Anda di halaman 1dari 5

TUGAS SEJARAH

Pemberontakan Dalam Negeri

Nama Anggota :
- Felantina Restyar Nintyas
- Fira Dwi Nuraeni
- Nofi Kartikasari
- Salsa Fidia Mukti
Kelas : XII. MIPA 1
Pemberontakan DI/TII
Latar Belakang

Berawal dari ketidakpuasan S.M kartosuwiryo terhadap perjanjian renville yang membuat
wilayah indonesia semakin sempit, dampak dari perjanjian renville ini juga membuat indonesia
terpaksa harus menarik mundur pasukan militernya sesuai dengan garis van mook, akan tetapi
pasukan militer yang berada dibawah pimpinan S.M kartosuwiryo( Laskar bersenjata Hizbullah dan
Sabilillah), menolak untuk mundur dan lebih memilih untuk melarikan diri kedalam hutan, dan pada
tanggal 7 Agustus 1949 kartosuwiryo menyatakan pembentukan Darul islam (DI)

Tujuan

Membentuk negara islam yang berdasar pada hukum Al – Quran dan hadist

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Berawal dari salah satu keputusan perjanjian renville yang menyatakan pasukan RI dari daerah
– daerah yang berada di dalam garis van mook harus pindah ke daerah yang dikuasai RI, membuat
divisi siliwangi yang berada di daerah Jawa Barat harus pindah ke Jawa tengah karena Jawa barat
dijadikan negara bagian pasundan oleh Belanda, vakum ( kosongnya) kekuasaan RI di jawa barat
dimanfaatkan oleh sekarmadji maridjan kartosuwiryo untuk merealisasikan cita – citanya dengan
menyatakan pembentukan darul islam(DI) dengan dukungan tentara islam indonesia pada tanggal 7
agustus 1949. Tujuan dibentuknya DI/TII di jawa barat ini adalah untuk membentuk negara islam
yang berdasar pada al-quran dan hadist di wilayah indonesia dan juga menolak perjanjian renville.
DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh S.M Kartosuwiryo yang pada jaman pergerakan nasional
kartosuwiryo merupakan tokoh pergerakan islam di indonesia yang cukup disegani dan juga salah
seorang tokoh Partai Serekat Islam Indonesia(PSII),Dan Selama masa pemerintahan jepang
kartosuwiryo merupakan anggota masyumi sebagai komisaris Jawa Barat yang merangkap sebagai
sekretaris 1.

Pemberontakan terjadi ketika pasukan siliwangi hijrah dari Jawa Tengah ke Jawa Barat, saat
itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan DI/TII dengan TNI, selama
perperangan berlangsung DI/TII dibantu oleh tentara Belanda yang menyebabkan perperangan
semakin sengit, dan hadirnya DI/TII mengakibatkan penderitaan bagi penduduk jawa barat karena
penduduk menerima teror yaitu berupa ancaman dan juga perampasan harta benda penduduk oleh
pasukan DI/TII.

Pemerintah indonesia yang melihat tindakan tersebut berupaya menanggulangi DI/TII di Jawa
Barat dengan melakukan operasi militer dengan menggunakan taktik “pagar betis” yaitu operasi yang
dilakukan oleh DI/TII yang bekerja sama dengan rakyat setempat untuk menumpas pemberontakan
dengan mengepung tempat pasukan DI/TII berada, menggunakan tenaga ratusan rakyat. Tujuan dari
“Pagar besi” yaitu untuk mempersempit ruang gerak DI/TII. Dan pada tanggal 4 juni 1962 S.M
Kartosuwiryo berhasil ditangkap lalu ia dijatuhi hukuman mati.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman (Kyai Somalangu). Amir Fatah ialah
seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarji, dan Mojokerto. Setelah mendapat
pengikut, Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII pada tanggal
23 Agustus 1949 di Desa Pengarasan, Tegal. Amir Fatah Kemudian diangkat sebagai Komandan
Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia. Amir fatah ingin
memaksakan ideologi islam ke indonesia, karena ia menganggap pemerintahan indonesia
terpengaruh oleh orang – orang sosialis dan komunis sehingga mengganggu perjuangan umat islam.

Selain itu, di Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam
(AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu. Kedua gerakan ini bergabung dengan DI/TII Jawa Barat,
pimpinan Kartosiwiryo. Kemudian DII/TII di jawa tengah semakin kuat, setelah batalion 642
bergabung dengan Amir fatah di daerah kudus dan magelang, dan untuk mewujudkan kekuasaannya
di Jawa Tengah DI/TII melakukan teror penguasaan daerah terhadap rakyat dan TNI yang sedang
melakukan perlawanan kepada Belanda.

Melihat kondisi ini, pemerintah Indonesia membentuka pasuka khusus untuk menupas
pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah, yang dinamakan “tentara benteng raiders” Pasukan Raiders
ini melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng Negara
(OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian diganti oleh Letnan Kolonel M.
Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan Kolonel A. Yani. Berkast operasi tersebut,
pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dapat ditumpas pada 1954. Adapun yang mengatasi
pembelotan Batalion 624, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Soeharto.

Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah)


terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat
(Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang
berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut,
pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat
Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia
mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan
beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang
statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi
penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di
kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh,
dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan
organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
DI/TII diaceh betujuan untuk memisahkan diri dari Indonesia dan bergabung dengan Negara Islam
Indonesia.
Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil
mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Pada masa-
masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai sebagian besar
daerah Aceh termasuk beberapa kota.

Upaya pemerintah untuk menumpas pemberontakan ini adalah dengan Operasi militer ,Operasi
ini mendapat bantuan dari Sumatra Utara dan Sumatra Tengah. Hasil operasi militer tersebut
ternyata merebut kota kota yang dikuasai gerombolan ini, sehingga Daud
Beureueh terdesak dan melarikan diri ke hutan. Karena mengalami kegagalan. Atas prakarsa
Kolonel M. Yasin, diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berlangsung pada tanggal 17-
21 Desember 1962. Akhir pemberontakan DI/TII Aceh diselesaikan dengan cara damai.

Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada mulanya dia adalah
pejuang kemerdekaan, setelah kembali ke Sulawesi Selatan menghimpun laskar gerilya dan
bergabung dengan Komando Gerilya Selawesi Selatan (KGSS). Pada tanggal 30 April 1950Kahar
Muzakar menulis surat kepada Pemerintah yang isinya, "menuntut agar anggota KGSS dimasukkan
ke dalam APRIS dengan nama Beigade Hassanudin.". Tuntutan ini ditolak dan hanya mereka
yang lulus dalam penyaringan yang dapat diterima APRIS.

Pendekatan yang dilakukan pemerintah berhasil baik, Kahar Muzakar diberi pangkat Letnan
Kolonel. Tetapi pada saat pelantikan akan dilakukan tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar beserta
anak buahnya melarikan diri ke hutan. Dalam pelarian ini mereka sambil membawaperalatan yang
telah disiapkan untuk pelantikan. Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan bahwa
daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari NII Kartosuwiryo.
Selama lebih kurang 14 tahun Kahar Muzakar melakukan pengacauan dan teror. Hal ini
membuat masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara resah dan menderita.
Tindakan pemerintah menumpas gerombolan ini dengan melancarkan operasi militer. Operasi
ini memakan waktu yang cukup lama karena kurang adanya faktor semangat sebagaimana waktu
menumpas DI/TII di Jawa Barat. Dengan semangat dan tekad yang tinggi dari TNI, akhirnya
pada Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak mati. Pemberontakan di Sulawesi Selatan
dapat dipatahkan sama sekali, Setelah orang kedua yang bernama Gerungan berhasil ditangkap pada
bulan Juli 1965.

Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan


Pemicu pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan ini adalah kegagalan para mantan pejuang
kemerdekaan asal Kalimantan Selatan untuk diterima di tentara Indonesia saat itu, APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat). Kebanyakan bekas pejuang ini tidak bisa masuk tentara karena tidak
bisa baca tulis, termasuk Ibnu Hadjar sendiri. Mereka juga kecewa dengan adanya bekas tentara KNIL
(Tentara Hindia Belanda) di APRIS.

Ibnu Hadjar membentuk “Kesatuan Rakjat Jang Tertindas” (KRJT), pada tanggal 10 Oktober
1950. Kemudian beliau dengan anak buahnya merampok gudang senjata milik TNI dikandangan
( sekarang Yonif 621 kandangan ). Setelah merebut berbagai senjata dan amunisi, beliau dan anak
buahnya lari ke pedalaman gunung meratus untuk menyusun strategi dan kekuatan. Akhir tahun 1954,
Ibnu Hajar memilih bergabung dengan pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang menawarkan padanya
jabatan dalam pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII Kalimantan.

Dalam menghadapi pemberontakan Ibnu Hajar, pemerintah pusat menggunakan tokoh-tokoh


kharismatik local seperti Hasan Basery (mantan komandannya Ibnu Khajar) dan Idham Khalid seorang
politikus dari Nahdiatul Ulama (NU), dan ada juga dari keluarga Ibnu Hajar sendiri untuk mermbujuk
Ibnu Khajar dan KRIyTnya agar meletakan senjata atau biasa disebut juga jalan damai. Namun upaya
pemerintah untuk menghentikan pemeberontakan ini dengan jalan damai ternyata gagal.
Akhirnya pemerintah menggunakan operasi militer untuk menghentikan pemberontakan DI/TII
Kalimantan Selatan. Pada bulan Juli 1963, mungkin karena sudah banyak para pengikut dekatnya nya
yang mati, ditambah dana operasional yang tidak lagi mencukupi, akhirnya dengan bujukan Ibnu
Hajarpun menyerah. Dia dibujuk supaya menyerah tapi dia tetap akan menjadi tentara, dia akan
diberi kenaikan pangkat dan disekolahkan kemiliteran ke Jawa.

Akhirnya Ibnu Hajar mau menyerah. Pada saat penyerahan diri Ibnu Hajar, beliau langsung
disambut oleh ratusan masyarakat, dan juga dihadiri oleh gubernur dan petinggi TNI di Kalimantan
Selatan. Kemudian Ibnu Hajar berhasil ditangkap pada 1959 dan dihukum mati pada 22 Maret 1965.

Anda mungkin juga menyukai