Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HUKUM ADAT SUKU ACEH


UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM ADAT
DOSEN IRMA MAULIDA, SH,.MH
Disusun oleh :
Abibah
NPM : 115010069
Semester : 2
Kelas : C

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG


JATI
FAKULTAS HUKUM
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT


yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas karya tulis mata kuliah
Hukum Adat Semester ke-2.
Karya tulis ini berisi tentang penjelasan atau gambaran
corak hukum adat suku di Indonesia yaitu "Suku Aceh.
Harapan saya, semoga makalah yang sederhana ini, dapat
memberi kesadaran tersendiri bagi generasi muda bahwa kita
juga harus mengetahui adat dan kebudayaan dari seluruh
provinsi yang ada di Indonesia diantaranya provinsi Aceh,
karena kita adalah bagian dari keluarga besar bangsa
Indonesia tercinta.
Akhirnya, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat
khususnya bagi saya penyusun maupun bagi para pembaca
pada

umumnya.

Demi

tercapainya

peningkatan

kualitas

pengetahuan tentang suku-suku yang ada di Indonesia


khususnya suku Aceh.

Cirebon, 09 Maret
2016

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
.............................................................................
Daftar Isi............................................................................

i
ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
.............................................................................

1.2 Rumusan Masalah


........................................................................

1.3 Tujuan penulisan


.........................................................................

Bab II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Hukum adat
......................................................................

2.2 Pengertian Hukum adat


.................................................................
3

2.3 Corak Hukum adat di Aceh


..........................................................

Bab III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
...................................................................................
13
3.2 Saran
.............................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA
..............................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari


banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa,
bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan.
Keanekaragaman

budaya

yang

terdapat

di

Indonesia

merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara


yang kaya akan budaya.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kebudayaan daerah
merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih

global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional.


Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah
akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu
pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari
kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap
kebudayaan daerah / kebudayaan lokal diantaranya yaitu
Aceh.
Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat
menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini
terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di
tingkat gampong atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5
tahun

1975

berusaha

menghilangkan

fungsi

mukim,

keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan


berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang
peranan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut
dirinya dengan Ureueng Aceh, terdapat institusi-institusi adat
di tingkat gampong dan mukim, Institusi ini juga merupakan
lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan
bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah
tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya.
Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat
yang sudah terbentuk.
Lembaga-lembaga

adat

dimaksud

seperti

Panglima

Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua


Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masingmasing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampong
terpelihara. Misalnya Panglima Laot yang bertugas mengelola
segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya

semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga


tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya.
Di dalam makalah ini, saya mencoba membahas corak
hukum adat suku Aceh yaitu corak tradisional, keagamaaan
(magis atau religius), Kebersamaan (Komunal), Kongkrit /
Visual,

Terbuka

dan

Sederhana,

Dapat

berubah

dan

Menyesuaikan, Tidak dikodifikasi, Musyawarah dan Mufakat.


Saya khususkan pada pembahasan corak hukum adat aceh.
Walaupun ada banyak suku adat di Indonesia.

1.2

Rumusan masalah

2. Apa pengertian Hukum adat?


3. Bagaimana sejarah Hukum adat?
4. Bagaimana Sejarah berkembangnya budaya sehingga
munculnya hukum adat di Aceh?
5. Bagaimana corak Hukum adat di aceh?

1.3 Tujuan penulisan

Tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi


tugas hukum adat juga yang paling penting yaitu:
1. Untuk mengetahui secara jelas apa Hukum adat itu
2. Mengetahui bagaimana perkembangan Hukum adat di Aceh
3. Mengetahui corak tradisional, Keagamaan (Magis-religeius),
Kebersamaan (Komunal), Kongkrit / Visual, Terbuka dan
Sederhana, Dapat berubah dan Menyesuaikan,
6

Tidak

dikodifikasi, dan musyawarah / mufakat Hukum adat suku


Aceh

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Sejarah Hukum adat

1. Sejarah singkat Hukum adat di Indonesia


Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck
Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894).
Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah

Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de


atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum
rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr.
Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga
Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada
Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht
dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch
Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi
mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische
Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam
Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat
(2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak
dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa
istilah

tersebut

demikian

hanyalah

karena

istilah

istilah

teknis

tersebut

saja.

hanya

Dikatakan

tumbuh

dan

dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji


hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang
kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law,
namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya
dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem
hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat
Muhammad

ini

Rasyid

diperkuat
Maggis

dengan
Dato

pendapat

Radjoe

dari

Penghoeloe

sebagaimana dikutip oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan


kesempuranaan hidup selama kemakmuran berlebih-lebihan
8

karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam


yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa
adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa
Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya
mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan
seorang Ulama Aceh yang bernama Syekh Jalaluddin bin
Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada
tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut
(karangan

Syekh

Jalaluddin)

merupakan

buku

yang

mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.

2. Sejarah hukum adat di Aceh


Sejarah dimulainya perilaku adat di Aceh diawali dengan
lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam. Masuknya agama Islam
ke Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah pada tahun 1511 1530 M juga sangat
mempengaruhi proses terbentuknya hukum adat. Penyebaran
agama Islam pada masa itu berkembang luas dan cepat
karena agama Islam sangat cocok dengan karakteristik
masyarakat

Aceh.

Maka

atas

hasil

mufakat

pembesar-

pembesar kerajaan, terbentuklah suatu sistem hukum adat


yang mulai diberlakukan di Kerajaan Aceh Darussalam.
Pelaksanaan hukum adat tersebut berjalan tertib karena
adanya kerjasama yang solid antara pemerintah, lembaga
adat dan masyarakat.

Ketika Sultan Iskandar Muda memimpin kerajaan rentang


tahun 1607 1636 M, Aceh mengalami kemajuan yang sangat
pesat dalam

berbagai

aspek kehidupan. Salah

satunya

termasuk aspek penataan hukum adat. Hukum adat Aceh


sangat

dikenal

di

seluruh

dunia,

menurut

penulis

ada

beberapa faktor yang menyebabkan adat Aceh masyhur ke


seluruh negeri :
1. Hubungan diplomatis yang sangat erat dengan pemerintah
Turki. Hasil dari hubungan bilateral ini Sultan sering
berbagi pengalaman tentang kondisi kemajuan di Aceh,
termasuk adat-istiadatnya.
2. Luasnya daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan
Aceh. Daerah yang berhasil ditaklukkan sebagian besar
adalah

daerah-daerah

Melayu.

Misi

Sultan

adalah

menyebarluaskan agama Islam dan juga memperkenalkan


adat-istiadat Aceh. Secara tidak langsung, daerah yang
berhasil ditaklukkan harus mengikuti aturan Kerajaan Aceh.
Kepiawaian Sultan Iskandar Muda juga tergambar jelas
ketika berhasil mempersatukan beberapa suku yang masih
menganut adat budaya masing-masing menjadi adat nasional
(hukum adat yang dikendalikan oleh kerajaan).
Sebelum Sultan Iskandar Muda memimpin, di Aceh
tersebar empat suku besar, yaitu :
1. Suku Lhee Reutoh (Tiga ratus), yang berasal dari orangorang mante dan Karo/Batak
2. Suku Imuem Peut (Imam Empat), yang berasal dari orangorang Hindu
3. Suku Tok Batee, kaum asing yang berasal dari Arab, Parsi,
Turki, dan Hindi yang sudah lama menetap di Aceh

10

4. Suku Ja Sandang, yaitu kaum Hindu, tukang tuak yang


pertama sekali datang ke Lampanaih.
Keempat suku ini saling mengklaim bahwa budaya
mereka adalah yang terbaik di antara suku-suku lain. Sultansultan

sebelumnya

sangat

sulit

mempersatukan

keanekaragaman adat masing-masing suku. Masa ini dalam


sejarah juga sering disebut adat plakpleung yaitu adat yang
beranekaragam. Kejadian ini hampir sama seperti negara
Indonesia yang terdiri dari ratusan suku. Kemudian oleh
pemerintah suku-suku tersebut dipersatukan dalam satu
wadah dan satu bahasa sebagaimana yang tersurat dalam
Sumpah Palapa.
Kemudian atas beberapa nasehat dari mufti kerajaan
dan ahli-ahli agama, maka Sultan telah dapat menyatukan
suku-suku

yang

berbeda

tersebut

dalam

satu

wadah

pemerintahan. Sehingga muncullah hadih maja yang masih


dikenal sampai sekarang, yaitu : adat bak Poteu Meureuhom,
hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak
Laksamana, hukom ngon adat lage zat ngon sifeut.
Adapun penjelasannya dari istilah di atas, yaitu :
Sultan Imam Malikul Adil sebagai kepala pemerintahan
adalah pemegang kekuasaan politik dan adat negeri,
atau pemegang kekuasaan eksekutif
Qadli Malikul Adil (ulama) sebagai ketua mahkamah
agung adalah pemegang kekuasaan hukum (yudikatif)
Rakyat adalah pemegang kekuasaan pembuatan
undang-undang (legislatif) yang dalam hadih maja ini
dilambangkan sebagai Putroe Phang, yaitu Puteri Pahang
(permaisuri Sultan Iskandar Muda) yang mempelopori
pembentukan Majelis Mahkamah Musyawarah Rakyat
11

Pada

waktu negara dalam keadaan bahaya/perang,

pemegang segala kekuasaan dalam negara adalah


Panglima Tertinggi Angkatan Perang, yang dalam istilah
hadih maja ini disebut sebagai Laksamana, yaitu Wazirul
Harb.
Walaupun pembagian kekuasaan seperti tersebut di
atas, ada satu ketentuan lain yang tidak boleh menyimpang
satu sama lain. Sesuai dengan hadih majanya hukom ngon
adat lage zat ngon sifeut. Maksudnya adat dengan hukum
adalah seperti zat dengan sifat, menjadi satu dan tidak boleh
dipisahkan. Sehingga antara pemegang kekuasaan adat dan
politik

(Sultan

Imam

Malikul

Adil)

dengan

pemegang

kekuasaan hukum (Qadli Malikul Adil) haruslah bekerjasama.


Hadih maja di atas menjadi sebuah filsafat hidup rakyat
Aceh yang harus dijalankan secara menyeluruh. Adanya
pembagian kekuasaan yang merata dan sumber pegangan
masyarakat telah menjadikan hadih maja ini sakral bagi
masyarakat. Pengertian hadih maja ini sebagai falsafah hidup
rakyat Aceh berarti:
1. Segala cabang kehidupan negara dan rakyat haruslah
berjiwa dan bersendi Islam
2. Wajah politik dan wajah agama Islam pada batang tubuh
masyarakat dan negara Aceh telah menjadi satu
3. Sifat gotong-royong yang menjadi ciri khas Islam menjadi
landasan berpijak bagi rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh
Darussalam
Kemudian maksud hukum dalam hadih maja tersebut
yaitu hukum Islam, karena Undang-undang Dasar Aceh yang
bernama Qanun Adat Meukuta Alam menegaskan bahwa
hukum yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam adalah
12

Hukum Islam dengan sumber hukumnya Al-Quran, Al-Hadits,


Al-Ijma, dan Al-Qiyas. Nyatalah bahwa hadih maja tersebut
adalah falsafah kehidupan rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh
Darussalam dan telah menjadi ketentuan pasti sebagai Jalan
Hidup (way of life) dari rakyat Aceh.
Berpegang pada prinsip di atas, maka kerajaan juga
membuat kategori adat itu pada tiga hal, yaitu :
1. Adatulllah, yaitu hukum dari Allah
2. Adat Mahkamah, yaitu adat yang disusun oleh majelis
kerajaaan. Contoh adat ini seperti adat blang, adat laot,
adat gle, adat peukan, adat kuala, adat seuneubok, dan
sebagainya.
3. Adat tunaih, adat ini berlaku di masing-masing daerah.
Biasanya disusun secara musyawarah oleh Panglima Sagoe,
Uleebalang, dan utusan masyarakat untuk menunjang
hukum dan adat raja (adat mahkamah).
Selain tiga jenis adat di atas, ada beberapa ketentuan
hukum dan adat yang tidak dapat diberikan keputusan oleh
majelis ulama dan uleebalang, masyarakat boleh meminta
ketetapan hukum dan adat pada Pengadilan Tinggi Syaikhul
Islam dan Majelis Tinggi yang diketuai oleh Sri Baginda sendiri
dan ditempatkan di Balai Baiturrahman.
Lancarnya
kepemimpinan

kehidupan
Sultan

yang

adat di Aceh
adil

didukung

oleh

bijaksana, rakyat Aceh

senantiasa hidup tenteram, damai, dan makmur sejahtera.


Hampir jarang didengar adanya kesenjangan sosial sesama
masyarakat. Rakyat mematuhi pimpinannya, karena mereka
bekerja untuk kepentingan umum dan berlaku adil sesuai
ajaran-ajaran Islam dan adat Aceh. Kuatnya posisi hukum dan
adat telah menjadi contoh bangsa lain untuk berguru pada
13

Kerajaan Aceh Darussalam. Malah beberapa bangsa Melayu


mencontoh

bentuk

ini

untuk

diterapkan

kepada

masyarakatnya, seperti Brunei, Pattani, dan Malaya.


Awal munculnya implementasi hukum adat di Aceh
berdasarkan

rancangan

yang

dibentuk

oleh

pemerintah

dengan mempertimbangkan faktor kondisi psikologis orang


Aceh. Ketetapan hukum adat ini seharusnya berlangsung
hingga pemerintah berikutnya berkuasa. Namun tidak halnya
yang terjadi pada pemerintahan daerah sekarang, yang
seakan-akan menafikan hukum adat.

2.2 Pengertian Hukum adat

Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat


atau kebiasaan yang berlaku disuatu wilayah, yang apabila
dilanggar memiliki sanksi. Sumbernya adalah peraturanperatuan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang
serta

dipertahanakan

dengan

kesadaran

hukum

masyarakatnya. (Andariani Saptika: 2010:8).


Pandangan masyarakat Aceh terhadap hukum adat
bahwa Hukum adat dalam pandangan masyarakat Aceh,
mengibaratkan hukum adat sebagai suloeh/lampu/penerang.
Hadih maja menyebutkan: mate aneuek meupat jeurat, mate
adat pat tamita.
Dalam hadih maja lain juga disebutkan bahwa: tahudep
lam adat-tamate lam hukom artinya dalam kehidupan
14

bersama selalu diiringi oleh adat, dan kalau mati itu hak Allah
dan harus dalam agama Islam.

2.3 Corak Hukum adat di Aceh


1. Corak tradisional
Tradisional artinya bersifat turun menurun, dari
nenek moyang hingga zaman sekarang keadaanya
masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat
bersangkutan.
Di dalam suku aceh terdapat beberapa ritual
agama yang masih dilaksanakan sampai sekarang dan
sudah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang
mereka hingga sekarang, yaitu intat bu pada saat ibu
sedang hamil, peutron aneuk pada saat bayi sudah lahir,
danpeus ijuek. Intat bu adalah ritual yang dilakukan
untuk wanita hamil dengan memasak makanan yang
disukai oleh wanita tersebut. Peutron Aneuk adalah ritual
untuk bayi yang baru lahir dengan memberikan cermin
kepada bayinya agar anaknya menjadi ganteng atau
cantik, memberikan madu dibibir agar anaknya terlihat
manis oleh semua orang.
Peusijuk adalah ritual untuk anak yang baru
disunat dengan memercikan air dari danau laut tawar
dengan campuran bunga 7 rupa menggunakan 7 helai
daun pandan, kemudian disebarkan beras yang sudah
ditumbuk menjadi tepung ke anak yang baru disunat.

15

Ritual

ini

bertujuan

agar

Allah

SWT

memberikan

keberkatan dan rezeki kepada anak tersebut.

2. Keagamaan (Magis-religeius)
Artinya

perilaku

hukum

atau

kaedah-kaedah

hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang


gaib

magis

(animisme-dinamisme;

kepercayaan

terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang;


kepercayaan terhadap Tuhan).
Terlihat pada adanya upacara-upacara adat yang
lazim diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan pada rohroh leluhur yang ingin diminta restu atau pertolongan
[Soerojo 1979].
Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang
religius. Agama Islam memainkan peranan penting
dalam

mengarahkan

masyarakatnya.

Namun,

perilaku
dalam

keseharian

kenyataan,

masih

terdapat beberapa unsur kepercayaan pra Islam yang


berkembang dalam masyarakat. Unsur kepercayaan
animisme dan dinamisme dalam masyarakat Islam Aceh,
baik mulai dari kelahiran sampai kematian maupun
kepercayaan yang masih dipertahankan. Masyarakat
Islam Aceh hingga sekarang ini masih mengamalkan dan
memercayai

ajaran

ditinggalkan

oleh

percaya

dan

agama
nenek

dan

kepercayaan

moyang

mereka.

Mereka

objek

tertentu

menganggap

bahwa

yang

mempunyai kekuatan gaib serta dapat memberikan


pertolongan, suatu kepercayaan yang berbau bidah dan
tahayul

yang

sudah

menyatu
16

menjadi

bentuk

kepercayaan yang tidak terpisahkan dalam keseharian


masyarakat.
Walaupun saat ini islam telah kuat, bahkan Aceh
telah berjuluk Serambi Mekkah dan menerapkan hukum
Syariat Islam, namun masih ada sebagian dari tradisi
Hindu yang terus melekat pada masyarakat Aceh.
Seperti pada acara Kanduri Laot (Kenduri Laut), yang
dilakukan oleh para nelayan. Dahulu, pada acara Kanduri
Laot ini, darah kerbau ditampung, asoe dalam (organ
dalam)

kerbau

tersebut

beserta

kepala,

dibungkus

kembali dengan kulitnya dan kemudian dihanyutkan ke


tengah laut sebagai persembahan kepada penghuni laut.
Selain itu, peusijuk

barang-barang

yang baru dibeli seperti mobil atau

berharga

motor, dengan

menggunakan berbagai jenis rumput. Dengan akar


rumput tadi yang telah diikat, air dipercikkan ke barang
berharga yang di peusijuk tersebut, disertai juga
dengan tepung tawar, dan berbagai atribut lainnya.
Konon upacaranya ini juga dipengaruhi oleh tradisi Hindu
zaman dahulu. Sekarang, tradisi ini biasanya dilakukan
dibarengi dengan pembacaan doa, oleh pemuka adat
atau

pemuka

berharga,

agama.

upacara

Selain

peusijuk

pada
juga

barang-barang
dilakukan

pada

orang-orang yang baru sembuh dari penyakit, pulang


dari

perantauan,

meraih

suatu

kesuksesan,

akan

menikah, dan lain-lain sebagainya.


Begitu juga dengan acara Tulak Bala (semacam
upacara untuk menolak bala bencana), dalam upacara
ini masyarakat berkumpul di suatu tempat (biasanya di
tanah lapang di pinggiran sungai), mendirikan tenda
17

untuk melakukan doa bersama, dan terakhir pelepasan


semacam persembahan diatas air sungai yang mengalir.
Konon, isi dari persembahan ini adalah berupa masakan,
buah, dan lain-lain.
Contoh lainya yaitu ketika mengambil bahan di
hutan seperti kayu, menurut kepercayaan orang Aceh,
bahwa setiap tempat dipermukaan bumi ini, baik yang
berada di darat maupun yang berada di laut terdapat
semacam makhluk halus (roh-roh) yang menjaga atau
menguasainya. Lebih-lebih wilayah yang berada di
hutan. Untuk memasuki hutan dan mengambil isinya
harus dipatuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku,
agar makhluk halus yang menguasai hutan itu bersedia
memberikan

keizinannya.

Salah

satu

cara

untuk

memperoleh keizinan penguasa hutan tersebut adalah


dengan cara menyembelih hewan korban.

3. Kebersamaan (Komunal)
Artinya
bersama,

ia

lebih

sehingga

mengutamakan
kepentingan

kepentingan

pribadi

diliputi

kepentingan bersama. Dalam konsep pemikiran hukum


adat, individu dipandang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat, dan fungsi dari masingmasing individu adalah dipandang untuk melangsungkan
fungsi dan kelangsungan masyarakat. Sebagai contoh
yaitu di Aceh, ketika ada yang ingin membangun rumah
semua tetangga ikut bergotongroyong untuk membantu
tanpa imbalan apapun walaupun orang yang ingin
membangun rumah tidak meminta untuk membantunya.
18

Itulah

salah

satu

hukum

adat

dengan

corak

kebersamaan atau komunal di Aceh.

4. Kongkrit / Visual;
Konkrit ialah Jelas, nyata, berwujud.
Visual

Dapat

tersembunyi.

terlihat,
Di

aceh

tampak,
sendiri

kita

Sedangkan

terbuka,
kenal

tidak
adanya

pertunangan sebelum pernikahan, kalau seorang anak


lelaki yang telah dewasa hendak dijodohkan dengan
anak perempuan dari seseorang, terlebih dulu diutus
seorang yang bijak dalam berbicara untuk megadakan
urusan perjodohan (meuselungoue),dan pada orang tua
dari anak perempuan. Dalam pembicaraan tersebut
dibicarakan persetujuan perjodohan dan penetapan mas
kawin (mahar) serta penentuan hari membawa tanda
(ikatan). Dan itu dilakukan dengan jelas dan terbuka
atau kongkrit.
Begitu pula ketika melakukan transaksi jual beli,
terlebih dulu melakukan panjer sebelum melakukan
pembayaran keseluruhannya, itulah salah satu conto
hukum adat suku Aceh dengan corak visual.
5. Terbuka dan Sederhana
Tebuka yaitu selalu menerima unsur-unsur dari
luar, namun yang sesuai atau setelah disesuaikan
dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Sederhana yaitu tidak rumit, tidak administratif,
kebanyakan

tidak

tertulis,

19

muda

dimengerti

dan

dilaksanakan berdasarkan saling percaya mempercayai.


(Hilman 1992).
Di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas hidup
berdampingan

dengan

11

etnis

lainnya.

Walaupun

memiliki keanekaragaman dari segi etnis dan agama, di


tanah Alas tidak pernah terjadi konflik antar penduduk
yang diakibatkan oleh perbedaan tersebut. Inilah yang
membuat wilayah perbukitan di daerah Aceh Tenggara
terkesan damai dan asri heterogen.
Keheterogenan kehidupan di tanah Alas kemudian
menjadi keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Aceh
Tenggara,

membuat

kehidupan

setiap

elemen

masyarakatnya sangat berwarna dan bervariasi. Setiap


unsur masyarakat yang berbeda kebudayaan saling
berbaur

dan

saling

mempengaruhi

antara

satu

kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.


Hukum adat Aceh pun bercorak sederhana bisa
dilihat dari aturan-aturan adat yang tidak rumit dan
sesuai dengan etis-etis yang ada di Aceh.
6. Dapat berubah dan Menyesuaikan
Artinya hukum adat bersifat dinamis / tidak statis.
Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh
berkembang seperti hidup itu sendiri.
Masyarakat Aceh selalu berada dalam proses
perubahan yang terus menerus. Kondisi masyarakatnya
tidak pernah statis dan diam di satu kondisi tenang yang
sebenarnya. Begitu juga dengan hukum adatnya yang
memiliki corak dinamis.
20

7. Tidak dikodifikasi
Artinya hukum adat sebagian besar tidak tertulis
(non statutair), hukum adat tidak dihimpun dalam suatu
atau beberapa kitab UU menurut sistem tertentu,
sebagaimana halnya dengan hukum yang berasal dari
eropa barat. Hampir semua hukum adat di aceh tidak
tertulis contohnya yaitu adat ketika seorang istri hamil
hingga anaknya menikah semua diatur dalam hukum
adat aceh yang tidak tertulis namun tetap dilaksanakan
dan menjadi hal yang harus dilaksanakan.
Berikut adat istiadat seorang istri yang hamil
hingga anaknya menikah yaitu:
Upacara (keumaweuh) ketika seorang istri hamil
setelah 7 bulan
Kelahiran bayi
Upacara adat peucicap
Peusijuek Dapu dan peutron aneuk (pada hari ke

44 setelah bayi dilahirkan yaitu setelah madeueng)


Peutron aneuk
Menyerahkan anak ketempat pengajian
Upacara sunat Rasul (khitan)
Pertunangan menjelang pernikahan
Ba ranub kong haba
Upacara adat perkawinan
Mampleue (mempelai) woe linto
Upacara sesudah mampleue (Upacara Petujoh)
Tueng Dara Baro
Selain adat istiadatnya yang tidak dikodifikasi juga

pada budayanya seperti contohnya, seorang perempuan


yang pulang malam lebih dari jam 9 malam dan diantar
oleh seorang laki-laki maka terdapat sanksi didalamnya
21

berupa

omongan

atau

cemoohan

dari

masyarakat

setempat walaupun tidak tertulis namun sudah menjadi


norma.

8. Musyawarah dan Mufakat


Artinya untuk memulai dan mengakhiri pekerjaan.
Sebagai sarana penyelesaian perselisihan / sengketa
berdasarkan asas rukun. [M. koesnoe]. Dilakukan
secara rukun dan damai serta saling memaafkan.
Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan
peranan lembaga adat seperti terlihat di Gampng Bar
. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai,
namun tsunami menelan kampung mereka. Berkat
kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku
adat di kampungnya, masyarakat Gampng Bar
sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru,
yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.
Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya,
sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian
bantuan

pun

masyarakat

percaya

penuh

kepada

lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai musyawarah


dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi
dalam pengambilan keputusan.
Sebuah kasus pernah terjadi di tahun 1979. Ketika
itu desa Lam Puuk selisih paham dengan desa Lam
Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama
desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat
oleh Imum Mukim dengan melakukan musyawarah

22

mufakat. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat


yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku.
Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan
masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat
diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh
pihak luar.

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
23

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang


memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam
bentuk Hukum adatnya. Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat
istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai
keislaman. Contoh ragam hias.
Fenomena syariat Islam di Aceh hari ini cendrung
mengarah kepada pendistorsian syariat itu sendiri. Di satu sisi
budaya

masyarakat

Aceh

adalah

budaya

yang

sangat

mendukung pelaksanaan syariat Islam, tapi pada prosesnya


mengalami hambatan di tingkatan atas, yaitu elite-elite politik
yang

cenderung

komoditas

politik

menjadikan
yang

syariat

Islam

berorientasi

itu

pada

sebagai

kekuasaan.

Indikasinya ditandai dengan lambannya proses pembuatan


kanun-kanun (UU).
Hukum adat pada dasarnya adat istiadat itu sendiri yang
tumbuh

dan

berkembang

disuatu

daerah,

sehingga

munculnya suatu budaya yang menjadi identitas daerah


tersebut

dan

dilakukan

secara

turun

temurun

hingga

sekarang, begitulah dengan suku aceh yang hukum adatnya


masih dipertahankan hingga sekarang.

3.2 Saran

Kita

sebagai

mahluk

hidup

bermasyarakat

perlu

memahami arti kebudayaan, karena apabila kita memahami


arti

kebudayaan,

maka

kita
24

akan

mudah

untuk

megembangkan budaya yang ada di daerah kita. Bersama,


kita membangun masa depan yang lebih baik bagi Aceh dan
wilayah Indonesia lainnya.
Budaya lokal yang beraneka ragam merupakan warisan
budaya yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya
sedikit mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras
untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh
naif jika kita yang memiliki banyak warisan budaya lokal
lantas mengabaikan pelestariannya demi menggapai burung
terbang sementara punai di tangan dilepaskan.
Maka dari itu kita harus memahami faham tentang adat
dan budaya kita. Kita juga harus memahami seberapa penting
adat, budaya

bagi kehidupan masyarakat, guna tercapai

hidup yang lebih baik, sebagaimana orang-orang sebelum kita


kita menjaga adat budaya, maka dari itu marilah sama-sana
kita menjaganya.

25

DAFTAR PUSTAKA

http://www.flexmedia.co.id/hukum-adat-aceh/
http://www.tamanmini.com/budaya/BSuku/283228962124/Suk
u-Bangsa-Aceh
http://leser-aceh.blogspot.com
http://www.tamanmini.com/budaya/BUpacara/323131613123/
Upacara-adat-di-Aceh
http://destririfhani.blogspot.com/2011/03/adat-dan-budayaaceh.html

26

Anda mungkin juga menyukai