Anda di halaman 1dari 4

http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20130404/peristiwa-rengasdengklok-penculikan-atau-pengamanan.

html

Kamis, 4 April 2013

Peristiwa Rengasdengklok’, Penculikan atau Pengamanan?


Oleh Rudi Hartono *)
Kamis, 4 April 2013 | 7:04 WIB 4 Komentar | 54726 Views

16 Agustus 1945. Pagi-pagi buta, sekitar pukul 04.30 WIB, sekelompok pemuda
revolusioner membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Di
sana Bung Karno, Bung Hatta, dan pemuda merundingkan Proklamasi Kemerdekaan.

Menurut versi sejarah resmi, peristiwa itu adalah aksi pemuda “menculik” Bung Karno dan
Bung Hatta. Kejadian itu, katanya, merupakan buntut dari silang pendapat antara
golongan tua versusmuda mengenai Proklamasi Kemerdekaan.

Dalam versi sejarah resmi dikatakan, golongan tua terlalu kompromis dan hanya
menunggu hadiah kemerdekaan dari Jepang. Sebaliknya, golongan muda menginginkan
proklamasi segera dilakukan dan tidak rela kemerdekaan sebagai hadiah dari Jepang.

Bung Karno dan Bung Hatta dianggap representasi golongan tua. Sementara di golongan
pemuda ada nama-nama seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Aidit, Sidik Kertapati,
Darwis, Suroto Kunto, AM Hanafie, Djohar Nur, Subadio, dan lain-lain.

Saya pikir, ada beberapa hal yang janggal dari penjelasan sejarah ini. Dengan penggunaan
kata “penculikan”, saya membayangkan pengambilan paksa dan penghilangan kemerdekaan
si bersangkutan. Yang jadi pertanyaan, benarkah Bung Karno dan Bung Hatta dibawa
paksa dan kehilangan kemerdekaannya?

1
Saya membaca buku Sidik Kertapati, Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sidik
Kertapati adalah seorang aktor dari peristiwa itu. Dalam penjelasannya, Sidik Kertapati
jelas-jelas menggunakan istilah “pengamanan tokoh nasional”. Menurutnya, Bung Karno
dan Bung Hatta dibawa keluar kota agar mereka terhindar dari Jepang dalam
membicarakan tugas mereka yang historis, yakni Proklamasi Kemerdekaan.

Kenapa Rengasdengklok? Karena daerah itu sejak lama sudah menjadi pusat gerakan
anti-fasis. Di sana, kata Kertapati, adan kelompok anti-fasis bernama “Sapu Mas”, yang
dipimpin oleh seorang perwira PETA, Syudanco Umar Bahsan.

Kalau kita baca kronologi versi Sidik Kertapati, ketika pemuda berupaya membawa Bung
Karno dan Bung Hatta keluar kota, tidak ada pemaksaan dan penghilangan kemerdekaan.
Ketika itu, sekitar pukul 04.00 WIB, Bung Karno masih tertidur di kediamannya di
Pegangsaan Timur 56 Cikini. Ia dibangunkan oleh Chaerul Saleh.

“Keadaan sudah memuncak. Kegentingan harus diatasi,” ujar Chaerul Saleh kepada Bung
Karno. “Orang-orang Belanda dan Jepang sudah bersiap menghadapi kegentingan itu.
Keamanan Jakarta tidak bisa ditanggung lagi oleh pemuda dan karena itu supaya Bung
Karno bersiap berangkat keluar kota,” tambahnya.

Ketika Bung Karno dan rombongan tiba di Rengasdengklok, para pemuda PETA
menyambut dengan pekik “Hidup Bung Karno!”, “Indonesia Sudah Merdeka!”, dan lain-lain.
Artinya, kalau benar penculikan, tak mungkin ada penyambutan seperti itu.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, ada pertemuan di Asrama Baperki (Badan Perwakilan
Pelajar Indonesia) di Tjikini 71. Sejumlah tokoh pemuda hadir, seperti Chaerul Saleh,
Wikana, Aidit, Djohan Nur, Subadio, Suroto Kunto, dan lain-lain.

Hasil pertemuan itu: Kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan melalui Proklamasi.


Putusan tersebut akan disampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar mereka atas
nama Rakyat Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan itu. Artinya, para pemuda
menginginkan agar Proklamasi dinyatakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama
Bangsa Indonesia. Dalam pertemuan itu juga, seperti diungkapkan Sidik Kertapati, Aidit
mengusulkan agar Bung Karno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Rapat itu kemudian mengutus Wikana, Aidit, Subadio, dan Suroto Kunto untuk menemui
Bung Karno di kediamannya. Wikana bertindak sebagai Jubir pemuda. Utusan pemuda itu

2
mendesak Bung Karno agar menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus
1945.

Menanggapi permitaan pemuda, Bung Karno menyatakan bahwa dirinya tidak bisa
mengambil keputusan sendiri. Ia meminta diberi kesempatan untuk berunding dengan
pemimpin lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan.

Perundingan antar tokoh pemimpin berlangsung saat itu juga. Beberapa saat kemudian,
Bung Hatta keluar menemui pemuda untuk menyampaikan hasil perundingan, bahwa usul
para pemuda tidak bisa diterima karena dianggap kurang perhitungan dan akan memakan
banyak korban jiwa.

Muncul pertanyaan lain: apakah bila Bung Karno menolak usulan pemuda, lantas niat
proklamasi terhenti juga? Sidik Kertapati memberi jawaban. Menurutnya, kemungkinan
tidak ikut sertanya Bung Karno dan Bung Hatta dalam aksi kemerdekaan sudah
diperhitungkan. Sebagai alternatifnya: Proklamasi akan dilakukan melalui Presidium
Revolusi. Artinya, para pemuda sudah punya Plan B. Hanya saja, rencana ini
membutuhkan aksi revolusioner dan kekuatan senjata.

Namun, justu dengan adanya penolakan awal oleh Bung Karno dan Bung Hatta terhadap
proposal pemuda dan juga adanya plan B, saya berkesimpulan bahwa keputusan membawa
Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklot adalah upaya pengamanan. Meskipun, pada
kenyataannya, proses diskusi dan perdebatan antara pemuda dan Bung Karno masih
berlanjut di Rengasdengklok.

Versi Sidik Kertapati ini mirip dengan penjelasan Aidit. Juga pernyataan Jusuf Kunto,
anggota PETA yang terlibat peristiwa itu. Kepada Mr Subardjo, Yusuf Kunto mengatakan,
bahwa alasan mereka membawa Bung Karno dan Hatta adalah karena rasa kekhawatiran
bahwa mereka akan dibunuh oleh pihak Angkatan Darat Jepang atau paling sedikitnya
dipergunakan sebagai sandera kalau kerusuhan timbul. Maklum, kata Yusuf Kunto, pada
tanggal 16 Agustus 1945, pemudan dan PETA merencanakan melaksanakan aksi revolusi.

Dari cerita di atas, saya berusaha mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, inisiatif
pemuda membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok bukanlah penculikan,
melainkan pengamanan. Alasannya, pada tanggal 16 Agustus itu, pemuda merencanakan
“Aksi Revolusi” untuk memproklamasikan kemerdekaan. Walaupun, pada kenyataannya,
aksi revolusi itu tidak terjadi.

3
Kedua, perbedaan antara Bung Karno dan pemuda adalah soal kemerdekaan adalah soal
cara. Bung Karno menginginkan Proklamasi Kemerdekaan tetap melalui jalur aman, yakni
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), demi menghindari pertumpahan darah
dan jatuhnya korban di kalangan rakyat Indonesia. Sedangkan pemuda menghendaki jalur
aksi revolusi, yakni proklamasi kemerdekaan di tengah-tengah massa rakyat.

Proklamasi Kemerdekaan dilakukan tanggal 17 Agustus 1945 di kediaman Bung Karno di


Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno atas nama
Bangsa Indonesia. Bukan oleh PPKI—sesuai dengan keinginan pemuda.

*) Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat–Partai Rakyat Demokratik (PRD);


Pimred Berdikari Online

***

Anda mungkin juga menyukai