Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur dengan tulus saya ucapkan kehadiran Allah SWT, karena berkat Taufik
dan hidayahnya, makalah Perkembangan Pers tentang Pers Jepang bisa hadir ditengah-tengah
kita semua.
Namun demikian, disadari bahwa sungguhpun makalah ini telah mengalami revisi dan
penambahan, didalamnya masih banyak kekurangan.
Kekurangan ini akan diupayakan untuk terus disempurnakan sesuai kemampuan
penulis. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnakan buku ini akan
disambut dengan senang hati.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Pulosari, 11Februari 2018

Penullis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

PERKEMBANGAN PERS DI MASA


PENJAJAHAN JEPANG
Jepang menduduki Indonesia kurang lebih 3.5 tahun. Untuk meraih simpati rakyat Indonesia,
Jepang melakukan propaganda tentang Asia Timur Raya. Namun, propaganda itu hanyalah
demi kejayaan Jepang belaka. Sebagai konsekuensinya, seluruh sembur daya Indonesia
diarahkan untuk kepentingan Jepang. Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi
alat pemerintahan Jepang dan sifat pro-Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu,
antara lain:
1. Asia Raya di Jakarta.
2. Sinar Baru di Semarang.
3. Suara Asia di Surabaya.
4. Tjahaya di Bandung.
Pers nasional masa pendudukan Jepang memang mengalami penderitaan dan pengekangan
kebebasan yang lebih daripada zaman Belanda. Namun, ada beberapa keuntungan yang
didapat oleh para wartawan atau insan pers di indonesia yang bekerja pada penerbitan Jepang,
antara lain sebagai berikut:
1. Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat
yang digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers zaman Belanda. Para karyawan pers
mendapatkan pengalaman banyak dalam menggunakan berbagai fasilitas tersebut.
2. Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin seering dan luas. Penjajah Jepang
berusaha menghapus bahasa Belanda dengan kebijakan menggunakan bahasa Indonesia dalam
berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membantuk perkembangan bahasa Indonesia yang
nantinya juga menjadi bahasa nasional.
3. Adanya pengajaran untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh
sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa
pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk
melawan penjajah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada masa pendudukan Jepang sebagian kaum wartawan Tionghoa-Melayu diantaranya Nio
Yoe Lan (Sin Po) dan Injo Beng Goat (Keng Po) dimasukkan ke dalam kamp tahanan,
bersama sejumlah anggota Volksraad, kaum intelektual dan juga sejumlah kaum usahawan
keturunan Cina lainnya. Yang berhasil lolos adalah Kwee Kek Beng (Sin Po) yang selama
pendudukan Jepang bersembunyi di suatu tempat yang justru letaknya tidak jauh dari kantor
Kenpei (polisi militer Jepang) di Bandung, sampai kalahnya Jepang.
Sementara itu pihak Jepang sendiri sudah mempunyai koran yaitu Tjahaja Selatan atas usaha
Yanagi di Surabaya, dengan redakturnya orang Indonesia, Raden Mas Bintartie. Pernah juga
diterbitkan majalah Bende dengan modal Jepang pula, tetapi tidak berusia lama. Yang agak
berhasil ialah suratkabar Sinar Selatan (Semarang) yang dipimpin Itami Hiraki, mantan
pegawai R. Ogawa, seorang pengusaha toko obat. Kedudukannya kemudian digantikan
Mashoed Hardjokoesoemo.
Dan ini berjalan hingga pasukan Jepang masuk ke Jawa (1942). Yang lebih terkenal ialah S.
Kubo yang berusaha mendirikan suratkabar dengan modal Jepang; tetapi dalam
perkembangannya justru gagal, dengan mengikutkan dua orang wartawan Indonesia
terkemuka di zamannya, yaitu Saeroen dan Soediono Djojopranoto. Semula S. Kubo bersama
rekannya telah berhasil menerbitkan suratkabar berbahasa Jepang, Java Nippo. Sewaktu
timbul sengketa internal maka S. Kubo mendirikan suratkabar sendiri bernama Nichiran
Sogyo Shimbun, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tohindo Nippo. Pemerintah
Hindia Belanda mencium bahwa Kubo berniat juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa
Indonesia, di samping usahanya yang sudah berhasil, menerbitkan suratkabar Cina dengan
huruf Cina yang mempergunakan tenaga redaktur Cina. Usaha Kubo hendak diperluas,
mengusahakan penerbitan Indonesia dengan tenaga Indonesia pula. Yang dihubungi adalah
Saeroen. Antara keduanya kemudian tercapai persetujuan bahwa yang bergerak Saeroen dan
yang memodali pihak Jepang. Maka dibelilah percetakan Tjahaja Pasundan milik Sasmita.
Untuk menghilangkan kecurigaan pihak pemerintah (Hindia Belanda), maka Sasmita pun
dibenarkan tetap menjadi pemimpin percetakan itu. Dicarilah tenaga redaksi yang
dipercayakan kepada Soediono Djojopranoto; sedangkan korannya diberi nama Warta
Suratkabar yang berkantor di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Selang beberapa waktu kemudian S.Kubo mendapat kabar, bahwa proses pembelian
percetakan kurang beres, karena masih ada kekurangan pembayaran, meskipun kepada
Saeroen telah diberikan uang seluruhnya. S. Kubo kemudian minta nasehat kepada atasannya
yang ternyata adalah salah satu cabang atau bagian dari Kementerian Luar Negeri Jepang.
Kepada Kubo dianjurkan agar melapor kepada Kejaksaan Tinggi Hindia Belanda. Dengan
adanya laporan Kubo itu maka usaha pemerintah mengusut liku-liku Jepang dalam usaha
berpropaganda melalui pers di Indonesia mendapat jalan. Dalam perkembangannya, Saeroen
ditahan, kemudian dijatuhi hukuman karena terbukti kesalahannya. Dengan adanya apa yang

kemudian dikenal sebagai“kubo-affair” itu, gemparlah seluruh pers di Indonesia. Pers Belanda

paling santer menyiarkan peristiwa itu dan berulang kali mengingatkan adanya bahaya kuning
yang akan datang dari Utara. Sementara itu pers Tionghoa-Melayu sikapnya terpecah, sebab,
kala itu ada yang menganut faham pro Chiang Kai Shek, dan ada pula yang diam-diam yang
memang pro Jepang.

Sedangkan pers Indonesia sebagian besar menyuguhkan berita “kubo affair” secara apa

adanya. Usaha Jepang untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia dengan media massa tidak
terhenti sampai di situ saja. Beberapa waktu sebelum Perang Pasifik pecah, dari Tokyo
dengan gencar dan teratur tiap petang diadakan siaran radio. Yang menjadi penyiarnya adalah
Jusuf Hassan; dan tiap kali sebelum penyiaran, dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Begitu
pula setelah perang Pasifik pecah, sering di daerah Surakarta dan Yogyakarta disebarkan
selebaran-selebaran, mengajak rakyat berontak terhadap pemerintah Belanda, karena saatnya
kini sudah tiba. Yaitu dengan kedatangan pasukan Jepang, sesuai dengan bunyi Ramalan\\

Jayabaya. Hanya saja dalam surat selebaran itu tidak disebutkan, bahwa “orang cebol

kepalang berkulit kuning itu hanya seumur jagung diam di Nusantara untuk kemudian pulang

ke asalnya kembali”.

Setelah Jepang berhasil menaklukkan pasukan Belanda di Kalijati, 8 Pebruari 1942, langkah
pertama yang dilakukan dalam bidang media massa ialah membiarkan buat sementara
penerbitan suratkabar-suratkabar, baik yang berbahasa Belanda, Tionghoa-Melayu, Indonesia
maupun yang berbahasa daerah. Tidak terlalu lama kemudian, pemerintah (militer) Jepang

mengeluarkan pengumuman yang intinya“terlarang menerbitkan barang cetakan yang

berhubung dengan pengumuman atau penerangan, baik yang berupa penerbitan setiap hari,
setiap minggu, setiap bulan maupun penerbitan dengan tidak tertentu waktunya, kecuali oleh

badan-badan yang sudah mendapat izin”. Maka tutuplah semua penerbitan yang sudah ada.

Koran yang dibenarkan terbit paling awal di Jawa ialah Asia Raya dengan Pemimpin Umum
R. Soekardjo Wirjopranoto dan R.M. Winarno Hendronoto sebagai Pemimpin Redaksinya.
Baru kemudian menyusul koran-koran lainnya, seperti Suara Asia (Surabaya) dengan R.
Toekoel Soerohadinoto sebagai Pemimpin Umum dan R. Abdulwahab Surowirono selaku
Pemimpin Redaksi; Sinar Baru (Semarang) di bawah asuhan Abdulgafar Ismail dan Dr.
Buntaran Martoatmodjo sebagai Pemimpin Umum. Kemudian keduanya digantikan oleh
Parada Harahap; Sinar Matahari (Yogya) dengan R. Rudjito (Pemimpin Umum) dan R.M.
Gondoyuwono (Pemimpin Redaksi); dan Tjahaja (Bandung) dengan Otto Iskandardinata
sebagai Pemimpin Umum dan A. Hamid sebagai Pemimpin Redaksi. Sementara itu Antara
masih dibenarkan beroperasi, tetapi namanya diganti dengan Yashima, yang kemudian diganti
lagi menjadi Domei Bagian Indonesia. Selain nama-nama tadi, sejumlah wartawan lainnya
yang dibenarkan mengelola suratkabar ialah Adinegoro (Kita Sumatora Shimbun di Medan),
Abdul Wahid (Atjeh Shimbun, Kotaraja), Madjid Usman (Padang Nippo, Padang), Nungtjik
(Palembang Shimbun, Palembang), A.A. Hamidhan (Borneo Shimbun, Banjarmasin), Manai
Sophian (Pewarta Serebesu, Makasar), O.H. Pantauw (Menado Shimbun), R.R. Paath (Borneo
Barat Shimbun, Pontianak), Pattimaipau (Sinar Matahari, Ambon) dan Tjokorde Ngurah (Bali
Shimbun, Den Pasar).
Tidak semua koran terbit tiap hari tetapi ada yang hanya dua atau tiga kali tiap minggu. Pada
tiap redaksi selalu ada orang Jepangnya yang menjadi Shidokan atau Pemimpin Umum.
Kaum wartawannya digiring ke dalam Jawa Shimbunsha Kai (Perhimpunan Wartawan Jawa),
kaum senimannya dihimpun dalam Keimin Bunka Shidoosho. Diterbitkanlah triwulanan
Keboedajaan Timoer dan juga berkala Panggung Giat Gembira yang memuat kisah-kisah
garapan Barisan Propaganda untuk dipentaskan di atas panggung sandiwara.
Juga Badan Pembantu Perjurit mempunyai berkalanya sendiri yaitu Pradjoerit, diasuh
Madikin Wonohito dan Itjiki sebagai Pengawasnya. Ada pula Djawa Baroe yang terbit dalam
bahasa Indonesia diselingi bahasa Jepang dengan huruf Honji dan Katakana. Untuk kaum
peranakan Cina di Jawa disediakan Kung Yung Pao, dengan Oei Tiang Tjoei sebaga
Pemimpin Umum dan Soema Tjoe Sing sebagai Pemimpin Redaksi. Oei Tiang Tjoei (yang
kemudian berganti nama menjadi Permana) sebelum Jepang datang mengemudikan Hong Po,
dan di jaman pendudukan Jepang diangkat menjadi anggota Chuo Sangi- In (Dewan
Pertimbangan Pusat) oleh pemerintah. Majalah Pandji Pustaka yang sejak penjajahan Belanda
diterbitkan Balai Pustaka tetap dibenarkan terbit; mula-mula mingguan baru kemudian dwi
mingguan. Ini disebabkan untuk menghemat kertas, mengingat di zaman perang tidak ada
impor kertas. Dalam perkembangannya, Pandji Pustaka juga dilikuidasi dan sebagai gantinya
terbit Indonesia Merdeka, yang penerbitannya diusahakan oleh Jawa Hookoo Kai (Himpunan
Kebaktian Rakyat Jawa) sampai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pengasuh Pandji
Pustaka berganti-ganti, dari Koesoema St. Pamuntjak, Armijn Pane, dan akhirnya W.J.S.
Poerwodarminto. Sedangkan Indonesia Merdeka yang terbit hanya sekitar empat bulan saja,
diasuh oleh Andjar Soebijanto.
Sementara itu untuk bacaan rakyat di desa-desa yang masyarakatnya sebagian besar belum
atau tidak menguasai bahasa Indonesia, diterbitkan lembaran koran untuk tiap keresidenan.
Bahasanya bahasa daerah (Sunda, Jawa, Madura). Edisi Sunda diawasi Anwar
Tjokroaminoto, sedangkan edisi Jawa dan Madura diawasi Imam Soepardi. Kedudukan
Hoodoohan (bagian sensor) yang dibagi dalam dua bagian sangat penting. Bagian Penyiaran
yang mengurus penyiaran-penyiaran pemerintah dipimpin T. Itjiki dan Syamsuddin Sutan
Makmur. Bagian sensor, penilikan atas isi suratkabar, majalah, buku dan lain sebagainya,
dipimpin Oejehara dan Mr. Elkana Tobing. Selain itu juga diadakan Peraturan Pemerintah
tentang pelayanan terhadap wartawan terdiri dari 11 pasal. Pasal pertama menyebutkan,
semua pegawai suratkabar, termasuk pegawai Tata Usaha, kecuali pegawai rendahan tidak
terhitung, disebut wartawan. Juga disebutkan, bahwa wartawan ada di bawah penilikan
pegawai-pegawai pemerintah daerah masing-masing.
Pasal 8 dan 9 menetapkan hukuman bagi para wartawan jika melanggar maksud pemerintah.
Kewajiban wartawan ialah semata-mata menyokong usaha pemerintah, Jika ada wartawan
yang merintangi pekerjaan pemerintah, maka akan diambil sikap yang sekeras-kerasnya.
Terjadi peristiwa penangkapan atas sejumlah wartawan. Korban pertama adalah Mr.
Sumanang karena membiarkan korannya (Pemandangan) memuat gambar Tenno Heika kaisar
Jepang tertutup oleh bulatan hinomaru (bendera Jepang). Juga Mohammad Tabrani ditangkap,
karena di zaman Belanda dianggap menghasut R.H. Oned Djoenaedi agar tidak menjual
Percetakan Pemandangan kepada pihak Jepang untuk menerbitkan suratkabamya. Juga R.M.
Winarno Hendronoto ditangkap karena memasang bendera merah-putih di depan mobilnya.
Sedangkan di Malang, Jawa Timur, wartawan Domei bernama Koesen dibunuh Kenpei
dengan tuduhan mendengarkan siaran radio musuh. Ada yang berkisah, karena dia
menyembunyikan orang yang kebetulan sedang dicari Jepang.
Begitu pula di Kalimantan, sejumlah wartawan menjadi korban keganasan penjajah Jepang.
Wartawan Anomputra di Kalimantan Barat dihukum mati dengan tuduhan mengadakan
gerakan dibawah tanah untuk menumbangkan pemerintah yang sah. Korban lainnya adalah
Housman Babou, M. Hohman, Anang Acil dan Amir Bondan, semuanya di Banjarmasin.
Sedangkan Smits, pemimpin Borneo Post dipenggal kepalanya dan jenazahnya dibuang ke
sungai Martapura, ketika Jepang untuk kali pertama menduduki Banjarmasin.
Pada zaman ini pula, perusahaan-perusahaan suratkabar tergabung dalam Jawa Shimbun
Kisha (Penerbit Suratkabar Jawa). Secara bergantian kaum wartawan dari berbagai kota
dikumpulkan di Jakarta, untuk mendapat latihan Semangat Nippon sekaligus baris berbaris.
Lama latihan sebulan, tetapi belum begitu lama pelatihan itu berlangsung, Indonesia merdeka.
Kala itu bukan saja semua apa yang akan dicetak (termasuk iklan) terlebih dahulu harus
diperiksa Hoodoohan (Badan Sensor), tetapi juga oplaag-nya pun ditentukan oleh penguasa.
Penduduk seluruh Indonesia di masa itu diperkirakan 60 juta, 30 juta di antaranya diam di
Jawa. Untuk jumlah sekian itu, oplaag atau banyaknya penerbitan bersama dari semua
suratkabar suratkabar (di Jawa) tidak boleh melebihi 80.000. Sedangkan majalah mingguan
keresidenan masing-masing tidak boleh melebihi 5.000 lembar.
Di samping kekejaman dan pengekangan mengutarakan pendapat di zaman Jepang kaum
wartawan Indonesia mendapat kesempatan meraih sesuatu yang positif. Satu di antaranya
ialah pengenalan alat-alat modern, terutama dalam bidang cetak mencetak. Di zaman Belanda,
biasanya percetakan tempat mencetak suratkabar Indonesia masih mempergunakan handset.
Huruf demi huruf harus disusun, dan kata demi kata untuk selanjutnya menjadi kalimat. Satu
atau dua alinea dari gabungan huruf itu lalu diikat, diberi tinta di atasnya untuk menjadi
proefdruk, contoh pencetakan untuk dikoreksi. Bila pencetakan selesai, maka huruf-huruf tadi
dikembalikan ke tempat semula, untuk dipergunakan keesokan harinya bila hendak mencetak
lagi.
Di zaman Jepang, koran-koran bisa menggunakan mesin dan percetakan yang semula dipakai
oleh koran-koran Belanda, yang tentunya jauh lebih modern dan lebih canggih. Selain itu, di
zaman Jepang koran-koran harus menggunakan bahasa Indonesia umum, dan dilarang
menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa atau bahasa Indonesia yang tidak lazim.
Perkembangan bahasa Indonesia di zaman Jepang memang bagus dan menggembirakan.
Dalam hal ini kaum wartawan Indonesia secara tidak langsun membantu memberi jasa.
Sejumlah kaum intelek Indonesia dan Cina yang di zaman Belanda suka membaca koran
Belanda dan suka berbahasa Belanda (juga di kalangan keluarga sendiri) terpaksa membaca
koran dan majalah bahasa Indonesia.
Juga di zaman Jepang, kaum wartawan Indonesia meskipun secara lahiriah terhambat
mengutarakan rasa pirasa hati serta pikiran, namun dalam kenyataannya mereka masih selalu
mampu menyebarluaskan semangat kebangsaan, semangat untuk hidup merdeka dan mandiri,
tidak dijajah oleh bangsa asing.
Anwar Tjokroaminoto yang lebih dikenal dengan nama samarannya Bang Bedjat sebagai

penjaga pojok Asia Raya pernah menurunkan tulisan lebih kurang begini: “Awalan ‘se’ itu ada

yang mengartikan ‘satu’. Jangan ditafsirkan neka-neka, bila ada yang bilang Nippon-

Indonesia sehidup semati”.

Konon, karena tulisan pojoknya itu Bang Bedjat kemudian tidak dibenarkan mengemudikan
Asia Raya lagi, dan kedudukannya digantikan orang lain. Indonesia sudah merdeka, tetapi
Jepang masih berkuasa. Pada awal September 1945 terbitlah “koran gelap” yang banyak

ditempelkan di pohon- pohon di pinggir jalan atau di dinding-dinding gedung. Berita


Indonesia yang diusahakan oleh sejumlah mahasiswa dan pelajar sebagai imbangan dari
terbitnya Berita Gunseikanbu, koran Jepang yang khusus dicetak berisi pengumuman-
pengumuman pemerintah militer, setelah Jepang kalah perang. Dalam perkembangannya,
Berita Indonesia terbit terus, meskipun sering berganti pimpinan dan pemilik. Pemrakarsa
terbitnya Berita Indonesia disebut-sebut Soeraedi Tahsin, Sidi Moharmnad Syaaf, Roesli

Amran, Soeardi Tasrif dan Anas Ma’roef. oharmnad Syaaf, Roesli Amran, Soeardi Tasrif dan

Anas Ma’roef.

Sementara itu komunitas Arab pada waktu yang sama juga memiliki persnya sendiri, namun
tidak begitu menonjol sehingga kurang mendapat perhatian khalayak. Oplaag-nya pun tidak
besar dan isinya terutama mengenai soal-soal yang menyangkut keagamaan.
Pada masa-masa awal penerbitan pribumi banyak memuat hal-hal yang mengenai
kebudayaan, agama, hiburan dan sedikit perdagangan. Pada 1855 di Surakarta diterbitkan
Bromartani, mingguan berbahasa Jawa, diembani Carel Frederick Winter jurubahasa
dikeraton Solo, dan juga Poespitomantjawarna yang diasuh oleh Winter Jr. Kedua-duanya
ditulis dalam bahasa Jawa halus (kromo). Kemudian menyusul Djoeroemartani yang
diusahakan Groot Kolff & Co. yang beberapa tahun kemudian atas perintah Sri Sunan
namanya diubah menjadi Bromartani, nama seperti yang pernah diterbitkan oleh juru bahasa
keraton yang kala itu sudah wafat. Begitulah kemudian di berbagai tempat bermunculan
penerbitan pribumi lainnya, sebagian diusahakan Zending (golongan Protestan), juga oleh
kalangan nonpri dan kemudian sejalan dengan perkembangan zaman, oleh orang-orang
Indonesia sendiri; terutama setelah timbulnya organisasi dan perkumpulan-perkumpulan
politik maupun sosial atau keagamaan.
Sebagai pelopor disebut-sebut Dr. Abdul Rivai dan Dr. Wahidin Sudirohusodo. Dr. Rivai
selama belajar di Eropa, selalu mengirim tulisan untuk Bintang Hindia dan kemudian di
Bintang Timur. Dialah wartawan Indonesia pertama yang menulis artikel- artikel dari luar
negeri. Isi tulisannya sering menghantam kebijaksanaan Pemerintah yang dianggap banyak
merugikan rakyat. Dan juga menganjurkan bangsanya agar suka menuntut ilmu seperti orang
Eropa.

Sedangkan Dr. Wahidin dikenal sebagai “pemberi nama” kepada organisasi yang didirikan

Soetomo dan kawan-kawan, Boedi Oetomo. Dia memimpin Retnodoemilah sejak 1900 yang
semula didirikan dan diasuh oleh F.L. Winter, penerbitannya dalam bahasa Melayu dan
bahasa Jawa Ada pula yang menyebutkan, bahwa sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia adalah
Landjumin Datuk Temenggung, yang mengemudikan majalah Tjahaja Hindia dan kemudian
suratkabar Neratja.
Menurut ukuran zamannya, Neratja merupakan suratkabar yang cukup modern; karena, selain
merupakan suratkabar milik bangsa Indonesia asli, juga yang mulai memuat gambar-gambar
foto, dengan tata muka yang sudah meninggalkan tatacara lama. Hal yang sangat langka pada
masa itu.
Ada pula yang mengatakan, bahwa Datuk Sutan Maharadja pengasuh Utusan Melayu
(Padang), yang terbit 3 x seminggu, layak dianggap Bapak Jurnalistik, setidak-tidaknya untuk
wilayah Sumatera.Yang jelas, atas bantuan Datuk Sutan Maharadjalah maka bisa diterbitkan
Sunting Melaju, terbit sekali seminggu yang membawa tenar nama pengasuhnya, Rohana
Kuddus (lihat ema Rohana Kuddus) dan Ratna Djuita sebaga redaktris. Rohana Kuddus boleh
disebut sebagai wartawati pertama Indonesia dan namanya bisa dijajarkan dengan R.A.
Kartini di Jawa atau Dewi Sartika (di daerah Priangan).

Di samping artikel-artikel biasa Sunting Melaju yang mempunyai moto “Suratkabar untuk

kaum wanita Minangkabau” itu juga memuat sejarah, biografi, syair-syair dan iklan. Menarik

juga bahwa sebagian besar dari penulis karangan untuk Sunting Melayu terdiri dari kaum
perempuan juga, yang diam di sekitar kota Padang.
Kaum Zending sebelum itu sudah mempunyai medianya. Biang Lala yang diasuh oleh guru/
pendeta Stefanus Sandiman terbit pada 1867, disusul Bintang Djohar (1873) dan lebih kurang
pada waktu yang bersamaan terbitlah di Menado Tjahaja Siang yang kuat bertahan hingga
1927. Pers Indonesia boleh dikatakan mulai berkembang setelah kaum elit Indonesia merasa
memerlukan alat komunikasi, terutama sebagai akibat bertambahnya sekolah-sekolah baik
yang dibuka pemerintah maupun oleh bangsa Indonesia sendiri. Terutama lagi setelah
berdirinya berbagai perkumpulan dan organisasi, yang kemudian merasa masing-masing
memerlukan alat propaganda atau corongnya sendiri. Empat organisasi dan partai politik
Indonesia yang memegang peranan dalam perkembangan pers Indonesia adalah Boedi Otomo,
Sarekat Islam, de Indische Partij dan PKI.
Setelah dua tahun berdiri Boedi Oetomo berhasil mempunyai organ yakni Darmo Kondho
yang baru pada 1926 menjadi koran suratkabar. Mula-mula dianggap bersuara lunak,
kemudian dinilai agak keras. Tenaga yang mengasuhnya berganti-ganti, satu di antaranya
adalah Raden Mas Soedarjo Tjokrosisworo, wartawan terkemuka di zamannya. Dalam
perkembangannya, Darmo Kondho terbit dalam dua edisi; edisi Jawa dan edisi Indonesia,
masing-masing bernama Pustaka Warti dan Pewarta Oemoem. Setelah Boedi Oetomo fusi
dengan Partai Bangsa Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra), semua suratkabar

yang diasuhnya diberi nama “Oemoem”. Di Surabaya ada Soeara Oemoem, di Solo ada

Pewarta Oemoem, dan di Bandung, kemudian pindah ke Jakarta Berita Oemoem.


Menjelang datangnya Jepang Parinda merupakan satu-satunya partai di Indonesia yang
mempunyai media propaganda yang paling banyak, baik yang menggunakan bahasa daerah
maupun yang menggunakan bahasa Belanda. Sarekat Islam, dengan organnya Oetoesan
Hindia (Surabaya) langsung diasuh oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dinilai sangat
radikal, terutama tulisan-tulisan dari pembantu-pembantunya seperti Haji Agus Salim, Abdoel
Moeis, Soerjopranoto, Samsi dan lain-lain, dianggap sangat berpengaruh kepada
komunitasnya. Bahkan penerbitan di luar Jawa sering pula mengambil oper tulisan dari
Oetoesan Hindia. Sayang sekali, karena sebagian pembaca Oetoesan Hindia kurang rajin
membayar uang langganan, maka akhirnya suratkabar tadi terpaksa menghentikan
penerbitannya (1923).
Oetoesan Hindia bukan satu-satunya organ Sarekat Islam. Di Semarang SI mempunyai Sinar
Djawa dan Pantjaran Warta di Jakarta, dan Saroetomo di Surakarta. Di Saroetomo ini
wartawan muda Mas Marco (Soemarko Kartodikromo) sering rnenulis artikel-artikel yang
menyebabkan dia sering berurusan dengan pengadilan. Kemudian dia mendirikan majalah
Doenia Bergerak yang membawa suara PKI dan yang menyebabkan dia akhirnya dibuang ke
Boven Digul, Papua.
PKI bukan hanya memiliki Doenia Bergerak saja, tetapi juga Mowo (= arang membara);
Hobromarkoto (=Rata Bersinar) semuanya di Solo. Lalu Proletar (Surabaya), Petir dan
Torpedo (Padang), Goentoer (Medan), Halilintar (Pontianak), dan di beberapa tempat lainnya
lagi.
Oplah media mereka tidak terlalu besar dan biasanya hanya berumur beberapa nomor saja. De
Indische Partij, juga mempunyai penerbitannya sendiri, namun yang terkenal ialah Het
Tijdschrift dan De Expres. Kedua nama itupun tidak dapat dipisahkan dengan tiga nama yang
pernah mengasuh dan mengisinya yaitu Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo
dan Soewardi Soerjaningrat. Dalam tahun 1913 ketiga insan itu dibuang ke tiga tempat di
Indonesia, tetapi ketiga-tiganya memilih untuk pergi ke Nederland. Di sana pun mereka masih
meneruskan menulis artikel untuk berbagai penerbitan di Indonesia.
Di Nederland sendiri, pada masa penjajahan itu, para mahasiswa Indonesia yang belajar di
sana menghimpun diri dalam Perhimpunan Indonesia, yang mempunyai organ Indonesia
Merdeka terbit dalam dua bahasa, Indonesia dan Belanda.
Meskipun oplaag-nya sangat kecil, namun pengaruh Indonesia Merdeka cukup besar,
terutama bagi para pemimpin pergerakan serta kaum terpelajar yang ada di Indonesia yang
kala itu sebagian besar masih muda usia.
Perkembangan pers Indonesia bisa dikatakan sejajar dengan perkembangan partai politik dan
organisasi komunitas yang memilikinya. Sekitar tahun 1930 Mohammad Tabrani merpakan
sedikit di antara pemuda Indonesia yang kala itu menuntut ilmu jurnalistik di luar negeri
(Jerman), menulis mengenai keadaan pers Indonesia. Dalam bukunya Ons Wapen (Senjata
Kita) dia mengulas, bahwa keadaan pers Indonesia masih mengecewakan.
Pendidikan kaum wartawannya sangat minim; cara pemberitaannya sangat primitif dan sering
tidak dapat dipercaya; kurang adanya rubrik seperti pandangan luar negeri, kesenian,
perdagangan, ilmu pengetahuan, sedangkan tatausahanya sangat amburadul. Sedangkan para
langganannya membayar uang abonemen tidak pada waktunya, dan teknik percetakan pun
kurang memadai.
Wartawan (redaktur)nya dibayar sangat minim. Namun demikian, Tabrani berpendapat semua
itu masih bisa diperbaiki. Kala itu, selain Tabrani, ada dua pemuda Indonesia lainnya yang
menuntut ilmu jurnalistik di Jerman. Yaitu Djamaluddin Adinegoro dan Jahja Jakub. Nama
yang disebut akhir ini sesaat bergerak di bidang pers, tetapi kemudian tidak pernah disebut-
sebut lagi kegiatannya.
Kemudian ada juga Herawati Latip yang lalu menjadi Herawati Diah, yang menuntut ilmu
dalam bidang jurnalistik di Columbia University New York, dan berhasil mencapai gelar
Bachelor of Arts.
Menjelang pecahnya Perang Pasifik dia diminta pulang oleh orang tuanya, dan singgah di
Manilla dan diterima menjadi tamu Presiden Manuel Quezon. Selebihnya, masih ada beberapa
yang merupakan jebolan (drop out) NIAS, Nederlands Indische Artsen School (Sekolah
Kedokteran Hindia Belanda) di Surabaya, seperti Abdulwahab Djojowirono, Ahmad
Dermawan Lubis, Taher Tjindarboemi.
Juga ada Soemarto Djojodihardjo yang kemudian berhasil mencapai gelar Sarjana Hukum,
Winarno Hendronoto yang pernah mengenyam pelajaran di Santi Niketan (Lahore), Mr R.M.
Sumanang Soeriowinoto dan Mr Soedjatmiko yang digantikannya mengemudikan redaksi
Pemandangan. Ada yang belajar ilmu jurnalistik di dalam negeri, seperti Burhanuddin
Muhammad Diah yang menjadi siswa Dr. Douwes
Dekker Setiabudhi di Ksatriaan Instituut Bandung. Anwar Tjokroaminoto di Sekolah Guru
(Hollands Inlandse Kweekschool). Tetapi, pada umumnya kaum war Bandung.
Di Tapanuli pernah pula diterbitkan majalah berbahasa Batak, Palito (1929) pimpinan Gustaaf
Adolf, disusul oleh Pemberita Batak dan Bintang Batak. Sedangkan di Tarutung terbit
Pardomuan Batak yang diasuh Fridolin Pangabean. Meskipun berkala dan koran-koran tadi
terbit dalam bahasa daerah, tetapi pada dapat disebutkan bahwa pada umumnya isinya sesuai
dengan aliran zamannya yakni menyebarluaskan semangat nasionalisme, semangat cinta
tanah air dan bangsa Indoensia. Dalam bidang organisasi kewartawanan, juga dipelopori pers
Belanda, dengan didirikannya Journalisten Vereeniging di Jakarta pada 1907.
Ketuanya W. Wiggers (Taman Sarie), penulis F.D.J. Pangemanan (Perniagaan), pembantu
Gouw Peng Liang (Sinar Betawie). Sepak terjang organisasi gabungan ini kurang dikenal dan
tidak hidup begitu lama. Yang lebih terkenal ialah de Nederlandse Journalistenkring yang
rupa-rupanya merupakan cabang dari organisasi wartawan di Nederlan, sebab di belakang
nama organisasi tadi ditambahkan kata-kata in Nederlands Indie (di Hindia Nederland).
Organisasi kewartawanan yang anggotanya melulu wartawan Belanda ini mempunyai organ,
De Journalist sampai datangnya Jepang. Kaum wartawan Tionghoa-Melayu sementara itu
mempunyai organisasinya, Tjoe Piet Hwee diketuai Pek Pak Eng (1920). Organisasi ini tidak
pernah berkembang dan mati dengan sendirinya.
Di Solo pada 1914 berdiri Inlandse Journalisten Bond diketuai Mas Marco (Sarotomo),
sedangkan anggota-anggotanya ada yang pedagang, guru atau mantri kepatihan. Pada masa itu
barangsiapa yang pernah menulis di suratkabar atau majalah, boleh menyebut dirinya jurnalia.
Dr. Tjipto Mangunkusumo pada tahun 1919 mendirikan Perkoempoelan Indiers Journalisten
Bond dengan organnya Panggugah (Pembangun).
Sebagai Sekretaris organisasi ditunjuk Heerlan Soetadi, dan keuangan H.M. Misbach. Di
Surabaya pada 1925 Raden Mas Bintarti mendirikan Sarekat Journalist Asia, yang dari
namanya dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi anggotanya adalah wartawan
Indonesia dan non-pri. Hal yang sama terjadi pula di Yogya, hanya namanya saja yang beda
yaitu Perserikatan Journalist Asia dengan Mr. Soejoedi sebagai ketuanya. Sebagaimana
halnya organisasi wartawan lainnya yang bersifat lokal, usia kedua organisasi tadi tidak
terlalu panjang.
Yang mempunyai cabang dan yang agak panjang usianya ialah Perkoempoelan Kaoem
Journalist atau PKJ yang didirikan di Semarang (1931). Ketuanya Saeroen (Siang Po); penulis
Bakrie Soeraatmadja; (Sipatahoenan, Bandung), Koesoemodirdjo (Darmo Kondho, Solo),
Soejitno (Sin Tit Po, Surabaya) dan Joenoes (Bahagia, Semarang). Sebagai wakil ketua
terpilih Wignjadisastra (kantor berita HIPA, Jakarta) dan Parada Harahap (Bintang Timur,
Jakarta).
Bertepatan dengan diadakannya Kongres Indonesia Raya ke-11 di Solo (1933), berhimpun
pulalah sejumlah wartawan Indonesia dan bersepakat mendirikan Perdi (Persatuan Djurnalis
Indonesia). Ketuanya Soetopo Wonobojo (Koemandang Rakjat, Solo), R.M. Soedarjo
Tjokrosisworo (Midden Java Redacteur Soeara Oemoem). Penulis, R. Sjamsu Hadiwijoto
(Adil, Solo), Sjamsuddin Sutan Makmur (Daya Upaya, Semarang), Bakri Soeraatmadja
(Sipatahoenan, Bandung), Inu Perbatasari Mertokoesoemo (Oetoesan Indonesia, Yogya) dan
Joenoes Dirk Syaranamoeal (Soeara Oemoem, Surabaya). Pada waktu berdirinya, Perdi
mempunyai cabang-cabang di Solo, Yogya, Semarang, Surabaya, Jakarta dan Bandung.
Dalam sejarahnya, Perdi terus berdampingan dengan pergerakan rakyat yang waktu itu
tergabung dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia), yaitu suatu federasi dari partai-partai
politik nasional yang ada pada masa itu, dan dengan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia),
federasi sejumlah ormas dan partai Islam. Sejumlah kaum wartawan muslim di sekitar 1935-
an di Medan, mendirikan Warmusi (Wartawan Muslimin Indonesia), dipelopori oleh
Mohammad Yunan Nasution (Pedoman Masyarakat), Zainal Abidin Ahmad (Pandji Islam),
dan di Jawa Soerono Wirohardjono (Adil, Solo), Wali al-Fatah dan Ghafar Ismail.
Sebagaimana halnya ormas dan perkumpulan lainnya, maka pada zaman Jepang baik Perdi
maupun Warmusi menghentikan kegiatannya atau membubarkan diri. Bahwasanya pers
Indonesia sudah menyadari keperluan adanya sebuah kantor berita, terbukti telah dirintis oleh
beberapa wartawan untuk mendirikan persbureau. Terlebih pula, setelah ternyata bahwa
Aneta sangat tidak pernah memperhatikan apa yang terjadi di komunitas Indonesia. Peristiwa-
peristiwa penting, seperti Kongres Bahasa Indonesia, Kongres Perdi, Kongres PGHB
(Persatuan Guru Hindia Belanda) dan lain-lainnya lagi, tidak pernah disiarkan Aneta.
Parada Harahap pernah berusaha mendirikan kantor berita Alpena (Algemeen Pers en Nieuws
Agentschap) dengan cabangnya di Purwokerto.
Kemudian A. Wignyadisastra, koresponden berbagai suratkabar, sekaligus menjadi pegawai
Balai Pustaka, juga pernah mencoba mendirikan HIPA (Het Indonesische Pers Agentschap) di
Jakarta. Di Medan oleh Muhammad Yunan Nasution juga pernah didirikan Persbureau
Himalaya. Semuanya tidak tahan lama. Bratanata di Cirebon pernah pula mengeluarkan
buletin stensilan bernama Nicork (National Indonesische Correspondentie Kantoor), yang
semula dimaksudkan sebagai persbureau. Tetapi dalam perkembangannya justru menjadi
suratkabar dan bernama Nicork-Expres, kuat bertahan sampai Jepang datang.
Sekitar 1930-an, Mohammad Arif Lubis di Medan membangun Inpera (Indonesische Pers
Agentschap). Di Ambon John Tupamahu mendirikan Maloekoe dengan menerbitkan buletin
kantor berita.
Di Kalimantan pada tahun 1926 seorang putra Dayak, Housman Babou dan L.H. Rumdjain
putra Minahasa mendirikan Borpena (Borneo Pers en Nieuws Agentschap); dalam tahun 1928
namanya diubah menjadi Kalpena (Kalimantan Pers en Nieuws Agentschap). Kantor berita ini
bertahan sampai 1934 karena kalah bersaing dengan Aneta. Sementara itu, sewaktu Soewardi
Soerjaningrat dibuang ke Nederland, dia juga mencoba mendirikan kantor berita di sana,
Indonesische Persbureau yang tujuan utamanya untuk lebih memperkenalkan nama Indonesia,
dengan sendirinya kantor berita tadi menghentikan kegiatannya, setelah Soewardi kembali
pulang ke Indonesia.
Yang langgeng hidupnya ialah Kantor Berita Antara, yang didirikan pada tahun 1937 oleh Mr.
Sumanang, Albert Sipahutar, Adam Malik dan Pandoe Kartawiguna. Antara dalam sejarah
ternyata timbul tenggelam dengan bangsa yang melahirkan, membesarkan dan yang
memilikinya.
Antara pada masa penjajahan merupakan eksponen penting bagi perjuangan kemerdekaan.
Sebagaimana halnya pers dan kaum wartawan Indonesia masa itu umumnya, terlebih dahulu
nasionalis, baru kemudian wartawan. Pers Indonesia di masa penjajahan adalah pers
perjuangan.
(Soebagijo I.N Sumber: Abdullah Latief 1980 Pers di Indonesia di zaman pendudukan

Jepang, “Karya Anda” Surabaya; Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa Segi

Perkembangan Pers di Indonesia ldayu, Jakarta; Abdurrachman Surjomihardjo 1980:


Beberapa Segi Perkembamgan Sejarah Pers di Indonesia. Deppen RI-Leknas LIPI;
Departemen Penerangan : suratkabar Indonesia pada Tiga Zaman, tanpa tahun; Evert - Jan
Hoogerwerf 1990 : Persgeschiedenis van Indonesia tot 1942. KITLV Uitgeverij, Leiden;
Kwee Kek Beng 1948; Doea Poeloe Lima Tahon sebagai Wartawan. Kuo- Batavia; Leo
Suryadinata 1981 Eminent Indonesia Chinese. Gunung Agung Singapore; Moerthiko 1978.
Pelita Hidup. Sekretariat Empeh Wong Kam Fu, Semarang; Nio Joe Lan 1946. Dalem
Tawanan Djepang. Lotus Co, Djakarta Kota; S.P.S. Djakarta. 1958 Sekilas Perdjuangan
Suratkabar; Soebagijo IN. 1977: Sejarah Pers Indonesia, Dewan Pers; Soendoro :
Djurnalistiek Seperempat Abad dalam Ragi Buana, Agustus 1970; Sumanang Mr. 1953. Buku
Pelajaran pers dan Journalistik, Balai Pustaka Jakarta; Tio le Soei 1955 Lie Kim Hok, Good
Luck Bandung; Tamar Djaja 1980. ROHANA KUDUS Srikandi Indonesia. Mutiara, Jakarta;
L. Taufik Drs. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. PT. Triyinco; Wormser.
Mr. C.W.
Journalistiek op Java. Uitgeverij W. van Hoeve, Deventer, tanpa tahun; Wormser. Mr. C.W.
Drie en Dertig Jaren op Java. Amsterdam; Surat-suratkab
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-
fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan
informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian,
bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak
langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan
sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai
media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam
menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.

3.2 Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang
disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada
pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi lebih
berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.

Anda mungkin juga menyukai