PEMBAHASAN
D. Akulturasi Kesenian
Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk
menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya sebagai berikut.
1. Permainan Debus
Permainan debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda
tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat
dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan Minangkabau.
2. Seudati
Seudati adalah sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dan kata syaidati yang
artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Tarian
ini aslinya dimainkan oleh delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya
antara lain shalawat nabi.
3. Wayang
Wayang, termasuk wayang kulit. Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman
Hindu, akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan. Kemudian berdasarkan cerita
Amir Hamzah dikembangkan pertunjukan wayang golek.
E. Akulturasi Kalender
Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau berusaha
membenahi kalender Islam. Perhitungan tahun yang dipakai atas dasar peredaran bulan
(Komariyah). Umar menetapkan tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M,
sehingga sekarang kita mengenal tahun Hijriyah.
Sistem kalender itu juga berpengaruh di nusantara. Bukti perkembangan sistem
penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan
Agung. Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka.
Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadhan diganti dengan Pasa. Kalender
tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat
dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633).
3) Historis
Secara historis, ternyata sikap terbuka tersebut disalahgunakan oleh kekuatan asing
yang ingin menguasai sumber barang dagangan. Mereka berambisi untuk menguasai claerah
penghasil rempah-rempah. Jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis tahun 1511 adalah
bukti adanya pemaksaan kehendak pedagang Barat dalam menguasai wilayah dagang.
Peristiwa jatuhnya pelabuhan Malaka tersebut merupakan awal perubahan sikap
pedagang Nusantara. Sejak peristiwa itu, para pedagang Nusantara mulai berhati-hati dengan
pedagang asing terutama dari Barat (Eropa). Para pedagang Islam mulai menyadari bahwa
datangnya para pedagang Portugis di kepulauan Nusantara bukan hanya ingin berdagang,
melainkan juga memiliki tujuan politis dan historis, yaitu ingin menghancurkan kekuatan
Islam.
Mengapa bangsa Portugis ingin menghancurkan kekuatan Islam? Latar belakang
historisnya dapat dilihat mengenai ekspansi kekuasaan Dinasti Umayyah di Cordoba.
Ternyata, penaklukkan Jazirah Iberia (wilayah bangsa Portugis dan Spanyol) oleh dinasti
Islam Umayyah abad ke-7 M dan disusul dengan kekuasaan Islam atas wilayah Eropa lainnya
sampai abad ke-15, serta jatuhnya Konstantinopel, ibukota Romawi Timur, ke tangan
kerajaan Islam Turki Usmania tahun 1453, menimbulkan kebencian bangsa Eropa terhadap
kekuatan Islam yang pernah menaklukkannya.
Bangsa Portugis dan Spanyol yang secara historis pernah dikuasai oleh orang-orang
Islam ingin membalas dendam penaklukkan tersebut. Didukung oleh faktor ambisi mengejar
kejayaan, menguasai sumber perdagangan rempah-rempah, dan misi agama, mereka berusaha
untuk menjelajah dunia dan menguasai jalur dagang internasional yang pada umumnya
dikuasai oleh para pedagang Islam. Dengan ambisi tersebut, satu per satu kekuatan Islam
diperangi dan pelabuhan-pelabuhannya diduduki.
Setelah berhasil melalui pantai barat, selatan, dan timur Afrika, mereka sampai ke
Samudera Hindia dan bertemu dengan pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan
sepanjang jalur tersebut. Akhirnya mereka sampai di Malaka dan berhasil menaklukkan dan
menguasai pelabuhan itu tahun 1511. Setelah berhasil merebut Malaka, bangsa Portugis terus
berusaha menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam lainnya di Nusantara, antara lain, Pelabuhan
Banten, Ambon, dan Maluku.
Tindakan bangsa Portugis tersebut disusul oleh bangsa Belanda yang memiliki ambisi
sama. Bangsa Belanda pun berusaha untuk menguasai sumber penghasil rempah-rempah dan
pelabuhan-pelabuhan penting kerajaan Islam Nusantara. Dengan cara memecah belah (devide
at impera), satu per satu pelabuhan-pelabuhan penting Nusantara dikuasainya, seperti Sunda
Kelapa, Ambon, Makasar, Demak, Cirebon, dan lain-lain.
Peranan Islam dalam proses integrasi telah dipengaruhi oleh perkembangan historis di
atas. Berdasarkan perkembangan tersebut, para pedagang Islam serta kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara melihat bahwa kedatangan orang-orang Barat bukan hanya untuk berdagang,
melainkan juga untuk menaklukkan kekuasaan Islam di Nusantara. Mereka mulai sadar
bahwa kekuatan asing telah menyalahgunakan keterbukaan sikap pedagang Islam dan
keterbukaan laut Nusantara.
Akibat dari perkembangan historis tersebut, adalah Pertama, peranan pedagang Islam
di Laut Nusantara mengalami kemunduran karena para pedagang asing (Barat) mulai
memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.
Kedua, Islam telah dijadikan sebagai satu kekuatan pemersatu untuk melawan kekuatan
asing. Akal bulus datangnya bangsa Barat tersebut justru telah menyatukan kerajaan-kerajaan
Islam atas dasar azas yang sama yaitu agama Islam dalam menghadapi Barat. Walaupun
mereka tidak bersatu secara politis, akan tetapi telah terdapat kesamaan pandangan di
kalangan umat Islam saat itu bahwa kekuatan asing tersebut akan menghancurkan kekuatan
Islam. Oleh karena itu, Islam digunakan sebagai satu kekuatan azasi untuk mengusir
penjajah. Kesamaan pandangan tersebut membuktikan bahwa Islam telah mempercepat
proses integrasi.
4) Ideologis
Perlawanan daerah-daerah di Indonesia terhadap kekuatan Belanda pada abad ke-19
merupakan bukti bahwa Islam telah digunakan sebagai kekuatan azasi dan yang telah dianut
masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu itu dimanfaatkan oleh para pemimpin perlawanan di
daerah yang pada umumnya kharismatis dan memiliki pengetahuan agama Islam yang
mendalam.
Dengan kekuatan tersebut, semangat untuk mengusir penjajah semakin besar. Rakyat
yang berada di bawah pemimpin kharismatis percaya bahwa Belanda adalah kafir, dan musuh
Islam. Dengan semangat perang sabil, perlawanan di daerah pada abad ke-19 merupakan
perang yang telah merepotkan pemerintah kolonial Belanda.
Contoh-contoh yang menunjukkan bahwa Islam telah digunakan sebagai kekuatan
azasi dapat dilihat dalam Perang Saparua (1817), Perang Paderi (1819-1832), Perang
Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1852, 1859, 1862), Perang Aceh (1873-
1912), dan Perlawanan Petani Banten (1888). Walaupun perang-perang tersebut masih
bersifat kedaerahan, secara historis dapat dikatakan bahwa perang yang dilandasi oleh
kekuatan ideologis Islam itu telah menjadi dasar bagi lahirnya nasionalisme Indonesia pada
awal abad ke-20.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara etis, sosial-budaya, ideologis,dan
historis, Islam memiliki peran yang besar dalam proses integrasi bangsa. Sebenarnya, dasar-
dasar gerakan nasionalisme atau gerakan kebangsaan Indonesia pada awal abad ke-20 telah
diletakkan sejak tumbuh dan berkembangnya penganut serta kekuatan politik Islam di
Nusantara, yaitu sejak abad ke-16.
Faktor pemersatu terpenting di antara berbagai suku bangsa Nusantara adalah Islam.
Islam mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara berbagai suku bangsa dan
menjadi identitas yang mengatasi batas-batas geografis, sentimen etnis, identitas kesukuan,
adat istiadat dan tradisi lokal lainnya. Tentu saja, sejauh menyangkut pemahaman dan
pengamalan Islam, terdapat pula perbedaan-perbedaan tertentu terhadap doktrin dan ajaran
Islam sesuai rumusan para ulama, bukan dengan identitas suku bangsa.
Faktor pemersatu kedua, yaitu bahasa Melayu. Bahasa ini sebelum kedatangan Islam
digunakan hanya di lingkungan etnis terbatas, yakni suku bangsa Melayu di Palembang,
Riau, Deli (Sumatra Timur), dan Semenanjung Malaya. Terdapat bahasa-bahasa lain yang
digunakan lebih banyak orang suku bangsa lain di Nusantara, seperti bahasa Jawa dan bahasa
Sunda. Bahasa Melayu yang lebih egaliter dibanding bahasa Jawa, diadopsi sebagai lingua
franca oleh para penyiar Islam, ulama, dan pedagang.