Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KEHIDUPAN POLITIK DAN EKONOMI BANGSA


INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Guru Pengajar: Maulidiya Fidiyani, S.Pd

Disusun oleh:
SERLI
XII-AGAMA
Madrasah Aliyah Negeri Sampang
Tahun ajaran 2021-2022

1
2
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul
“Kehidupan Politik dan Ekonomi Di Masa Demokrasi Terpimpin” tepat waktu.
Makalah “Kehidupan Politik dan Ekonomi Di Masa Demokrasi Terpimpin” disusun guna memenuhi tugas
Ibu Diya Fidiyani pada pelajarn Sejarah Indonesia. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang “Kehidupan Politik dan Ekonomi Di Masa Demokrasi Terpimpin”
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada [Bapak/Ibu] selaku guru mata pelajaran Sejarah
Indonesia. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang
ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Sampang, 19 Oktober 2021

penyusun

SERLI

i
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................ii

Bab I: Pendahuluan
1. Latar Belakang...................................................................................................1
2. Rumusan Masalah..............................................................................................1
3. Tujuan................................................................................................................2

Bab II: Pembahasan


A. Dinamika Politik Masa Demokrasi Terpimpin

1. Upaya Menuju Demokrasi Terpimpin ..............................................................3


2. Peta Kekuatan Politik Nasional ........................................................................6
3. Pembebasan Irian Barat.....................................................................................9
4. Konfrontasi Terhadap Malaysia........................................................................11

B. Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin


1. Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)……………16
2. Devaluasi Mata Uang Rupiah……………………………………..16
3. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon)……………………….16

C. Bab III: Penutup

1. Kesimpulan ......................................................................................................17
2. Kritik dan Saran ...............................................................................................17

Daftar Pustaka..........................................................................18

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Dekrit presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu bentuk usaha untuk mencari
jalan keluar dari kemacetan politik dengan melalui pembentukan kepemimpinan yang
kuat. Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, Indonesia jatuh pada
masa Demokrasi Terpimpin.
Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang diktator. Ia hampir
menguasai semua sektor kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Demokrasi Terpimpin merupakan sebuah hype pendek demokrasi yang tidak
didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme-nasional, fasisme, dan komunisme, tetapi
suatu paham demokrasi yang didasarkan pada keinginan-keinginan luhur bangsa
Indonesia seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945. Demokrasi yang
menuju pada satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh
dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945.

Namun di dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan Demokrasi Terpimpin yang
mempunyai tujuan yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Malah
sebaliknya, sistem ini sangat jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya.

Dalam prakteknya, yang memimpin demokrasi ini bukan Pancasila sebagaimana yang
dicanangkan, tetapi sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya, demokrasi yang dijalankan tidak
berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia, tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau
ambisi politik pemimpinnya sendiri.

2. Tujuan

1. Agar siswa mengetahui pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

2. Agar siswa mengetahui sistem Ekonomi masa Demokrasi Terpimpin

3. Agar siswa mengetahui sistem Politik masa Demokrasi Terpimpin

1
3. Rumusan masalah

1. Bagaimana kehidupan politik pada masa Demokrasi Terpimpin ?


2. Bagaimana kehidupan ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dinamika Politik pada masa Demokrasi Terpimpin


1. Upaya Menuju Demokrasi Terpimpin

Kehidupan politik pada masa demokrasi terpimpin dilatarbelakangi pula oleh belum pernah mencapai
kestabilan secara nasional pada masa Demokrasi Parlementer. Persaingan partai-partai politik yang
menyebabkan pergantian kabinet terus terjadi. Selain itu, Dewan Konstituante hasil pemilu tahun 1955
ternyata tidak berhasil melaksanakan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia.

Oleh karena itu, muncul gagasan untuk melaksanakan model pemerintahan Demokrasi
Terpimpin dan kembali kepada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya adalah sebagai
berikut.
a. Menetapkan pembubaran Konstituante.
b. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan
golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama 10 tahun
merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap dengan Dekrit akan
tercipta suatu stabilitas politik. Dekrit pun dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung.
Dekrit juga didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI serta Mahkamah Agung.
Bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekrit, mengeluarkan perintah harian kepada seluruh
jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan mengamankan Dekrit Presiden. Dukungan lain
kemudian datang dari DPR, dalam sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin langsung oleh ketua
DPR, secara aklamasi menetapkan bersedia bekerja terus di bawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekrit Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden Soekarno
melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakuan melalui Staatsnoodrecht, hukum negara
dalam keadaan bahaya perang. Langkah politik ini terpaksa diambil karena keadaan tatanegara

3
dalam keadaan krisis yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga mengancam
keutuhan NKRI.

Pada saat itu pula, sistem kabinet parlementer ditinggalkan dan kabinet
pada masa demokrasi terpimpin adalah kabinet presidensial, yang meliputi:
a. Kabinet Kerja I
b. Kabinet Kerja II
c. Kabinet Kerja III
d. Kabinet Kerja IV
e. Kabinet Dwikora I
f. Kabinet Dwikora II
g. Kabinet Dwikora III
a. Kabinet Kerja I

Kabinet Kerja I menjadi kabinet awal semenjak Demokrasi Terpimpin terbentuk. Kabinet ini
bertugas pada periode 10 Juli 1959 sampai 18 Februari 1960 dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai
Perdana Menteri. Terbentuknya Kabinet Kerja I berdasarkan pada Keputusan Presiden RI Nomor 153
Tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959. 

 Program Kerja

 Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya


 Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara
 Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik, termasuk
Irian Barat
b. Kabinet Kerja II

Kabinet Kerja II masih dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini
bertugas pada periode 18 Februari 1960 sampai 6 Maret 1962.

 Program Kerja

 Program kerja Kabinet Kerja II sama dengan program kerja Kabinet Kerja I, meneruskan program
sebelumnya. 

c. Kabinet Kerja III

Kabinet Kerja III dibentuk pada tanggal 6 Maret 1962 bertugas sampai 13 November 1963.
Dibentuknya kabinet ini sebagai hasil dari reshuffle kabinet sebelumnya oleh Presiden Soekarno,
terdiri dari perdana menteri, dua wakil menteri pertama, delapan wakil perdana menteri dan 36
menteri. 

4
 Program Kerja

 Program sandang pangan harus diperhebat


 Program keamanan dirampungkan dengan memperhebat operasi di Jawa Barat dan
intensifikasi follow up di semua daerah
 Program anti imperialisme dan kolonialisme serta pembebasan Irian Barat, ditekankan kepada
pelaksanaan Tri Komando Rakyat, yang dalam keseluruhan Tri Program diberi prioritas ke satu,
yang harus didukung oleh semua kegiatan lain
d. Kabinet Kerja IV

Kabinet Kerja IV bertugas pada periode 13 November 1963 dan berakhir pada 27 Agustus
1964. Kabinet ini masih dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri.

 Program Kerja
 Sandang pangan
 Pengganyangan Malaysia
 Melanjutkan Pembangunan
e. Kabinet Dwikora I
Kabinet Dwikora I dibentuk pada 27 Agustus 1964 dan bertugas sampai 22 Februari 1966. 
 Program Kerja

 Sandang Pangan
 Pengganyangan "Malaysia"
 Melanjutkan Pembangunan

f. Kabinet Dwikora II

Kabinet Dwikora juga disebut sebagai Kabinet Seratus Menteri yang bertugas sejak 21 Februari
1966 sampai 27 Maret 1966. Kabinet ini dibentuk oleh Soekarno di tengah hiruk pikuk pasca Gerakan
30 September 1965 dengan memiliki 132 pejabat menteri dan pembantu presiden setingkat menteri. 

 Program Kerja

Sama dengan Kabinet Dwikora I, bersifat melanjutkan. 

g. Kabinet Dwikora III

Kabinet Dwikora III disebut sebagai kabinet yang disempurnakan lagi dan masih dipimpin oleh
Presiden Soekarno. Kabinet ini bertugas pada 31 Maret 1966 sampai 25 Juli 1966. 

 Program Kerja

Masih sama dengan program kerja pada Kabinet Dwikora I dan II, karena masih disempurnakan
lagi. 

5
 Kejatuhan
Berakhirnya Kabinet Dwikora disebabkan oleh beralihnya tampuk kepresidenan dari Soekarno ke
Soeharto. Setelah Soeharto menjabat sebagai Presiden, sistem pemerintahan Indonesia beralih menjadi Orde
Baru.Perubahan rezim ini diikuti dengan bubarnya Kabinet Dwikora dan terbentuklah Kabinet Pembangunaa.

Sehari sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandat
kepada Soekarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan. Kemudian pada 10 Juli 1959, Soekarno
mengumumkan kabinet baru yang disebut Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku
perdana menteri, dan Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan
dr. Subandrio. Keanggotaan kabinet terdiri dari sembilan menteri dan 24 menteri muda. Kabinet tidak
melibatkan para ketua partai besar, sehingga kabinet bisa dikatakan sebagai kabinet non partai. Namun
kabinet ini mengikutsertakan para kepala staf angkatan, kepala kepolisian, dan jaksa agung sebagai
menteri negara ex officio. Program kabinet yang dicanangkan meliputi penyelenggaraan keamanan
dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat. Pembentukan kabinet
kemudian diikuti pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang langsung
diketuai oleh Presiden Soekarno, dengan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketuanya. DPAS bertugas
menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Lembaga ini dibentuk
berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Anggota DPA dilantik pada
tanggal 15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang, 12 orang wakil golongan politik, 8
orang wakil/utusan daerah, 24 orang wakil golongan karya/fungsional dan satu orang wakil ketua. Pada
tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato peringatan kemerdekaan RI, Presiden Soekarno menafsirkan
pengertian demokrasi terpimpinnya. Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno menguraikan ideologi
Demokrasi Terpimpin yang isinya mencakup revolusi, gotong royong, demokrasi, anti imperialisme-
kapitalisme, anti demokrasi liberal, dan perubahan secara total. Pidato tersebut diberi judul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”. DPA dalam sidangnya bulan November 1959 mengusulkan kepada
pemerintah agar amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan Garis-garis Besar Haluan
Negara. Presiden Soekarno kemudian menerima usulan pidatonya sebagai Garis-garis Besar Haluan
Negara dengan nama “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat Manipol.Lembaga berikutnya
yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tanggal 31
Desember 1959 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Chairul Saleh
(tokoh Murba) sebagai ketuanya dan dibantu beberapa orang wakil ketua. Anggota MPRS
pemilihannya dilakukan melalui penunjukan dan pengangkatan oleh presiden, tidak melalui pemilihan
umum sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Mereka yang diangkat harus memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI dan setuju dengan
Manifesto Politik. MPRS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak sejalan dengan apa yang
diamanatkan dalam UUD 1945, namun diatur melalui Penpres No. 2 Tahun 1959, di mana fungsi dan
tugas MPRS hanya menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

2. Peta Kekuatan Politik Nasional Masa Demokrasi Terpimpin

6
Pada masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik terpusat pada tiga kekuatan politik terbesar, yakni Presiden
Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan TNI Angkatan Darat. Berbeda dengan masa sebelumnya, pada
masa Demokrasi terpimpin partai politik tidak mempunyai peran besar lagi dalam pentas politik nasional.Partai-
partai yang ada ditekan agar memberikan dukungan terhadap gagasan presiden. Partai politik yang
pergerakannya dianggap tidak sejalan dengan pemerintah akan di bubarkan dengan paksa. Oleh karena itu partai-
partai politik itu tidak dapat menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinyaSampai
dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai politik yang diakui oleh pemerintah, yaitu:

 PNI,
 NU,
 PKI,
 Partai Katolik,
 Partai Indonesia,
 Murba,
 PSII,
 IPKI,
 Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan
 Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).

Hal ini menyebabkan sistem pemerintahan pada masa demokrasi terpimpin benar-benar hanya berpusat pada
presiden, atau presidensial yang tidak memiliki lembaga apa pun yang dapat mengkritik atau menghentikannya,
dan bahkan tidak memiliki oposisi dari partai bertolakbelakang dengan kebijakannya.

 Partai politik

Partai politik pada era Demokrasi Terpimpin dibatasi oleh pemerintah. Pemerintah menerapkan penetapan
Presiden No 7 tahun 1959 tentang syarat-syarat penyederhanaan partai. berikut isinya: Menerima dan membela
konstitusi 1945 dan Pancasila Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita
politiknya. Partai politik setidaknya memiliki cabang diseperempat wilayah Indonesia. Presiden berhak
menyelidiki administrasi dan keuangan partai. Presiden berhak membubarkan partai yang terindikasi berusaha
merongrong politik pemerintah dan mendukung pemberontakan. Hingga 1961, pemerintah hanya mengakui
sembilan partai politik yaitu PKI, Partai Murba, Partai Katolik, PSII, PNI,NU, IPKI, Perti dan Partindo.

 Konflik dengan DPR

7
Dalam perkembangannya, beberapa fraksi dalam DPR menolak kebijakan Presiden Soekarno sehingga pecah
konflik antara Presiden dan DPR. Konflik tersebut mencapai puncak, ketika DPR menolak RAPBN 1960 yang
diajukan pemerintah. Presiden menjadikan masalah ini untuk membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan
dibubarkan pada Juni 1960. Setelah itu, Presiden Soekarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR). Presiden memilih dan mengangkat sendiri anggota DPR dan harus terikat aturan yang
ditetapkan presiden. Revolusi, sosialisme Indonesia, dan pimpinan nasional (Resopim) bertujuan untuk
memperkuat kedudukan Presiden Soekarno.Intinya seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus
dicapai melalui revolusi, jiwa oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan, yang disebut Panglima
Besar Revolusi yaitu Presiden Soekarno. Presiden seumur hidup dan Nasakom MPRS menetapkan Presiden
Soekarno sebagai presiden sumur hidup dalam Sidang Umum 1063. Presiden Soekarno mendapat tiga dukungan
yaitu, nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Sistem pemerintahan yang dikembangkan. Presiden Soekarno
memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya ideologi komunis. Presiden Soekarno juga mengajarkan
Nasakom kepada masyarakat. Di mana Nasakom merupakan cermin paham bebagai golongan masyarakat
Indonesia. Sehingga persatuan Indonesia dapat terwujud jika melaksanakan dan menerima ajaran Nasakom.

 Partai Komunis Indonesia (PKI)

Dalam perjalanannya, PKI memanfaatkan ajaran Nasakom, sehingga berhasil mendapatkan tempat dalam
konstelasi politik Indonesia. Strategi ini juga meyakinkan Presiden Soekarno bahwa PKI merupakan partai
pendukung utama kebijakan pemerintah. Bahkan saat Presiden Soekarno membubarkan beberapa partai politik
yang terlibat dalam pemberontakan, PKI berhasil terhindar dari pembubaran tersebut. Angkatan Darat yang
mengetahui kedekatan PKI dengan Presiden Soekarno mengerahkan berbagai cara untuk menghambat
pergerakan PKI. Pimpinan Angkatan Darat mengeluarkan perintah untuk menangkap DN Aidit dan melarang
terbitan surat kabar harian Rakyat. Namun hal tersebut menuai protes Presiden Soekarno dan memerintahkan
agar semua keputusan Angkatan Darat dicabut. Memasuki tahun 1964 serangan terhadap PKI semakin banyak.
Beberapa surat kabar memberitakan penemuan dokume rahasia PKI yang berencana merebut kekuasaan. Hal
tersebut dibantah oleh DN Aidit. Isu tersebut berkembang menjadi isu politik besar. Presiden Soekarno berupaya
menyelesaikan masalah tersebut dengan mengumpulkan seluruh pimpinan partai politik. Dalam pertemuan
tersebut, seluruh pemimpin partai politik sepakat mengakhiri perseteruan karena pemerintah sedang
berkonfrontasi dengan Malaysia.

 Politik Mercusuar

Politik Mercusuar merupakan politik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno. Pandangan politik ini memiliki
keinginan dan anggapan bahwa Indonesia dapat menjadi mercusuar yang menerangi jalan bagi Nefo di seluruh

8
dunia. Untuk mewujudkannya, maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan
dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo.Proyek-proyek tersebut
membutuhkan biaya yang sangat besar, diantaranya adalah penyelenggaraan Ganefo (Games of the New
Emerging Forces), pembangunan kompleks olahraga Senayan, dan pembangunan Monumen Nasional (Monas).

 Oldefo dan Nefo

Oldefo (The Old Established Forces) adalah sebutan untuk negara-negara barat yang sudah mapan ekonominya,
khususnya negara-negara dengan paham kapiltalisme. Sementara itu, Nefo (The New Emerging Forces) adalah
sebutan untuk negara-negara baru, khususnya negara-negara sosialis. Pada masa Demokrasi Terpimpin,
Indonesia lebih banyak menjalin kerja sama dengan negara-negara Nefo. Hal ini terlihat dengan dibentuknya
Poros Jakarta-Peking (Indonesia dan China) dan Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Pyongyang (Indonesia,
Kamboja, Vietnam Utara, dan Korea Utara). Terbentuknya poros ini mengakibatkan ruang gerak diplomasi
Indonesia di forum internasional menjadi sempit. Indonesia terkesan memihak kepada blok sosial/komunis.

3. Pembebasan Irian Barat Masa Demokrasi Terpimpin

Indonesia terlalu lunak pada imperialisme Belanda di Irian Barat. Soekarno sudah tak tahan. Irian Barat harus
dibebaskan sesegera mungkin. Di Palembang, Sumatra Selatan, 10 April 1962, Soekarno menjanjikan
pembebasan Irian Barat demi menjadikannya bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Irian
Barat, yang sekarang menjadi Provinsi Papua Barat adalah kesayangan Soekarno. Soekarno bahkan menjabat
Panglima Besar Komando Tertinggi Irian Barat. Bagi Bung Karno, persoalan merebut Irian Barat (Papua) adalah
urusan personal nan krusial. Tanpa Irian Barat, Nusantara tak akan sepenuhnya menjadi Indonesia. Tak sekali
dua kali Bung Karno mengungkap kecintaan terhadap Irian Barat. Hampir dalam tiap momentum Bung Karno
selalu menunjukkan kecintaan akan Irian Barat. Bahkan Bung Karno sempat menganalogikan Irian Barat
layaknya bagian dari tubuh, yang jika salah satu bagian telah hilang, maka keseimbangan tak akan didapat.
“Dibandingkan dengan wilayah kepulauan kami, Irian Barat hanya selebar daun kelor, tetapi Irian Barat adalah
sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa
melakukan perlawanan?” ungkap Bung Karno, dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung
Lidah Rakyat Indonesia (1965). Segala sesuatu pada akhirnya terpusatkan ke perjuangan Irian Barat. Saking
pentingnya Irian Barat, Rosihan Anwar mengungkap Bung Karno sampai melupakan masalah harga-harga
barang yang kala itu meningkat. Satu sisi, Bung Karno melakukan hal itu untuk mewujudkan mimpi supaya Irian
Barat menjadi bagian dari Indonesia. Sisi lainnya, rakyat Indonesia lainnya dalam kondisi merana. “Sejak
beberapa hari ini istri saya pening mencari roti untuk dimakan anak-anak di sekolah. Karena tepung tidak ada,
maka toko-toko pembuat roti kacau rencana kerja mereka. Khalayak merasakan akibatnya. Roti tawar sulit

9
diperoleh dan kalau ada harganya sepotong Rp30 sampai Rp35 padahal beberapa bulan lalu harganya cuma
Rp10 sepotong,” cerita Rosihan Anwar. Langkah Bung karno ini juga digambarkan oleh Sukawarsini Djelantik
dalam buku Asia-Pasifik: Konflik, Kerja Sama, dan Relasi dan Antarkawasan (2015), sebagai bentuk
kepentingan politik dan ekonomi. Karena Irian Barat negara kaya sumber daya alam (SDA), Indonesia kemudian
berkepentingan secara ekonomi. Sebagaimana diketahui, Bung karno tahu Irian Barat tak hanya menyimpan
minyak bumi, tetapi juga uranium. Di zaman atom seperti saat kala itu, temuan tersebut begitu penting.

 Dimulainya upaya pembebasan Irian Barat

Monumen Pembebasan Irian Barat (Detha Arya Tifada/VOI) Upaya pembebasan Irian Barat sendiri bermula
ketika Belanda menolak mengakui Irian Barat sebagai bagian NKRI. Sikap itu disampaikan Belanda dalam
perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus-2 November 1449. Delegasi Indonesia dan Belanda
berselisih pandang. Indonesia meyakini Irian Barat adalah bagian dari Indonesia Timur yang masuk dalam
wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Sementara, Belanda berpendapat Irian Barat tak memiliki hubungan
dengan wilayah Indonesia yang lain. Karenanya Belanda ingin Irian Barat diberi status khusus. Arsip Nasional
Indonesia (ANRI) mencatat dua pihak akhirnya sepakat menyelesaikan masalah lewat6 negosiasi lanjutan antara
Kerajaan Belanda dan RIS. Negosiasi dilakukan satu tahun setelah penyerahan kedaulatan, 27 Desember 1949.
Namun perundingan soal status Irian Barat tak juga menemui titik terang, meski satu tahun telah berlalu sejak
pengakuan kedaulatan Belanda. ANRI juga merekam dua pertemuan, yang digelar di Jakarta pada Maret 1950
dan di Den Haag pada Desember 1950. Dua pertemuan sama-sama beragendakan pengumpulan fakta. Hasilnya
dilaporkan ke Uni Indonesia-Belanda. Lagi-lagi buntu karena dua pihak melaporkan hasil berbeda. Indonesia
pun kemudian menempuh jalur konfrontasi politik-ekonomi. Indonesia sempat memutus relasi Uni Indonesia-
Belanda pada 15 Februari 1956. Indonesia juga membatalkan persetujuan KMB secara sepihak pada 27 Maret
1956. Selain itu Indonesia membentuk Provinsi Otonomi Irian Barat pada 15 Agustus 1956. Langkah lain
diambil dengan menasioalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, mulai dari maskapai penerbangan,
pelayaran, perusahaan gas, pabrik gula, hingga bank. Belanda membalas aksi Indonesia dengan meningkatkan
kekuatan militer. Puncaknya, Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda pada 17
Agustus 1960. Pasca-putusnya hubungan itu, Soekarno yang juga menjabat Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia makin gencar melatih dan mempersiapkan srategi militer. Pemerintah Indonesia
juga mengirim anak-anak muda dari berbagai daerah di Papua pada 1961. Langkah itu diambil sebagai respons
pengusiran masyarakat pro-NKRI oleh Belanda. Tak cuma mengusir, pada periode 1950-1960, Belanda juga
mendatangkan masyarakat yang anti-Indonesia ke Irian Barat. Indonesia juga mengambil langkah diplomatis ke
sejumlah negara sahabat, mengumpulkan dukungan komunitas internasional. Hasil signifikan didapat. Dari Uni
Soviet, Indonesia mendapat senjata berat hingga pesawat peluncur bom jarak jauh, Tupolev-16 dan kapal

10
penjelajah, Sverdlov, yang belakangan dinamai KRI Irian. Pada 1961, Indonesia membentuk Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat (KOTI). Soekarno, sebagai panglima tertinggi juga mengumumkan Tri Komando
Rakyat (Trikora). Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buata Belanda Kolonial Kibarkan Sang Merah
Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia Bersiaplah mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

 Persetujuan New York

Ketegangan dua negara makin jadi setelah Belanda menyerang kapal Indonesia di Laut Arafuru. Komodor Yos
Sudarso bersama seluruh awaknya gugur. Soekarno kemudian memerintahkan Brigjen Soeharto yang memimpin
Komando Mandala Pembebasan Irian Barat untuk melangsungkan tiga tahap operasi militer: penyusupan,
serangan terbuka, dan peneggakan kekuasaan penuh di Irian Barat. Gugurnya Yos Sudarso memertegas sikap
Indonesia agar Irian Barat secepatnya dibebaskan. Namun, sebelum pertempuran terjadi, Presiden AS John F.
Kennedy lebih dulu memerintahkan Jaksa Agung Robert F. Kennedy untuk mempertemukan dua pihak.
Perundingan itu juga dimotori diplomat AS, Ellsworth Bunker. Tujuan dari diskusi itu adalah penyelenggaraan
perundingan di New York pada 15 Agustus 1962 dan menghasilkan Persetujuan New York. Selain AS,
Persetujuan New York juga difasiliasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memerintahkan Belanda
menyerahkan pemerintahan Irian Barat ke PBB-Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA). UNTEA
kemudian secara resmi mengembalikan kedaulatan Indonesia di Irian Barat pada 1 Mei 1963. Ada syaratnya.
Indonesia harus menggelar referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dengan tenggat waktu akhir
1969. Pepera pun berlangsung 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasilnya, Irian
Barat tetap jadi bagian Indonesia. Hasil Pepera dilaporkan oleh Indonesia ke Sidang Umum ke-24 PBB. PBB
menerima seluruh hasil. Setelahnya Indonesia menetapkan 1 Mei 1963 sebagai Hari Peringatan Pembebasan
Irian Barat. Peringatan ditujukan untuk mengenang pengorbanan para patriot yang gugur sekaligus menegaskan
bahwa Papua dan Papua Barat selamanya bagian NKRI.

4. Konfrontasi Terhadap Malaysia

Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal untuk Konfrontasi saja adalah suatu perang mengenai
masa hadapan Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak yang terjadi selang Federasi Malaysia dan Indonesia pada
tahun 1962 hingga 1966. Perang ini berawal dari hasrat Federasi Malaya lebih dikenali untuk Persekutuan Tanah
Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang
tidak berdasarkan dengan Persetujuan Manila oleh karenanya Hasrat tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno
yang mengasumsikan pembentukan Federasi Malaysia yang kini dikenal untuk Malaysia untuk "boneka Inggris"
adalah kolonialisme dan imperialisme dalam bangun baru serta dukungan terhadap beragam gangguan keamanan

11
dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia. Pelanggaran akad internasional konsep THE MACAPAGAL
PLAN selang lain melalui akad Persetujuan Manila tanggal 31 Juli 1963, tanggal 3 Agustus 1963, tanggal 5
Agustus 1963[3] mengenai dekolonialisasi Wikisource-logo.svg yang wajib mengikut sertakan rakyat Sarawak
dan Sabah Pada 1961, Kalimantan dibagi diwujudkan menjadi empat administrasi. Kalimantan, suatu provinsi di
Indonesia, tidak kekurangan di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris;
Sarawak dan Borneo Utara, kesudahan dinamakan Sabah. Untuk anggota dari penarikannya dari koloninya di
Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya,
Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia. Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia;
Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya suatu boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya
akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga
membikin klaim atas Sabah, dengan argumen kawasan itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui
Kesultanan Sulu. Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962.
Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan memohon
bantuan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur
Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa semua pusat pemberontakan utama sudah
diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan tamat. Filipina dan
Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di kawasan yang
ingin dilakukan dekolonial memilihnya dalam suatu referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16
September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini untuk masalah
dalam negeri, tanpa lokasi untuk turut campur orang luar, tapi pemimpin Indonesia melihat hal ini untuk
Persetujuan Manila yang dilanggar dan untuk bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris. Semenjak
demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek
foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman. Perdana Menteri
Malaysia waktu itu dan memaksanya untuk menginjak Garuda,amarah Soekarno terhadap Malaysia pun
meledak. Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlanjut tanggal 17 September 1963, berlangsung
ketika para demonstran yang masih memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi
terhadap Malaysia juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini berikut
pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan
terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan
militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan
penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya. Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tingkah laku
yang dibuat demonstrasi anti-Indonesian yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[6] dan ingin
melaksanakan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.
Soekarno memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato dia yang amat bersejarah, berikut ini:

12
“Jikalau kita lapar itu biasa
Jikalau kita noda itu djuga biasa
Namun jikalau kita lapar atau noda itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat djangan hingga tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat
itu
Doakan diri sendiri, diri sendiri bakal berangkat ke ajang djuang untuk patriot Bangsa, untuk
martir Bangsa dan untuk peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan
ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan
tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat
Yoo...ayoo.... kita.... Ganjang....
Ganjang.... Malaysia
Ganjang.... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
Soekarno.”
Perang. Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan
bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan
Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk
menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1964 di
suatu rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi
Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
 Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk
menghancurkan Malaysia. Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan
meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja
berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia. Walaupun Filipina tidak turut serta

13
dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Federasi Malaysia
resmi diwujudkan bangun pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura
keluar di kesudahan hari. Ketegangan mengembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua
hari kesudahan para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Sebagian ratus perusuh
merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, kaki
tangan Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Di
sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan
pasukan tidak resminya mencoba merebut Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil. Pada 1964
pasukan Indonesia mulai menyerang kawasan di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei
diwujudkan bangun Komando Siaga yang menjalankan tugas untuk mengkoordinir keaktifan
perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kesudahan berubah diwujudkan
menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani
untuk Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu
(Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga
Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya
dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda)
berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang bersumber
dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo untuk
Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-
AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di
perbatasan Riau dan Kalimantan Timur. Di bulan Agustus, enam belas kaki tangan bersenjata
Indonesia ditangkap di Johor. Keaktifan Tingkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga
meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan
Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang dikurangi dan wajib bergantung pada pos
perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah
masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian luhur pihak yang terlibat konflik senjata
dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special
Cairan Service(SAS). Tercatat lebih kurang 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan
Inggris/Australia (SAS) juga tewas sesudah berperang di belantara kalimantan (Majalah
Angkasa Edisi 2006). Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya
Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun

14
payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di
perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan
Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di
Batu 20, Muar, Johor. Ketika PBB menerima Malaysia untuk anggota selalu berubah. Sukarno
menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk
Konferensi Daya Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) untuk alternatif. Untuk
tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New
Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963.
Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika
Selatan, serta diliput lebih kurang 500 wartawan asing. Pada Januari 1965, Australia setuju
untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan sesudah menerima jumlah permintaan dari
Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen
Australian Special Cairan Service. Aci lebih kurang empat belas ribu pasukan Inggris dan
Persemakmuran di Australia pada waktu itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak
bisa mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Cairan
Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia
mengakui penerobosan ini pada 1996. Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai memakai
pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau
Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan
Kepolisian North Borneo Armed Constabulary. Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang
bertenaga kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Tingkatan Laut Malaysia di Semporna.
Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini
dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
 Kesudahan konfrontasi
Menjelang kesudahan 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia sesudah
berlanjutnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, hasrat Indonesia untuk meneruskan
perang dengan Malaysia diwujudkan menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. Pada 28
Mei 1966 di suatu konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia
mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan tamat bulan Juni, dan akad perdamaian
ditandatangani pada 11 Agustus dan disahkan dua hari kesudahan.

B. Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin


15
Pada masa demokrasi terpimpin pemerintah berupaya mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi
sejak masa Demokrasi Parlementer. Dasar bagi kebijakan ekonomi terpimpin adalah sistem ekonomi
terpimpin dengan pimpinan Presiden Soekarno yang terjun langsung mengatur perekonomian.
Langkah-langkah kebijakan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin untuk memperbaiki kondisi
ekonomi antara lain adalah pembentukan dewan perancang nasional, devaluasi mata uang rupiah, dan
deklarasi ekonomi. Berikut adalah pemaparan kebijakan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin.

a. Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)

Dewan Perancang Nasional (Depernas) dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 80 Tahun 1958 dan
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1958. Tugas dewan ini adalah menyiapkan rancangan undang-
undang pembangunan nasional yang berencana serta menilai pelaksanaan pembangunan
tersebut.Depernas diketuai oleh Mohammad Yamin dengan 50 orang anggota. Pelantikannya secara
resmi dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 15 Agustus 1959. Pada 26 Juli 1960, Depernas berhasil
menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana untuk
tahun 1961-1969. Pada 1963, Depernas diganti namanya menjadi Badan Perancang Pembangunan
Nasional (Bappenas). Ketuanya dijabat secara langsung oleh Presiden Soekarno. Tugas badan ini
menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek secara nasional dan daerah,
mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan serta menilai hasil kerja
mandataris untuk MPRS.

b. Devaluasi Mata Uang Rupiah

Pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah mendevaluasi (menurunkan nilai mata uang) Rp 1.000 dan
Rp 500 menjadi Rp 100 dan Rp 50. Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan
di bank-bank yang melebihi jumlah Rp 25.000. Tujuan kebijakan devaluasi dan pembekuan simpanan
ini adalah untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar demi kepentingan perbaikan keuangan dan
perekonomian negara.

c. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (DEKON)

Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi Ekonomi (Dekon) di Jakarta.
Dekon merupakan strategi dasar dalam ekonomi terpimpin. Tujuan utama Dekon adalah untuk
menciptakan ekonomi nasional yang bersifat demokratis dan bebas dari imperialisme untuk mencapai
kemajuan ekonomi. Mengingat sulitnya untuk mendapatkan bantuan luar negeri, pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpegang pada sistem ekonomi Berdikari yang merupakan
akronim dari “Berdiri di atas kaki sendiri”. Pada bulan September 1963 Presiden Soekarno menunda
pelaksanaan Dekon dengan alasan fokus pada konfrontasi dengan Malaysia. Upaya-upaya perbaikan
ekonomi yang dilakukan pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin tidak menunjukkan hasil yang
signifikan. Kondisi ekonomi bahkan malah memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya
terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. Salah satu penyebab
meningkatnya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih
bersifat politis. Harga barang-barang naik 200 hingga 300 persen pada tahun 1965. Oleh karena itu
pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp1.000 (uang lama) diganti menjadi
Rp 1 (uang baru). Penggantian uang lama dengan uang baru itu diikuti dengan pengumuman kenaikan

16
harga bahan bakar. Hal ini menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan Tri
Tuntutan Rakyat (Tritura) yang berisi:

 Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya

 Perombakan kabinet Dwikora

 Turunkan harga pangan

Kegagalan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memperbaiki perekonomi ini disebabkan karena
beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut :

 Masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi


dengan cara-cara politis.
 Peraturan yang dikelurkan oleh pemerintah sering bertentangan antara satu peraturan
dengan peraturan yang lainnya.
 Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha.
 Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.

Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat
pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini, banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah
dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Presiden Soekarno mencoba mengusulkan pemikirannya dalam menyelesaikan permasalahan yang


dihadapi bangsa Indonesia melalui konsepsi yang dikenal dengan Konsepsi Presiden 1957. Konsepsi
ini merupakan gagasan pembaruan kehidupan politik dengan sistem demokrasi terpimpin sebagai
upaya penyelesaian permasalahan bangsa Indonesia. Soekarno berpendapat bahwa sistem Demokrasi
Terpimpin adalah jawaban terhadap kegagalan sistem Demokrasi Parlementer yang memunculkan
pergolakan, pembangkangan dan instabilitas politik. Pendapat Presiden Soekarno ini wujud
ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi yang dianut pemerintah masa demokrasi liberal. Dinamika
politik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin antara lain diwarnai dengan tampilnya dua

17
kekuatan politik di Indonesia yang saling bersaing, yaitu PKI dengan Angkatan Darat. Pada masa
Demokrasi Terpimpin pula, Indonesia melakukan operasi militer untuk membebaskan Papua dari
penjajahan Belanda (Trikora). Selain itu, konfrontasi dengan Malaysia juga terjadi (Dwikora).
Kebijakan ekonomi yang dilakukan pada masa ini antara lain berupa pembentukan Dewan Perancang
Nasional dan Deklarasi Ekonomi, serta dilakukan Devaluasi Mata Uang. Proyek Mercusuar berupa
pembangunan Monas, kompleks olahraga Senayan, Pemukiman Kebayoran juga berlangsung.

2. Saran

Belajar Sejarah Demokrasi Terpimpin penting bagi kesadaran bangsa Indonesia untuk memahami salah
satu bentuk demokrasi dan sistem politik-ekonomi yang pernah diterapkan di negeri ini. Pemahaman
dan pengalaman kita akan kehidupan berdemokrasi diharapkan menjadi semakin kaya. Tentu dengan
kesadaran akan kekurangan dan kelebihan yang ada.

Daftar Pustaka
https://amp.kompas.com/skola/read/2020/02/28/130000769/

https://amp.kompas.com/skola/read/2020/02/11/120000169/

https://text-id.123dok.com/document/lzgd2w12z-

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia%E2%80%93Malaysia

https://amp.kompas.com/stori/read/2021/04/20/145027979/

https://amp.kompas.com/stori/read/2021/04/20/152143979/

18
19
20

Anda mungkin juga menyukai