Anda di halaman 1dari 3

1

Timor Timur Pada tahun 197, peperangan di Indochina, khususnya di Vietnam, berakhir dengan kemenangan pihak komunis. Elit militer Indonesia cemas terhadap bahaya potensial dan luar negeri. Kekuatiran itu semakin ncnggumpal ketika koloni Portugal yang terbelakang, Timor Timur, terjadi krisis. Krisis itu terjadi sebagai dampak kudeta militer pada 25 April 1974 di Portugal. Pemerintahan baru Portugal (di bawah pimpinan Jenderal Antonio Spinola telah melakukan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil, termasuk hak demokrasi masyarakat sesuai dengan janji yang diucapkannya. DI Timor Timor muncul tiga partai politik yang memanfaatkan kebcbasan yang diberikan oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu yaitu: 1. Unido Democratica Timorense (UDT- Persatuan Demokratik Rakyat Timor) yang ingin merdeka secara bertahap. Untuk tahap awal menginginkan Timor Timur menjadi negara bagian dari Portugal; 2. Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (Fretilin - Front Revolusioner Kemerdekaan Timor--iimur) yang radikal dan ingin segera merdeka, dan 3. Associacau Popular Democratica Timorense (Apodeti - lkatan Demokratik Popular Rakyat Timor) yang ingin bergabung dengan Indonesia. Pada tanggal 31 Agustus 1974, ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan bahwa partainya menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi yang ke-27. Pertimbangan yang diajukan adalah rakyat di kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan hubungan yang erat, baik secara historis, etnis, maupun geografis. Menurutnya, integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut. Indonesia pada dasarnya menyokong kebijakan dekolonisasi Portugal atas koloninya, Timor Timur. Namun, Indonesia waktu itu kurang mentoleer berdirinya negara baru yang berhaluan kiri. Sebab, hal itu diperkirakan sedikit banyak akan berpcngaruh pada stabilitas nasional Indonesia. Seperti dikatakan oleh Presiden Soeharto, Indonesia tidak mempunyai ambisi teritorial dan menghormati hak azasi rakyat Timor Timur. Meskipun demikian Indonesia juga akan menyambut baik rakyat Timor Timur yang ingin bergabung dengan Indonesia. Dalam suasana itu, pada 4 November 1974 terjadi pcnggantian gubernur di Timor Timur, dari Fernando Alves Aldeia kepada Kolonel Lemos Pires. Kebijakan gubernur yang baru ternyata berbeda dengan pendahulunya. Pires cenderung membantu Fretilin yang berhaluan kiri (komunis). Dengan bantuan itu, pada pertengahan tahun 1975 Fretilin menguasai jabatan-jabatan pcnting di wilayah Timor Timur. Kondisi tentu sangat mengkhawatirkan UDT yang notahene merupakan sekutu Fretilin. Sebagai catatan, sebelumnya Fretilin dan UDT membuat semacam koalisi dalam rangka menekan Apodeti yang ingin menggabungkan Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia. Selain itu, UDT juga tidak menyukai komunis. Apalagi setclah mendapat angin dari Pires, Fretilin semakin bertindak keras terhadap lawan-lawan politiknya. Tindakan keras itu telah menyebabkan pelarian penduduk Timor Timur ke wilayah Indonesia sampai mencapai sekitar 50.000 orang. Akhirnya pada 27 Mei 1975 koalisi antara UDT-Fretilin pecah, UDT mengubah namanya menjadi Movimento Anti Communista (MAC). Pada pertengahan bulan Agustus 1975, UDT melakukan kudeta namun dengan cepat mendapat perlawanan keras dari Fretilin yang mendapat dukungan para Trovas, yaitu pasukan militer Portugal yang ada dl Timor Timur. MAC yang terdesak kemudian bergabung bersama Apodeti, Kota, dan Trabalista untuk melawan Fretilin. Konflik di Timor Timur tidak mungkin diselesaikan sendiri olch pemerintah Portugal tanpa mengikutsertakan negara lain untuk membantunya. Oleh karena itu, pemerintah Portugal kemudian menerima berbagai usulan politik yang tidak bertentangan dengan kchendak rakyat Timor Timur dan kepentingan negara-negara di sekitarnya. Pada tanggal 5 November 1975, ditandatangani sebuah dokumen berupa Memorandum of Understanding hasil pertemuan antara Portugal dan Indonesia di Roma. Lahirnya Memorandum of Understanding tersebut membuat pemerintah Portugal tidak bisa mengakui hanya satu partai saja di wilayah jajahannya tersebut. Memorandum ini merupakan pembuka jalan ke arah pelaksanaan dekolonisasi di Timor Timour secara wajar, tepat, dan lancar. Namun, di sisi lain muncul permasalahan baru. Fretilin yang sudah mulai mengalami kekalahan di hampir semua sektor pertempuran mengalihkan perjuangan mereka ke arah diplomasi international. Upaya yang mereka lakukan adalah mengumumkan secara sepihak

pembentukan Republik Demokrasi Timor Timur pada tanggal 28 November 1975. Mereka juga sudah menetapkan presidennya, yaitu Xavier do Amaral dan menetapkan bendera Fretilin sebagai bendera negara. Pernyataan sepihak Fretilin ini kemudian dibenarkan oleh pemerintah Portugal. Hal tersebut membuat Indonesia sebagai mitra pcrundingannva menyatakan secara terbuka penyesalannya. Pernyataan yang sama juga dilakukan oleh partai-partai yang prointegrasi, seperti Apodeti dan partai lain yang menginginkan semacam status commonwelath seperti yang diusulkan UDT-MAC Mereka merasa kecewa dengan sikap pemerintah Portugal. Dampak dari ini adalah munculnya perang saudara di Timur Timur. Fretilin, yang memperoleh bantuan senjata dari Portugal, melakukan tindakan pembersihan di wilayah Timor Timur. Aksi penculikan terhadap lawan politiknya terus dilakukan. Hal tersebut menyebabkan pengungsian rakyat Timor Timur ke wilayah RI semakin besar. Pemimpin UDT-MAC yang semula menginginkan Timor Timur sebagai negara merdeka di bawah perlindungan Portugal, kemudian mengubah pemikiran mereka. Mereka membuat petisi dan deklarasi penggabungan Timor Timur ke wilayah Republik Indonesia. Pernyataan ini kemudian disusul dengan pemyataan UDT bersama Apodeti, Kota, dan Trabalista pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pernyataan itu dikenal dengan Proklamasi Balibo. Menurut laporan resmi PBB, selama tiga bulan masa kekuasaan Fretilin, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil. Tiga kuburan massal bukti pembantaian Fretilin terdapat dl Saboria, Manutane, dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Timur pada 7 Desember 1975, Fretilin memaksa ribuan rakyat pergi ke pegunungan untuk dijadikan tameng hidup melawan tentara Indonesia. Pers Australia memuat berita bahwa Indonesia melakukan penyerangan ke Timor Timor pada 7 Desember 1975. Lima orang wartawan Australia dikabarkan mati oleh pasukan Indonesia, yang kemudian dibantah oleh pihak Indonesia. Menurut sumber Australia itu, Indonesia menempatkan sekitar 35.000 pasukan dan telah menelan korban ribuan warga sipil. Setelah pemimpin Fretilin, yaitu Nicolau Labato dan Jose Alessandro Gusmao (Xanana Gusmao) tertangkap, para pengikutnya terus terdesak ke bukit-bukit tempat pertahanan mereka yang terakhir. Sementara itu, kelompok yang pro-Indonesia membentuk pemerintahan sementara sebagai tindak lanjut dari pernyataan Proklamasi Balibo. Pembentukan pemerintahan sementara ini dipimpin oleh Arnaldo de Reis Araujo dan wakilnya Francisco Xavier Lopez da Cruz. Tindakan berikutnya adalah pembentukan DPR sementara dengan Guilherme Maria Goncalves sebagai ketua DPR Timor Timor. Pada tanggal 31 Mei 1976, DPR Timor Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam negara Republik Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 15 Juli 1976, wilayah Timor-Timur resmi menjadi wilayah Indonesia, sebagai provinsi ke-27. Pernyataan ini semakin diperkuat dengan ketetapan MPR no VI/MPR/1978 pada tanggal 22 Maret 1978. Negara-negara tetangga Indonesia mendukung kebijakan Indonesia. Demikian pula Amerika Serikat dan umumnya negara Barat yang lebih memilih menjalin hubungan balk dengan Indonesia daripada dengan Fretilin. Terbukti pada tahun itu IGGI meningkatkan bantuannya ke Indonesia hingga US$ 950 juta dan kredit tambahan lebih dari US$ I milyar. Akhirnya, Australia pun terpaksa mengakui secara de jure bahwa Timor Timor adalah bagian dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, integrasi Timor Timor ke wilayah Indonesia dalam perkembangannya lebih banyak membebani Indonesia. Rakyat Timor Timor mempunyai sejarah yang sangat berbeda, sehingga aturan-aturan yang diterapkan di wilayah itu seringkali menimbulkan masalah politik dan keamanan. Kondisi seperti itu dimanfaatkan oleh para pengikut Fretilin terutama yang berada di luar negeri, seperti Jose Ramos Horta, untuk membentuk opini di dunia internasional, khususnya tentang pelanggaran HAM di Timor Timur. Berakhirnya perang dingin tahun 1991 dengan bubarnya Uni Soviet telah mengubah peta perpolitikan global. Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adikuasa di dunia yang tidak memerlukan lagi tawar menawar atau berkompromi dengan rezim-rezim korup dan otoriter.agar mereka tetap berada di kubu Amerika. Hal ini juga berlaku terhadap Indonesia. Dukungan Amerika Serikat yang mulanya demikian kuat terhadap Indonesia, secara pelan-pelan mulai bergeser. Sementara itu, pendekatan (lobbying) yang dilakukan Portugal ke berbagai pihak untuk mendukung Fretilin, termasuk mempengaruhi panitia Hadiah Nobel, akhirnya membuahkan

hasil. Pada tahun 1996, Jose Ramos Horta bersama pendeta Carlos Felipe Ximenes Belo berhasil meraih penghargaan Nobel untuk kategori perdamaian. Kenyataan itu sekaligus memukul Indonesia di forum internasional. Apalagi Amerika Serikat pun akhirnya menjatuhkan sanksi berkaitan dengan masalah HAM, terutama berkaitan dengan Peristiwa Santa Cruz, Dili, yang terjadi pada 12 November 1991. Amerika membekukan bantuan militernya dan mengembargo suku cadang peralatan perang Indonesia, termasuk suku cadang untuk pesawat :empur F-16. Desakan untuk diadakannya referendum bagi kemerdekaan rakyat Timor Timur pun semakin merebak, tidak hanya di luar negeri tetapi juga di dalam negeri. Ketika Habibie berkuasa, ia menawarkan suatu penyelesaian masalah Timor Timur dengan dua opsi, yaitu otonomi khusus atau lepas kembali dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun kebijakan ini kurang disukai oleh kalangan militer yang begitu banyak berkorban dalam proses integrasi Timor Timur namun usulan ini akhirnya diterima oleh pihak Fretilin, PBB, maupun Portugal. Berdasarkan agenda yang telah ditetapkan antara Indonesia, Portugal, dan PBB, jajak pendapat mengenai status Timor Timur itu dilaksanakan pada bulan Agustus 1999 di bawah pengawasan PBB. Walaupun hasilnya kurang memuaskan Indonesia, Timor Timur akhirnya lepas kembali dari wilayah Indonesia.

Sumber : Mohammad Iskandar dkk.2007. Ganeca Exact.

Sejarah Indonesia dalam Perkembangan Zaman. Jakarta :

Anda mungkin juga menyukai