Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM/TENTARA ISLAM

INDONESIA (DI/TII)

KELAS X. FARMASI

KELOMPOK :

1.

2.

3.

SMKS YAYASAN KELUARGA BUNDA JAMBI

TAHUN AJARAN 2022/2023


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat berawal dengan
ditandatanganinya persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Sekar
Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) bersama pasukannya
yang terdiri atas Hizbullah dan Sabillah (kurang lebih sebanyak 4.000
orang). Ia menolak untuk membawa pasukannya ke Jawa Tengah dan
tidak mengakui lagi keberadaan RI.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana pemberontakan DI/TII?
Apa yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan?
Bagaiman peran pemerintah dalam menghadapi?
Siapa dalang dari peristiwa tersebut?

C. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua. Khususnya
dalam ilmu sosial masyarakat. Dapat memberikan informasi tentang
sejarah negara di masa silam mengenai DI/TII.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DI/TII Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat berawal dengan
ditandatanganinya Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Sekar
Marijan Kartosuwiryo endirian Darul Islam (DI) bersama pasukannya
yang terdiri atas Hizbullah dan Sabillah (kurang lebih sebanyak 4.000
orang). Ia menolak untuk membawa pasukannya ke Jawa Tengah dan
tidak mengakui lagi keberadaan RI. Dan tujuannya juga menentang
penjajah Belanda di Indonesia.
Akan tetapi, setelah makin kuat, S.M.Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal
17 Agustus 1949 di Desa Cisayong, Jawa Barat dan tentaranya
dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII) saat itu lah tidak sedikit rakyat
yang menjadi korban. Upaya pemerintah untuk menghadapi gerakan
DI/TII pemerintah bekerja sama dengan rakyat setempat. Dan dijalankan
lah taktik dan strategi baru yang di sebut Perang Wilayah.
Pada 1 April 1962 dilancarkan Operasi Bharatayuda yaitu operasi
penumpasan gerakan DI/TII. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4
Juni 1962, S.M.Kartosuwiryo beserta para pengikutnya berhasil
ditangkap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa
Barat. Ia sempat mengajukan grasi kepada Presiden, tetapi di tolak.
Akhirnya S.M.Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati di hadapan regu
tembak dari keempat angkatan bersenjata RI 16 Agustus 1962.

B. DI/TII Jawa Tengah


Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dpimpin oleh Amir Fatah dan
Kyai Sumolangu di bagian utara, yaitu bergerak di daerah Tegal, Brebes
dan Pekalongan. Inti kekuatannya adalah pasukan Hizbullah yang
dibentuk di Tegal, 1946 dan pada 23 Agustus 1949, Amir Fatah
memproklamasikan berdirinya Darul Islam dan menyatakan bergabung
dengan DI/TII S.M.Kartosuwiryo. pasukannya dinamakan Tentara Islam
Indonesia (TII) dengansebutan Batalion Syarif Hidayat Widjaja Kusuma
(SHWK). Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk
Komando Gerakan Bnateng Negara (GBN) di bawah Letkol Sarbirin.
Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat
Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudh Abdurrahman
(Kyai Sumolanggu). Gerakan ini berhasil diluncurkan pada tahun 1957
dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional
dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena
pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro.
Di daerah Merapi-Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang
dilancarkan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan
ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah
Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders.

C. DI/TII Sulawesi Selatan


Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar.
Latar belakang pemberontakan ini berbeda dari yang terjadi di Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim
surat kepada pemerintah pusat untuk membubarkan Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya di salurkan ke dalam APRIS.
Ternyata Kahar Muzakar menuntut agar kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan dan kesatuan gerilya lainnya di masukkan dalam satu brigade
yang di sebut Brigade Hassanuddin di bawah pimpinannya.
Tuntutan itu di tolak karena banyak di antara mereka yang tidak
memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil
kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawa iu ke Corps Tjadangan
Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima
Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para penikutnya
melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan
mengandalkan pengacuan serta pada tahun 1952, ia menyatakan bahwa
wilayah Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia
pimpinan S.M.Kartosuwiryo di Jawa Barat pada tanggal 7 Agustus 1953.
Penumpasan pemberontakan Kahar Muzakar memakan waktu lebih
dari 14 tahun. Faktor yang menjadi penyebab lamanya adalah rasa
kesukuan yang ditanamkan dan gerombolan ini telah berakar di Hati
rakyat Kahar Muzakar dan gerombolannya mengenal sifat rakyat dan
memanfaatkan lingkungan alam yang sangat dikenalnya. Tanggal 3
Februari 19651, Kahar Muzakar tertembak mati dalam sebuah kontak
senjata dengan pasukan RI.

D. DI/TII Aceh
Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah,
pertentangan antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah
yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya pemberontaka DI/TII di
Aceh. Daerah Aceh sebelumnya menjadi daerah istimewa diturunkan
statusnya menjadi daerah Karasidenan di bawh Provinsi Sumatera Utara.
Gerakan DI/TII di Aceh di pimpin oleh Tengku Daud Beureueh
yang pada tanggal 21 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh
sebagai bagian dari Negara Islam Indnesia dibawah pimpinan
S.Mkartosuwiryo dan memutuskan hubungan dengan Jakarta.
Pemberontakan DI/TII di Aceh diselesaikan dengan diadakannya
musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh pada tanggal 17-28 Desember 1962
atas inisiatif Pangdam 1 Bukit Barisan, Kolonel Jasin.
Dalam musyawarah ini, dibicarakan berbagai permasalahan yang
dihadapi dan kesalahpahaman yang terjadi. Akhirnya dari musyawarah
bersama tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh.

E. DI/TII Kalimantan Selatan


Pada akhir tahun 1950, Kesatuan Rakyat Jang Tertindang (KRJT)
melakukan penyerangan ke pos-pos TNI di Kalimantan Selatan. KRJT
dipimpin seorang mantan Letnan dua TNI yang bernama Ibnu Hadjar
alias Haderi alias Angli. Ibnu Hadjar sendiri kemudian menyerahkan diri.
Akan tetapi, setelah merasa kuat dan memperoleh peralatan perang, ia
kembali membuat kekacauan dengan bantuan Kahar Muzakar dan
S.Mkaratsuwiryo. pada tahun 1954, Ibnu Hadjar diangkat sebagai
panglima TII wilayah Kalimantan. Akhirnya, pemerintah melalui TNI
berhasil mengatasi gerakan yang dilakukan oleh Ibnu Hadjar pada tahun
1959 dan Ibnu Hadjar berhasil ditangkap dan pada 22 Maret 1965 dan ia
dijatuhkan hukuman mati oleh pengadilan militer.

F. Biografi Singkat 5 Pemimpin DI/TII


1. Sekar Marijan Kartosuwiryo (Jawa Barat)
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI)
dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi,
setelah makin kuat Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya
Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan
tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya
penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi
Bharatayuda. Dengan taktis pagar Betis. Pada tanggal 4 Juni 1962,
Kartosuwiryo berhasil ditangkap oleh pasukan Siliwangi di Gunung
Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi
hukuman mati.

2. Ibnu Hadjar (Kalimantan Selatan)


Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah seorang
bekas Letnan Dua TNI yang kemudian memberontak dan menyatakan
gerakannya sebagai bagian DI/TII Kartosuwiryo. Dengan pasukan
yang dinamaknnya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas, Ibnu Hadjar
menyerang pos-pos kesatuan tentara Kalimantan Selatan dan
melakukan tindakan-tindakan pengacuan pada bulan Oktober 1950.
Untuk menupas pemberontakkan Ibnu Hajar ini pemerintahan
menempuh upaya dama melaui berbagai usyawarah dan operasi
militer.
Pada saat itu pemerintah RI masih memberikan ksempatan
kepada Ibnu Hadjar untuk menghetikan petualangannya secara baik-
baik, sehingga ia menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan bebrapa
peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik
Indonesia. Tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar
melarikan diri lagi dan melanjutkan pemberontakannya. Pada akhir
tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk masuk Negara
Islam. Ibnu Hajar diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan.
Perbutan ini dilakukan lebih dari satu kali sehingga akhirnya
Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas
menggempur gerombolan Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 pasukan
gerombolan Ibnu Hadjar dapat dimusnahkan dan Ibnu Hadjar sendiri
dapat ditangkap. Gerakan perlawanan baru berakhir pada bulan Juli
1963. Ibnu Hadjar dan anak buahna menyerahkan diri secara resmi
dan pada bulan Maret 1965 Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman
mati kepada Ibnu Hadjar.

3. Daud Beureueh (Jawa Tengah)


Tenku Muhammad Daud Beureu’eh (lahir di Beureu’eh.
Kabupaten Pidie, Aceh, 17 September 1899- meninggal di Aceh, 10
Juni 1987 pada umur 87 tahun) atau nama lengkapnya adalah Tengku
Muhammad Daud Beureu’eh adalah mantan Gubernur Aceh, pendiri
NII di Aceh dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ketika PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) didirikan untuk menentang
pendudukan Belanda, Daud Beureu’eh terpilih sebagai ketuanya. Pada
masa perang revolusi, Daud Beureu’eh menjabat sebagai Gubernur
Militer Aceh.
Sejak 21 September 1953 sampai dengan 9 Mei 1962, ia
melakukan pemberontakkan kepada pemerintah dengan mendirikan
NII akibat ketidak puasannya atas pemerintah Soekarnao. Namun
akhirnya ia kembali ke pangkuan Republik Indonesia setelah dibujuk
kembali oleh Mohammad Natsir.

4. Kahar Muzakar (Sulawesi Selatan)


Abdul Kahar Muzakar, lahir di Lanipa, Kabupaten Lawu,
24Maret 1921-meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 Tahun. Nama
kecilnya Ladomeng, adalah seorang figur karismatik dan legendaris
dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di
Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit TNI yang terakhir berpangkat
Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu. Ia tidak menyetujui
kebijakan pemerintahan Presiden Soekarno pada masanya, sehingga
balik menantang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia
dinyatakan peerintah pusat sebagai pembangkang dan pemberontak.
Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mendirikan TII (Tentara
Islam Indonesia) kemudia bergabung dengan Darul Islam (DI), hingga
di kemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan
Tenggara.
Pada tanggal 3 Februari 1960, melalui Operasi Tumpas, ia
dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI
dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakar di
Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusarnya, mengakibatkan
para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran di Kilometer 1
jalan raya Kendari, Sulawesi Tenggara. Tapi sampai saat ini banyak
yang tidak percaya atas kepergiannya karena belum ada bukti nyata
tentang keberadaannya di sana.

5. Amir Fatah (Jawa Tengah)


Amir Fatah bernama lengkap Amir Fatah Wijaya Kusum,
adalah salah satu pemimpin Hizbullah Fisabilillah di daerah Besuki,
Jawa Timur sebelum bergolaknya pemberontakan DI/TII
Katosuwiryo. Melalui operasi yang dilakukan oleh TNI untuk
sementara waktu kekuatan mereka melemah tetapi akibat ada
pembelot, kekuatan DI/TII Amir Fatah kembali kuat. Pada akhirnya
pasukan Amir Fatah dapat ditaklukan di perbatasan Pekalongan-
Banyumas.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam pembahasan ini
adalah sebagai berikut:
1. Eksistensi ulama dalam masyarakat sebelum kehadiran Belanda
ke Aceh adalah sangat besar. Artinya, ulama tidak hanya
dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan
semata, melainkan juga dianggap orang yang mampu
menguasai adat istiadat serta pengetahuan lainnya.
2. Keterlibatan ulama sangat besar, artinya terhadap kondisi sosial
dan politik di Aceh. Secara politis, sejak awal kemerdekaan
ulama Aceh sudah memegang peran yang sangat strategis,
seperti yang di lakukan oleh TGK. Muhammad Daud Beureueh
dalam memperjuangkan status daerah Istimewa bagi Aceh.
3. Pengaruh keterlibatan ulama Aceh dalam kancah politik adalah
dapat menjadi pelopor dalam menyuarakan aspirasi masyarkat
Aceh (umat islam). Ulama juga ikut berperan dalam menggagas
perdamaian di Aceh, seperti halnya dalam penyelesaian DI/TII
dan juga ikut pro aktif dalam mengupayakan perundingan
Helsinki, yaitu perundingan antara pemerintah RI dengan GAM.

B. Saran
1. Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri
tauladan dari perjuangan para ulama Aceh dalam menyuarakan
aspirasi umat islam, serta turut pro aktif dalam menggagas
perdamaian di Aceh.
2. Diharapkan kepada para guru dan calon guru sejarah dapat lebih
giat berupaya untukmenanamkan semangat kebangsaan cinta
tanah air. Upaya ini dapat memperkokoh persatuan bangsa.

SUMBER: http://digilib.uinsgd.ac.id/21291/4/4_BAB%201.pdf

Anda mungkin juga menyukai