R. Suharso
H. Agus Salim
Menurut keterangan Adam Malik, nama Haji Agus Salim pertama kali menonjol di
luar negeri ketika diadakan konferensi buruh sedunia di Jenewa pada tanggal 30 Mei
1929. Pemerintah kolonial mengirimkan dua orang utusan ke konfrensi ini, pertama
Haji Agus Salim untuk bergabung dengan delegasi buruh Nederland dan Achmad
Djajadiningrat bergabung dalam delegasi Belanda sebagai ahli (Teknis). Mulai saat
itu nama Agus Salim dikenal di dalam pergaulan internasional, yang oleh
pemerintah
1
2
Gambar 1. Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Haji Agus Salim
Sumber: academia.edu
Jenderal Sudirman
Dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia, jasa-jasanya sangat dikenang dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jenderal Besar Soedirman menurut Ejaan
Soewandi dibaca Sudirman, Ia merupakan salah satu orang yang memperoleh
pangkat bintang lima selain Soeharto dan A.H Nasution. Jenderal besar Indonesia
ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Ayahnya
bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem. Namun ia lebih banyak
tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo setelah diadopsi.
Ketika Sudirman pindah ke Cilacap di tahun 1916, ia bergabung dengan organisasi
Islam Muhammadiyah dan menjadi siswa yang rajin serta aktif dalam kegiatan
ekstrakurikuler.
Kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam
Islam menjadikan ia dihormati oleh masyarakat. Jenderal Sudirman merupakan salah
satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu
revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski
menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia
berlatar belakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di
kepanduan Hizbul Wathan.
Moh. Hatta
Proklamasi kemerdekaan Indonesia memang sudah terlaksana 17 Agustus 1945,
keesokan harinya Soekarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi
wakil presiden. Dalam situasi ini, jangan dibayangkan proklamasi kemerdekaan
dirayakan dengan sorak-sorai oleh seluruh lapisan masyarakat seolah-olah kita sudah
'menang sepenuhnya'. Dalam kondisi ini, tantangan berikutnya yang harus dihadapi
adalah: pengakuan dunia internasional. Karena tanpa adanya pengakuan dunia
internasional, proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta hanyalah dianggap sebagai
bentuk "upaya sekelompok orang yang ngaku-ngaku mendirikan negara" yang
hanya disaksikan oleh masyarakat lokal sekitar dan tidak mewakili kehendak seluruh
kepulauan Nusantara.
Negara Indonesia yang masih bayi memiliki 2 PR besar, yaitu upaya
mempertahankan status kemerdekaan dari serangan militer manapun yang berupaya
merebut daerah NKRI. Kedua adalah upaya memenangkan pengakuan dunia
internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian.
Dalam periode awal kemerdekaan, Bapak-Bapak pendiri Bangsa Indonesia, betul-
betul harus berjuang susah-payah untuk menyelesaikan 2 PR besar tersebut. Dari
mulai isi perjanjian Linggarjati dan Renville yang sangat merugikan pihak
Indonesia. Sampai agresi militer Belanda 1-2 yang menggerogoti wilayah NKRI
yang notabene adalah bentuk pelanggaran oleh Belanda sendiri terhadap perjanjian
Linggarjati dan Renville.
Di sinilah Bung Hatta berperan sangat luar biasa besar dalam masa-masa kritis dan
paling menentukan bagi keutuhan NKRI. Di saat Indonesia sedang benar-benar di
ambang kehancuran, seorang putera Minangkabau yang telah ditempa oleh
kedisiplinan belajar yang mencengangkan, oleh keluasan wawasan yang didapat dari
melahap 16 peti buku yang selalu ia bawa kemanapun. Dengan kepiawaiannya
berargumentasi dan berdialektika, Hatta berhasil mendesak Belanda sekaligus
mengambil simpatik seluruh dunia pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2
November 1949).
Dengan memanfaatkan reaksi keras dunia internasional terhadap berbagai
pelanggaran yang dilakukan Belanda pada perjanjian Linggarjati dan Renville
dengan melangsungkan agresi militer. Belum lagi tindakan tegas Hatta pada
penumpasan pemberontakan komunis di Madiun 1948 yang menambah simpatik
pihak Amerika (yang anti-komunis) terhadap Indonesia (Ricklefs, 1991).
Ditambah dengan penyalahgunaan alokasi dana setelah Perang Dunia II yang
seharusnya digunakan
Belanda untuk membangun negara, malah digunakan untuk menyerang negara lain.
Bung Hatta dapat pulang ke tanah air dengan senyum lebar penuh kemenangan,
karena dirinya telah berhasil menghadiahkan NKRI (kecuali Irian Barat) sebuah
pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional. Kalo bukan
karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB,
mungkin yang namanya negara Republik Indonesia sudah hilang dari peta
dunia seutuhnya 65 tahun yang lalu.
Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur.
Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah
pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo. Kabinet ini
mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Program pokok dari Kabinet
Wilopo adalah: Program dalam negeri:
a. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR,
dan DPRD
b. Meningkatkan kemakmuran rakyat,
c. Meningkatkan pendidikan rakyat, dan
d. Pemulihan stabilitas keamanan negara
Program luar negeri:
a. Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
b. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta
c. Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit
kas negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan
pergerakan
gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi
gelombang ketidakpuasan di daerah yang memperparah kondisi politik nasional.
Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang
menempatkan TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI
sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan
kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di
Sulawesi Selatan
Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan
di Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa
bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI
mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa
Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap
kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden
pada tanggal 2 Juni 1953.
Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:
- Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955
- Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
~ R. Suharso ~
Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam Jabatan
© Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi
solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga
membawa akibat yang lain, seperti :
~ R. Suharso ~
Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam Jabatan
© Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
a. Berkurangnya ketegangan dunia
b. Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras di
negaranya.
c. Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam
usaha penyatuan Irian Barat di PBB
~ R. Suharso ~
Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam Jabatan
© Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi pemberontakan di
daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Terjadinya
Peristiwa
27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-
AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini
keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan
inflasi. Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali
yang mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955
yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet
Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli
1955 (Riclefs, 1991).
~ R. Suharso ~
Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam Jabatan
© Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
c. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
d. Perjuangan pengembalian Irian Barat
~ R. Suharso ~
Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam Jabatan
© Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
e. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam
menjalankan fungsinya, seperti:
a. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih
anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.
b. Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
c. Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat
d. Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang
terlibat korupsi
Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen
yaitu, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang
lolos seleksi. Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil
berdampak pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap
menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya
kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang memberikan
dukungan kepada kabinet (Noer, 1983).
Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno,
sehingga dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet
ini berhasil melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB. Pada masa kabinet ini
muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan
kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan
sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.
Lambatnya pertumbu han ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis
kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam
melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya
mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan
antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari
Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada
presiden (Muljana, 2008).
Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959
mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu
sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut
bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat
Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur
penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD. Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9
Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno
bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri
pertama.
Kehidupan Soekarno menyokong pemikiran Soekarno. Kemiskinan dalam
kehidupan Soekarno melahirkan buah-buah pemikiran bijaksana yang berjalan
sesuai dengan norma-norma masyarakat. (Adams, 2011:27-33) Proses pendidikan
Soekarno yang beriringan dengan tekanan kehidupannya membuat Soekarno
berbeda dari peserta didik lainnya. Soekarno merupakan murid yang cerdas dan
pandai dalam pendidikan. Kapasitas intelektual tersebut semakin hari semakin
meningkat ketajamannya. kemudian pendidikannya dilanjutkan ke Hogere Burger
School (HBS) Surabaya, sebenarnya sekolah ini adalah sekolah yang sangat sulit
dimasuki oleh para pribumi, namun karena Soekarno mampu membayar mahal,
maka Soekarno pun masuk sekolah ini dan kemudian di sekolah ini Soekarno
mengenal teori marxisme dari seorang gurunya, yaitu C. Hartough yang
menganut paham sosial demokrat.
Ayah Soekarno mempercayakan kepada H.O.S cokroaminoto untuk menjaga
Soekarno (Mufid, 2015:37-54).
Soekarno menelaah kemerdekaan bukan sekedar kebebasan rakyat Indonesia
dengan kaum penjajah saja. Lebih kepada nilai-nilai kemerdekaan itu sendiri.
Orientasi itu terarah kepada keengsaraan kaum marhaen atau rakyat tertindas, dari
jaman kerajaan kaum marhaen tidak memiliki kebebasan secara verbal. Kaum
marhaen terdahulu diatur dan dibonekakan oleh raja-raja dengan bungkus feodalisme
dan kerangka monaraki yang merasukinya. Kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki
sebuah garis revolusi yaitu terbebasnya kaum marhaen dari sistem penindasan
apapun. Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kemerdekaan yang terbebas dari
belenggu Kapitalisme dan Imperialisme maupun modern Imperialism (Soekarno,
1963:262).
Demokrasi dalam pandangan Soekarno merupakan sistem yang paling ideal
ubtuk memerintah Indonesia. Walaupun Soekarno menghendaki satu partai saja,
Soekarno tetap memberikan perhatian Terhadap masalah demokrasi. Namun perlu
ditekankan lagi demokrasi yang Soekarno maksudkan bukanlah demokrasi Barat
yang menurut Soekarno hanya menjamin hak rakyat pada persamaan bidang politik,
sedangkan hak-hak untuk persamaan ekonomi sama sekali ditinggalkan. Soekarno
menganggap demokrasi barat tidak cocok dengn Indonesia. Sehingga sikap
antipatinya itu bukan asal sikap yang tidak menggunakan pertimbangan sama sekali.
Perstauan dan kesatuan harapan Soekarno terilhami dari Konsepsi mengenai
democratisch centralisme. Ide Soekarno mengenai democratisch centralisme dapat
dilihat kesinambungannya ketika Indonesia dalam tahap menyususn UUD yang akan
dijadikan konstitusi Negara Indonesia Merdeka dengan mengupayakan sistem
presidensil, pendirian PNI-Staatspartij dan diterapkannya demokrasi terpimpin yang
semua itu mempunyai hubungan langsung dengan ide democratisch centralism yang
berdasarkan cita-cita persatuan Indonesia (Basri, 2013:52).
Bentuk pemerintahan Indonesia Pada masa diberlakukan Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950, menganut sistem demokrasi liberal. Demokrasi ini
Merupakan sistem politik Secara tidak langsung kedaulatan rakyat disalurkan
melalui partai-partai. Kebijakan multipartai yang tertancap di Indonesia mendapati
sisi negatif. Sistem demokrasi liberal dan kabinet parlementer berakibat
pada
pemerintahan tidak stabil atau sering terjadi pergantian kabinet, pemerintah tidak
sempat melaksanakan program kerjanya, sebab setiap kabinet hanya mempunyai
masa kerja pendek dan kedudukan pemerintah tidak kuat karena sewaktu-waktu
dapat dibubarkan apabila tidak mendapat persetujuan DPR. Terdapat empat partai
besar yaitu Masyumi, PNI, NU dan PKI. Partai partai itulah mengirimkan wakil-
wakil rakyat dalam DPR (parlemen), sehingga disebut dengan sistem kabinet
parlementer. Pada tanggal 21 Februari 1957 Soekarno membongkar kabut tersebut.
Soekarno mengusulkan Demokrasi terpimpin sebagai demokrasi yang cocok dengan
kepribadian nasional (Ricklefs, 2005:505). Soekarno menganggap bahwa demokrasi
liberal dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga
demokrasi terpimpin ditawarkan sebagai sebuah gagasan baru.
Menurut Soekarno demokrasi terpimpin merupakan jalan keluar dari
kegagalan demokrasi liberal sejak tahun 1950, terbukti bahwa demokrasi liberal
ternyata tidak sesuai bagi kondisi di Indonesia sehingga tuntutan-tuntutan maupun
dukungan untuk kembali ke UUD 1945 semakin meluas saat memasuki awal tahun
1959. PNI dan PKI sepakat dengan gagasan Presiden Soekarno, ternyata dibalik
sikap politik yang menyatakan dukungan akan dikeluarkan dekrit merupakan bentuk
pertarungan ideologi bahwa inilah salah satu jalan untuk dapat menerobos
kekerasannya pendirian partai-partai Islam dalam Majelis Konstituante yang
bertugas merumuskan UUDS
1950 menginginkan isi dari Pancasila digantikan dengan Piagam Jakarta serta
dicantumkan dalam undang-undang dasar yang baru (Romadhoni, 2014:2).
Kelahiran Dekrit presiden 5 Juli dilatar belakangi atas konvensi pertemuan
Soekarno dengan Perdana Menteri Djuanda, Wakil Ketua Dewan Nasional Roslan
Abdoelgani, KASAD A. H. Nasution, Menteri Negara Moh. Yamin, Ketua
Mahkamah Agung Mr. Wiryono dan Direktur Kabinet Presiden Mr. Tamzil pada
Tanggal 4 Juli 1959, pada saat itulah gagasan kembali ke UUD 1945 mendapati
konvensi tentang kelahiran dekrit presiden 5 juli. Presiden mengeluarkan Dekrit 5
Juli
1959 sebagai solusi dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan
yang kuat (Budiarjo, 1998:4).
Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap
otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul
di dataran politik Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an (Feith, 1995). Untuk
menggantikan pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang lebih
otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan oleh Presiden Soekarno. Ia
memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada tahun 1959 dengan
dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa
keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia
mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang
terhadap militer. Dari kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan juga walau tidak begitu signifikan peranan dari golongan
agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros
nasakom soekarno semasa pemberlakuan demokrasi terpimpin. Meskipun pemimpin
PKI maupun Angkatan Darat mengaku setia kepada Presiden Soekarno, mereka
sendiri masing-masing terkurung dalam pertentangan yang tak terdamaikan.
Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling
bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan
kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang
mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya.
Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti
Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan dukungan yang luas
untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia
menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-
kekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari
bangsa, Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional
yang akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup
sistem Demokrasi Terpimpin.
Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada
bulan Juli 1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama
dengan tindakan dan janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan
kembali struktur konstitusional. Akan tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser
kepada tindakan simbolis dan ritual, serta khususnya kepada perumusan ideologi
seraya melemparkan gagasan-gagasannya berulang kali. Presiden Soekarno dalam
hal ini menciptakan doktrin negara yang baru (Karim, 1993). Demokrasi terpimpin
dan
gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah menguasai komunikasi massa
sejak pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak mungkin bagi surat kabar atau majalah
berani terang-terangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang dan semboyan-
semboyan baru. Pada paruh kedua 1959, Presiden Soekarno semakin mementingkan
lambang-lambang. Dalam hubungan ini yang terpenting ialah pidato kenegaraan
presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 dan selanjutnya hasil kerja
Dewan Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis dalil-dalil yang
terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenarkan
mengapa harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sesungguhnya hanya
sedikit tema-tema baru dalam pidato presiden, tetapi pidato itu penting karena
berkaitan dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar revolusioner
tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu, Presiden Soekarno
menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik Indonesia”.
Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun
oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959,
presiden selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan
penting (Maarif, 1996). Pertama, Undang- Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme
ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin; dan
yang terakhir kelima, kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama
masing-masing gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik
Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama
“Manipol-USDEK”.
Manipol-USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat
politik. Masyarakat politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama
mendukung apa yang selalu ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan,
menempatkan kepentingan nasional diatas kepentringan golongan dan kemungkinan
mencapai mufakat melalui musyawarah yang dilakukan dengan penuh kesabaran.
Ada dua sebab mengenai hal ini pertama, keselarasan dan kesetiakawanan
merupakan nilai yang dijunjung masyarakat-masyarakat Indonesia. Dan kedua,
bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa berat kehidupan yang mereka
rasakan akibat keterpecahbelahan mereka dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu,
banyak yang tertarik kepada gagasan bahwa apa yang diperlukan Indonesia
dewasa ini adalah
orang-orang yang berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota
beberapa komunitas Indonesia, terutama bagi orang-orang Jawa, mereka
menemukan makna yang sesungguhnya dalam berbagai skema rumit yang
disampaikan presiden itu ketika mengupas cara pandang secara panjang lebar
Manipol-USDEK, yang menjelaskan arti dan tugas-tugas khusus tahapan sejarah
sekarang ini.
Barangkali daya tarik terpenting Manipol-USDEK terletak pada kenyataan
bahwa ideologi ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak
tertarik pada makna dasar dari arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden
menawarkan sesuatu pada saat terjadi ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-nilai
dan pola-pola kognitif berubah terus dan saling berbenturan, sehingga timbul
keinginan yang kuat untuk mencari perumusan yang dogmatis dan skematis
mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap Manipol-
USDEK ialah bahwa Manipol- USDEK bukanlah merupakan ideologi yang sangat
baik atau lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an dibutuhkan sebuah ideologi dalam
kerangka pembangunan Indonesia (Crouch, 1999).
Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK
diterima sepenuh hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan
kekhawatiran. Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan
pula suatu upaya unutk menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik
yang ada di Indonesia. Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani
perbedaan perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub
kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu
mengatasi permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat
keyakinannya, khususnya dari suku bukan Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai
pemikiran yang asing. Karena itulah maka pelaksanaan manipol Usdek dapat
disimpulkan dilakukan dengan paksaan.
D. Rangkuman
Selamat, Anda telah berhasil menyelesaikan modul tentang peran dan nilai-nilai
perjuangan tokoh nasional dan daerah dalam mempertahankan keutuhan negara dan
bangsa Indonesia pada masa 1945-1965. Dengan demikian, Anda sebagai guru
sejarah telah mampu mengidentifikasi dan menganalisis perkembangan sejarah
Indonesia tahun 1945-1965 untuk diajarkan kepada peserta didik. Hal-hal penting
yang telah Anda pelajari dalam modul ini adalah sebagai berikut.
1. Pada masa revolusi ada dua kekuatan besar yang berhasil digunakan oleh kaum
pro kemerdekaan, kekauatan itu adalah sipil dan militer yang bergerak melalui
dua jalur, yaitu diplomasi dan perang gerilya. Keduanya bersinergi untuk dapat
mempertahankan keutuhan negara dan bangsa Indonesia.
2. Pada masa demokrasi liberal peran para Perdana Menteri tidak dapat
dikesampingkan. Ketujuh kabinet yang terbentuk dengan jumlah 6 Perdana
Meneteri telah emberikan peran strategis untuk mempertahankan keutuhan
negara dan bangsa Indonesia. Bukan nama per nama yang penting diingat,
melainkan kiprah politik dan kebangsaan dari setiap Perdana Menteri yang
bertugas.
3. Pada masa demokrasi terpimpin, sosok Soekarno menduduki posisi sentral.
Menurut Soekarno demokrasi terpimpin merupakan jalan keluar dari kegagalan
demokrasi liberal sejak tahun 1950, terbukti bahwa demokrasi liberal ternyata
tidak sesuai bagi kondisi di Indonesia sehingga tuntutan-tuntutan maupun
dukungan untuk kembali ke UUD 1945 semakin meluas saat memasuki awal
tahun 1959.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Cindy. 2014. Bung Karno Penyumbang Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta Media
Presindo.
Agustinus Supriyanto. 2007. Pengakuan Kerajaan Belanda Dalam Perjuangan
Diplomasi Republik Indonesia Tahun 1945-1949. Disertasi, Yogyakarta: Program
Studi Ilmu Hukum UGM.
Alfian, Magdalia, dkk. 2007. SEJARAH: untuk SMA dan MA Kelas XII Program Ilmu
Pengetahuan Sosial. Jakarta: Erlangga.
Alfian, Magdalia, dkk.2007.SEJARAH: untuk SMA dan MA Kelas XI Program Ilmu
Pengetahuan Sosial. Jakarta: Erlangga.
Aning, Floriberta. 2005. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Narasi.
Artawijaya. 2014. Belajar dari Partai Masjumi. Jakarta: Tim Pusaka Al Kautsar.
Basri, H. 2013. “Pemikiran Soekarno Tentang Persatuan Indonesia Tahun 1926-1965”.
Tidak diterbitkan. Skripsi. Fakulats Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Jember:
Universitas Jember.
Crouch, Herbert. 1999. Militer & Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan,
Deliar Noer. 1983. Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965. Jakarta: Grafiti Pers.
Feith, Herbert. 1995. Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
Firmansyah, A. 2010. Hatta Si Bung yang Jujur dan Sederhana. Jogjakarta: Garasi
House
Of Book.
Hapsari, Ratna dan Adil, M. 2015. Sejarah untuk SMA/MA kelas XII Kelompok
Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga.
Kahin, G.M. (Ed). 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (2th ed.). Depok:
Komunitas Bambu
Kahin, George McTurnan. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca and
London: Cornell University Press.
Karim, Rusli. 1993. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia. 2015. Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Jakarta: Kemdikbud.
Matroji. 2007. SEJARAH: untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Erlangga.
Mukayat. 1981. Haji Agus Salim. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Muljana, S. 2008. Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid II.
Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara.
Noer, D. 1990. Mohammad Hatta Biografi politik. Jakarta: LP3ES Anggota IKAPI.
Ricklefs, M.C. (Eds). 2014. Sejarah Indonesia Modern (5th ed.). Jakrta : Serambi.
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1988. Soekarno Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto, S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soekarno. 1959. Penemuan Kembali Revolusi Kita. Djakarta: Departemen Penerangan
R.I.
Soekarno. 1963. Dibawah Bendera Revolusi (1 vol.) (2th ed). Jakarta : Panitia Penerbit
Dibawah Bendera Revolusi
Soekarno. 1963. Genta Suara Revolusi Indonesia. Djakarta: Departemen Penerangan R.I
Walgito, Bimo. 1978. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset.