Penullis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
kemudian dikenal sebagai“kubo-affair” itu, gemparlah seluruh pers di Indonesia. Pers Belanda
paling santer menyiarkan peristiwa itu dan berulang kali mengingatkan adanya bahaya kuning
yang akan datang dari Utara. Sementara itu pers Tionghoa-Melayu sikapnya terpecah, sebab,
kala itu ada yang menganut faham pro Chiang Kai Shek, dan ada pula yang diam-diam yang
memang pro Jepang.
Sedangkan pers Indonesia sebagian besar menyuguhkan berita “kubo affair” secara apa
adanya. Usaha Jepang untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia dengan media massa tidak
terhenti sampai di situ saja. Beberapa waktu sebelum Perang Pasifik pecah, dari Tokyo
dengan gencar dan teratur tiap petang diadakan siaran radio. Yang menjadi penyiarnya adalah
Jusuf Hassan; dan tiap kali sebelum penyiaran, dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Begitu
pula setelah perang Pasifik pecah, sering di daerah Surakarta dan Yogyakarta disebarkan
selebaran-selebaran, mengajak rakyat berontak terhadap pemerintah Belanda, karena saatnya
kini sudah tiba. Yaitu dengan kedatangan pasukan Jepang, sesuai dengan bunyi Ramalan\\
Jayabaya. Hanya saja dalam surat selebaran itu tidak disebutkan, bahwa “orang cebol
kepalang berkulit kuning itu hanya seumur jagung diam di Nusantara untuk kemudian pulang
ke asalnya kembali”.
Setelah Jepang berhasil menaklukkan pasukan Belanda di Kalijati, 8 Pebruari 1942, langkah
pertama yang dilakukan dalam bidang media massa ialah membiarkan buat sementara
penerbitan suratkabar-suratkabar, baik yang berbahasa Belanda, Tionghoa-Melayu, Indonesia
maupun yang berbahasa daerah. Tidak terlalu lama kemudian, pemerintah (militer) Jepang
berhubung dengan pengumuman atau penerangan, baik yang berupa penerbitan setiap hari,
setiap minggu, setiap bulan maupun penerbitan dengan tidak tertentu waktunya, kecuali oleh
badan-badan yang sudah mendapat izin”. Maka tutuplah semua penerbitan yang sudah ada.
Koran yang dibenarkan terbit paling awal di Jawa ialah Asia Raya dengan Pemimpin Umum
R. Soekardjo Wirjopranoto dan R.M. Winarno Hendronoto sebagai Pemimpin Redaksinya.
Baru kemudian menyusul koran-koran lainnya, seperti Suara Asia (Surabaya) dengan R.
Toekoel Soerohadinoto sebagai Pemimpin Umum dan R. Abdulwahab Surowirono selaku
Pemimpin Redaksi; Sinar Baru (Semarang) di bawah asuhan Abdulgafar Ismail dan Dr.
Buntaran Martoatmodjo sebagai Pemimpin Umum. Kemudian keduanya digantikan oleh
Parada Harahap; Sinar Matahari (Yogya) dengan R. Rudjito (Pemimpin Umum) dan R.M.
Gondoyuwono (Pemimpin Redaksi); dan Tjahaja (Bandung) dengan Otto Iskandardinata
sebagai Pemimpin Umum dan A. Hamid sebagai Pemimpin Redaksi. Sementara itu Antara
masih dibenarkan beroperasi, tetapi namanya diganti dengan Yashima, yang kemudian diganti
lagi menjadi Domei Bagian Indonesia. Selain nama-nama tadi, sejumlah wartawan lainnya
yang dibenarkan mengelola suratkabar ialah Adinegoro (Kita Sumatora Shimbun di Medan),
Abdul Wahid (Atjeh Shimbun, Kotaraja), Madjid Usman (Padang Nippo, Padang), Nungtjik
(Palembang Shimbun, Palembang), A.A. Hamidhan (Borneo Shimbun, Banjarmasin), Manai
Sophian (Pewarta Serebesu, Makasar), O.H. Pantauw (Menado Shimbun), R.R. Paath (Borneo
Barat Shimbun, Pontianak), Pattimaipau (Sinar Matahari, Ambon) dan Tjokorde Ngurah (Bali
Shimbun, Den Pasar).
Tidak semua koran terbit tiap hari tetapi ada yang hanya dua atau tiga kali tiap minggu. Pada
tiap redaksi selalu ada orang Jepangnya yang menjadi Shidokan atau Pemimpin Umum.
Kaum wartawannya digiring ke dalam Jawa Shimbunsha Kai (Perhimpunan Wartawan Jawa),
kaum senimannya dihimpun dalam Keimin Bunka Shidoosho. Diterbitkanlah triwulanan
Keboedajaan Timoer dan juga berkala Panggung Giat Gembira yang memuat kisah-kisah
garapan Barisan Propaganda untuk dipentaskan di atas panggung sandiwara.
Juga Badan Pembantu Perjurit mempunyai berkalanya sendiri yaitu Pradjoerit, diasuh
Madikin Wonohito dan Itjiki sebagai Pengawasnya. Ada pula Djawa Baroe yang terbit dalam
bahasa Indonesia diselingi bahasa Jepang dengan huruf Honji dan Katakana. Untuk kaum
peranakan Cina di Jawa disediakan Kung Yung Pao, dengan Oei Tiang Tjoei sebaga
Pemimpin Umum dan Soema Tjoe Sing sebagai Pemimpin Redaksi. Oei Tiang Tjoei (yang
kemudian berganti nama menjadi Permana) sebelum Jepang datang mengemudikan Hong Po,
dan di jaman pendudukan Jepang diangkat menjadi anggota Chuo Sangi- In (Dewan
Pertimbangan Pusat) oleh pemerintah. Majalah Pandji Pustaka yang sejak penjajahan Belanda
diterbitkan Balai Pustaka tetap dibenarkan terbit; mula-mula mingguan baru kemudian dwi
mingguan. Ini disebabkan untuk menghemat kertas, mengingat di zaman perang tidak ada
impor kertas. Dalam perkembangannya, Pandji Pustaka juga dilikuidasi dan sebagai gantinya
terbit Indonesia Merdeka, yang penerbitannya diusahakan oleh Jawa Hookoo Kai (Himpunan
Kebaktian Rakyat Jawa) sampai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pengasuh Pandji
Pustaka berganti-ganti, dari Koesoema St. Pamuntjak, Armijn Pane, dan akhirnya W.J.S.
Poerwodarminto. Sedangkan Indonesia Merdeka yang terbit hanya sekitar empat bulan saja,
diasuh oleh Andjar Soebijanto.
Sementara itu untuk bacaan rakyat di desa-desa yang masyarakatnya sebagian besar belum
atau tidak menguasai bahasa Indonesia, diterbitkan lembaran koran untuk tiap keresidenan.
Bahasanya bahasa daerah (Sunda, Jawa, Madura). Edisi Sunda diawasi Anwar
Tjokroaminoto, sedangkan edisi Jawa dan Madura diawasi Imam Soepardi. Kedudukan
Hoodoohan (bagian sensor) yang dibagi dalam dua bagian sangat penting. Bagian Penyiaran
yang mengurus penyiaran-penyiaran pemerintah dipimpin T. Itjiki dan Syamsuddin Sutan
Makmur. Bagian sensor, penilikan atas isi suratkabar, majalah, buku dan lain sebagainya,
dipimpin Oejehara dan Mr. Elkana Tobing. Selain itu juga diadakan Peraturan Pemerintah
tentang pelayanan terhadap wartawan terdiri dari 11 pasal. Pasal pertama menyebutkan,
semua pegawai suratkabar, termasuk pegawai Tata Usaha, kecuali pegawai rendahan tidak
terhitung, disebut wartawan. Juga disebutkan, bahwa wartawan ada di bawah penilikan
pegawai-pegawai pemerintah daerah masing-masing.
Pasal 8 dan 9 menetapkan hukuman bagi para wartawan jika melanggar maksud pemerintah.
Kewajiban wartawan ialah semata-mata menyokong usaha pemerintah, Jika ada wartawan
yang merintangi pekerjaan pemerintah, maka akan diambil sikap yang sekeras-kerasnya.
Terjadi peristiwa penangkapan atas sejumlah wartawan. Korban pertama adalah Mr.
Sumanang karena membiarkan korannya (Pemandangan) memuat gambar Tenno Heika kaisar
Jepang tertutup oleh bulatan hinomaru (bendera Jepang). Juga Mohammad Tabrani ditangkap,
karena di zaman Belanda dianggap menghasut R.H. Oned Djoenaedi agar tidak menjual
Percetakan Pemandangan kepada pihak Jepang untuk menerbitkan suratkabamya. Juga R.M.
Winarno Hendronoto ditangkap karena memasang bendera merah-putih di depan mobilnya.
Sedangkan di Malang, Jawa Timur, wartawan Domei bernama Koesen dibunuh Kenpei
dengan tuduhan mendengarkan siaran radio musuh. Ada yang berkisah, karena dia
menyembunyikan orang yang kebetulan sedang dicari Jepang.
Begitu pula di Kalimantan, sejumlah wartawan menjadi korban keganasan penjajah Jepang.
Wartawan Anomputra di Kalimantan Barat dihukum mati dengan tuduhan mengadakan
gerakan dibawah tanah untuk menumbangkan pemerintah yang sah. Korban lainnya adalah
Housman Babou, M. Hohman, Anang Acil dan Amir Bondan, semuanya di Banjarmasin.
Sedangkan Smits, pemimpin Borneo Post dipenggal kepalanya dan jenazahnya dibuang ke
sungai Martapura, ketika Jepang untuk kali pertama menduduki Banjarmasin.
Pada zaman ini pula, perusahaan-perusahaan suratkabar tergabung dalam Jawa Shimbun
Kisha (Penerbit Suratkabar Jawa). Secara bergantian kaum wartawan dari berbagai kota
dikumpulkan di Jakarta, untuk mendapat latihan Semangat Nippon sekaligus baris berbaris.
Lama latihan sebulan, tetapi belum begitu lama pelatihan itu berlangsung, Indonesia merdeka.
Kala itu bukan saja semua apa yang akan dicetak (termasuk iklan) terlebih dahulu harus
diperiksa Hoodoohan (Badan Sensor), tetapi juga oplaag-nya pun ditentukan oleh penguasa.
Penduduk seluruh Indonesia di masa itu diperkirakan 60 juta, 30 juta di antaranya diam di
Jawa. Untuk jumlah sekian itu, oplaag atau banyaknya penerbitan bersama dari semua
suratkabar suratkabar (di Jawa) tidak boleh melebihi 80.000. Sedangkan majalah mingguan
keresidenan masing-masing tidak boleh melebihi 5.000 lembar.
Di samping kekejaman dan pengekangan mengutarakan pendapat di zaman Jepang kaum
wartawan Indonesia mendapat kesempatan meraih sesuatu yang positif. Satu di antaranya
ialah pengenalan alat-alat modern, terutama dalam bidang cetak mencetak. Di zaman Belanda,
biasanya percetakan tempat mencetak suratkabar Indonesia masih mempergunakan handset.
Huruf demi huruf harus disusun, dan kata demi kata untuk selanjutnya menjadi kalimat. Satu
atau dua alinea dari gabungan huruf itu lalu diikat, diberi tinta di atasnya untuk menjadi
proefdruk, contoh pencetakan untuk dikoreksi. Bila pencetakan selesai, maka huruf-huruf tadi
dikembalikan ke tempat semula, untuk dipergunakan keesokan harinya bila hendak mencetak
lagi.
Di zaman Jepang, koran-koran bisa menggunakan mesin dan percetakan yang semula dipakai
oleh koran-koran Belanda, yang tentunya jauh lebih modern dan lebih canggih. Selain itu, di
zaman Jepang koran-koran harus menggunakan bahasa Indonesia umum, dan dilarang
menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa atau bahasa Indonesia yang tidak lazim.
Perkembangan bahasa Indonesia di zaman Jepang memang bagus dan menggembirakan.
Dalam hal ini kaum wartawan Indonesia secara tidak langsun membantu memberi jasa.
Sejumlah kaum intelek Indonesia dan Cina yang di zaman Belanda suka membaca koran
Belanda dan suka berbahasa Belanda (juga di kalangan keluarga sendiri) terpaksa membaca
koran dan majalah bahasa Indonesia.
Juga di zaman Jepang, kaum wartawan Indonesia meskipun secara lahiriah terhambat
mengutarakan rasa pirasa hati serta pikiran, namun dalam kenyataannya mereka masih selalu
mampu menyebarluaskan semangat kebangsaan, semangat untuk hidup merdeka dan mandiri,
tidak dijajah oleh bangsa asing.
Anwar Tjokroaminoto yang lebih dikenal dengan nama samarannya Bang Bedjat sebagai
penjaga pojok Asia Raya pernah menurunkan tulisan lebih kurang begini: “Awalan ‘se’ itu ada
yang mengartikan ‘satu’. Jangan ditafsirkan neka-neka, bila ada yang bilang Nippon-
Konon, karena tulisan pojoknya itu Bang Bedjat kemudian tidak dibenarkan mengemudikan
Asia Raya lagi, dan kedudukannya digantikan orang lain. Indonesia sudah merdeka, tetapi
Jepang masih berkuasa. Pada awal September 1945 terbitlah “koran gelap” yang banyak
Amran, Soeardi Tasrif dan Anas Ma’roef. oharmnad Syaaf, Roesli Amran, Soeardi Tasrif dan
Anas Ma’roef.
Sementara itu komunitas Arab pada waktu yang sama juga memiliki persnya sendiri, namun
tidak begitu menonjol sehingga kurang mendapat perhatian khalayak. Oplaag-nya pun tidak
besar dan isinya terutama mengenai soal-soal yang menyangkut keagamaan.
Pada masa-masa awal penerbitan pribumi banyak memuat hal-hal yang mengenai
kebudayaan, agama, hiburan dan sedikit perdagangan. Pada 1855 di Surakarta diterbitkan
Bromartani, mingguan berbahasa Jawa, diembani Carel Frederick Winter jurubahasa
dikeraton Solo, dan juga Poespitomantjawarna yang diasuh oleh Winter Jr. Kedua-duanya
ditulis dalam bahasa Jawa halus (kromo). Kemudian menyusul Djoeroemartani yang
diusahakan Groot Kolff & Co. yang beberapa tahun kemudian atas perintah Sri Sunan
namanya diubah menjadi Bromartani, nama seperti yang pernah diterbitkan oleh juru bahasa
keraton yang kala itu sudah wafat. Begitulah kemudian di berbagai tempat bermunculan
penerbitan pribumi lainnya, sebagian diusahakan Zending (golongan Protestan), juga oleh
kalangan nonpri dan kemudian sejalan dengan perkembangan zaman, oleh orang-orang
Indonesia sendiri; terutama setelah timbulnya organisasi dan perkumpulan-perkumpulan
politik maupun sosial atau keagamaan.
Sebagai pelopor disebut-sebut Dr. Abdul Rivai dan Dr. Wahidin Sudirohusodo. Dr. Rivai
selama belajar di Eropa, selalu mengirim tulisan untuk Bintang Hindia dan kemudian di
Bintang Timur. Dialah wartawan Indonesia pertama yang menulis artikel- artikel dari luar
negeri. Isi tulisannya sering menghantam kebijaksanaan Pemerintah yang dianggap banyak
merugikan rakyat. Dan juga menganjurkan bangsanya agar suka menuntut ilmu seperti orang
Eropa.
Sedangkan Dr. Wahidin dikenal sebagai “pemberi nama” kepada organisasi yang didirikan
Soetomo dan kawan-kawan, Boedi Oetomo. Dia memimpin Retnodoemilah sejak 1900 yang
semula didirikan dan diasuh oleh F.L. Winter, penerbitannya dalam bahasa Melayu dan
bahasa Jawa Ada pula yang menyebutkan, bahwa sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia adalah
Landjumin Datuk Temenggung, yang mengemudikan majalah Tjahaja Hindia dan kemudian
suratkabar Neratja.
Menurut ukuran zamannya, Neratja merupakan suratkabar yang cukup modern; karena, selain
merupakan suratkabar milik bangsa Indonesia asli, juga yang mulai memuat gambar-gambar
foto, dengan tata muka yang sudah meninggalkan tatacara lama. Hal yang sangat langka pada
masa itu.
Ada pula yang mengatakan, bahwa Datuk Sutan Maharadja pengasuh Utusan Melayu
(Padang), yang terbit 3 x seminggu, layak dianggap Bapak Jurnalistik, setidak-tidaknya untuk
wilayah Sumatera.Yang jelas, atas bantuan Datuk Sutan Maharadjalah maka bisa diterbitkan
Sunting Melaju, terbit sekali seminggu yang membawa tenar nama pengasuhnya, Rohana
Kuddus (lihat ema Rohana Kuddus) dan Ratna Djuita sebaga redaktris. Rohana Kuddus boleh
disebut sebagai wartawati pertama Indonesia dan namanya bisa dijajarkan dengan R.A.
Kartini di Jawa atau Dewi Sartika (di daerah Priangan).
Di samping artikel-artikel biasa Sunting Melaju yang mempunyai moto “Suratkabar untuk
kaum wanita Minangkabau” itu juga memuat sejarah, biografi, syair-syair dan iklan. Menarik
juga bahwa sebagian besar dari penulis karangan untuk Sunting Melayu terdiri dari kaum
perempuan juga, yang diam di sekitar kota Padang.
Kaum Zending sebelum itu sudah mempunyai medianya. Biang Lala yang diasuh oleh guru/
pendeta Stefanus Sandiman terbit pada 1867, disusul Bintang Djohar (1873) dan lebih kurang
pada waktu yang bersamaan terbitlah di Menado Tjahaja Siang yang kuat bertahan hingga
1927. Pers Indonesia boleh dikatakan mulai berkembang setelah kaum elit Indonesia merasa
memerlukan alat komunikasi, terutama sebagai akibat bertambahnya sekolah-sekolah baik
yang dibuka pemerintah maupun oleh bangsa Indonesia sendiri. Terutama lagi setelah
berdirinya berbagai perkumpulan dan organisasi, yang kemudian merasa masing-masing
memerlukan alat propaganda atau corongnya sendiri. Empat organisasi dan partai politik
Indonesia yang memegang peranan dalam perkembangan pers Indonesia adalah Boedi Otomo,
Sarekat Islam, de Indische Partij dan PKI.
Setelah dua tahun berdiri Boedi Oetomo berhasil mempunyai organ yakni Darmo Kondho
yang baru pada 1926 menjadi koran suratkabar. Mula-mula dianggap bersuara lunak,
kemudian dinilai agak keras. Tenaga yang mengasuhnya berganti-ganti, satu di antaranya
adalah Raden Mas Soedarjo Tjokrosisworo, wartawan terkemuka di zamannya. Dalam
perkembangannya, Darmo Kondho terbit dalam dua edisi; edisi Jawa dan edisi Indonesia,
masing-masing bernama Pustaka Warti dan Pewarta Oemoem. Setelah Boedi Oetomo fusi
dengan Partai Bangsa Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra), semua suratkabar
yang diasuhnya diberi nama “Oemoem”. Di Surabaya ada Soeara Oemoem, di Solo ada
3.1 Kesimpulan
Hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-
fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan
informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian,
bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak
langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan
sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai
media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam
menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.
3.2 Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang
disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada
pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi lebih
berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.