk menerima klien
apa adanya. Jika seseorang merasa diterima maka dia akan merasa aman dalam
menjalin hubungan interpersonal (Sullivan, 1971 dalam Antai Ontong, 1995
dalam Suryani, 2005). Nilai yang diyakini atau diterapkan oleh perawat
terhadap dirinya tidak dapat diterapkan pada klien, apabila hal ini terjadi maka
perawat tidak menunjukkan sikap menerima klien apa adanya.
Sensitif terhadap perasaan klien
Seorang perawat harus mampu mengenali perasaan klien untuk dapat
menciptakan hubungan terapeutik yang baik dan efektif dengan klien. Dengan
bersikap sensitive terhadap perasaan klien perawat dapat terhindar dari berkata
atau melakukan hal-hal yang menyinggung privasi ataupun perasaan klien.
Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat
sendiri
Perawat harus mampu memandang dan menghargai klien sebagai individu
yang ada pada saat ini, bukan atas masa lalunya, demikian pula terhadap
dirinya sendiri.
2. Tahap Perkenalan
Merupakan saat pertama perawat bertemu dengan klien. Perkenalan
merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak dengan
klien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan, perawat harus memperkenalkan
dirinya terlebih dahulu kepada klien (Brammer dalam Suryani, 2005). Dengan
memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada klien dan ini
diharapkan akan mendorong klien untuk membuka dirinya (Suryani, 2005). Tujuan
tahap ini adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat
dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu (Stuart,
G.W dalam Suryani, 2005).
3. Tahap Kerja
Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi
terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan klien
bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Pada tahap
kerja ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien mengungkap
perasaan dan pikirannya. Perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan
tingkat analisis yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respons verbal
maupun nonverbal klien.
Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat
pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui active
listening, perawat membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi,
bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau
alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih.
Perawat juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan
klien. Tehnik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan
menegaskan hal-hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat-klien
memiliki pikiran dan ide yang sama (Murray, B & Judth dalam Suryani, 2005).
Tujuan tehnik menyimpulkan adalah membantu klien menggali hal-hal dan tema
emosional yang penting (Fontaine & Fletcner dalam Suryani, 2005).
4. Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien (Christina,
dkk, 2002). Tahap ini dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).
Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat-klien, setelah
terminasi sementara, perawat akan bertemu kembali dengan klien pada waktu yang
telah ditentukan. Terminasi akhir terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses
keperawatan secara keseluruhan.
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
a. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan.
Evaluasi ini juga disebut evaluasi objektif. Dalam mengevaluasi, perawat tidak
boleh terkesan menguji kemampuan klien, akan tetapi sebaiknya terkesan
sekedar mengulang atau menyimpulkan.
b. Melakukan evaluasi subjektif. Evaluasi subjektif dilakukan dengan
menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Perawat perlu
mengetahui bagaimana perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat.
Apakah klien merasa bahwa interaksi itu dapat menurunkan kecemasannya?
Apakah klien merasa bahwa interaksi itu ada gunanya? Atau apakah interaksi
itu justru menimbulkan masalah baru bagi klien.
c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindakan
ini juga disebut sebagai pekerjaan rumah untuk klien. Tindak lanjut yang
diberikan harus relevan dengan interaksi yang akan dilakukan berikutnya.
Misalnya pada akhir interaksi klien sudah memahami tentang beberapa
alternatif mengatasi marah. Maka untuk tindak lanjut perawat mungkin bisa
meminta klien untuk mencoba salah satu dari alternatif tersebut.
d. Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat agar
terdapat kesepakatan antara perawat dan klien untuk pertemuan berikutnya.
Kontrak yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan tujuan interaksi.
Stuart G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses
terminasi perawat-klien merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan,
sehingga jika hal tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka
regresi dan kecemasan dapat terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon tersebut
sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka, empati dan responsif
terhadap kebutuhan klien pada pelaksanaan tahap sebelumnya.