Anda di halaman 1dari 6

Biografi Letnan Jenderal Siswondo Parman

Kelompok 4

Andika Prawira P
Antony S
Duta Adi S
Hizba Azka N
Reihan Aditria

XII IPA 2

SMA Negeri 1 Soreang


Biografi

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan nama S.
Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918 – meninggal di Lubang Buaya,
Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun). Parman adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30
September dan mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.

Parman merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan PKI. Dia termasuk
salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima
yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan serta posisinya sebagai pejabat intelijen yang tahu
banyak tentang PKI, membuatnya menjadi korban penculikan oleh Resimen Tjakrabirawa yang
dipimpin Serma Satar. Penculikannya diduga diatur oleh kakak kandungnya sendiri, yaitu Ir.
Sakirman yang merupakan petinggi di Politbiro CC PKI kala itu.

Kehidupan Pribadi

S. Parman adalah anak keenam dari sebelas bersaudara yang dilahirkan di Wonosobo, Jawa
Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918. Ayahnya bernama Kromodihardjo bekerja sebagai seorang
pedagang. S. Parman memiliki seorang kakak laki-laki bernama Ir. Sakirman dimana nanti
kakaknya ini akan menjadi petinggi di Politbiro CC PKI (semacam Dewan Syuro atau Dewan
Penasihat Parpol sekarang).

Meskipun Kromodihardjo hanyalah seorang pedagang di Pasar Wonosobo, dia selalu


mengusahakan agar anak-anaknya bisa memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Parman
menyelesaikan pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau Sekolah Dasar Belanda
di Wonosobo. Kemudian dia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwijs) atau
Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta. Seharusnya dia setelah lulus, Parman melanjutkan ke
AMS (Algemeene Middelbare School) yang setara dengan tingkat SMA namun karena ayahnya
meninggal dunia pada tahun 1937 membuat Parman tidak bersekolah hampir dua tahun. parman
kemudian membantu ibunya berdagang di Pasar Wonosobo. Setelah menemukan waktu yang
tepat, Parman kembali melanjutkan sekolahnya di AMS. Sesuai dengan keinginan ayahnya,
Parman kemudian masuk ke Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) di Jakarta.

Lagi-lagi sekolah Parman kembali terhambat. Dia tidak bisa menyelesaikan sekolah
kedokterannya ini karena invasi Jepang pada tahun 1942. Suatu hari ketika Parman tengah
berada di Wonosobo, ia bertemu polisi militer Jepang, Kenpetai yang mengatakan kalau mereka
membutuhkan seseorang yang bisa berbahasa Inggris sebagai penerjemah. Mulai saat itu,
Parman yang fasih berbahasa Inggris mengikuti Kenpetai hingga ke Yogyakarta. Meski
membantu Jepang, rasa nasionalisme Parman tetap tinggi. Ia terus berhubungan dengan teman-
temannya yang berjuang diam-diam untuk melawan Jepang. Sekembalinya ke tanah air ia
kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.

Karier Militer

Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu
Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulan Desember 1945, ia
diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.

Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. Pada
bulan Desember 1949, ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah
satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling.
Selanjutnya, pada Maret 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim
ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan pada Military Police School.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk beberapa


lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London, Inggris pada tahun 1959. Lima
tahun berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima
Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat Mayor Jenderal.

Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh PKI
juga sedang marak di Indonesia. Partai Komunis ini merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan
sebagian rakyat pun sudah terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman sebelumnya
sudah banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan agar kaum buruh
dan tani dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan Kelima. Ia bersama sebagian besar
Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul yang mengandung maksud tersembunyi itu.
Dengan dasar itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI. Dan akhirnya pada saat terjadinya
peristiwa G30S ,beliau menjadi korban karena termasuk musuh PKI. S.Parman diculik dari
rumahnya,dibunuh di Lubang Buaya,dan disembunyikan di sumur Lubang Buaya.

Siswondo Parman ditetapkan menjadi Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 dengan Keppres


No. 111/KOTI/1965.

Pendidikan

S. Parman pertama kali mengenyam pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau
Sekolah Dasar Belanda di Wonosobo. Setelah lulus, ia kemudian melanjutkan ke MULO (Meer
Uitgebried Lager Onderwijs) di Yogyakarta.
S.Parman juga sempat melanjutkan pendidikan di AMS (Algemeene Middelbare School) yang
setara dengan SMA, namun ayahnya meninggal dunia sehingga S. Parman tidak melanjutkan
sekolah hampir 2 tahun.
Selama tidak bersekolah, S. Parman bersama dengan saudara-saudaranya membantu ibunya
berdagang di pasar Wonosobo.
Tak lama, S. Parman melanjutkan pendidikannya dan lulus di AMS. S. Parman juga memilih
melanjutkan di Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) di Jakarta. Namun, belum selesai
pendidikan yang dia tempuh, tentara Jepang datang ke Indonesia sehingga dia tidak berhasil
meraih gelar dokter.

S. Parman kemudian bekerja pada polisi militer Kempeitai Jepang. Namun, ia ditangkap karena
pihak Jepang meragukan kesetiaan dari S. Parman, tetapi setelah itu dibebaskan.

Setelah bebas, ia dikirim ke Jepang untuk melakukan pelatihan intelijen dan bekerja kembali
untuk Kempeitai menjadi penerjemah di Yogyakarta.

Akhir hayat

Karena PKI sudah merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat juga sudah mulai
terpengaruh, S. Parman yang merupakan perwira intelijen,  tahu banyak hal tentang kegiatan
rahasia PKI.

Maka pada saat PKI mengusulkan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai atau disebut dengan
Angkatan Kelima, ia bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul yang
mengandung maksud tersembunyi itu. Dan itulah yang membuat ia dimusuhi dan menjadi
korban pembunuhan PKI.

S. Parman dituduh sebagai dewan anggota Dewan Jenderal yang akan mengkudeta Presiden
Soekarno. Maka pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965
yang dikenal dengan peristiwa G30S/PKI, S. Parman menjadi salah satu target yang akan diculik
dan dibunuh.

Pada malam 30 September – 1 Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah S. Parman di
Jalan Syamsurizal No. 32.

Berdasarkan istri S. Parman, mereka terbangun dari tidur sekitar pukul 4.10 pagi oleh sejumlah
suara orang tidak dikenal di samping rumah. S. Parman pun pergi keluara untuk menyelidiki
suara tersebut dan dua puluh empat pria dengan mengenakan pakaian Tjakrabirawa atau
pengawal Presiden menuju ke ruang tamu mereka.

Orang-orang tersebut mengatakan bahwa S. Parman harus dibawa untuk bertemu dengan
Presiden. Sekitar 10 orang masuk ke kamar tidur saat S. Parman tengah berpakaian.

S. Parman pun meminta sang istri untuk menelepon komandannya Ahmad Yani,  namun perintah
tersebut didengar oleh Pasukan tersebut. Segera Pasukan Tjakrabirawa merampas dan
memutuskan kabel telepon tersebut.

Ia kemudian segera dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke basis gerakan Lubang Buaya di
Halim Perdanakusuma. Disana ia disiksa bersama dengan enam perwira TNI Angkatan Darat
lainnya.
Perwira TNI AD lainnya adalah Jenderal Soeprapto, Mayjen TNI Sutoyo, dan Kapten Pierre
Tendean yang mengaku sebagai Jenderal AH Nasution. 

Sementara Jenderal Ahmad Yani, Letjen M.T. Haryono, Mayjen D.I. Panjaitan sudah tewas
dieksekusi oleh pasukan Tjakrabirawa dirumahnya dan dibawa ke Lubang Buaya.

Malam itu bersama dengan tentara lain yang telah ditangkap hidup-hidup, S. Parman dieksekusi
secara sadis dan mayatnya dibuang di sumur bekas.

Ironisnya masuknya nama S. Parman dalam daftar Jenderal yang harus dibunuh, datang dari
kakak kandungnya sendiri, Ir. Sakirman yang merupakan petinggi di Politbiro CC PKI.

Pahlawan Revolusi

Jenazah S. Parman dan 6 korban lainnya ditemukan pada tanggal 4 Oktober 1965, yaitu sekitar
75 jam setelah pembunuhan. Pemakaman kenegaraan pun diberikan pada tanggal 5 Oktober
1965 di Taman Makam Pahlawan, Kalibata.

Pada hari yang sama sebelum S. Parman disemayamkan, melalui SK Presiden Nomor
111/KOTI/1965, Presiden Soekarno mengukuhkan S. Parman sebagai Pahlawan Revolusi.

S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama dengan
enam perwira lainnya, ia  dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang
sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.

Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah
tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai Hari Kesaktian Pancasila sekaligus hari libur
nasional.

Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah mereka
ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut.
Tugu tersebut dinamakan Tugu Kesaktian Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai