Anda di halaman 1dari 9

GERAKAN REPUBLIK MALUKU

SELATAN (RMS)

KELOMPOK 4:

1. Albert Junior Chen

2. Galuh Dwi Pranoto

3. Melati Rizky Arindri

4. Regis Kafaso

5. Siska Rhafina Dewi

6. Trixie Adistia Putri

XI IPA 5

TAHUN AJARAN 2016/2017


1. Latar Belakang

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Christian
Robert Steven Soumokil (mantan jaksa agung NIT) merupakan sebuah gerakan
sparatisme yang bertujuan bukan hanya ingin memisahkan diri dari NIT melainkan
untuk membentuk Negara sendiri terpisah dari RIS. Soumokil awalnya sudah
terlibat dalam pemberontakan Andi Aziz akan tetapi dia dapat melarikan diri ke
Maluku. Soumokil juga dapat memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret
Hijau dari Makasar ke Ambon.

Pemberontakan Westerling, Andi Aziz, Soumokil memiliki kesamaan yaitu


ketidakpuasan mereka terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan
Republik Indonesia(NKRI). Pemberontakan yang ada menggunakan unsur KNIL yang
merasa bahwa status mereka tidak pasti setelah KMB.

Keberhasilan APRIS mengatasi keadaan membuat para pemuda semakin bersemangat


untuk kembali ke NKRI. Akan tetapi terjadi banyak terror dan intimidasi kepada
para pemuda terlebih setelah teror dibantu oleh anggota polisi yang telah
dibantu KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh Kapten
Raymond Westerling di Batujajar dekat Bandung. Teror tersebut bahkan
menyebabkan terjadinya pembunuhan. Benih sparatisme muncul dari para
birokrat pemerintah daerah yang memprovokasi seperti dengan penggabungan
wilayah Ambon ke NKRI mengandung bahaya sehingga seluruh rakyat Ambon
diingatkan akan bahaya tersebut.

Pada 20 April 1950, diajukan mosi tidak percaya dalam parlemen NIT sehingga
kabinet NIT meletakkan jabatannya dan akhirnya NIT dibubarkan dan bergabung
ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan Andi Aziz, menyebabkan
berakhirlah pula Negara Indonesia Timur. Tetapi Soumokil tidak pantang
menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah NKRI. Bahkan dalam
rapat di Ambon dengan pemuka KNIL dan Ir. Manusama, ia mengusulkan agar
daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah merdeka. Jika perlu seluruh
anggota Dewan Maluku Selatan dibunuh. Usul tersebut ditolak, karena anggota
mengusulkan agar yang melakukan proklamasi kemerdekaan Maluku Selatan
adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu.

Sebelum diproklamasikannya RMS terlebih dahulu telah dilakukan propaganda


pemisahan diri dari NKRI yang dilakukan oleh gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan KNIL dan Partai Timur Besar. Sementara menjelang proklamasi
RMS, Soumokil telah berhasil menghimpun kekuatan di lingkungan Maluku Tengah.
Sementara itu, orang-orang yang menyatakan dukungannya terhadap NKRI
diancam dan dipenjarakan. Akhirnya pada tanggal 25 April 1950 di Ambon
diproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Mr. Dr. Ch. R.S. Soumokil.

Pada tanggal 25 April 1950, Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh
sekelompok orang mantan prajurit KNIL dan masyarakat Pro-Belanda yang di
antaranya ialah Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung
Negara Indonesia Timur. Pemberontakan RMS ini merupakan suatu gerakan yang
tidak hanya ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur melainkan untuk
membentuk Negara sendiri yang terpisah dari wilayah RIS. Pada awalnya,
Soumokil, salah seorang mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah terlibat dalam
pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri,
akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil
juga dapat memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke
Ambon.

Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini secara damai yaitu dengan mengirimkan
misi damai yang dipimpin oleh tokoh asli Maluku, yaitu dr. Leimena. Namun misi ini
ditolak oleh Soumokil. Misi damai yang dikirim selanjutnya terdiri dari para
politikus, pendeta, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu dengan pengikut
Soumokil.

Karena upaya damai mengalami jalan buntu maka pemerintah melakukan operasi
militer untuk menumpas gerakan RMS yaitu Gerakan Operasi Militer (GOM)III
yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium
Indonesia Timur. Operasi berlangsung dari tanggal 14 Juli 1950, berhasil
menguasai pos-pos penting di Pulau Buru, 19 Juli 1950 pasukan APRIS berhasil
menguasai Pulau Seram. Pada tanggal 28 September 1950 Ambon bagian utara
berhasil dikuasai. 3 November 1950 benteng Nieuw Victoria berhasil dikuasai.
Dengan jatuhnya Ambon maka perlawanan RMS dapat dipatahkan dan sisa-sisa
kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke Pulau Seram dan dalam beberapa
tahun membuat serangkaian kekacauan.

2. Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku

Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil
bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS),
Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai
Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI.
Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah.
Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena
dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25
April 1950, para anggota RMS memproklamasikan berdirinya Republik Maluku
Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden dan Albert Wairisal
sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j.
Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter,
A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.

Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS
untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3
Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku
Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS)
dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di
angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat sersan
mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja,
Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya
mengikuti system dari KNIL.

3. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku

Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan
cara berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi
perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena.
Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi
perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus,
dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.

Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya
pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan
mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh
seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima
Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah
operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada
tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS
mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada
tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas
pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950,
seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang
akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.

Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4
sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS
beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H
Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS tertangkap di pulau
Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke Negara
Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda
dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).

Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya
dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi
hukuman tehadap :

1. J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun


2. Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi
hukuman 5 Tahun
3. D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4
Tahun
4. J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama
4 Tahun
5. G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5
Tahun
6. Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4
Tahun
7. J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman
selama 5 Tahun
8. D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama
5 Tahun
9. Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman
selama 3 Tahun
10. F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4
Tahun
11. T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama
7 tahun
12. D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi
hukuman selama 10 Tahun
Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang
berada di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963.
Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan
Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu
ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan di mulai, hakim
mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan Soumokil. Akhirnya
pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati. Eksekusi
pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang
berada di wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta.

Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri


Belanda. Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS
pada tahun 1966-1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai
tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.

4. Tujuan Gerakan Republik Maluku Selatan

Melepaskan diri dari RIS (Republik Indonesia Serikat)

Mendirikan negara sendiri dengan nama RMS (Republik Maluku Selatan)

5. Pimpinan

Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama
dan kini Frans Tutuhatunewa. Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram.
Ia di tangkap di Seram pada 2 desember 1962, dia dijatuhi hukuman mati oleh
pengadilan milter, dan di laksanakan di kepulauan Seribu, Jakarta pada 12 april
1966.

6. Dukungan

Pasukan KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger), terutama bekas pasukan


khusus KST (KorpsSpeciale Troepen) yang secara tegas menyatakan menolak
untuk bergabung dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS)
sekaligus menolak perintah untuk melalukan demobilisasi

7. Alasan Pembenaran Proklamasi RMS

Masalah hubungan daerah dengan RIS, yaitu bahwa RIS sudah bertindak
bertentangan dengan keputusan-keputusan KMB dan Undang-Undang Dasarnya
sendiri.
Hubungan daerah itu dengan Negara Indonesia Timur, yaitu bahwa NIT sudah
tidak sanggup mempertahankan kedudukannya sebagai negara bagian selaras
dengan peraturan-peraturan Moektamar Denpasar (pertemuan tentang
terbentuknya NIT) yang masih sah berlaku.

Menurut mereka, Dewan Maluku Selatan membenarkan tindakan separatis itu.

8. Struktur Gerakan

1. Pemerintahan RMS di Belanda

Pemerintah darurat RMS terdiri atas kepala negara dan menteri-menteri.


J.Wattilete sebagai Presiden Republik Maluku Selatan (RMS). Kepala negara
mengetuai dewan kementerian. Pada saat ini menteri-menteri yang telah
diangkat: Trientje Magdalena Solisa sebagai menteri Penerangan dan
Pembentukan, Drs. Willem Victor Sopacua sebagai wakil kepala negara & menteri
Maluku, dan Nationbuilding Ir. Edy Rahantoknam sebagai menteri Perkembangan
dan Kerjasama

2. Pemerintah RMS di Maluku

Dr. Alex Manuputty sebagai Pemimpin dan Koordinator, Simon Saiya sebagai
penyelenggara eksekutif pimpinan pemerintahan RMS di Maluku, Frans Sanmiasa
sebagai Menteri Dalam Negeri merangkap wakil penyelenggara pemerintahan,
Markus Anakotta sebagai sekretaris, dan dilengkapi dengan tiga orang pengendali
lapangan, serta lima orang pelaksana lapangan

9. Usaha Pemerintah

Pemerintah Indonesia pada waktu itu (1950) menghadapi pemberontakan RMS


dengan tiga opsi:

Opsi pertama, penyelesaian secara damai dengan pembicaraan-pembicaraan.

Dimulai pada 27 April 1950 dengan mengirim Dr J. Leimena (menteri kesehatan


waktu itu), Ir Putuhena, Pellaupessy dan Dr Rehatta. Rombongan berangkat ke
Ambon dengan korvet Hang Tuah. Merapat pada 1 Mei 1950, sebuah higginboot
mendatangi Hang Tuah dengan Syahbandar Ambon sebagai pengantar surat yang
berisi penolakan. Rombongan akan memberi surat balasan, tetapi higginboot itu
telah diperintahkan untuk segera kembali, tak boleh menunggu. Leimena
menyatakan, Kami sesalkan bahwa mereka tidak mau menerima dan
berbicara dengan kami yang datang melulu untuk merundingkan hingga soal
Maluku dapat diselesaikan dengan baik untuk kepentingan dan keselamatan
seluruh nusa dan bangsa. Saya persoonlijk merasa ini sangat menyedihkan (Jusuf
A Puar, 1956).

Opsi kedua bila opsi pertama tidak berhasil, dilakukan blokade laut untuk
memaksa mereka bersedia berunding.

Dengan cara membolkade laut, dilakukan pada 18 Mei sampai 14 Juli 1950. Semua
perairan Maluku diawasi dan kapal-kapal pemberontak dihancurkan. Pada 14 Juli
diadakan pendaratan di Pulau Buru dan kemudian di pula-pulau lainseperti Seram,
Tanimbar, Kei, dan Aru. Opsi kedua ini pun tidak bisa memaksa Soumokil bersedia
berunding.

Bila opsi pertama dan kedua tidak berhasil, akan dilakukan opsi ketiga yaitu
operasi militer, seperti pendaratan dan lain-lain.

Operasi militer, dilakukan di bawah kepemimpinan Kolonel Kawilarang, panglima


Indonesia Timur saat itu. Operasi militer menumpas pemberontakan RMS yang
terkenal dengan Gerakan Operasi Militer IV atau GOM IV. Komandan pasukan
(brigade) adalah Letkol Slamet Riyadi. Rencananya: pasukan pertama didaratkan
di Hitu, kemudian pasukan kedua di Tulehu, lalu pasukan ketiga di Ambon (RZ
Leirissa, 1978). Mengingat persenjataan, sistem transportasi dan sarana
komunikasi yang belum secanggih sekarang ini, operasi berlangsung lama. Operasi
itu baru bisa mulai dilakukan September, dan baru Oktober APRI menguasai
jazirah Hitu. Akhirnya pada 4 November 1950 benteng Nieuw Victoria dapat
direbut APRI. Sisa-sisa angkatan perang RMS lari ke gunung dan banyak yang
melarikan diri ke pulau-pulau sekitar pulau Ambon. Pimpinan angkatan perang RMS
tertangkap
atau menyerah pada 1952. Soumokil sendiri baru tertangkap pada 1962.

10. Reaksi terhadap Usaha Pemerintah

Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah RI,maka para pemimpin
teras RMS tersebut berinisiatif untuk menghindar sementara ke Belanda.
Kepindahan pimpinan RMS ini mendapatkan bantuan sepenuhnya dari pemerintah
Belanda pada saat itu, dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda
untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari
Pemerintah Belanda, maka sebagian besar rakyat di Maluku baik yang beragama
Kristen maupun yang beragama Islam dan yang beragama lain memilih dengan
kehendaknya sendiri untuk pindah ke Belanda. Pada waktu itu ada lebih dari
15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat Maluku ini, oleh Soekarno-Hatta, diisukan sebagai
PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS, lalu dengan dalih pemberontakan,
pemerintah RI menangkapi para menteri RMS dan para aktifisnya. Lalu mereka
dipenjarakan dan diadili oleh pengadilan menteri RI, dengan hukuman berat dan
bahkan dieksekusi mati.

11. Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku

Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada
di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga
dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti
kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah
merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.

Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan,
diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23
orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut
dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur
Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan
dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana
pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus
dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera
RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang
berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut,
terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan


keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan
untuk meminta pengadilan negeri Den Haang untuk menuntut Presiden SBY
(Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia
(HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi
pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sedang menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku.
Ironisnya, pada saat penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak
tanggung-tanggung untuk mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.

Anda mungkin juga menyukai