Anda di halaman 1dari 30

Kurikulum 2013 Revisi K

e
l
a
s

sejaraH INDONESIA XI

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA DARI


SEKUTU (BAGIAN II)

SEMESTER: 2, KELAS XI SMA/MA/SMK/MAK

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan
sebagai berikut.
1. Mampu menganalisis pertempuran Bandung Lautan Api dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
2. Mampu menganalisis pertempuran Puputan Margarana dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
3. Mampu menganalisis peristiwa Westerling di Makasar.
4. Mampu menganalisis Agresi Militer Belanda 1 & 2.
5. Mampu menganalisis Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

A. Pertempuran Bandung Lautan Api


Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, situasi Kota Bandung
dipenuhi oleh semangat kemerdekaan. Para pemuda secara sporadis
melakukan perebutan senjata dan kantor-kantor dari tangan tentara
Jepang yang masih berada di Bandung. Pada saat yang bersamaan
pasukan Sekutu yang bernama RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War
an Internees) dibawah komando Brigadir Jenderal Mac. Donald tiba di
Bandung pada 12 Oktober 1945 dengan menggunakan kereta api. as

Gambar 1. Kota Bandung


Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_
Bandung

Kedatangan Sekutu di Bandung diwarnai bentrokan-bentrokan.


Pihak Sekutu yang membebaskan tentara Belanda dari penjara langsung
mempersenjatai tentara Belanda tersebut. Hal ini tentu merisaukan TKR
(Tentara Kemanan Rakyat) yang saat itu sedang menegakkan kedaulatan
Indonesia di Bandung.

1. Ultimatum Pertama dan Pengosongan Bandung Utara


Pertempuran demi pertempuran dilancarkan oleh TKR dengan dibantu
oleh barisan laskar pemuda di wilayah yang diduduki oleh Sekutu.
Pertempuran banyak terjadi di wilayah Bandung Utara, salah satunya
adalah pertempuran yang terjadi di Hotel Homann dan Hotel Preanger
pada 21 November 1945. Hotel tersebut diserang Pasukan TKR karena
dijadikan maskar komando oleh pasukan Sekutu.
Akibat dari penyerangan ke markas Sekutu tersebut, pada 27 November
1945, Brigjen Mac. Donald mengeluarkan ultimatum yang pertama
kepada masyarakat Bandung. Ultimatum tentara Sekutu ini diberikan
kepada Gubernur Jawa Barat saat itu, Sutarjo Kartohadikusumo, untuk
selanjutnya disampaikan kepada seluruh rakyat Bandung. Ultimatum itu
adalah sebagai berikut.

2
a. Semua senjata-senjata milik serdadu Jepang yang dilucuti dan hasil
rampasan yang berada di tangan rakyat Bandung agar diserahkan
kepada Sekutu.
b. Seluruh rakyat Bandung, termasuk juga tentara Indonesia, pejuang,
dan barisan laskar pemuda untuk segera meninggalkan wilayah
Bandung Utara paling lambat pada 29 November.
Ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan Sekutu ini tidak dihiraukan
oleh rakyat dan para pejuang kemerdekaan. Mereka masih tetap
menduduki wilayah Bandung Utara. Ketidakpatuhan rakyat Bandung
terhadap ultimatum ini, membuat tentara Sekutu marah dan melakukan
serangan ke tentara Indonesia dan laskar-laskar.
Serangan tentara Sekutu semakin meluas sampai kewilayah Pasundan,
Pungkur, dan Tegalega. Pada 2 dan 6 Desember 1945 terjadi pertempuran
sengit di daerah Lengkong. Untuk menggempur pasukan Indonesia,
Sekutu melancarkan serangan melalui udara dengan menerbangkan
pesawat B-25 dan P-51 Mustang untuk melakukan pengeboman di daerah
Lengkong.
Serangan ini juga menyasar kerumah penduduk sipil sehingga secara
berangsur-angsur, tentara Indonesia dan laskar bergerak mundur ke
wilayah Bandung Selatan. Dengan begitu, untuk sementara waktu Kota
Bandung terbagi menjadi 2 pendudukan, Bandung Utara menjadi wilayah
kekuasaan Sekutu dan Bandung Selatan menjadi wilayah kekuasaan
Republik Indonesia.
Ambisi tentara Sekutu dan NICA untuk kembali menguasai
seluruh wilayah Bandung semakin menguat. Mereka berencana untuk
membangun pangkalan Sekutu di Bandung. Atas rencana itu, pada 17
Maret 1946 Panglima tertinggi AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
Letnan Jenderal Montagu Stophord yang berkedudukan di Jakarta,
memberikan ultimatum kedua untuk Kota Bandung Selatan.
Ultimatum kedua tersebut disampaikan melalui Perdana Menteri RI,
Sutan Syahrir. Isi Ultimatum kedua berbunyi perintah agar Pemerintah
Republik Indonesia segera memerintahkan TRI (TKR sudah berganti
nama menjadi Tentara Republik Indonesia pada tanggal 24 Januari 1946)

3
dan seluruh laskar perjuangan pemuda untuk segera meninggalkan Kota
Bandung Selatan sejauh radius 11 km dari pusat Kota Bandung Selatan.
Ultimatum tentara Sekutu ini disebarkan juga kepada rakyat Bandung
Selatan, melalui selebaran-selebaran yang disebar dengan pesawat udara
di atas Bandung Selatan. Sekutu memberikan batas waktu pengosongan
Bandung Selatan paling lambat hingga tengah malam, tanggal 24 Maret
1946.

2. Dua Perintah yang Membingungkan


Perintah ultimatum dari Sekutu cepat ditangapi oleh para pejuang
kemerdekaan. Para pejuang segera mengadakan rapat di Gedung Sate
dan menghasilkan kebijakan untuk memenuhi keinginan Sekutu.
Akan tetapi sebelum hasil rapat tersebut dijalankan, pejuang dari
Bandung akan meminta tanggapan terlebih dahulu dari Pemerintahan
Indonesia di Jakarta. Kolonel A.H Nasution segera menghadap Perdana
Menteri Syahrir. Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Sjafirudin
Prawiranegara dan Mayjen Didikartasasmita menghasilkan keputusan
sebagai berikut.
a. TRI diperintahkan untuk memenuhi ultimatum Sekutu agar ke luar
dari kota Bandung Selatan.
b. Pemerintahan sipil Republik Indonesia akan tetap berada di Kota
Bandung Selatan, dengan tujuan untuk menghindari pengambil
alihan pemerintahan sipil oleh NICA.
c. Perdana Menteri Sutan Sjahrir memerintahkan agar jangan terjadi
pembakaran dan sebagainya, untuk menghindari kerugian rakyat.
Perintah Perdana Menteri Sutan Syahrir ini bukan bermaksud untuk
menyerah dari pihak Sekutu, akan tetapi lebih pada taktik diplomasi.
Pemerintah Indonesia yang pada saat itu juga sedang melakukan sejumlah
diplomasi, menilai bahwa mundurnya pasukan TRI dari Bandung sebagai
sebuah posisi tawar yang baik untuk diplomasi kepada pihak Sekutu.
Kolonel A.H Nasution setelah bertemu dengan Perdana Menteri Sutan
Syahrir, tiba di Bandung pada 24 Maret 1946, pukul 08.00 pagi. Kolonel A.H
Nasution segera mengadakan pertemuan dengan perwira penghubung

4
Sekutu, Kolonel Hunt untuk membahas langkah-langkah mundur TRI
dari Bandung Selatan. Ketika Kolonel A.H Nasution mengadakan rapat
dengan pejuang, perintah dari Markas Besar TRI di Yogyakarta datang.
Perintah langsung dari Jenderal Besar Sudirman, memerintahkan
agar TRI bertahan di Kota Bandung Selatan. Dua perintah yang saling
bertentangan tersebut akhirnya dibahas dalam rapat Majelis Persatuan
Perjuangan Priangan (MP3) di markas Divisi III TRI.
Rapat Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) dihadiri oleh
seluruh unsur laskar dan pejuang, musyawarah itu juga dihadiri oleh
para Komandan Divisi III Kolonel A.H. Nasution, Komandan Batalyon
I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon II Mayor Sumarsono,
Komandan Batalyon III Mayor Ahmad, Komandan Resimen VIII Letkol
Omon Abdurrahman, Wiranatakusumah. Rapat dipimpin oleh ketua
MP3 Letkol Soetoko dan Komandan Polisi Tentara Rukmana. Setelah
dipenuhi oleh perdebatan atas dua perintah yang bertentangan tersebut,
diputuskanlah beberapa hal berikut ini.
a. Seluruh unsur TRI, para laskar dan pejuang, pemerintah sipil
Republik Indonesia dan rakyat akan meninggalkan Kota Bandung
Selatan.
b. Pengosongan Bandung Selatan akan dilakukan dengan disertai
strategi bumi hangus.
c. TRI dan unsur Laskar dan Pejuang akan menjalankan strategi perang
gerilya di pegunungan, diluar Kota Bandung.

3. Bandung Lautan Api


Pada 24 Maret 1946, pukul 14.00, Kolonel A.H. Nasution mengumumkan
hasil rapat MP3 melalui siaran radio RRI (Radio Republik Indonesia).
Pengumuman singkat melalui radio ini berisi imbauan agar penduduk
dan pegawai pemerintah sipil untuk keluar dari Kota Bandung bersama-
sama TRI dan para pejuang kemerdekaan.

5
Gambar 2. Kota Bandung Selatan terbakar
Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka

Pada pukul 15.00 strategi bumi hangus dilakukan TRI dan barisan
laskar pejuang. Melalui koordinasi yang baik evakuasi rakyat Bandung
segera dilakukan sambil proses penghancuran terjadi. TRI dan para
laskar pejuang mempersiapkan peledakan dan pembakaran objek-objek
vital, sementara para perangkat pemerintahan sipil mengatur penduduk
untuk segera mengungsi.
Evakuasi rakyat lebih cepat daripada yang dijadwalkan, secara
berangsur-angsur lebih dari 200.000 warga Bandung meninggalkan
rumahnya. Peledakan objek-objek vital yang akan dilaksanakan pada
tengah malam dapat dilakukan lebih cepat, pada pukul 20.00. Para tentara
TRI dan laskar pejuang menunggu hingga waktu malam, hal ini untuk
menghindari korban dari rakyat sipil.

Gambar 3. Peta Kota Bandung

6
Penghancuran objek-objek vital mulai dilakukan oleh para pejuang,
sambil bersiaga terhadap serangan Sekutu. Banyak rakyat yang juga rela
membakar tempat tinggalnya agar tidak dikuasai oleh tentara Sekutu.
Rakyat Bandung memberikan kotanya tidak dalam keadaan utuh. Pada
malam itu api berkobar di sebagian besar kota Bandung Selatan, dan
membuat kota tersebut seperti lautan api. Penghancuran ini juga menyasar
tempat-tempat militer milik Sekutu. Moh. Toha melakukan aksi heroik,
yaitu meledakan gudang mesiu dengan menggunakan dinamit dan granat
tangan yang diledakan bersama dirinya.
Berita pembumihangusan Bandung oleh tentara TRI di muat dalam
berita Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Wartawan Suara merdeka,
Atje Bastaman menuliskan berita yang berjudul “Bandung Lautan Api”.
Berita ini tersebar dan menjadi sebuah ungkapan bagi peristiwa 24 Maret
1946 tersebut.
Pada 25 Maret 1946 para pejuang dan TRI mulai menjalankan siasat
untuk kembali menduduki Kota Bandung. Strategi gerilya mulai dilakukan
oleh para pejuang, pertempuran mulai berlangsung disekitar wilayah
Bandung. Pada 27 Maret 1946 tentara Sekutu melakukan penyerangan
terhadap kedudukan TRI. Serangan dilakukan dengan menembakkan
meriam gunung dari wilayah Dayeuhkolot ke arah hutan-hutan di
selatan Kota Bandung. Pasukan TRI dan para pejuang tetap melakukan
perang gerilya di sekitar Kota Bandung. Dalam pengungsian dan gerilya,
semangat pejuang untuk merebut kembali Kota Bandung terus dilakukan.
Hal tersebut terus berlangsung sehingga dilaksanakanlah perundingan
Linggarjati yang menghasilkan gencatan senjata dan pengakuan wilayah
Jawa Barat termasuk Bandung sebagai wilayah Republik Indonesia secara
De Fact.

B. Pertempuran Puputan Margarana


Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda datang kembali ke Indonesia
dengan membonceng pasukan Sekutu. Melihat Indonesia sudah
memerdekakan diri, Belanda menyusun konsep baru untuk negara
jajahannya. Belanda yang ingin membentuk negara persemakmuran

7
dibekas koloninya. Salah satunya Negara
Indonesia Timur (NIT) yang meliputi wilayah
Bali. Dalam rangka pembentukan negara baru
ini, pada Mei 1946, Belanda sempat membujuk I
Gusti Ngurah Rai untuk bergabung dan menjadi
tentara bagi negara NIT yang akan dibentuk.
Ngurah Rai adalah mantan anggota KNIL
yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda
menjadi perwira di korps Projada. Ngurah Rai
Gambar 4. I Gusti Ngurah adalah perwira yang berpengaruh bukan karena
Rai
kompetensinya saja tapi juga karena darah biru
Sumber: https://
id.wikipedia.org/wiki/I_
yang dimilikinya. Alasan itulah yang membuat
Gusti_Ngurah_Rai Belanda mencoba memengaruhinya, akan tetapi
bujukan Belanda ini ditolak mentah-mentah
oleh Ngurah Rai. Bahkan Ngurah Rai melalui suratnya, meminta Belanda
untuk meninggalkan Pulau Bali karena menganggu keamanan dan
ketentraman Pulau Bali. Ngurah Rai dengan tegas memilih ikut kepada
Republik Indonesia dan keputusan dari pimpinan di Jawa.
Dalam menghadapi pasukan Belanda yang sudah mendarat di Bali,
maka Ngurah Rai meminta bantuan pasukan dari Jawa. Agar pasukan Jawa
dapat sampai dengan selamat di Bali, maka Ngurah Rai mencoba menarik
perhatian pasukan Belanda dengan cara bergerak ke arah timur Bali.
Perjalanan pasukan ke arah Gunung Agung ini beberapa kali mendapat
upaya penyergapan oleh Belanda, akan tetapi dapat dipatahkan oleh
pasukan Ciung Wanara seperti pertempuran di Tanah Arun, pada tanggal
9 Juli 1946 yang dimenangkan oleh pasukan Ciung Wanara pimpinan
Ngurah Rai.
Pertempuran yang terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan membuat
Inggris mencoba mendamaikan Belanda dan Indonesia. Akhirnya
melalui diplomasi, Inggris berhasil mendudukan Belanda dan Indonesia
dalam perjanjian Linggarjati. Perjanjian yang berlangsung di Kuningan,
Jawa Barat ini berlangsung dengan alot dan menghasilkan keputusan
yang mengejutkan bagi sebagian pejuang Indonesia. Pada perjanjian
ini Belanda mengakui Jawa, Madura, dan Sumatra sebagai wilayah

8
kekuasaan Indonesia secara de Facto. Pengakuan ini adalah pilihan sulit
bagi sebagaian pejuang terutama mereka yang berjuang di Indonesia
timur. Perjanjian ini berarti juga menyerahkan wilayah timur Indonesia
dalam kekuasaan Belanda kembali.
Kekecewaan ini dirasakan juga oleh masyarakat Bali, yang wilayahnya
tidak menjadi bagian Republik Indonesia pasca perjanjian Linggarjati.
Sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil, Ngurah Rai berniat akan
mempertahankan wilayah Bali dari Belanda. Setelah melakukan Long
March ke arah timur Pulau Bali, Pasukan Ngurah Rai kembali ke arah barat
Pulau Bali. Dalam perjalanan tersebut mereka singgah di desa Marga, di
wilayah Tabanan.
Pada 18 November 1946, pasukan Ciung Wanara melakukan
penyerangan ke tangsi Polisi NICA di Tabanan. Penyerbuan ini berhasil
merampas senjata dan amunisi dari Belanda. Penyerbuan ini membuat
Belanda marah, ditambah kepala Polisi NICA, yang bernama Wagimin
ikut membelot dan bergabung dengan pasukan Ciung Wanara. Setelah
melakukan pelucutan senjata, Ngurah Rai bersama pasukannya kembali
ke desa Marga.
Belanda segera melakukan pencarian
terhadap pasukan Ciung Wanara ke desa-desa.
Akhirnya, Belanda berhasil menemukan pasukan
Ciung Wanara yang sedang berada di desa Marga,
Belanda segera mengepung desa tersebut. Ngurah
Rai yang mengetahui pergerakan tentara Belanda
ini segera menyebar pasukanya ke ladang jagung.
Belanda mulai melakukan serangan kepada Gambar 5. Taman Pujaan
pasukan Ciung Wanara, tepat didepan garis Bangsa
pertahanan pasukan tersebut. Dengan mudah Sumber: https://
pasukan Belanda dapat dipukul mundur dan id.wikipedia.org/wiki/
Taman_Pujaan_Bangsa_
menewaskan banyak pasukan Belanda. Belanda
Margarana
segera melakukan gerakan mundur hingga ke
desa Tunjuk.
Belanda yang kalah dalam serangan pertama, mengerahkan semua
kekuatannya di Bali untuk datang membantunya. Pengepungan ini

9
dihadapi oleh Ngurah Rai dengan melebarkan pertahanannya, agar
dapat memukul mundur dengan segera. Ribuan pasukan Belanda segera
melakukan penyerangan terhadap pasukan Ngurah Rai yang berjumlah
96 orang. Belanda mencoba mendesak pasukan Ngurah Rai dengan cepat,
bahkan pergerakan pasukan ini masih dibantu oleh pesawat pengebom
yang didatangkan langsung dari Makasar.
Pasuka Ciung Wanara yang sudah mulai terdesak ini akhirnya mulai
meneriakkan “puputan”. Dalam adat Hindu Bali, Puputan merupakan
suatu perang suci yang akan dilakukan hingga titik darah pengahabisan.
Dengan semangat yang berkobar, pasukan Ciung Wanara melawan
gempuran tentara NICA dari darat dan dari udara dengan semangat
pantang menyerah. Pasukan NICA hanya mampu mengepung dan
menembaki dari garis pertahanannya.
Pada sore hari tidak terdengar lagi perlawanan dari pasukan Ciung
Wanara. Seluruh pasukan Ciung Wanara yang berjumlah 96 orang gugur,
termasuk juga Ngurah Rai. Akan tetapi, Belanda kehilangan lebih dari 400
tentara yang tewas dalam pertempuran ini.
Kekalahan pasukan Ciung Wanara yang dipimpin Oleh Ngurah Rai
mempermudah usaha Belanda dalam membentuk Negara IndonesiaTimur.
Dengan terbentuknya negara-negara federasi di kawasan nusantara
membuat Belanda kembali memainkan politik “adu dombanya”. Akan
tetapi, negara Indonesia Timur ini harus bubar setelah pada tahun
1950, Republik Indonesia kembali bersatu. Untuk menghormati Ngurah
Rai dan Pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam puputan Margarana,
pemerintah Indonesia membangun sebuah monumen, Taman Pujaan
Bangsa.

C. Peristiwa Westerling di Makasar


Raymond Paul Pierre Westerling atau yang lebih sering dikenal dengan
Raymond Westerling adalah seorang anggota baret hijau dari pasukan
khusus Koninklijke Leger (Tentara Kerajaan Belanda). Karir militer
Westerling dimulai saat Perang Dunia II, Westerling sempat mendapatkan
kursus militer tingkat komando yang diselengarakan oleh tentara Inggris.

10
Setelah mendapat pelatihan pasukan khusus,
Westerling diterjunkan di Perang Dunia II di
zona Eropa untuk berperang melawan Jerman.
Setelah Perang Dunia II, Westerling
ditugaskan oleh dinas militer Kerajaan Belanda ke
Medan. Dia datang ke Medan dengan misi untuk
membebaskan tentara Belanda dari tawanan
Jepang di Siringgo-ringgo. Setelah tugas tersebut
selesai Westerling ditugaskan ke Jakarta untuk
Gambar 6. Raymond
menjadi instruktur pasukan khusus Depot
Westerling
Speciale Troepen (DST) yang akan ditugaskan
Sumber: https://
untuk tugas khusus militer Belanda. Salah satu id.wikipedia.org/wiki/
misi pasukan DST yang paling terkenal adalah Raymond_Westerling
memadamkan pemberontakan di Sulawesi
Selatan. Bagi Belanda keberadaan tentara Republik Indonesia adalah
sebuah pemberontakan di wilayah Negara Indonesia Timur sehingga
harus dipadamkan agar tidak mengganggu keamanan negara bagian
tersebut. Akan tetapi, pemadaman pemberontakan tersebut dilakukan
dengan cara yang kejam oleh Westerling dan pasukan DST. Pemadaman
ini lebih tepat disebut pembantaian terhadap masyarakat Sulawesi Selatan,
yang terjadi pada periode 11 Desember 1946 - 17 Februari 1947.

1. Negara Indonesia Timur


Perundingan Linggarjati yang berlangsung panjang dan berakhir pada
16 November 1946 menghasilkan pengakuan de facto wilayah Republik
Indonesia oleh Belanda dan sekaligus pembentukan sebuah negara
federal dengan nama Negara Indonesia Serikat. Konferensi dalam
rangka membentuk negara bagian adalah Konferensi Denpasar yang
diselenggarakan pada 7 - 24 Desember 1946. Dalam konferensi tersebut
diputuskan pembentukan Negara Indonesia Timur. Negara bagian ini
meliputi 5 keresidenan, yaitu keresidenan Bali, Lombok, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, dan Maluku. Dalam pemerintahan negara bagian ini
Tjokorde Gde Rake Soekawati diangkat sebagai Presiden Negara Indonesia

11
Timur dan sebagai Perdana Menteri diangkatlah Nadjamuddin Daeng
Malewa, sedangkan untuk parlemen sendiri diketuai oleh Tadjoeddin
Noor.

Gambar 7. Wilayah NIT (berwarna emas)


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Indonesia_Timur

Usaha Belanda untuk membagi wilayah Indonesia dalam negara


bagian ditentang oleh para pejuang republik yang menginginkan tetap
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akhirnya, perlawanan
rakyat terjadi di setiap daerah di Sulawesi khususnya wilayah Sulawesi
Selatan. Setiap daerah terbentuk laskar dan organisasi perjuangan
pemuda. Semua ini di bawah koordinasi Pusat Pemuda Nasional Indonesia
(PPNI) yang dipimpin oleh Manai Sophiaan. Selain organisasi PPNI,
terdapat juga Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS),
organisasi ini menjadi ujung tombak perlawanan pemuda Sulawesi
Selatan yang dibentuk pada 17 Juli 1946. Perlawanan rakyat Sulawesi
Selatan ini mendapat bantuan dari Tentara Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia masih mencoba menancapkan
pengaruhnya di wilayah Sulawesi Selatan dengan cara membentuk
pemerintahan bayangan. Strategi ini untuk tetap menjaga hubungan
dan mengoordinasikan perjuangan di wilayah Sulawesi Selatan. Dengan
demikian, perlawanan rakyat dapat dilakukan terus-menerus dan
menyulitkan Belanda dalam membangun negara boneka.

12
2. Pembantaian Westerling
Perlawanan yang sengit dari pejuang di Sulewesi Selatan ini sangat
menyulitkan Belanda untuk mendirikan Negara Indonesia Timur.
Berdasarkan kesepakatan dalam konferensi Denpasar, bahwa ibu
kota dari Negara Indonesia Timur adalah Kota Makasar, tetapi wilayah
keamanan Kota Makasar tidak memungkinkan. Untuk mengatasi hal
tersebut Belanda akhirnya menerjunkan pasukan khusus dari DST di
bawah komando Westerling. Bersama pasukannya, Westerling mulai
melakukan pengejaran terhadap para pejuang republik. Akan tetapi,
karena dukungan yang luas dari rakyat Sulawesi Selatan usaha ini menjadi
sia-sia.
Untuk mengatasi kebuntuan dalam menangkap para “pemberontak”,
Westerling menerapkan strategi contra-guerilla. Strategi perang yang
dilakukan adalah sebuah penyamaran terhadap apa yang akan Westerling
lakukan sebenarnya. Dalam aksinya Westerling terlebih dahulu menyebar
intelejen untuk memata-matai rakyat Sulawesi Selatan dan mencari para
simpatisan atau pejuang republik. Setelah mendapatkan daftar orang
yang dicarinya maka dia bergerak mengepung desa-desa yang dianggap
sebagai tempat persembunyian orang-orang tersebut.
Operasi pertamanya dilakukan pada 11 Desember 1946, di desa
Borong, Batua, dan Patunorang. Sejak subuh Westerling mengepung lalu
mengumpulkan semua penduduk di Desa Batua untuk diinterograsi dan
dimintai keterangan. Dengan daftar yang sudah dimilikinya, Westerling
mengeksekusi di tempat orang-orang yang dituduh ekstrimis, perampok,
dan pembunuh. Di desa ini, Westerling membunuh 44 orang dengan cara
Standrecht atau pengadilan ditempat. Selanjutnya penduduk desa diancam
agar tidak melindungi pejuang republik dan penjahat yang dicari oleh
militer Belanda.
Aksi penyisiran yang dilakukan oleh Westerling dilakukan hampir
setiap hari sepanjang Desember 1946 hingga Februari 1947. Pola seperti
di atas dilakukan di desa-desa yang dikunjungi oleh Westerling dan
pasukannya. Dan sedikitnya 20 orang tewas dangan pengadilan ditempat.

13
Bahkan pada penyerbuan di Polobangkeng, militer Belanda menewaskan
sekitar 330 rakyat, Penyerbuan Goa memakan korban hingga 257 orang.
Militer Belanda melihat aksi Westerling sebagai sebuah kemajuan
dan bukan sebagai sebuah pelangaran Hak Asasi Manusia. Wilayah
Sulawesi Selatan mulai dikuasai sedikit demi sedikit oleh tentara Belanda.
Untuk lebih memuluskan aksinya, Jenderal Simon Spoor menetapkan
noodtoestand atau keadaan darurat untuk seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Dengan noodtoestand ini, aksi Westerling bersama pasukannya semakin
menjadi-jadi. Mereka terus melakukan pembantaian dan pembunuhan
rakyat dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Dalam aksinya,
Westerling tidak hanya sekadar memberikan perintah, tetapi dia juga
turut melakukan eksekusi dengan cara menembak sendiri rakyat yang
dituduh sebagai pelaku kriminal.
Pada pertengahan Februari 1947, Jenderal Simon Spoor menilai
bahwa keadaan di wilayah Sulawesi Selatan telah dapat diatasi oleh
pemerintahan Negara Indonesia Timur. Pada 21 Februari 1947 Jenderal
Simon Spoor, akhirnya memutuskan untuk mencabut status keadaan
darurat bagi Sulawesi Selatan dan kembali memberlakukan hukum sipil
dan mengembalikan pasukan DTS ke Jawa.

Gambar 8. Pasukan Depot Speciale Troepen


Sumber: https://www.nederlandsekrijgsmacht.nl/
index.php/kl/325-koninklijk-nederlandsch-indisch-leger/
eenheden-knil/1203-korps-speciale-troepen

14
Ditariknya pasukan DTS dan Westerling menghentikan segala aksi
kejamnya di Sulawesi Selatan. Dalam kurun waktu tiga bulan, Westerling
menjadi momok yang menakutkan bagi rakyat Sulawesi Selatan. Hal
ini menjadi trauma sendiri bagi rakyat Sulawesi Selatan karena harus
kehilangan keluarganya tanpa pengadilan yang adil dan layak. Berbeda
dengan rakyat Sulawesi Selatan, rakyat negeri Belanda menyambut
Westerling seperti seorang pahlawan yang telah berhasil menjalankan
tugasnya.
Laporan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia menyebutkan
bahwa korban dari pembantaian yang dilakukan oleh Westerling mencapai
40.000 orang. Pemerintah Belanda sendiri melakukan perhitungan sendiri
pada tahun 1969 dan menyimpulkan bahwa korban dari Westerling
sekitar 3.000 orang. Westerling sendiri mengatakan bahwa korban yang
dia bunuh hanya sekitar 600 orang.
Pembantaian yang dilakukan oleh Westerling adalah sebuah
kejahatan kemanusiaan yang dapat dikatagorikan sebagai sebuah
genocida. Akan tetapi, Westerling sendiri mengangap ini adalah sebuah
tugas yang harus dikerjakan sebagai seorang perwira militer. Terlebih
lagi dalam menjalankan operasinya Westerling mendapatkan ijin dari
Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook serta
Letnan Jenderal Simon Spoor. Oleh karena itu, pembantaian ini menjadi
tanggung jawab pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

D. Agresi Militer Belanda I


1. Perbedaan Tafsir Perjanjian Linggarjati
Perundingan Linggarjati merupakan perundingan yang melelahkan
karena banyak hal yang harus disepakati oleh Belanda dan Republik
Indonesia. Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia
harus berhadapan dengan pemerintahan Republik Indonesia yang
menginginkan kemerdekaan penuh dan mutlak. Dengan penuh
tekanan, akhirnya perundingan dapat diselesaikan dan diratifikasi oleh
parlemen masing-masing negara sehingga perjanjian ini mulai berlaku
pada 25 Maret 1947.

15
Gambar 9. Perundingan Linggarjati
Sumber: https://www.indonesia-nederland.org/
linggarjati-award-2/the-linggadjati-agreement/
attachment/sjahrir-en-schermerhorn/

Akan tetapi perjanjian ini menghasilkan banyak kerancuan dan


penafsiran dari kedua belah pihak. Perbedaaan penafsiran terjadi pada
kesepakatan dalam pembentukan Republik Indonesia Serikat, yang
terjadi pada tanggal 1 Januari 1949. Dalam penafsiran pemerintahan
Indonesia, selama kurun waktu persiapan pembentukan RIS tersebut
maka pemerintahan Republik Indonesia masih berdaulat penuh
dalam menjalankan pemerintahannya. Dengan demikian, hal-hal yang
menyangkut kedaulatan de jure dilaksanakan sendiri oleh pemerintahan
Republik Indonesia.
Tafsiran ini berbeda secara drastis dengan yang dipahami oleh
pemerintah Belanda. Sewaktu menyempaikan hasil perundingan
Linggarjati kepada parlemen Belanda, Menteri Urusan Tanah Seberang,
Jonkman memberikan penafsirannya sendiri dan atas dasar itulah
parlemen Belanda meratifikasi perundingan Linggarjati. Belanda
menganggap bahwa Republik Indonesia adalah salah satu bagian dari
negara persemakmuran, seperti Negara Indonesia Timur yang didirikan
di timur Indonesia.
Penafsiran tersebut membuat Belanda menambahkan jumlah tentara
di wilayah Indonesia, hingga mencapai hampir 100.000 tentara Belanda,
ditambah dengan jumlah tentara KNIL sebanyak 45.000 tentara. Jumlah

16
tentara Kerajaan Belanda mengalahkan jumlah tentara yang dimiliki oleh
Republik Indonesia. Belum lagi dengan persenjataan yang dimiliki oleh
militer Belanda, merupakan senjata cangih dan terbaru, hasil dari hibah
tentara Inggris dan Australia.

2. Operasi Produk
Atas perbedaan penafsiran ini Perdana Menteri Sutan Syahrir telah
melakukan upaya diplomasi untuk meredam ketegangan dan mencoba
mencari solusi atas hal-hal yang diperdebatkan. Akan tetapi, usaha
Sutan Syahrir akhirnya harus berakhir karena KNIP menjatuhkan mosi
tidak percaya sehingga Kabinet Sutan Syahrir harus jatuh dan mandat
dikembalikan kepada Presiden Soekarno. Sebelum pembentukan Kabinet
yang baru, Presiden Soekarno sempat menjawab nota pemerintahan
Belanda, dan nota tersebut dianggap oleh Belanda sebagai sebuah
penolakan atas usul Belanda. Berdasarkan hal ini, Gubernur Jenderal
van Mook memberi perintah kepada Letnan Jenderal Simon Spoor untuk
mempersiapkan operasi militer.
Operasi Militer yang telah dipersiapkan ini sempat tertunda karena
desakan Amerika dan Inggris. Perdana Menteri Republik Indonesia yang
baru, Amir Syarifuddin juga mengusahkan jalan agar tidak terjadi konflik
militer. Hal ini berlawanan dengan van Mook, yang selalu mencari celah
agar opersi militer dapat dilakukan dan menguasai kembali seluruh
wilayah Indonesia. Salah satu strateginya adalah pada tanggal 15 Juli 1947,
Gubernur Jenderal van Mook mengeluarkan ultimatum agar Pemerintahan
Republik Indonesia memerintahkan seluruh pasukannya mundur sejauh
10 km dari garis demarkasi. Ultimatum ini jelas ditolak oleh Pemerintah
Republik Indonesia karena sama saja dengan memperluas wilayah
pendudukan Belanda di Pulau Jawa dan Sumatra.
Akhirnya operasi Militer ini bener-benar dilakukan oleh Belanda.
Gubernur Jenderal Van Mook menyurati Presiden Soekarno tentang
pembatalan sepihak dan rencana aksi militernya, dan pada tanggal 21 Juli
1947 Agresi Militer Belanda I dilakukan di wilayah Sumatra dan Jawa.

17
Gambar 10. Tentara Belanda saat Agresi Militer I
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_
National_Revolution#Operation_Product

Agresi Militer Belanda dengan cepat dilaksanakan dibawah komando


Jenderal Simon Spoor melalui laut, darat, dan udara. Belanda melakukan
penyerangan di sepanjang Pantai Jawa Timur dan merebut lapangan-
lapangan udara yang berada di Jawa dan Sumatra. Penyerangan secara
cepat dan besar-besaran ini membuat Belanda dapat menduduki wilayah
Indonesia dengan cepat. Menurut perhitungan militer Belana, Indonesia
dapat ditaklukan sepenuhnya dalam kurun waktu 6 bulan. Tujuan utama
dari Agresi Militer I ini adalah menguasai wilayah Yogyakarta, yang saat
itu berfungsi sebagai Ibu Kota dari Republik Indonesia. Untuk menguasai
Yogyakarta, Letnan Jenderal Spoor menerapkan strategi memisahkan
Yogyakarta dari kota-kota lain, sehingga suplai terbatas dan Yogyakarta
dapat dikurung sebelum akhirnya diserang total.
Bagi pihak Belanda ini merupakan bukan sebuah Agresi Militer, akan
tetapi hanya sebuah aksi polisionil saja. Hal ini karena pihak Belanda
menganggap bahwa wilayah Republik Indonesia merupakan wilayah
kekuasannya. Dalam melakukan aksi militer ini, Belanda menyebutnya
dengan "Operatie Product" atau Operasi Produk dalam bahasa Indonesia.
Operasi militer ini sangat bermotifkan ekonomi karena penyerangan
tentara Belanda selalu ditujukan untuk menguasai tempat-tempat vital
perekonomian, seperti perkebunan, pertambangan, dan perusahaan.
Pada Agresi Militer I ini, Belanda dapat merebut wilayah Republik

18
Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Purwakarta, Semarang,
Surabaya, Madura, Pelembang, dan Medan.
Agresi militer Belanda I adalah operasi militer yang dilakukan tanpa
etika dan brutal. Operasi ini tidak hanya menyasar tentara dan pejuang
republik tetapi juga rakyat sipil. Banyak rakyat sipil yang menjadi korban
dari penyerbuan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Tentara Belanda
juga tidak memedulikan batasan-batasan dalam hukum perang. Pada
tanggal 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik Indonesia, yang mempunyai
simbol Palang Merah di badan pesawat, ditembak jatuh oleh tentara
Belanda. Pesawat tersebut sedang mengangkut bantuan obat-obatan dari
Palang Merah Singapura dan Malaya. Akibatnya pesawat itu jatuh dan
menewaskan Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh, Komodor
Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, dan Perwira Muda Udara I
Adisumarno Wiryokusumo.
Tentara Republik Indonesia hanya mampu bertahan dari serangan
dengan persenjataan yang terbatas. Untuk menghambat laju serangan,
tentara republik membuat rintangan dan melakukan strategi bumi
hangus ditempat yang akan dilalui oleh tentara Belanda. Tentara
Indonesia menerapkan pertahanan rakyat total dalam melawan Agresi
Militer Belanda I. Di wilayah Jawa, polisi negara dimiliterisasi karena
faktor pertahanan negara lebih utama. Untuk memperkuat pertahanan,
para pemuda dan pelajar juga membentuk kemiliteran, seperti Tentara
Pelajar, Corps Mahasiswa, dan Laskar Perjuangan Hisbullah.
Untuk menghadapi Agresi Militer ini, pemerintah Indonesia
tidak hanya melakukan perlawanan dari sisi militer tetapi juga dengan
menggunakan diplomatik. Pemerintah Indonesia segera mengadukan
operasi militer ini kepada PBB. Atas permintaan dari negara India dan
Australia, pada tanggal 31 Juli 1947 masalah Indonesia ini masuk dalam
agenda sidang Dewan Keamanan PBB. Inggris yang ikut dalam sebagai
penegah dalam perjanjian Linggarjati, beraksi keras dan menentang
pengunaan militer dalam penyelesaian masalah. PBB segera melakukan
sidang dan mengeluarkan resolusi untuk permasalahan Indonesia.
Resolusi PBB no 27 tanggal 1 Agustus 1947, menyerukan Belanda untuk
menghentikan konflik senjata. Atas resolusi PBB dan desakan dunia

19
internasional, Belanda akhirnya bersedia untuk menerima resolusi Dewan
Keamnan PBB dan menghentikan operasi militernya. Oleh karena itu, pada
tanggal 17 Agustus 1947, pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan
Belanda bersama-sama menerima resolusi dan melakukan gencatan
senjata. Selanjutnya, PBB membentuk Komisi Jasa Baik untuk Indonesia
(Committee of Good Offices for Indonesia) pada tanggal 15 Agustus 1947,
untuk menyelesaikan permasalahan Indonesia. Komisi ini dibentuk untuk
melakukan perundingan lebih lanjut dalam menyelesaikan pemerintah
Indonesia. Komisi ini lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara,
karena terdiri dari Amerika Serikat sebagai penengah, Belgia sebagai
wakil Belanda, dan Australia sebagai wakil Indonesia.

E. Agresi Militer Belanda II


1. Pembentukan Negara Federal oleh Belanda
Setelah Agresi Militer Belanda yang pertama berhasil dihentikan oleh
Dewan Kemanan PBB. Sebenarnya tidak menghentikan Belanda untuk
menghancurkan pemerintahan republik Indonesia dengan kekuatan
militer. Akan tetapi, karena desakan dunia Internasional akhirnya Belanda
harus bersedia untuk melakukan perundingan. Atas dorongan dari
komisi Jasa Baik untuk Indonesia atau KTN, maka Belanda dan Indonesia
melakukan perundingan di atas kapal UUS Renville. Perundingan yang
lebih terkenal dengan Perundingan Renville ini akhirnya dapat membuat
Indonesia harus kehilangan sebagian besar wilayahnya. Wilayah Republik
Indonesia hanya menyisakan Sumatra, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Gambar 11. Perundingan Renville


Sumber: https://fr.wikipedia.org/wiki/Accord_
du_Renville

20
Tentara Republik Indonesia meyakini bahwa Agresi Militer kedua
hanya tinggal menunggu waktu, akan tetapi hal itu tidak disepakati oleh
para petinggi pemerintahan. Mereka percaya akan perwakilan PBB yang
akan membantu perundingan yang terus berjalan pasca perundingan
Renville. Belanda yang tidak bisa berbuat banyak karena KTN yang berada
di Kaliurang Yogyakarta, akhirnya mencoba memperkeruh suasana dengan
menghentikan perundingan dan menuduh tidak melaksanakan genjatan
senjata dan perjanjian Renville. Sikap Belanda ini dikarenakan Belanda
yang selalu berpedoman pada garis van Mook, sedangkan pemerintah
Republik Indonesia tidak menganggap hal tersebut.
Belanda yang telah membantuk negara bagian diwilayah Indonesia lain,
ingin segera membantuk pemerintahan federal. Pembentukan ini terhalang
dengan sikap republik yang mengulur-ulur waktu untuk bergabung. Oleh
karena itu, Belanda mempunyai keingingan yang kuat untuk membentuk
Negara Federasi Republik Indonesia Serikat dengan atau tanpa Republik
Indonesia. Pada tanggal 17 Desember 1948 Dr. Beel memerintahkan Elink
Schuurman mengawatkan nota kepada Cochran Anggota KTN dari Amerika
Serikat, dan kawat tersebut harus dijawab Hatta paling lambat pada tanggal
18 Desember 1948. Nota ini seperti sebuah ultimatum untuk Indonesia. Isi
nota tersebut adalah sebagai berikut.
a. Indonesia harus menerima tanpa syarat dari Peraturan Pemerintahan
dalam peralihan yang akan diumumkan segera.
b. Republik Indonesia harus turut ambil bagian dalam Pemerintahan
Interim Federal seperti negara bagian lain, berdasarkan atas
Peraturan Pemerintahan dalam peralihan.
c. Menerima seluruh Peraturan Pemerintahan dalam Peralihan, yang
ada hubungannya dengan kekuasaan Wakil Tinggi Kerajaan Belanda,
angkatan perang, panglima tertinggi angkatan perang, pengumuman
keadaan perang, dan keadaan tidak aman.

2. Penyerbuan ke Ibu Kota Republik Indonesia


Nota dari pemerintah Belanda yang diterima oleh Cochran membuat KTN
marah dan meminta Belanda untuk melakukan perundingan kembali.

21
Akan tetapi Belanda, tetap menunggu jawaban atas notanya tersebut.
Setelah tenggat waktu yang diberikan oleh Belanda, nota jawaban dari
pemerintah Republik Indonesia tidak kunjung datang. Oleh karena itu,
Belanda segera menyiapkan operasi militer untuk menyerang Indonesia.
Operasi militer itu bernama Operatie Kraai atau dalam bahasa Indonesia
disebut Operasi Gagak.

Gambar 12. Peta Agresi Militer II


Sumber: https://www.covzuidoostbrabant.nl/19_
december_1948_061.htm

Serangan militer Belanda terjadi pada tanggal 19 Desember 1948,


tentara Belanda melancarkan serangan dengan taktik perang kilat (blitkrieg)
kesegala sisi Ibu Kota Republik Indonesia, yaitu Yogyakarta. Serangan
pertama kali merebut pangkalan udara Maguwo, dengan pasukan terjun
payung tentara Belanda mengambil alih kendali kota Yogyakarta. Dengan
kekuatan penuh dan mendadak, Belanda berhasil menduduki Ibu Kota
Indonesia di Yogyakarta dengan cepat, serta merebut gedung dan objek
vital lainnya.
Penyerbuan ini mempunyai tujuan utama, yaitu melakukan
penangkapan terhadap pemimpin Republik Indonesia. Tentara Belanda
berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Moh.
Hatta beserta kabinetnya yang saat itu sedang berada di Ibu kota, seperti
Sutan Syahrir, Agus Salim, Mohammad Roem dan A.G. Pringgodigdo.
Sebelumnya Presiden Soekarno telah dibujuk oleh Jenderal Soedirman

22
untuk memimpin perang Gerilya bersama-sama, akan tetapi Presiden
Soekarno memilih untuk bertahan di Ibu kota disebabkan agar dapat
berhubungan terus dengan KTN yang berkantor di Kaliurang. Keterlibatan
KTN dapat membuka mata internasional tentang tindakan Belanda
terhadap pemerintahan Republik Indonesia.
Setelah berhasil menangkap para pemimpin Republik Indonesia,
mereka segera membawa para pemimpin republik untuk diasingkan di
Prapat, Sumatra Utara dan pulau Bangka. Beberapa menteri dapat lolos
dari penangkapan karena berada diluar Ibu Kota republik, seperti dr.
Sukiman, I.J. Kasimo, Supeno, dan Mr. Susanto. Sedangkan Menteri
Kemakmuran Mr. Safrudin Prawiranegara sedang berada di Bukittinggi
dan Mr. A.A Maramis sedang berada di India.
Belanda menganggap operasi militer ini adalah suatu keberhasilan,
setelah mereka berhasil menangkap pemimpin Republik Indonesia.
Operasi militer ini dilakukan Belanda untuk menunjukan pada dunia
Internasional bahwa pemerintahan dan TKR adalah sesuatu yang tidak
ada. Dengan dilakukan penyerangan maka Republik Indonesia dipaksa
untuk menerima Pemerintah Interim Federal.
Akan tetapi diluar dugaan Belanda, aksi militer ini mendapat kecaman
dari dunia Internasional. Amerika yang menjadi penengah dalam KTN
malah mendukung Indonesia. Sikap Amerika ini dapat dipahami karena
Indonesia pada bulan September 1948 telah berhasil menumpas PKI
di Madiun. Amerika mendorong agar diadakan sebuah perundingan
kembali dan mendesak agar dibebaskannya pemimpin Indonesia. Di
wilayah Indonesia sendiri, aksi polisionil Belanda mendapat protes dari
negara bagian Indonesia Timur dan Negara Pasundan. Keinginan untuk
membentuk kabinet baru Republik Indonesia juga ditolak oleh Sultan
Hamengkubuwono IX.
Kemenangan militer Belanda atas perebutan Yogyakarta tidak
diimbangi dengan kemenang diplomatis. Oleh karena itu, secara
diplomatis kemenangan dimiliki oleh pemerintah Republik Indonesia.
Selanjutnya Belanda hanya bisa menerima tekanan untuk menghentikan
agresinya tersebut.

23
3. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Sebelum Belanda menangkap pimpinan
Republik Indonesia, Dewan siasat telah
menyusun suatu rencana untuk membentuk
pemerintahan darurat di Sumatra. Presiden
Soekarno segera membuat surat perintah
dan dikirimkan melalui radiogram kepada
Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin
Gambar 13. Kantor PDRI Prawiranegara, yang saat itu sedang
Sumber: https://id.wikipedia.org/ berada di Bukittinggi, Sumatra Barat. Surat
wiki/Pemerintahan_Darurat_ perintah tersebut berisi pemberian mandat
Republik_Indonesia
kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara
untuk sementara membentuk sebuah kabinet dan mengambil alih tugas
Pemerintah Pusat. Setelah mendapat perintah tersebut, Syafrudin segera
membentuk pemerintahan di Bukittinggi. Untuk menghindari Belanda,
maka pemerintahan ini harus keluar masuk hutan agar tidak tertangkap,
sambil terus memberikan perintah melalui siaran radio. Pemerintahan
darurat ini dikenal dengan nama Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI).
Presiden pun juga mempersiapkan strategi cadangan, bila Syafruddin
gagal membentuk pemerintahan darurat di Sumatra, yaitu membuat
pemerintahan di pengasingan. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah surat
kepada Duta Besar RI untuk India, yakni dr. Sudarsono, serta staf
kedutaan L. N. Palar, dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis. Surat
itu memerintahkan supaya membentuk Exile Goverment of Republik
Indonesia di New Delhi, India, jika Menteri Mr. Syafruddin Prawiranegara
tidak dapat melaksanakan perintah Presiden Soekarno atau mengalami
kegagalan. Pada 21 Desember 1948, empat Menteri di Jawa yang lolos dari
penangkapan yaitu, dr. Sukiman, I.J. Kasimo, Supeno, dan Mr. Susanto
berkumpul untuk melakukan rapat bersama. Hasil rapat para menteri
tersebut disampaikan kepada seluruh petinggi militer, yakni gubernur
militer, gubernur sipil, dan residen di Jawa. Keputusan rapat itu adalah
bahwa Pemerintah Pusat akan dijalankan oleh Menteri Kehakiman,

24
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Perhubungan. Hal ini terjadi karena
tidak satupun dari para menteri ini mengetahui keputusan Dewan Siasat
tentang penunjukan Mr. Syafruddin Prawiranegara atau Mr.A.A. Maramis.

4. Perang Gerilya
Setelah gagal membujuk Presiden Soekarno untuk ikut bergerilya,
Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya langsung. Kolonel A.H.
Nasution selaku Panglima dan Pemimpin Teritorium Jawa menyusun
strategi untuk melawan agresi militer Belanda. Kolonel A.H Nasution
mengeluarkan Perintah Siasat no 1, yang memerintahkan pasukan untuk
menyebar ke wilayah-wilayah federal Belanda agar dapat memperluas
wilayah medan gerilya.

Gambar 14. Pasukan Indonesia di


Yogyakarta
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/
Agresi_Militer_Belanda_II

Belanda mendapat protes keras dari PBB yang dimotori Amerika


Serikat, akhirnya Belanda harus mengikuti desakan PBB untuk melakukan
gencatan senjata pada 31 Desember 1948. Akan tetapi, tentara Republik
tidak menghentikan gencatan senjatanya. Mereka melancarkan serangan
sistematis diseluruh kekuasaan Belanda, sambil menyusun sebuah
serangan berskala besar untuk mengejutkan Belanda dan menunjukkan
kepada dunia Internasional bahwa pemerintaha dan tentara Republik
Indonesia masih ada.

25
F. Serangan Umum 1 Maret
1. Persiapan Penyerangan Serentak
Setelah Agresi Militer Belanda yang kedua pada Desember 1948, militer
Indonesia melakukan gerilya diseluruh wilayah kekuasaan Belanda. Di
pulau Jawa, Kolonel A.H. Nasution memerintahkan untuk memperluas
wilayah gerilya hingga ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Hal ini membuat
konsentrasi militer Belanda yang awalnya berkonsentrasi di Jawa Tengah
harus menyebar kembali. Kesempatan ini dipakai oleh tentara republik
untuk menyerang pos-pos tentara Belanda yang jumlah tentaranya
semakin kecil.
Konsep bertahan yang dilakukan oleh Tentara Republik adalah dengan
sistem pertahanan rakyat total. Tentara republik membuat kantung-
kantung gerilya atau yang disebut Wehrkreise. Pembentukan Wehrkreise
ini didukung dengan pembentukan Pemerintahan Militer di Jawa yang
diproklamasikan oleh Kolonel A.H Nasution selaku wakil panglima.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi propaganda dari Belanda yang
menyebarkan informasi jika tentara republik telah hancur.
Panglima Divisi III, Kolonel Bambang
Sugeng mengeluarkan Perintah Siasat No.4/SD/
Cop/I pada tanggal 1 Januari 1949, yang berisi
perintah kepada LetKol Moch. Bachroen sebagai
Komandan Wehrkreise I, LetKol Sarbini sebagai
Komandan Wehrkreise II, dan LetKol Soeharto
Komandan Wehrkreise III, agar segera melakukan
serangan serentak terhadap Belanda. Keinginan
Gambar 15. Kolonel
Bambang Sugeng Kolonel Bambang Sugeng untuk melakukan
Sumber: https://
serangan serantak ini didasarkan pada analisis
id.wikipedia.org/wiki/ bahwa:
Bambang_Soegeng

a. keberhasilan merebut Yogyakarta yang saat itu ibu kota negara, walau
hanya beberapa saat akan memberi dampak bagi perjuangan untuk
di Indonesia;

26
b. banyaknya wartawan asing di hotel Merdeka Yogyakarta dan anggota
UNCI (KTN) di Yogyakarta, sehingga serangan akan menunjukan kepada
dunia Internasional bahwa tentara Republik Indonesia masih ada;
c. wilayah serangan dilakukan oleh Divisi III sehingga tidak perlu meminta
ijin kepada Panglima dan pasukan memahami daerah operasinya.
Pemikiran Kolonel Bambang Sugeng selanjutnya disampaikan oleh
penasihat militer Divisi III Letkol dr. Wiliater Hutagalung, kepada Jenderal
Sudirman. Ide ini disetujui oleh Jenderal Soedirman dan meminta kepada
Letkol Hutagalung untuk mengoordinasikan dengan Panglima Divisi II
Kol. Gatot Subroto.
Rencana penyerangan besar disusun agar efek serangan dapat besar
dan diketahui oleh dunia internasional. Serangan akan disebarluaskan
melalaui radio Angkatan Udara di Playen, dan Kol T.B. Simatupang
yang akan mengoordinasikannya selaku Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang. Penyerbuan akan mengerahkan seluruh kekuatan militer yang
dimiliki oleh Divisi III. Pemuda yang cakap berbahasa Inggris, Belanda,
dan Prancis akan ditugaskan untuk menampilkan diri di Hotel Merdeka
dengan pakaian Tentara Nasional Indonesia lengkap agar dapat dilihat
oleh wartawan dan perwakilan dari KTN. Untuk memutus bantuan
tentara dari luar Yogyakarta saat terjadi serangan serentak, maka pasukan
Divisi II akan melakukan penghadangan dan hambatan kepada tentara-
tentara di kota Magelang, Solo, dan Semarang. Hambatan ini dilakukan
agar perebutan Ibu Kota dapat dilakukan dalam waktu selama mungkin.
Pemerintahan sipil dari Gubernur hingga kepala desa digerakan untuk
membantu menyiapkan perbekalan.
Setelah semua persiapan dianggap matang maka ditetapkanlah bahwa
serangan umum ke Yogyakarta akan dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949
setelah mendapat persetujuan dari Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta,
Sultan Hamengkubuwono IX.
Sultan Hamengkubowono IX juga telah mengusulkan kepada
Jenderal Soedirman untuk melakukan serangan terhadap Yogyakarta.
Hal ini karena Sultan telah mendengar bahwa Belanda menolak untuk
mengikuti resolusi DK PBB tanggal 28 Januari 1949, dengan alasan bahwa

27
pemerintahan Republik Indonesia sudah tidak ada. Selanjutnya PBB akan
melakukan sidang kembali pada bulan Maret sehingga Sultan merasa
perlu menunjukan keberadaan pemerintahan Indonesia kepada dunia.
Atas pertimbangan itulah Sultan mendukung serangan umum tersebut.
Serangan ini akan dipimpin oleh Letkol Soeharto sebagai komandan
lapangan, karena saat itu wilayah Yogyakarta saat itu masuk dalam
Wehrkreise III dan dibawah komando Letkol Soeharto. Pusat komando
Wehrkreise III adalah di Segoroyoso Pleret. Letkol Soeharto membagi
Yogyakarta menjadi 6 Sub Wehrkreise. Dalam serangan ini pos komando
akan berada di desa Muto.

2. Serangan Umum
Pada tepat pukul 06.00 pagi, 1 Maret
1949 bertepatan dengan bunyi sirene
serangan umum ini dilaksanakan
diseluruh Kota Yogyakarta. Dalam
penyerangan serentak ini, Letkol
Soeharto memimpin pasukan dari sektor
barat dan berhasil menembus hingga ke
batas Malioboro. Sektor selatan serangan
dipimpin oleh Mayor Sardjono, sektor
timur serangan dipimpin oleh Ventje
Sumual, sektor utara oleh Mayor Kusno.
Penyerangan pada sektor kota dipimpin Gambar 16. Letkol Soeharto
oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Sumber: http://kepustakaan-
Masduki. Seperti rencana semula maka presiden.perpusnas.go.id/
beberapa pemuda yang telah ditunjuk, photo/?box=detail&id=8&from_
box=list_245&hlm=1&search_
menampilkan diri kepada wartawan tag=&search_keyword=&activation_
asing dan perwakilan KTN. Pasukan status=&presiden_
republik yang turut dalam penyerangan id=2&presiden=suharto

tersebut sekitar 2.500 prajurit.


Pertempuran terjadi di ruas jalan-jalan utama Kota Yogyakarta,
dan membuat pasukan Belanda terdesak. Banyak pos-pos ditinggalkan

28
sehingga tentara republik berhasil merampas senjata dan beberapa
kendaraan lapis baja milik tentara Belanda. Tentara Nasional Indonesia
berhasil menguasai kota Yogyakarta selama kurang lebih 6 jam dan pada
pukul 12.00 siang hari, melakukan gerakan mundur sebagaimana yang
telah ditentukan.
Selain di Yogyakarta, serangan besar-besaran juga dilakukan di Solo
oleh pasukan Divisi II. Serangan ini dilakukan untuk menahan pasukan
Belanda di Solo agar tidak dapat membantu kota Yogyakarta. Serangan
dapat berjalan lancar, hanya pasukan Belanda dari Magelang tidak dapat
dihalangai oleh pasukan Brigade IX, sehingga dapat tiba membantu
Yogyakarta pada pukul 11.00.
Berita penyerbuan ini segera disiarkan oleh radio milik Angkatan
Udara PC1 di Playen, Gunungkidul. Siaran Radio ini dilakukan secara
estafet, dengan mengirimkan berita ke Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia di Bukittinggi, dilanjutkan oleh Militer Myanmar, selanjutnya
diterima oleh Menteri A.A Maramis di India untuk selanjutnya diteruskan
ke PBB.
Pada penyerangan ini korban dari tentara republik berjumlah 300
orang gugur, 53 anggota polisi gugur dan korban rakyat tidak dapat hitung.
Dari pihak Belanda diperkirakan sekitar 200 orang tewas dan luka-luka.
Akan tetapi, kerugian Belanda yang sesungguhnya adalah pada kekalahan
diplomasi yang berikutnya terjadi.

3. Dampak Serangan Umum 1 Maret


Propaganda Belanda yang mengatakan bahwa tentara republik telah
hancur dapat dipatahkan dengan Serangan Umum 1 Maret ini. Serangan
umum ini menjadi titik balik bagi Indonesia dalam diplomasi Indonesia
di PBB. Berita penyerangan tentara Indonesia tersiar keseluruh dunia
dan menjadi headline di beberapa negara. A.A. Maramis yang saat itu
menjabat sebagai menteri luar negeri segera melakukan diplomasi untuk
mendesak Belanda. Amerika Serikat yang juga mengetahui kabar itu
segera mendesak Belada untuk menjalankan resolusi DK-PBB tanggal 28
Januari 1949.

29
Amerika Serikat akhirnya mendesak Belanda untuk mengadakan
perundingan dengan Pemerintahan Republik Indonesia. Atas prakarsa
Komisi Jasa Baik Untuk Indonesia - PBB pada tanggal 14 April 1949
diadakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran,
anggota KTN dari Amerika Serikat, Delegasi Belanda dipimpin oleh H.J.
Van Royen, sedangkan Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem.

30

Anda mungkin juga menyukai