Anda di halaman 1dari 9

SAYUTI MELIK

Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (22 November 1908 – 27 Februari
1989), dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia. Dia adalah suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis perempuan
pada zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Masa jabatan = 28 Oktober 1971 – 1 Oktober 1982

Daerah pemilihan = DKI Jakarta (1971—77)

Bali (1977—82)

Informasi pribadi

Lahir = 22 November 1908 Belanda Sleman, Yogyakarta, Hindia Belanda

Meninggal = 27 Februari 1989 (umur 80) Indonesia Jakarta, Indonesia

Kebangsaan = Indonesia

Partai politik = Golongan Karya

istri = S. K. Trimurti

Anak = Moesafir Karma Boediman Heru Baskoro

Pekerjaan = Wartawan Politisi

Masa muda
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito, seorang bekel
jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta.[1] Sedangkan ibunya bernama Sumilah. Pendidikan
dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai
mendapat Ijazah di Yogyakarta.

Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu ayahnya
menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.

Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang
berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca majalah
Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak
orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang
penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno
terjadi di Bandung pada 1926.

Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Pada tahun 1926
ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933).
Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris
ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).

Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat dalam berbagai
kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah.

Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan
tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan
berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga
langganan.

Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik tajam
pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu
dimata-matai dinas intel Belanda (PID).

Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti ditangkap
Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.

Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat Sekawan”
Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer. Saat itu Soekarno meminta
pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan
kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan Sayuti
Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus berada di sisi Bung Karno.[2]

Anggota PPKI

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir.
Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibubarkan
cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan
bertambah 6 orang termasuk didalamnya Sayuti Melik.[3]

Peristiwa Rengasdengklok

Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Sukarno dan
Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan
Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno
(bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya
adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.[4]

Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah
siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua,
yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.[5] maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar
Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.[6] Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali
ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru
memproklamasikan kemerdekaan.[7

Teks Proklamasi

Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di rumah
Laksamana Muda Maeda.[1] Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai
pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dini hari 17
Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda
menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.

Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi ditandatangani Bung
Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera
memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia"
menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".

Era setelah kemerdekaan


Setelah Indonesia Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun
1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap sebagai orang
dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946.
Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah. Ketika terjadi Agresi Militer
Belanda II, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Ia dibebaskan setelah selesai KMB.
Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan
menjadi Wakil Cendekiawan.[8]

Menentang Soekarno

Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Hal ini terbukti dengan dirinya yang menjadi
anggota PNI.[9] Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-
gencarnya memasyarakatkan Nasakom, dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom
(nasionalisme, agama, komunisme). Ia mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan
mengganti unsur "kom" menjadi "sos" (sosialisme). Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno
sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme dimuat di
sekitar 50 koran dan majalah dan kemudian dilarang.[10] Artikel bersambung itu menjelaskan
perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti
melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung Karno.

Masa Orde Baru

Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi anggota DPR/MPR, mewakili
Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

Kematian

Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP
Kalibata.

Penghargaan

Sayuti Melik menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang
Mahaputera Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).

Sayuti Melik berperan cukup penting dalam kemerdekaan Indonesia. Tak hanya dikenal sebagai orang
yang mengetik naskah atau teks proklamasi, ia juga punya sejarah hidup yang panjang dan berliku,
melintas batas zaman, hingga wafat pada 27 Februari 1989 dalam usia 80 tahun.

Tergabung dengan golongan muda yang menghendaki kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya tanpa
menunggu janji Jepang, Sayuti Melik terlibat krusial dalam rangkaian peristiwa sejarah menjelang
proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Sehari sebelumnya, tanggal 16 Agustus 1945, Sayuti Melik dan para pemuda revolusioner lainnya
“mengamankan" Sukarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, dekat Karawang. Tujuannya untuk
mendesak dua tokoh golongan tua itu agar segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Pada akhirnya, Sukarno dan Hatta setuju dan malam harinya kembali ke Jakarta untuk merumuskan
naskah proklamasi di kediaman Laksamana Muda Maeda, seorang petinggi militer Angkatan Laut Jepang
yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo saling bertukar pandangan, berbalas ide, dan merangkai kata-
kata yang tepat untuk mengisi teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Di ruangan yang sama,
Sayuti Melik diminta untuk mengetik naskah hasil rumusan tersebut.

Kronologi Sejarah Hidup Sayuti Melik

1908

Sayuti Melik dilahirkan di Yogyakarta tanggal 25 November 1908. Ayahnya, Partoprawito alias Abdul Mu
′in, adalah seorang lurah di Desa Kadilobo Sleman, yang dikenal pemberani dan sering mengkritisi
kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dianggap menyengsarakan rakyat.

1920

Menjelang usia remaja, Sayuti Melik mulai tertarik dengan isu-isu kebangsaan. Ia rajin membaca buku,
koran, juga mengikuti berbagai acara diskusi yang menghadirkan tokoh berpengaruh.Salah satu tokoh
panutan Sayuti Melik adalah pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan.

Dikutip Solichin Salam dalam Wajah-wajah Nasional (1990), Sayuti Melik kemudian tertarik dengan ide-
ide yang lebih berani. Pada 1920, ia bersekolah di Solo dan mulai membaca tulisan-tulisan Haji
Mohammad Misbach, seorang muslim revolusioner. Sayuti Melik pun berguru kepada Haji Misbach.

Sejarah Hidup dan Peran Sayuti Melik Pengetik Teks Proklamasi RI

Sayuti Melik berperan sebagai orang yang mengetik naskah atau teks proklamasi kemerdekaan RI serta
mengiringi sejarah bangsa Indonesia.

Sayuti Melik berperan cukup penting dalam kemerdekaan Indonesia. Tak hanya dikenal sebagai orang
yang mengetik naskah atau teks proklamasi, ia juga punya sejarah hidup yang panjang dan berliku,
melintas batas zaman, hingga wafat pada 27 Februari 1989 dalam usia 80 tahun.

Tergabung dengan golongan muda yang menghendaki kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya tanpa
menunggu janji Jepang, Sayuti Melik terlibat krusial dalam rangkaian peristiwa sejarah menjelang
proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Sehari sebelumnya, tanggal 16 Agustus 1945, Sayuti Melik dan para pemuda revolusioner lainnya
“mengamankan" Sukarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, dekat Karawang. Tujuannya untuk
mendesak dua tokoh golongan tua itu agar segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Pada akhirnya, Sukarno dan Hatta setuju dan malam harinya kembali ke Jakarta untuk merumuskan
naskah proklamasi di kediaman Laksamana Muda Maeda, seorang petinggi militer Angkatan Laut Jepang
yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo saling bertukar pandangan, berbalas ide, dan merangkai kata-
kata yang tepat untuk mengisi teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Di ruangan yang sama,
Sayuti Melik diminta untuk mengetik naskah hasil rumusan tersebut.

1908

Sayuti Melik dilahirkan di Yogyakarta tanggal 25 November 1908. Ayahnya, Partoprawito alias Abdul Mu
′in, adalah seorang lurah di Desa Kadilobo Sleman, yang dikenal pemberani dan sering mengkritisi
kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dianggap menyengsarakan rakyat.

1920

Menjelang usia remaja, Sayuti Melik mulai tertarik dengan isu-isu kebangsaan. Ia rajin membaca buku,
koran, juga mengikuti berbagai acara diskusi yang menghadirkan tokoh berpengaruh. Salah satu tokoh
panutan Sayuti Melik adalah pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan.

Dikutip Solichin Salam dalam Wajah-wajah Nasional (1990), Sayuti Melik kemudian tertarik dengan ide-
ide yang lebih berani. Pada 1920, ia bersekolah di Solo dan mulai membaca tulisan-tulisan Haji
Mohammad Misbach, seorang muslim revolusioner. Sayuti Melik pun berguru kepada Haji Misbach.

1924

Sayuti Melik menjadi tahanan pemerintah kolonial di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 1924 atau ketika
usianya baru 16 tahun. Dalam buku bertajuk Wawancara dengan Sayuti Melik (1986) disebutkan, ia
dijebloskan ke penjara dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk melawan pemerintah Hindia
Belanda.

1926

Tahun 1926, Sayuti Melik terjerat perkara yang lebih serius. Oleh pemerintah kolonial, ia dituding
terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Audrey Kahin melalui Regional Dynamics of The
Indonesian Revolution (1985) menuliskan, Sayuti Melik tak hanya dibui, tapi juga diasingkan ke Boven
Digul, Papua.

1933-1936
Sayuti Melik bebas dan pulang ke Jawa pada 1933. Namun, tahun 1936 di Singapura, ia ditangkap
pemerintah kolonial Inggris lantaran dicurigai terlibat dalam gerakan bawah tanah. Sayuti Melik kala itu
pergi ke negeri seberang untuk merantau

1937-1938

Setelah lepas dari cengkeraman Inggris di Singapura, Sayuti Melik pulang ke tanah air pada 1937. Ia
kemudian bertemu dengan Soerastri Karma (S.K.) Trimurti, seorang jurnalis perempuan sekaligus aktivis
pergerakan nasional yang juga kerap terlibat masalah dengan pemerintah kolonial.

Sayuti Melik dan S.K. Trimurti ternyata saling suka. Tahun 1938, keduanya menikah dan tinggal di
Semarang, Jawa Tengah. Di kota ini, Sayuti Melik dan S.K. Trimurti menerbitkan dan mengelola surat
kabar pergerakan yang diberi nama Pesat.

1942

Rezim penjajahan berganti sejak 1942 seiring kekalahan Belanda dari Jepang di Perang Dunia Kedua.
Indonesia yang semua merupakan wilayah koloni Belanda pun harus diserahkan kepada pemerintah
militer Jepang atau Dai Nippon.

Di era pendudukan Jepang, Sayuti Melik dan S.K. Trimurti langsung terkena perkara. Rosihan Anwar
dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004) menyebutkan, surat kabar Pesat dihentikan paksa
karena dianggap berbahaya. Suami-istri ini ditangkap oleh aparat Dai Nippon dan dijebloskan ke
penjaraa.

Sayuti Melik berperan cukup penting dalam kemerdekaan Indonesia. Tak hanya dikenal sebagai orang
yang mengetik naskah atau teks proklamasi, ia juga punya sejarah hidup yang panjang.

1943

Atas permintaan Sukarno, Sayuti Melik dan S.K. Trimurti dibebaskan pada 1943. Sayuti Melik sendiri
sudah cukup lama mengenal Sukarno, yakni sejak 1926. Ketika itu, Sukarno sedang merintis
pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang nantinya diresmikan pada 1927 bersama sejumlah
tokoh pergerakan lainnya.

1945

Sayuti Melik tergabung dalam gerakan Menteng 31 yang beranggotakan para pemuda revolusioner
Indonesia. Mereka mendesak kepada golongan tua agar memerdekakan Indonesia secepat mungkin
tanpa harus menunggu janji-janji Jepang yang kala itu di ambang kekalahan dari Sekutu di Perang Asia
Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.

Setelah terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945, Sayuti Melik dan sejumlah
pemuda turut dalam perumusan konsep naskah proklamasi bersama Sukarno, Hatta, serta Achmad
Soebardjo di kediaman Laksamana Muda Maeda di Jakarta.
Selain sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan RI, Sayuti Melik adalah orang yang
mengusulkan agar teks proklamasi dibacakan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa
Indonesia pada 17 Agustus

1945.

Sayuti Melik adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan kemudian ditunjuk
untuk ikut andil dalam keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sejak 29 Agustus 1945. KNIP
adalah Badan Pembantu Presiden yang merupakan cikal-bakal lembaga legislatif di Indonesia.

1946

Sayuti Melik ditangkap pemerintah Indonesia atas perintah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dengan
tuduhan terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 yang disebut-sebut sebagai upaya makar pertama setelah
kemerdekaan.

Namun, dalam pemeriksaan, Sayuti Melik tidak terbukti bersalah sehingga terlepas dari dakwaan dan
dibebaskan. Sayuti Melik kembali turun ke lapangan untuk mempertahankan kemerdekaan negara
seiring kembalinya Belanda dengan membonceng pasukan Sekutu.

1948

Belanda kembali ke Indonesia dengan ambisi kembali berkuasa, sehingga terjadilah rangkaian front
pergolakan, baik perang maupun perundingan, di sepanjang tahun 1945 hingga 1949. Periode ini disebut
sebagai era revolusi fisik atau masa perang mempertahankan kemerdekaan.

Pada 1948, Sayuti Melik ditangkap Belanda dan ditahan di Ambarawa seperti yang pernah alami semasa
muda dulu. Sayuti Melik dibebaskan pada 1950 setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada
Indonesia pada akhir tahun 1949 sesuai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

1956

Meskipun cukup dekat dengan Sukarno dan kerap dikait-kaitkan dengan paham kiri di masa lalu, namun
Sayuti Melik justru menentang konsep Nasakom atau Nasionalisme, Agama, dan Komunisme yang kerap
dilantangkan Bung Karno sejak 1956.

Menurut Soegiarso Soerojo dalam Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (1988), Sayuti Melik
menuntut agar kata “komunisme" diganti dengan “sosialisme," sehingga "Nasakom" seharusnya
berganti menjadi "Nasasos".

1959

Sayuti Melik sangat tidak setuju jika Sukarno menjadi presiden seumur hidup serta berbalik mengkritik
PKI lewat tulisan-tulisannya. Sejak Hatta mengundurkan diri dari posisi wakil presiden pada 1956, Bung
Karno tampil sebagai satu-satunya sosok pemimpin tertinggi di pemerintahan.
Sukarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin sejak 1959 yang terkait erat dengan Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Sistem politik dan pemerintahan ini bersifat terpusat yang membuat kekuasaan Sukarno
selaku presiden menjadi amat kuat.

Sayuti Melik menentang penerapan Demokrasi Terpimpin yang diusung Sukarno. Kendati begitu, Sayuti
Melik tidak sampai “disentuh" oleh rezim Orde Lama kendati ia terkesan diacuhkan oleh Sukarno yang
dulu cukup dekat dan bersahabat dengannya.

1971 dan 1977

Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965, pengaruh Sukarno mulai meluruh dan akhirnya
Orde Lama pun runtuh. Sebagai penggantinya adalah pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan
Soeharto.

Sayuti Melik yang sebelumnya tidak dianggap oleh pemerintahan Sukarno justru diberi tempat oleh
rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Bahkan, Sayuti Melik duduk sebagai anggota
DPR/MPR dari Fraksi Golkar usai Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

1989

Sayuti Melik meninggal dunia di Jakarta tanggal 27 Februari 1989 dalam usia 80 tahun. Presiden
Soeharto segera datang melayat setelah mendengar kabar wafatnya sang juru ketik proklamasi
kemerdekaan RI ini.

Anda mungkin juga menyukai