views: 60.935
Peristiwa merah putih di Manado tidak lepas dari kejadian bersejarah pada bulan Juli tahun 1944 dimana pada waktu itu Jepang
mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu ketika mereka bertempur di atas lautan Pasifik.(ipsgampang)
Peristiwa merah putih di Manado tidak lepas dari kejadian bersejarah pada bulan Juli tahun 1944 dimana pada
waktu itu Jepang mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu ketika mereka bertempur di atas
lautan Pasifik. Kekalahan mereka ini membuat mereka mundur untuk memperkuat kubu pertahanan mereka
di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara.
Di bulan yang sama, Sam Ratulangi mengutus pemuda-pemuda untuk pergi ke Manado demi menyambut
kemerdekaan yang akan dimiliki oleh Indonesia jika ternyata perang pasifik berakhir dengan hancurnya
pasukan Jepang oleh pihak Sekutu.
Utusan yang ia kirim ini beranggotakan Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw sebagai utusan tentara, dan Wim
Pangalila, Buce Ompi, serta Olang Sondakh sebagai perwakilan pemuda. Mereka pergi menggunakan kereta ke
Surabaya, dan melanjutkan perjalanan menggunakan Dai yu Maru menuju Manado.
Dua bulan setelah perngutusan pemuda oleh Sam Ratulangi menuju Manado, tiba-tiba muncul pesawat
pembom B-29 yang merupakan properti perang udara milik Angkatan Udara Sekutu.
Pesawat-pesawat yang berjumlah puluhan itu kemudian menghujani Manado dengan bom, dan meratakannya
dengan tanah, mengubah setiap gedung yang terlihat menjadi tak lebih dari gundukan sampah, dan
menewaskan banyak penduduk.
Hal ini kemudian memicu kecurigaan Jepang bahwa ada mata-mata Sekutu yang berperan ganda sebagai
tokoh nasionalis. Di bulan September 1944 ini juga kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara dan Morotai
berhasil ditaklukkan oleh Jenderal Mac Arthur sebelum ia bertolak ke Leyte, Filipina.
Selama pertengahan tahun April 1945 hingga awal Februari 1946, terjadi lagi banyak konflik atau hal-hal yang
menuntun kepada terjadinya peristiwa merah putih di Manado.
Pada bulan April hingga Agustus 1945 misalnya, dimana Pimpinan Kaigun menyiapkan kemerdekaan
Indonesia, sesuai dengan apa yang pernah ia janjikan dahulu kala. Pada masa itu, bendera merah-putih
dikibarkan bersebelahan dengan bendera nasional Jepang, yaitu Hinomaru.
Pada bulan September di bulan yang sama, NICA dan Belanda yang saat itu ada di bawah perlindungan
pasukan Sekutu dengan senang hati masuk ke area Indonesia, dan terlepas dari seluruh usaha yang mereka
lakukan, mereka tetap tidak berhasil menciptakan dampak apa pun terhadap kehidupan bermasyarakat,
berpolitik, mau pun ekonomi.
Pada bulan terakhir tahun 1945, Manado mulai sedikit lega dengan perginya seluruh pasukan Sekutu dari
tanah itu. Perginya Sekutu tidak berarti kedamaian, karena mereka pada akhirnya menyerahkan tugas yang
tengah mereka jalani secara total kepada NICA-KNIL yang dipimpin oleh seorang Inggris.
John Rahasia dan Wim Pangalila kemudian melihat hal ini sebagai kesempatan untuk melakukan sebuah
revolusi atau pemberontakan yang akan dilakukan oleh pemuda-pemuda Manado.
Di Bulan yang sama, NEFIS-Belanda mulai sedikit lebih pintar, dan mereka sudah bisa mulai mencurigai kedua
orang yang akan melakukan pemberontakan ini.
Pada bulan Februari 1946, pasukan KNIL yang ada di Teiling masih dicurigai oleh pihak Belanda. Pihak Belanda
juga mengeluarkan perintah strength arrest kepada para pemimpin mereka.
Yaitu Furir Taulu, Wuisan, Frans Lantu, Wim Tamburian, Wangko Sumanti, dan Yan Sambuaga karena mereka
dinilai merupakan penghasut tentara Indonesia.
Pada tanggal 14 Februari, barulah peristiwa merah putih di Manado terjadi. Pada saat peristiwa itu dimulai,
mereka berhasil memengaruhi pihak Belanda, dan membuat Kopral Mambi Runtukahu yang ditunjuk sebagai
pemimpin ahli penyergapan pos yang ada di markas garnisun Manado.
Setelah serangan yang tidak memiliki perlawanan ini selesai, ada beberapa nama kaum nasionalis yang
kemudian ditangkap oleh NICA dan dituduh sebagai mata-mata Jepang.
Keberhasilan kudeta yang dilakukan oleh Wuisan dan kawan-kawan tiba di telinga kapten KNIL pada masa itu,
yang bernama J Kaseger yang akhirnya ikut berjuang membela Indonesia.
Bagian akhir peristiwa merah putih di Manado terjadi pada tanggal 15 dan 16 Ferbuari, hanya satu hingga dua
hari setelah peristiwa ini dimulai.
Pada tanggal 15 Ferbruari 1946, komandan KNIL pada waktu itu yang bernama De Vries tertangkap dan
menjadi tawanan, hingga ia dihadapkan kepada Taulu dan Wuisan demi membuat kesepakatan akan
perselisihan yang terjadi ini.
De Vries, seperti layaknya pimpinan lain, bertanya apakah kudeta militer yang akan dilakukan oleh pihak
Indonesia akan menjamin keselamatan pasukannya.
Pada saat itu, sebenernya Taulu tahu bahwa mereka sedang terdesak dan akan kalah, tapi ia kemudian
berkata bahwa mereka sedang berjuang bersama pemuda Indonesia, dan akan mempertahankan perjuangan
itu.
Setelah kejadian ini, seluruh daerah Minahasa kemudian mulai melihat prosesi pengibaran bendera Merah-
Putih.
Indonesia Timur dan Permasalahannya,
oleh Harry Kawilarang
Sulawesi Setelah Pasca Perang Pasifik
Sejak awal tahun 1946 pihak Belanda memperluas tekanan militer untuk menguasai kembali Indonesia.
Tekanan ini juga di rasakan masyarakat Sulawesi setelah militer Belanda melakukan alih kekuatan dari pasukan
Australia yang sejak awal 1945 menduduki sebagian besar wilayah Indonesia Bagian Timur, termasuk Sulawesi.
Dibanding Jawa, alih kekuasaan di Sulawesi oleh pihak Belanda lebih mulus, yang diperolehnya berkat pasukan
Australia.
Pendudukan kekuatan militer Belanda di Indonesia terjadi setelah Panglima SEAC, Laksamana Louis
Mountbatten secara bertahap menarik pasukan Inggris asal India setelah menyelesaikan proses RAPWI.
Mountbatten menarik pasukannya oleh reaksi pemerintahan Perdana Menteri Clement Attlee guna mencegah
cemoohan barisan oposisi yang mengecam keterlibatan pasukan SEAC dalam konfrontasi politik antara
Belanda dengan Indonesia. Dilain pihak, London tidak ingin berkonfrontasi dengan India karena keterlibatan
pasukan India dalam SEAC di Indonesia yang menimbulkan reaksi dari Jawarhal Nehru, salah seorang pemuka
India yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Disamping itu, pasukan Inggris sering terlibat dalam
pertempuran dengan TRI. Sejak itupun Belanda mulai memperluas pengaruh terutama sejak Jendral Christison
diganti oleh Letnan Jendral M. Stopford pada 1 Februari 1946. Sedangkan di pihak Belanda, Jendral Henrik van
Oyen copot jabatan sebagai Panglima Militer di Indonesia dan digantikan oleh Letnan Jendral Hein Spoor yang
menempatkan Jendral Mayor D C Buurman van Vreeden sebagai Kepala Staf. Pengaruhnya lebih di arahkan ke
Indonesia Timur.
Di Makassar, pihak KNIL menahan Gubernur Sulawesi, DR. GSSJ Ratulangie bersama enam stafnya dan dua
Raja masing-masing Raja Bone dan Raja Luwu. Kegiatan KRIS di Jawa ternyata bergaung juga di Sulawesi baik
di Makassar maupun Manado. Namun pemerintahan Sulawesi yang merupakan bagian dari wilayah Republik
di luar Jawa dan Sumatra tidak berkembang semestinya daerah posisi Sam Ratulangie praktis tidak sebagai
Gubernur kepala pemerintahan.
Pergolakan di Makassar
Pembentukan Negara Indonesia Timur sebagai hasil Persetujuan Linggajati antara Belanda dengan Indonesia,
ternyata tidak menjamin peredaan konflik. Hal ini dirasakan oleh Belanda setelah semua pasukan Inggris
ditarik mundur dari wilayah Indonesia Timur. Pergolakan yang sangat dirasakan adalah di Makassar, sejak
pimpinan Republik dan juga Gubernur Sulawesi, Dr GSSJ Ratoe Langie dan pembantu di tangkap bulan April
1946 dan dibuang ke pulau Serui, Papua Barat. Pergeseran dari Republik kepada kolonialisme Belanda dengan
menempatkan kekuasaan pasukan KNIL dan pengelolaan administrasi pemerintahan oleh para administrator
Binnenlands Bestuur (BB, pegawai sipil) Belanda tidak menenangkan suasana.
Makassar sebagai pusat pemerintahan NIT mengembalikan sistem pemerintahan kolonialisme Belanda ketika
pada 19 September 1946 Letnan-Gubernur Jendral Humbertus van Mook mengembalikan aturan ketat di
1930’an dengan larangan kegiatan politik kemerdekaan oleh barisan nasionalis –antara lain memberangus
Partai PNI (yang memiliki sekitar 80.000 anggota). Ia memberlakukan aturan Haatzaai Articelen, yakni UU
Subversi untuk menghadapi gerakan terorisme.
Sekalipun di dukung kalangan kepala desa setempat dikampung-kampung sekitar Makassar tetapi aturan ini
menempatkan PNI giat menjadi gerakan bawah tanah. Aksi ini di motori oleh organisasi pemuda, Pusat
Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) diketuai Manai Sofjan dan didukung oleh dua penasehat, masing-masing:
Amin Saelan dam J D Siaranamual, dengan anggoa-anggotanya antara lain adalah Sunari, Aki Malaka dan
Massiara. Organisasi ini juga membentuk pasukan yang dipimpin oleh Andi Mattalata, Hamzah Ikahude dan A
Madjid.
Sulawesi Selatan di awal Pasca Proklamasi Kemerdekaan
Setelah diangkat menjadi gubernur Sulawesi, DR GSSJ Ratoe Langie kembali ke Makassar dan tiba pada 23
Agustus 1945 dari Jakarta. Pada awalnya, Ratoe Langie menghadapi berbagai tantangan terutama menghadapi
Belanda yang memanfaatkan pasukan Australia yang waktu itu masih berada dibawah komando pasukan
Komando SOWESPAC (South-West Pacific Area Command) pimpinan Jendral Douglas MacArthur. Tepat satu
bulan setelah pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 17 September 1945, sekelompok pelajar
Perguruan Islam Datu Museng mengibarkan Sang Saka Merah-Putih di halaman sekolah. Sementara tawanan
perang orang-orang Belanda dan bekas pasukan KNIL yang dibebaskan Jepang, menyusun kekuatan di kota
Makassar sambil melakukan provokasi.
Pada 23 September 1945, di jalan Balai Kota, serombongan pemuda yang memakai lencana Merah-Putih di
dada dengan tiba-tiba dicegat sekelompok orang berseragam hijau yang langsung memperintahkan supaya
mencopot lencana. Tak berapa lama kemudian, kompleks gubenuran yang digunakan orang-orang Belanda
didatangi puluhan pemuda pelajar dan langsung saja menurunkan bendera Belanda merah-putih-biru yang
berkibar di depan halaman, kemudian diganti dengan pengibaran bendera Merah-Putih.
Peristiwa bendera itu langsung saja menimbulkan insiden yang berakibat seorang pemuda mengalami luka
tembakan peluru.
Pasukan Sekutu (Australia) –diluar pasukan Australia dari gabungan South-West Pacific Command pimpinan
Jendral Mac-Arthur- dari SEAC mendarat di Makassar pada 24 September 1945, dan mulai melaksanakan
operasi perlucutan senjata dan evakuasi militer Jepang, dan membebaskan tawanan Sekutu oleh Jepang di
masa pendudukan militer Jepang.
Pasukan pendaratan ini dipimpin Brigadir Jendral McDougherty, dan membawa serta sejumlah pasukan
Belanda pimpinan Mayor J G Wegner, dalam posisi sebagai Commanding Officer NICA. Yang terakhir ini akan
berfungsi sebagai pengelola pemerintahan untuk Indonesia Timur. Akibat peristiwa insiden bendera itu, kota
Makassar berada dalam suasana tegang.
Menghadapi situasi demikian, Ratoe Langie mengkoordinir semua potensi nasional yang berada di Sulawesi,
dengan mendirikan suatu wadah yang disebut Pusat Keselamatan Rakyat (PKR) yang dipimpinnya sendiri.
Iapun mengangkat pembantu-pembantunya dari seluruh unsur-unsur pemuka tanah air yang bermukim di
Makassar dalam usaha mewujudkan solidaritas kebersamaan. Diantaranya adalah: Soewarno dari Jawa, IPL
Tobing dari Batak, Mr Latumahina dari Ambon, WST Pondaag dari Minahasa, Lanto Daeng Pasewang dari
Sulawesi Selatan, Saleh Daeng Tompo dari Sulawesi Selatan, dan Mr Zainal Abidin dari Sulawesi Selatan.
Raja-raja yang saat itu di Sulawesi masih memegang peranan dan kekuasaan, semuanya memberi dukungan
dan bantuan kepada Dr Ratoe Langie dan memberi mandat sepenuhnya untuk bertindak atas nama mereka
dalam menentukan status -daerah-daerah kerajaan apabila dilakukan perundingan antara Republik dengan
Sekutu. Para raja menghadap langsung kepada pimpinan tentara Sekutu di Sulawesi Selatan dan
mnegeluarkan pernyataan bersama. Isi pernyataan tersebut mengatakan mereka bersedia bekerja-sama
dengan Sekutu, tetapi menolak kedatangan Belanda. Brigadir Jendral McDougherty ketika menemui Ratoe
Langie yang juga di hadiri raja-raja Sulawesi menjelaskan bahwa tugas utama Sekutu untuk menjaga dan
mempertahankan keamanan dan melucuti serta mengevakuasi pasukan-pasukan Jepang. Ia juga menegaskan
Sekutu sama sekali tidak bermaksud memaksakan masyarakat Sulawesi bekerja-sama dengan Belanda. Ia
mengatakan bahwa pihak Belanda berada sepenuhnya dibawah pengawasan dan kendali Sekutu. Tugas
mereka adalah melayani administrasi pihak Sekutu dan sama sekali bukan menjadi penentu kebijakan. Dalam
penampilan dan sikap peri laku, McDougherty cukup simpatik terhadap kaum Republik hingga ia disenangi.
Lagi pula terjalin kerja-sama antara pihak Republik yang dibantu oleh organisasi Pusat Keselamatan Rakyat
dengan Sekutu dalam membantu pelaksanaan evakuasi tentara Jepang.
Sebaliknya, pihak tentara NICA Belanda tetap saja tidak disiplin dan tak mau diatur oleh Sekutu hingga sering
bikin onar. Pertikaian antara panglima Sekutu, Brigadir Jendral McDougherty dengan pihak Belanda sering
terjadi karena McDougherty sering menegur Mayor Wegner karena ulah tentara NICA yang sering
mengganggu ketenteraman kaum Republik, hingga tak terjalin kerja-sama karena Belanda sering melanggar
aturan. Misalnya sering melanggar aturan konsinyiring yang di berlakukan oleh pihak Sekutu.
Aksi protes orang-orang asal Sulawesi di Yogyakarta, ibukota Republik dengan poster terhadap penangkapan
Ratu Langie dan kawan-kawan di Makassar.
Menjelang aksi penyerbuian pasukan NICA sedang beristirahat sebelum memasuki kota Makassar.
Catatan Editor:
Dengan perlengkapan komplit yang dibeli dengan dana pemberian USA yang dimaksud untuk memperbaiki
keadaan negeri Belanda setelah kalah melawan imperialisme Nazi Jerman, van Mook ingin menegakkan
kembali kolonialisme Belanda. Hal ini kemudian mendapat kecaman keras oleh USA dan PBB.
DI/TII SULAWESI SELATAN
Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Abdul Kahhar Muzakkar. Latar belakang pemberontakan
di Sulawesi Selatan berbeda dengan pemberontakan di daerah lain seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pada mulanya, Abdul Kahhar Muzakkar adalah seorang komandan tentara RI Persiapan Resimen Hasanuddin
di Yogyakarta dengan pangkat kolonel. Kemudian ia menggagas pembentukan Tentara Republik Indonesia
Persiapan Sulawesi(TRIPS). Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi(TRIPS) beserta laskar-laskar
dibawah pimpinan Komando Gerilya Sulawesi Selatan ini yang bergerilya di Sulawesi Selatan selama perang
kemerdekaan berlangsung. Setelah perang kemerdekaan selesai, pemerintah mengeluarkan kebijakan
nasionalisasi laskar-laskar. Dalam nasionalisasi ini, setiap laskar harus melalui seleksi. Namun tak semua laskar
dibawah pimpinan Komando Gerilya Sulawesi Selatan memenuhi syarat. Sedangkan Abdul Kahhar
menginginkan semua laskar Komando Gerilya Sulawesi Selatan masuk dalam daftar anggota APRIS.
Pemerintah tetap tidak mau mengabulkan permintaan Abdul Kahhar. Pada Agustus 1951, Abdul Kahhar
melarikan diri ke hutan dengan membawa perlengkapan dan persenjataaan yang diperoleh dari pasukannya.
Kemudian ia menerima tawaran Kartosuwiryo untuk memegang pimpinan TII wilayah Sulawesi Selatan. Pada 7
Agustus 1953, Abdul Kahhar resmi bergabung dengan DI/TII Jawa Barat. Pemerintah setelah mengetahui
Abdul Kahhar bergabung dengan DI/TII segera melancarkan operasi militer ke Sulawesi Selatan. Operasi ini
memakan waktu lebih dari empatbelas tahun. DI/TII Sulawesi Selatan baru benar-benar tumpas pada
tahun1965. Pada Februari 1965, Abdul Kahhar Muzakkar tertembak mati dalam kontak senjata dengan
pasukan RI.
Dalam mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda diadakanlah Perundingan
Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon.
Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van
Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir, dengan anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem,
Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia Tenggara. Hasil Perundingan
Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta,
yang isinya adalah sebagai berikut.
(1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera,
Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan
nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda
sebagai ketuanya.
Meskipun isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda,
akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena Inggris dan Amerika memberikan
pengakuan secara de facto.
Perundingan Renville
Perbedaan penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya Belanda
melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Atas prakasa Komisi Tiga
Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah
perundingan. Perundingan ini dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS
Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia mengirimkan
delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Hasil perundingan Renville baru ditandatangani
pada tanggal 17 Januari 1948 yang intinya sebagai berikut.
(1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang
ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
(2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa,
Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara
Indonesia Serikat.
(3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau
dengan Nederland.
Akibat dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera
menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di
antaranya adalah karena persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti belanda
akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat
menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara akan dimenangkan pihak Indonesia.
Persetujuan Roem-Royen
Ketika Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia mempunyai pandangan yang
berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan
pemulihan kekuasaan pemerintah kolonial dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember
1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan agresi
militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota Rl
yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi
Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesian atau UNCI).
Komisi ini bertugas membantu melancarkan perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda.
Pada tanggal 7 Mei 1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku ketua
delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.
1). Pernyataan Mr. Moh Roem.
a. Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan”
kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2). Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI
sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan
Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI
kembali ke Yogyakarta.
Dari hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui kedaulatannya oleh
Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah penandatanganan pengakuan
kedaulatan di negeri Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem
Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh.
Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J.
Lovink menandatangani naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka
Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sumber:
wikipedia
portalsejarah
https://jagoips.wordpress.com/2013/02/12/usaha-perjuangan-mempertahankan-kemerdekaan-indonesia/
https://ersakhaiya.wordpress.com/tugas-tugas/data-data-ips/perjuangan-bangsa-indonesia-
mempertahankan-kemerdekaan/
https://lanirat.wordpress.com/2015/12/16/indonesia-timur-dan-permasalahannya/
http://antoksoesanto.blogspot.co.id/2015/02/peristiwa-merah-putih-di-manado.html