Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

AGRESI MILITER BELANDA II

Disusun oleh :
Angelika Maylena P.S

05/IX A

BAB I
PENDAHULUAN
Pada bulan-bulan Oktober 1946 telah dilaksanakan perundingan-perundingan hingga
disepakati suatu
gencatan senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati (didekat
Cirebon)
dilaksanakan persetujuan yaitu persetujuan Linggajati, yang isinya adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintah belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa,
Madura, dan
Sumatera.
2. Pemerintah Indonesia dan Belanda bersama-sama akan membentuk suatu negara
demokrasi
federal yang berdaulat, yaitu Republik Indonesia Serikat, terdiri dari tiga negara bagian,
yaitu: Republik Indonesia (Jawa dan Sumatera), Negara Bagian Kalimantan, dan Negara
Indonesia Timur (meliputi semua wilayah Indonesia lainnya, yaitu wilayah-wilayah yang
dulu termasuk dalam Negara Hindia Timur Belanda, terbentang dari Jawa Timur sampai
dengan Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tenggara)
3.
Pemerintah Indonesia dan Belanda akan bekerjasama membentuk suatu Uni IndonesiaBelanda, terdiri dari Negeri Belanda (meliputi Negeri Belanda, Suriname, Curacao), dan
Republik Indonesia Serikat. Uni itu akan diketuai oleh Ratu Belanda.
4.
Uni Indonesia-Belanda dan Republik Indonesia Serikat akan dibentuk sebelum tanggal
1 Januari 1949 dan Uni tersebut akan menentukan sendiri badan-badan perwakilannya untuk
mengatur masalah-masalah kepentingan bersama di negara-negara anggota, terutama masalah
luar negeri.
5.
Akhirnya persetujuan itu menjamin bahwa kedua belah pihak akan mengurangi
kekuatan pasukannya masing-masing dari wilayah Indonesia, tetapi secepatnya dan konsisten
dengan menjaga hukum dan ketertiban, serta menjamin kedaulatan Republik atas semua
tuntutan bangsa-bangsa asing untuk memperoleh ganti rugi dan mengelola hak-hak serta
milik mereka di dalam wilayah-wilayah Republik. (Kahin, George McTurnan 1995:247-248)
Namun persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung singkat. Kedua belah pihak saling
tidak mempercayai dan mengesahkan persetujuan itu sehingga menimpulkan pertikaianpertikaian politik yang sengit mengenai konsesi-konsesi yang telah dibuat. Setelah selesai
perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan
perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan
kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan Konferensi Malino 15
25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1
Oktober 1946. Kemudian Belanda menggelar Konferensi Besar di Denpasar tanggal 18
24 Desember 1946, dimana kemudian dibentuk negara Indonesia Timur. Tindakan Van Mook
membenarkan keragu-raguan pemerintah dan rakyat Indonesia tentang kesetiaan Belanda

dalam melaksanakan persetujuan Linggajati. Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya


dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan yang lebih banyak dari negerinya.

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Pengertian Agresi Militer I dan II
"Operatie Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di
Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan
Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus
1947. Operasi militer ini merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam
rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut
pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil
Perundingan Linggajati.
Sedangkan Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak adalah operasi militer
Belanda kedua yang terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap
Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta,
Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Sjafrudin
Prawiranegara.
2. 2. Agresi Militer II
2. 2. 1. Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda II
Seperti kejadian sebelumnya dalam Perundingan Linggarjati, pelaksanaan hasil
Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN
selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda.
Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas
mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari cara
menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda
mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan
yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam
pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr.
Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. Dini
hari tanggal 19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang
Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali
agresi militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam
waktu singkat, Yogyakarta, ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.
2. 2. 2. Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer II
Adapun tujuan Belanda mengadakan Agresi Militer yang kedua ialah ingin
menghancurkan kedaulatan Indonesia dan mengusai kembali wilayah Indonesia dengan

melakukan serangan militer terhadap beberapa daerah penting di Yogyakarta sebagai ibu kota
Indonesia pada saat itu. Pihak Belanda sengaja membuat kondisi pusat wilayah Indonesia
tidak aman sehingga akhirnya diharapkan dengan kondisi seperti itu bangsa Indonesia
menyerah dan bersedia menuruti ultimatum yang diajukan oleh pihak Belanda. Selain itu
bangsa Indonesia juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RI dan TNI-nya secara de
facto tidak ada lagi.
2. 2. 3. Kronologis Terjadinya Agresi Militer II
Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar
yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara
Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri)
tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari
cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan
Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak
lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah
malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr.
Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.
Sementara itu keadaan dalam negeri sudah sangat tegang berhubung dengan oposisi yang
dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang
dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis
kawakan, Muso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari
Uni Soviet. Muso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan ia yang mendorong
PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap kabinet Hatta mencapai
pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) mengumumkan
pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ini
segera ditumpas pemerintah Republik. Belanda hendak mempergunakan pemberontakan PKI
itu sebagai alasan yang sangat baik untuk menyerang Republik dengan dalih membantu
Republik melawan komunisme.
Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terusmenerus melawan PKI, Belanda menyerang lagi. Dini hari tanggal 19 Desember, pesawat
terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah
bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda II.
Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta
ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.
Dalam suasana genting, pemerintah RI mengadakan rapat kilat dan menghasilkan
keputusan darurat berikut.

Melalui radiogram, pemerintah RI memberikan mandat kepada Syafruddin


Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.

Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal dalam kota dengan resiko ditangkap
Belanda, agar dekat dengan KTN (yang sekarang berada di Kaliurang).

Pimpinan TNI menyingkir keluar kota dan melancarkan perang gerilya dengan
membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatera.

Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden, dan sejumlah


pejabat. Soekarno diasingkan ke Prapat, Hatta ke Bangka, tetapi kemudian Soekarno
dipindahkan ke Bangka. Sementara itu, Jenderal Soedirman memimpin TNI melancarkan
perang gerilya di kawasan luar kota.
2. 2. 4. Dampak Agresi Militer Belanda II bagi Bangsa Indonesia
Adanya Agresi Militer kedua yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia yaitu
mengakibatkan dihancurkannya beberapa bangunan penting di Yogyakarta, bahkan
Yogyakarta yang pada saat itu sebagai ibu kota Indonesia juga mampu dikuasai oleh
Belanda. Selain itu presiden dan wakil presiden beserta sejumalh pejabat pemerintah
Indonesia berhasil ditawan kemudian diasingkan oleh pihak Belanda.

2. 2. 5. Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi Militer Belanda II


a.
Keampuhan Strategi Diplomasi
Dengan melancarkan agresi militernya yang kedua, Belanda ingin menunjukkan
kepada dunia bahwa RI beserta TNI-nya secara de facto tidak ada lagi. Tujuan Belanda itu
dapat digagalkan oleh perjuangan diplomasi. Para pejuang diplomasi antara lain Palar,
Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo yang berkeliling di luar negeri. Tindakan yang dilakukan
dalam perjuangan diplomasi antara lain sebagai berikut.

Menunjukkan pada dunia internasional bahwa agresi militer Belanda merupakan


bentuk tindakan melanggar perjanjian damai (hasil Perundingan Renville).

Meyakinkan dunia bahwa RI cinta damai, terbukti dari sikap, mentaati hasil
Perundingan Renville dan penghargaan terhadap KTN.

Membuktikan bahwa RI masih berdaulat dengan fakta masih berlangsungnya


pemerintahan melalui PDRI dan keberhasilan TNI menguasau Yogyakarta selama 6 jam
(Serangan Oemoem 1 Maret).
Kerja keras perjuangan diplomasi mampu mengundang simapti internasional terhadap
Indonesia. Amerika Serikat mendesak Belanda untuk menarik mundur pasukannya dari
wilayah RI (dengan ancaman menghentikan bantuannya). Dewan Keamanan PBB mendesak
Belanda untuk menghentikan operasi militer dan membebaskan para pemimpin Indonesia.
Desakan yang gencar dari dunia internasional akhirnya dapat membuat Belanda mengakhiri
militernya kedua.
b.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia


Sebelum pasukan Belanda memasuki istana kepresidenan, Presiden Soekarno
mengintruksikan kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara (yang kebetulan
berada di Sumatera) untuk membentuk pemerintahan darurat, jika pemerintah RI Yogyakarta
tidak dapat berfungsi lagi. Sesuai dengan instruksi itu, Syafruddin Prawiranegara membentuk
Pemerintah Darurat Republik Indonesia. PDRI berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Kabinet PDRI


Ketua (perdana menteri) merangkap menteri pertahanan dan penerangan: Syafruddin
Prawiranegara.

Menteri luar negeri: A. A. Maramis

Menteri pendidikan dan kebudayaan merangkap menteri dalam negeri dan agam:
Teuku Moh. Hasan.

Menteri keuangan merangkap menteri kehakiman: Lukman Hakim.

Menteri sosial dan perburuhan, pembangunan, organisasi pemuda dan keamanan:


Sutan Rasyid.

Menteri pekerjaan umum merangkap menteri kesehatan: Ir. Sitompul.

Menteri perhubungan merangkap menteri kemakmuran: Ir. Inderacaya.


Selama agresi militer II, Belanda terus menerus memprogandakan bahwa
pemerintahan di Indonesia sudah tidak ada lagi. Propaganda dapat digagalkan oleh PDRI.
PDRI berhasil menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintahan dalam tubuh RI
masih berlangsung. Bahkan, pada tanggal 23 Desember 1948, PDRI mampu memberikan
instruksi lewat radio kepada wakil RI di PBB. Isinya, pihak Indonesia sekaligus mengundang
simapti internasional.
Atas dasar keberhasilan itu, para pemimpin PDRI sempat kecewa dengan tindakan
para pemimpin RI di Bangka yang mengadakan perundingan dengan Belanda tanpa
sepengetahuan mereka. Mereka juga tidak menyetujui hasil Perundingan Roem-Roijen yang
cenderung melemahkan wibawa Indonesia. Para pemimpin PDRI yakin bahwa kedudukan
Indonesia telah kuat sehingga mampu lebih banyak kepada Belanda.
Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan, berlangsung pertemuan antara para
pemimpin PDRI dan pemimpin RI yang pernah ditawan di Bangka. Pertemuan itu
berlangsung pada tanggal 13 Juli 1949 di Jakarta. Hasil pertemuan itu adalah sebagai berikut.

PDRI menyerahkan keputusan mengenai hasil Perundingan Roem Roijen kepada


kabinet, Badan Pekerja KNIP, dan pimpinan TNI.

Pada hari itu juga, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat secara resmi
kepada Wakil Presiden Hatta.
c.

Perundingan Roem-Roijen
Untuk menjamin terlaksananya penghentian agresi militer Belanda II, PBB
membentukUnited Nations Commission for Indonesia (UNCI) atau Komisi PBB untuk
Indonesia. Perundingan mulai pada pertengahan April 1949. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. van Roijen. Tokoh UNCI
yang berperan dalam perundingan adalah Merle Cohran dari Amerika Serikat. Perundingan
banyak mengalami kemacetan sehingga baru mencapai kesepakatan pada awal Mei 1949.
Hasil Perundingan Roem-Roijen
Pernyataan Indonesia

Perintah kepada TNI untuk menghentikan perang gerilya.

Bekerja sama mengendalikan perdamaian, ketertiban, dan keamanan.

Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag untuk mempercepat
pengakuan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat secara lengkap tanpa syarat.

Pernyataan Belanda

Menyetujui pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta.

Menjamin penghentian operasi militer dan pembebasan semua tahanan politik.

Menyetujui RI sebagai negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat.

Berusaha sungguh-sungguh menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.


Sejak bulan Juni 1949, berlangsung persiapan pemulihan pemerintahan RI di
Yogyakarta. Persiapan itu berlangsung di bawah pengawasan UNCI. Sejak tanggal 24 sampai
29 Juni 1949, tentara Belanda ditarik dari kota Yogyakarta. Setelah itu, TNI memasuki kota
Yogyakarta. Pada tanggal 6 Juni 1949, presiden dan wakil presiden serta para pemimpin
lainnya kembali ke Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Yunani. 2004. Sejarah Nasional Indonesia V. Palembang: FKIP


Universitas Sriwijaya.
Nasution, AH. 1976. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jilid 9, Dsjarah
-AD, Bandung: Angkasa.
O. E. Engelen, dkk. 1997. Lahirnya Satu Bangsa dan Negara. Yogyakarta:
Universitas Indonesia.
Poesponegoro. Marwati Dj. 1884. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Website:
http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II
http://sayyidanchiam.blogspot.com/2012/10/makalah-agresi-militer-belanda-i-dan-ii.html

Anda mungkin juga menyukai