Penyusun : Kelompok 6
Anggota : 1. Aulia Eka N.I (04)
2. Bintang Navyn A (06)
3. Kandita Dewi M (15)
4. Nabilla Rihhadatul J (28)
5. Najwa Salwa N (29)
XII MIPA 5
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Uraikanlah peristiwa DI/TII yang ada di Indonesia (Kalimantan Selatan)?
Jawab : Pada tahun 1949, Letnan Dua Ibnu Hajar yang menjabat sebagai
Komandan Kompi Pengawal Garnisun/Basis Komando Banjarmasin,
resmi diakui sebagai TNI karena kedudukannya dalam Perang
Kemerdekaan di Kalimantan. Ketika Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS)/TNI dibentuk, sering terjadi bentrokan antara
bekas KNIL dengan pasukan Ibnu Hajar di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Hal ini membuat Ibnu Hajar dipindahtugaskan sebagai hukuman.
Ibnu Hajar yang kecewa melarikan diri ke hutan dan mendirikan
organisasi Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT). Dia melancarkan
propaganda untuk menciptakan sentimen negatif terhadap pemerintah
pusat dalam rangka mencari dukungan. Pada bulan Oktober 1950, Ibnu
Hajar bersama dengan anggota kelompok KRYT yang menyatakan
bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada di Jawa
Barat, melakukan pemberontakan di pos TNI wilayah tersebut. Pada 25
Oktober 1954, operasi besar-besaran di Pegunungan Barabai dan Amandit
dilakukan karena banyaknya pemberontakan dan penindasan dari
organisasi KRYT. Letnan Kolonel Hasan Basry menyampaikan seruan
pemerintah kepada para gerombolan KRYT untuk kembali kepada
masyarakat pada 3 Mei 1956. Seruan tersebut mendapatkan tanggapan
positif dengan menyerahnya beberapa anggota KRYT. Lima bulan
kemudian, penyerahan diri KRYT secara besar-besaran dilakukan Ibnu
Hajar dan para anak buah nya. Setelah merampas peralatan TNI, Ibnu
Hajar yang sebelumnya menyerahkan diri kepada pemerintah, melarikan
diri bersama 70 anak buahnya karena pemerintah tidak memenuhi janji
memberikan jaminan kepada anggota KRYT yang menyerah. Hal ini
terjadi pada 2 Februari 1957. Ibnu Hajar berusaha mengadakan hubungan
dengan Kahar Muzakkar dari DI/TII untuk memperkuat kedudukannya
pada bulan Agustus 1958. Operasi yang dilancarkan oleh TNI pada 20
Oktober 1958 menyebabkan kedudukan Ibnu Hajar semakin terdesak.
Untuk membangkitkan moral gerombolan, Ibnu Hajar mengubah nama
KRYT menjadi DI/TII Divisi Lambung Mangkurat “Republik Islam
Indonesia Kalimantan”. Saat 23 November 1959, posisi gerombolan
DI/TII yang dipimpin Ibnu Hajar semakin terjepit akibat Gerakan Operasi
Militer (GOM) dari TNI. Banyak dari anak buahnya yang ditangkap
maupun menyerahkan diri.
Akhirnya, pada tahun 1963 Ibnu Hajar menyerah setelah banyak anak
buahnya ditangkap TNI. Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhkan
hukuman mati atas Ibnu Hajar tanggal 22 Maret 1965.
2. Amir fatah
Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah muncul berawal dari adanya Majelis
Islam yang dipimpin oleh Amir Fatah. Amir Fatah yang merupakan
komandan Laskar Hizbullah yang berdiri sejak 1946 menggabungkan diri
dengan TNI battalion 52 dan berdomisili di Brebes-Tegal. Dia
mendapatkan pengikut yang banyak dengan cara menggabungkan
laskar-laskar untuk masuk ke dalam TNI. Setelah mendapatkan pengikut
yang banyak maka pada tanggal 23 Agustus 1949 di desa Pengarasan,
Tegal, ia memproklamasikan berdirinya Darul Islam (DI). Pasukannya di
berinama Tentara Islam Indonesia (TII). Ia menyatakan gerakannya
bergabung dengan Gerakan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo.
Di Kebumen juga terdapat gerakan yang bernama Angkatan Umat Islam
yang dipimpin Mohammad Mahfud Abdurrahman (Kyai Somolangu).
Gerakan tersebut juga bermaksud membentuk Negara Islam Indonesia
dan bergabung dengan Kartosuwiryo. Gerakan ini sebenarnya sudah
dapat didesak oleh TNI akan tetapi pada tahun 1952, kembali menjadi
kuat setelah adanya pemberontakan Batalion 423 dan 426 di Kudus dan
Magelang yang menyatakan bergabung dengan mereka.
Guna menumpas pemberontakan tersebut maka pemerintah membentuk
pasukan baru yang disebut Banteng Raiders dengan operasinya yang
disebut Gerakan Benteng Negara (GBN). Pada 1954 dilakukan Operasi
Guntur guna menghancurkan gerombolan sementara sisanya
tercerai-berai.
3. Kahar Muzaki
Sejarah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
pimpinan Kahar Muzakkar pernah berlangsung mulai 1950 sampai 1965.
Peristiwa yang terjadi di Sulawesi Selatan ini dilakukan oleh pasukan
Kahar dalam dua sesi, yakni 1951-193 dan 1953-1965.Setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, muncul beberapa pemberontakan
dengan latar belakang berbeda. Sebelum muncul DI-TII Kahar Muzakkar
di Sulawesi Selatan, terdapat kasus aksi pergerakan Negara Islam
Indonesia (NII) Kartosuwiryo di Jawa Barat pada Agustus 1949. Dan
peranan dan latar belakangnya adalah
Latar belakang dan perananya
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) ketika itu ingin mendapatkan
kedudukan dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
KGSS merasa bahwa perjuangan mereka mempertahankan kemerdekaan
harus diberikan penghargaan.
4.Ibnu hajar
Ibnu Hajar atau Haderi asal Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan
(HSS), Kalimantan Selatan, dianggap warga setempat sebagai pahlawan
kemerdekaan. Karena Ibnu Hajar bersama dengan Brigjen Hasan Basri
dan tokoh pejuang lainnya terlibat sebagai orang penting di daerah ini,
kata Dosen Fisif Unlam Banjarmasin Taufik Arbain, Selasa (10/6).
Peranan dalam darul Islam
Ibnu Hajar dinilai banyak bergerak di medan pertempuran maupun
diplomasi politik, katanya saat dialog Sejarah Banjar yang bertema
"Perjuangan Brigjen Hasan Basri dan Ibnu Hajar dari Perspektif Sejarah
dan Politik" yang diselenggarakan DPW Sentral Informasi Rakyat
(SIRKAL) Kalsel.
Menurut dia, pemberontakan yang disematkan kepada Ibnu Hajar, hingga
dia tidak pernah diakui sebagai pahlawan nasional oleh negara, karena
Ibnu Hajar dalam situasi perasaan tertindas dan frustasi. Sebab dalam
kasus itu, Ibnu Hajar, lebih ditenggarai soal "marwah", karena mendapati
situasi shock pasca melawan Belanda di alam kemerdekaan."Tetapi
bagaimana pun Ibnu Hajar bagian dari tokoh yang memproklamasikan
kemerdekaan dalam Proklamasi 17 Mei. Inilah fakta patriotisme rakyat
kalimantan Selatan dalam keinginan hidup bersama republik,"
5.Daud beureuh
Sejarah mencatat bahwa pemberontakan DI/TII di Aceh pimpinan Daud
Beureueh terjadi mulai 20 September 1953. Dalam riset Harry Adi
Darmanto bertajuk "Pemberontakan Daud Beureueh (DI/TII Aceh) Tahun
1953-1962" (2007), ditambahkan, kebijakan penyatuan Aceh ke dalam
Provinsi Sumatera Utara ditentang.Sedangkan cara diplomasi diterapkan
dengan mengirim utusan ke Aceh untuk berdialog dengan Daud Beureueh
dan kawan-kawan dalam upaya meredam perang saudara. Persoalan ini
akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai kendati harus melalui
proses negosiasi yang alot dan melelahkan. Diputuskan bahwa diberikan
hak otonomi sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan
boleh menerapkan syariat Islam sebagai aturan daerah yang berbeda
dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Tanggal 18-22 Desember
1962, sebuah upacara besar bertajuk “Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh (MKRA)" dihelat di Blangpadang, Aceh, sebagai simbol
perdamaian. Daud Beureueh dan kelompoknya bahkan menuntut
diberikannya hak otonom untuk Aceh. Pemerintah pusat tidak tinggal
diam menyikapi ini dan memutuskan untuk melakukan tindakan kepada
DI/TII Daud Beureueh di Aceh. Ada dua peran dan jalur yang dilakukan
oleh Daud beureuh dalam menempuh pemerintah pusat, yakni upaya
militer dan diplomasi. Operasi militer dilakukan dengan menggelar
“Operasi 17 Agustus" dan “Operasi Merdeka".
Dari beberapa kasus, mereka ini yang dibina dan dijadikan kader. Melalui
kebijakan strategis yang tepat guna dan tepat sasaran, kiranya tindak
terorisme di tanah air akan dengan mudah di tanggulangi. Masyarakat
menaruh harapan penuh kepada pemerintah untuk dapat memberikan rasa
tenang, aman, dan nyaman dalam beraktivitas sehari-hari. Tidak pernah
merasa khawatir keselamatannya terancam oleh aksi terorisme.