1984
Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan
tahun 1984, merupakan salah satu dari sekian banyak rentetan jejak
dan fakta kelamnya masa pemerintahan Suharto. Satu masa rezim
militer yang berlumuran darah dari awal masa kekuasaannya sampai akhir
masa kediktatorannya. Kemiliteran dibentuk untuk menopang
kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya sebagai kekuatan
negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi
agama yang diakui di Indonesia. Kekuasaan penuh yang dimilki militer
saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan oposisi
politik. Fungsi kekuasaan militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan
keamanan dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk
legitimasi untuk dapat melakukan berbagai macam bentuk tindakan
provokatif tersistematif dan represif, Mereka menggunakan dalih
pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan pengamanan terhadap
kekuasaan, meskipun dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran Ham
paling berat sekalipun.
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa
yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer.
Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung
Priok, Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk
mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak
kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban. Terpilihnya Tanjung
sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga bukan tanpa survey dan
anlisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung
priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu
wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan
kumuh. Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang
terbuat dari barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya bekerja
sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi
sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim
seperti itu menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali
terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut
berbagai isu.
Suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan
sebelum peristiwa itu terjadi. Upaya -upaya provokatif memancing massa
telah banyak dilakukan diantaranya, pembangunan gedung bioskup tugu
yang sering memutar film maksiat yang berdiri persis berseberangan
degan masjid Al-hidayah. Tokoh-tokoh islam menduga keras bahwa
suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu
di pemerintahan yang memusuhi islam. Suasana rekayasa ini terutama
sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung priok. Sebab, di
kawasan lain kota di jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para
mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis islam para mubalighnya
bebas sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan
menentang azas tunggal pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan
syarifudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang
ke tanjung priok agar tidak masuk perangkap, namun seruan itu rupanya
tidakterdengar oleh ulama-ulama tanjung priok.