Anda di halaman 1dari 11

Jenderal Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan

Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat


(Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia
menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.
Karenanya, dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah negara
asing untuk menjatuhkan Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga Puluh September (G 30/S) menjadikan dirinya
salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD lainnya.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam
dari tujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang
Buaya, lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu
berada menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.
Jenderal yang sangat dekat dengan Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (19451966)
Presiden Soekarno, ini merupakan salah satu tangan kanan dan kepercayaan Sang
Proklamator. Ia sangat cinta dan setia terhadap Proklamator, Presiden Republik Indonesia
Pertama (1945-1966)
Bung Karno. Karena kecintaan dan kesetiaannya, ia bahkan pernah mengatakan, "Siapa yang
berani menginjak bayang-bayang Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (19451966)
Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya." Bahkan ada isu terdengar, bahwa
Achmad Yani telah dipersiapkan oleh Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama
(1945-1966)
Bung Karno sebagai calon penggantinya sebagai presiden. Namun dirinya begitu dekat
dengan Presiden Pertama RI itu, Achmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari
Soekarno. Isu dan prinsipnya itu akhirnya membuat PKI semakin benci terhadap dirinya.
Achmad Yani yang lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922, ini adalah putra dari
Sarjo bin Suharyo (ayah) dan Murtini (ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat
Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan
sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia
tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum)
bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan
adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara
lebih intensif lagi di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan.
Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga
mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air
(PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil
melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk,
dirinya diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karier militernya pun
semakin cepat menanjak.
Prestasi lain diraihnya ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi. Pasukannya yang

beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat
Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan
Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk menghancurkan
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mengacau di daerah Jawa Tengah. Ketika
itu dibentuklah pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus. Alhasil, pasukan DI/TII
pun berhasil ditumpasnya.
Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia ditarik ke Staf Angkatan Darat. Pada tahun 1955, ia
disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA
selama sembilan bulan. Dan pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan
pada Spesial Warfare Course di Inggris.
Pada tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang
masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus, untuk
memimpin penumpasan pemberontakan PRRI tersebut. Ia juga berhasil menumpas
pemberontakan tersebut. Sejak itu namanya pun semakin cemerlang. Hingga pada tahun
1962, ia yang waktu itu berpangkat Letnan Jenderal diangkat menjadi Men/Pangad
menggantikan Jenderal A.H. Nasution yang naik jabatan menjadi Lihat Daftar Menteri
Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko
Hankam/Kasab).
Saat menjabat Men/Pangad itulah kejadian naas terjadi. Jenderal yang terkenal sangat anti
pada ajaran komunis itu pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 4:35 WIB, di kala subuh, diculik
dan ditembak oleh PKI di depan kamar tidurnya hingga gugur. Dalam pencarian yang
dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Soeharto (mantan Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia
Presiden RI) yang ketika itu masih menjabat sebagai Pangkostrad, jenazahnya ditemukan di
Lubang Buaya terkubur di salah satu sumur tua bersama enam jenazah lainnya. Jenazah
Achmad Yani dimakamkan di Taman Makam Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan, ia gugur sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Revolusi. Pangkatnya yang sebelumnya Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat
sebagai penghargaan menjadi Jenderal.
Dia gugur karena mempertahankan kesucian Dasar dan Falsafah Negara, Pancasila, yang
coba hendak diselewengkan komunis. Untuk menghormati jasa para Lihat Daftar Pahlawan
Nasional
pahlawan tersebut, maka di Lubang Buaya, dekat sumur tua tempat jenazah ditemukan,
dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh pahlawan Revolusi yakni enam Perwira
Tinggi: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani, Letjen. TNI Anumerta Suprapto, Letjen. TNI
Anumerta S.Parman, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono, Mayjen. TNI Anumerta D.I.
Panjaitan, Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S, dan ditambah satu Perwira Pertama Kapten CZI
TNI Anumerta Pierre Tendean. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
Peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut kemudian telah melahirkan suatu orde dalam sejarah pasca
kemerdekaan republik ini. Orde yang kemudian lebih dikenal dengan Presiden Republik
Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru itu menetapkan tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian
Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Penetapan itu didasari oleh peristiwa yang

terjadi pada hari dan bulan itu, dimana telah terjadi suatu usaha perongrongan Pancasila,
namun berhasil digagalkan.
Belakangan setelah Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru jatuh dan digantikan oleh orde yang disebut Orde Reformasi, peringatan hari
Kesaktian Pancasila ini sepertinya mulai dilupakan. Terbukti tanggal 1 Oktober tersebut tidak
lagi ditetapkan sebagai hari libur nasional sebagaimana sebelumnya.
Dalam pidato Bung Karno yang dikenal dengan "Jasmerah", Bapak Bangsa itu menyebut agar
jangan sekali-kali melupakan sejarah. Lebih tegas disebutkan, bahwa bangsa yang besar
adalah bangsa yang mengingat dan menghargai sejarahnya. Hendaknya begitulah yang
terdapat pada bangsa ini, khususnya pada para pemimpinnya.
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3573-jenderal-antikomunis
Copyright tokohindonesia.com

Istri dari Mayor Jendral Ahmad Yani berfoto bersama dengan


Kosmonaut Soviet (dari kiri ke kanan) Gherman Titov, Andrian Nikolaev, Pavel Popovich dan Yuri Gagarin.

Di era Orde Lama, ada cerita menarik soal Jenderal Achmad Yani yang diangkat
menjadi Kasad oleh Presiden Soekarno 28 Juni 1962.
Saat itu Soekarno mengangkat Kasad Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai
Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab). Secara jabatan, Nasution mendapat
promosi. Tetapi secara kewenangan, Nasution seperti dilucuti. Ibaratnya, Kasab
hanya mengurus administrasi, tidak lagi memegang komando pasukan.
Hubungan Soekarno dan Nasution memang tak begitu serasi.
Soekarno meminta Nasution menyerahkan sejumlah nama perwira tinggi TNI
AD. Nasution mengajukan sejumlah nama, semuanya ditolak Soekarno .
Presiden malah meminta nama-nama lain. Nasution pun mengajukan calon-calon
lain. Ada Mayor Jenderal Ahmad Yani di posisi paling buncit.
Yani memang tergolong jenderal junior. Itulah kenapa Nasution tak
memasukkannya ke dalam daftar pertama. Tapi justru Soekarno akhirnya
memilih Yani.
Saat itu Yani menjabat Kepala Staf Gabungan Komando Tertinggi (KOTI)
pembebasan Irian Barat. Yani juga menjadi juru bicara tunggal Panglima Tertinggi
soal Irian Barat. Hampir setiap hari dia rapat dengan Soekarno di Istana.
Hubungan mereka kemudian memang erat. Setelah menjabat Kasad, hubungan
Yani dan Soekarno makin akrab.

"Banyak yang bilang bapak jadi anak emas Presiden Soekarno ," kata putri Yani,
Amelia A Yani dalam buku Achmad Yani Tumbal Revolusi terbitan Galang Press.
Di sisi lain, Nasution dan Yani malah sering berdebat. Keduanya kerap berbeda
pendapat soal pembangunan Angkatan Darat. Yani dikenal tegas, blak-blakan
dan jarang basa-basi.
Di masa kepemimpinan Yani, Angkatan Darat disibukkan Operasi Trikora merebut
Irian Barat dari Belanda. Setelah itu Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi
dengan Malaysia.
Di sela-sela itu, Amelia Yani mengingat hubungan ayahnya dan Presiden
Soekarno sangat dekat. Amelia mengingat Soekarno ikut peduli dengan
renovasi rumah Yani di Menteng. Soekarno juga sering mengajak Yani ikut
dalam kunjungan ke daerah. Bahkan menyempatkan hadir saat syukuran rumah
Yani.
"Hari Minggu pun Bapak dan Ibu sering menemani Bung Karno dan ibu Hartini
ngobrol-ngobrol di Istana Bogor," kenang Amelia.
Perkembangan politik meniupkan angin panas ke Jakarta. Partai Komunis
Indonesia makin kuat. Merasa mendapat angin dari Soekarno , PKI makin
melebarkan sayapnya. Hanya satu ganjalan mereka. Angkatan Darat di bawah
Yani terang-terangan menolak segala kebijakan negara yang dipengaruhi PKI.
Yani menolak mentah-mentah permintaan Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit
yang meminta buruh dan kaum tani dipersenjatai. Kemudian beredar isu Dewan
Jenderal dan dokumen asing yang menyebut kolaborasi sejumlah jenderal AD
dengan Barat. Berlawanan dengan Soekarno dan PKI yang cenderung ke negara
Blok Timur seperti Tiongkok dan Soviet. Yani dan kelompoknya disebut akan
mengkudeta Soekarno .
Perlahan hubungan Soekarno dan Yani pun menjauh. Hubungan mereka tak
semesra dulu. Puncaknya Soekarno berencana memanggil Yani ke istana. Dia
berniat mengganti Yani dengan Jenderal Moersjid. Yani tak pernah tahu soal itu.
Sejarah berkata lain. Yani tak pernah datang ke Istana menemui Soekarno .
Pukul 04.30 WIB, sepasukan tentara datang menjemput Yani. Yani diminta
menghadap Soekarno . Karena sudah ada rencana hendak ke Istana, Yani tak
curiga. Dia meminta waktu berganti pakaian dengan seragam dinas.
"Tak usah ganti baju, jenderal!" bintara Tjakrabirawa itu membentak.
Yani marah. Masak bintara berani kurang ajar pada jenderal. Dia berbalik dan
menempeleng prajurit itu.
Melihat peristiwa tersebut, seorang prajurit lain memberondong tubuh Yani

dengan senapan otomatis. Sang jenderal pun tewas berlumuran darah.


Gerombolan prajurit itu menyeret jenazah Yani. Membawanya pergi, tapi bukan
ke Istana. Mereka pergi ke Timur Jakarta, sebuah tempat bernama Lubang Buaya.
Korban subuh berdarah itu tak cuma Yani. Lima jenderal dan satu letnan menjadi
korban gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung Syamsuri itu. Sebuah
episode paling kelam dalam sejarah Indonesia.
Akhir tragis seorang jenderal yang pernah jadi kesayangan Soekarno .

Rossalia Fergie Stevanie Sep 30, 2014

Amelia Ahmad Yani; Bapak Wafat


Sebagai Patriot!

Hari Kesaktian Pancasila (1/10) yang lahir sejak lembar suram sejarah pada tahun 1965, akan
selalu menggores memori kelam dan luka hati abadi bagi keluarga korban 7 jenderal revolusi.
Dalam salah satu sesi perbincangan bersama seorang puteri dari Jenderal Ahmad Yani,
Amelia Ahmad Yani terungkapkan jika keluarga sudah mengikhlaskan segalanya. Hanya satu
harapan tersemat di hati keluarga para pahlawan revolusi, supaya generasi bangsa ini bisa
menjaga apa yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Peristiwa Kelam
Sejak menjadi tentara, Ahmad Yani bersungguh-sungguh ingin mengabdi pada negara.
Sayang, kematian sang Jendral yang tak terduga sungguh menyakitkan keluarga. Pada malam
tragedi, pasukan Cakrabirawa menyerbu rumah keluarga Yani, menembak tanpa ampun
hingga 7 peluru bersarang di tubuh sang Jenderal, tepat pada jantungnya. Seluruh keluarga
termasuk ibu dan anak-anak menyaksikan dengan mata dan kepala, bagaimana tubuh tak
berdaya Jenderal Ahmad Yani diseret dan dimasukkan ke dalam truk, lalu menghilang.
Trauma membekas, sudah pasti tak akan terlupa untuk selamanya. Amelia masih ingat betul
bagaimana Ibunya dengan tegar mengubur baju penuh darah itu. Juga tentang kenangan
bagaimana selama hidupnya Bapak sangat mencintai keluarga bahkan selalu mengumpulkan
anak-anak pada satu meja untuk makan ataupun belajar bersama. Jenderal Ahmad Yani bukan
hanya abdi negara tetapi juga pelindung dalam rumah tangga, bahkan beliau rela berbagi
tugas rumah tangga mengurus anak-anak sementara sang istri memasak di dapur.
Momentum Kesaktian Pancasila
Tepat pada momentum Hari Kesaktian Pancasila, bangsa Indonesia seharusnya melakukan
refleksi atas peristiwa kelam tersebut. Namun bukan untuk mengobarkan semangat kebencian
terhadap keluarga anggota PKI yang diduga menjadi dalang pembunuhan. Bagi Amelia yang
ketika itu masih berusia 15 tahun, keluarga pun telah ikhlas dan tidak ingin menyuburkan
dendam. Sebab, bukan sentimen hitam yang diinginkan para pahlawan revolusi, tetapi

bagaimana kematian mereka bisa membuka jalan pikiran generasi bangsa untuk menghindari
perpecahan juga anarkisme berujung kehancuran negara. Seluruhnya ini hanya soal refleksi
Pancasila sebagai tuntunan sikap dan perilaku dalam berbangsa serta bernegara.
Sungguh miris, kini euforia para elite politik mungkin telah menutup mata masyarakat untuk
memaknai peristiwa-peristiwa bersejarah secara mendalam. Sudah pasti, keributan diatas
sana sangat berpengaruh terhadap penghayatan masyarakat untuk mengenang makna dibalik
pengorbanan seluruhnya saja pahlawan nasional. Entahlah, semoga kelak generasi anak-anak
kita masih punya semangat nasionalis dan patriotik seperti yang pernah mengakar kuat ketika
revolusi masih bergejolak.

Anda mungkin juga menyukai