Anda di halaman 1dari 5

TANGGAPAN DAN SIKAP PEMERINTAH JEPANG ATAS

KEINGINAN BANGSA INDONESIA UNTUK MERDEKA .

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai akhir


Perang Dunia II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif
sudah tidak ada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke
Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun keinginan untuk melawan
hingga titik penghabisan dinyatakan secara terbuka, pemimpin Jepang
dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni
Soviet untuk berperan sebagai mediator dalam perjanjian damai
dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni
Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha
memenuhi janji kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi
Yalta.
Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet
melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria
(Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas SovietJepang. Kaisar
Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan
tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk
menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi
Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama
beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan
pidato radio di hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato
radio yang disebut Gyokuon-hs (Siaran Suara kaisar), Hirohito
membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus
mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah.
Pada tanggal 19 September 1945 di lapangan Ikada diselenggarakan
rapat untuk menyambut proklamasi kemerdekaan. Tapi karena
penjagaan tentara Jepang sangat ketat, maka rapat hanya berlangsung

singkat.Presiden Sukarno berpidato dengan singkat dan berpesan


supaya rakyat kembali dengan tenang dan mempercayakan pada
pemimpin. Rapat Raksasa di lapangan ikada menunjukkan tekad
bangsa Indonesia untuk merdeka. Arti penting rapat raksasa di
Lapangan Ikada adalah menjadi bukti pertama kewibawaan
pemerintah RI terhadap rakyatnya
Tindakan heroik diambil oleh bangsa Indonesia sesuai dengan
perintah proklamasi, secara spontan rakyat Indonesia mengadakan
tindakan mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang, baik secara
damai maupun kontak senjata.. Dengan tekad bulat bangsa Indonesia
mempertahankan kemerdekaan.Tujuan Bangsa Indonesia melucuti
tentara Jepang adalah sebagai Berikut
1. untuk mendapatkan senjata sebagai modal perjuangan selanjutnya:
2. untuk mencegah agar senjata Jepang tidak jatuh ketangan Sekutu
3. untuk mencegah agar senjata Jepang tidak digunakan Jepang untuk
membunuh rakyat
Beberapa tindakan heroik itu antara lain adalah :
a. Perebutan pangkalan udara bugis (sekarang abdul Rahman Saleh di
Malang) pada tanggal 18 september 1945
b. Penurunan Bendera Belanda dari puncak hotel Yamato di
Surabaya,tanggal 19 September 1945.
c.Rapat Raksasa di lapangan Ikada

Kemerdekaan Indonesia, sekilas terlihat sebagai proyek aji-mumpung.


Mumpung Jepang yang pada 6 dan 9 Agustus secara beruntun
dibombardir oleh AS dengan hancurnya Hiroshima dan Nagasaki.
Mumpung Jepang yang pada saat itu bercokol di Indonesia menyerah
pada sekutu yang diumkan pada 15 Agustus 1945. Mumpung Belanda
belum datang lagi. mumpung! Pokoknya yang terjadi pada saat itu,
situasi negara - negara raksasa perang sedang dalam puncak
pergolakan. Situasi dunia sangat kacau dan bagi Jepang sendiri,
peristiwa yang menimpa dua kotanya seperti sebuah kiamat dini.

Di Indonesia, pada saat terjadinya tragedi pemboman dua kota besar


di Jepang itu sedang melakukan banyak persiapan menuju
pembebasan dengan adanya sebuah panitia bentukan Jepang bernama
BPUPKI yang kemudian pada 7 Agustus 1945 dibubarkan dan diganti
dengan PPKI. Dari adanya dua badan bentukan Jepang di atas, pada
masa - masa menjelang akhir kekuasaan jepang, tokoh - tokoh
nasional sebenarnya sudah mulai menatap sebuah masa depan
Indonesia yang merdeka. Tetapi, di luar dugaan Jepang menyerah ke
tangan sekutu dan berujung pada tamatnya episode Perang Dunia II
serta Perang Pasifik. Keadaan ini jelas berpengaruh terhadap proses
merdekanya Indonesia. Di tengah hancurnya kekuasaan kekaisaran
Jepang, Indonesia tentu saja berada dalam situasi yang tak menentu
pula. Ancaman re-eksistensi yang dilakukan oleh Belanda serta
adanya pendudukan oleh sebuah negara baru, ( entah negara mana
lagi ) menghantui Indonesia. Beruntunglah, Indonesia memiliki
barisan tokoh yang tidak rapuh serta cengeng. Mereka mulai
merancang sebuah perjudian besar dalam menghadapi masa depan
bangsa Indonesia yang tidak menentu. Perjudian yang tidak mudah
untuk dimenangkan, mengingat daya yang dimiliki oleh Amerika dan
sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II bukanlah kekuatan yang
bisa dipandang sebelah mata.
Pada saat Perang Dunia II para pendukung gagasan Indonesia Raya
atau Melayu Raya bekerja sama dengan kekuatan tentara pendudukan
Jepang untuk melawan Inggris dan Belanda.[4] Sikap bekerja sama ini
didasari dengan harapan bahwa Jepang akan mempersatukan Hindia
Belanda, Malaya dan Borneo dan kemudian memberikan
kemerdekaan.[4] Dipahami bahwa dengan bersatunya wilayah koloni
Eropa ini dalam suatu wilayah pendudukan Jepang, maka
pembentukan sebuah kesatuan negara Indonesia Raya atau Melayu
Raya dimungkinkan.[4] Pada bulan Juli 1945 dibentuk KRIS (Kesatuan
Rakyat Indonesia Semenanjung), yang kelak diubah menjadi
"Kekuatan Rakyat Indonesia Istimewa" di bawah pimpinan Datuk

Ibrahim Yaakob dan Dr. Burhanuddin Al-Hemy dengan tujuan


mencapai kemerdekaan dari Inggris, dan persatuan dengan Indonesia.
Rencana ini sudah dirundingkan dengan Sukarno dan Hatta. [5]
Pada 12 Agustus 1945 Ibrahim Yaakob bertemu dengan Sukarno,
Hatta dan Dr. Radjiman di Taiping, Perak. Sukarno dan rombongan
singgah di bandar udara Taiping dalam perjalanan pulang dari Saigon,
Vietnam, menuju Jakarta setelah sebelumnya bertemu dengan
Marsekal Terauchi di Dalat untuk membicarakan mengenai
percepatan rencana kemerdekaan Indonesia dan menerima pernyataan
Terauchi secara langsung bahwa Jepang mengizinkan Indonesia
merdeka.[6] Pada pertemuan ini Yaakob menyatakan niatannya untuk
menggabungkan Semenanjung Malaya ke dalam Indonesia merdeka.
Pada pertemuan singkat ini Sukarno dengan didampingi Hatta
menjabat tangan Yaakob dan berujar, "Marilah kita membentuk satu
tanah air untuk seluruh putra-putri Indonesia".[7]
Sukarno dan Muhammad Yamin adalah tokoh politik Indonesia yang
sepakat dengan gagasan persatuan raya ini. Akan tetapi mereka
enggan untuk menyebut gagasan ini sebagai "Melayu Raya" dan
menawarkan nama lain yaitu "Indonesia Raya". Pada hakikatnya baik
Melayu Raya maupun Indonesia Raya adalah gagasan politik yang
sama persis. Keengganan untuk menamai Melayu Raya karena
berbeda dengan di Malaya, di Indonesia istilah Melayu lebih merujuk
kepada suku Melayu yang dianggap hanyalah sebagai salah satu dari
berbagai suku bangsa di Nusantara, yang memiliki kedudukan yang
setara dengan suku Minangkabau, Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Bali,
Dayak, Bugis, Makassar, Minahasa, Ambon, dan lain sebagainya.
Penghimpunan berdasarkan ras atau suku bangsa "Melayu"
dikhawatirkan rawan dan kontra-produktif dengan persatuan
Indonesia yang mencakup berbagai suku bangsa, agama, budaya, dan
ras; karena banyak suku bangsa di Indonesia Timur seperti orang

Papua, Ambon, dan Nusa Tenggara Timur, bukanlah termasuk rumpun


Melayu Austronesia, melainkan rumpun bangsa Melanesia.
Akan tetapi pada tanggal 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito tiba-tiba
mengumumkan lewat siaran radio bahwa Jepang menyerah tanpa
syarat kepada kekuatan Sekutu. Republik Indonesia secara mandiri
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Karena dituding sebagai kolaborator Jepang, pada tanggal 19 Agustus
1945 Ibrahim Yaakob dengan menumpang pesawat terbang militer
Jepang terbang ke Jakarta. Ibrahim Yaakob mengungsi ke Jakarta
bersama isterinya Mariatun Haji Siraj, iparnya Onan Haji Siraj dan
Hassan Manan. Ibrahim Yaakob yang memperjuangkan gagasan
bersatunya Semenanjung Malaya dengan Indonesia kemudian
bermukim di Jakarta hingga akhir hayatnya. Dengan jatuhnya Jepang
pada bulan Agustus 1945, semua cita-cita persatuan itu praktis mati
dan tidak berkembang lagi di Semenanjung Malaya sejak saat itu.[5]
Selepas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, melalui
perjuangan bersenjata dalam Revolusi Nasional Indonesia dalam
kurun tahun 1945-1949, Republik Indonesia akhirnya mendapatkan
pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949. Sementara itu selepas pendudukan Jepang,
Semenanjung Malaya dan Borneo Utara praktis berada di bawah
kekuasaan dan kendali Britania Raya.

Anda mungkin juga menyukai