Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra,


terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri,
yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa
Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome
Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan
Aceh).

Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula
melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung
Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra
Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk
agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain
pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya
dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru
dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah
pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard:
2006, 61-63)

Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau
Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520.
Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada
dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan
penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu
penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya
Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh
dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal
Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam mulai berdiri ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang


berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga
mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir
riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh
Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya.

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 yang


sebelumnya telah dirintis pada abad ke-15 oleh Mudzaffar Syah. Pada awalnya kerajaan ini
berdiri atas wilayahKerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa
wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir,Lidie,Nakur. Selanjutnya pada tahun
1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan
dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan
Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.

Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak


dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah.
Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda
Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah
tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530 dan berdasarkan penelitian batu-batu nisan
yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan
yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh
beribukota di Kutaraja (Banda Aceh).

B. Kehidupan Politik

Berdasarkan Bustanus salatin 1637 M karangan Naruddin Ar-raniri yang berisi


silsilah sultan-sultan aceh, dan berita-berita eropa. Kerajan aceh telah berhasil
membebaskan diri dari kaerajaan pedir.

 Raja-raja yang pernah memerintah kerajaan aceh :

2
1. Sultan Ali Mughayat Syah

Adalah raja kerajaan aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 – 1528 M.
Dibawah kekuasaannya, kerajaan aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang
berada di daerah Daya dan Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap bangsa
portugis di malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.

2. Sultan Salahuddin

Wafatnya Sultan Ali Mughayat Syah pemerintahan beralih kepada purtanya


yang bergelar Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 – 1537 M. Selama
menduduki tahta kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya.
Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosotan yang tajam. Oleh karena
itu Sultan Salahuddin digantikan saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah Al-
kahar.

3. Sultan Alauddin Riayat Syah Al-kahar

Ia memerintah aceh dari tahun1537 – 1568 M. Ia melakukan berbagai bentuk


perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan. Pada pemerintahannya
kerajaan aceh melakukan perluasan wilayah kekuasaannya seperti melakukan serangan
terhadap kerajaan malaka ( tetapi gagal ). Daerah kerajaan Aru berhasil diduduki. Pada
masa pemerintahannya kerajaan aceh mengalami masa suram banyak pemberontakan
dan perebutan kekuasaan sering terjadi.

4. Sultan Iskandar Muda

Ia memerintah kerajaan aceh tahun 1607 – 1636 M. Dibawah pemerintahannya


kerajaan aceh mengalami kejayaan, tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas
perdagangan islam, bahkan menjadi bandar transito yang dapat menghubungkan
dengan perdagangan islam di barat.

Untuk mencapai kebesaran kerajaan aceh Sultan Iskandar Muda meneruskan


perjuangan dengan menyerang portugis dan kerajaan johor di semenanjung malaya.
Tujuannya untuk menguasai jalur perdagangan di selat malaka dan menguasai daerah-
daerah penghasil lada. Sulata Iskandar Muda juga menolak permintaan Inggris dan
Belanda untu membeli lada di pesisir sumatra bagian barat. Selain itu, kerajaan aceh

3
melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah sepertu Aru, Pahang, Kedah, Perlak,
dan Indragiri sehingga kerajaan aceh memiliki wilayah yang sangat luas.

Pada masa kekuasaannya terdapat dua orang ahli tasawwuf yang terkenal di aceh
Syech Syamsuddin bin Abdullah Asy-samatrani dan Syech Ibrahin Asy-syamsi.
Setelah sultan itu wafat digantikan oleh menantunya Iskandar Thani.

5. Sultan Iskandar Thani

Ia memerintah tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahannya ia


melanjutkan tradisi Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya muncul
seorang ulama besar yang bernama Nuruddin Ar-raniri. Ia menulis buku sejarah aceh
berjudul Bustanu’salatin. Sebagai ulama besar Nuruddin Ar-raini sangat dihormati
Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta rakyat aceh. Setelah Sultan Iskandar
Thani meninggal tahta kerajaan dipegang oleh putri dari permasyurinya dengan gelar
Putri Sri Alam Permaisyuri ( 1641 – 1667 M ).

6. Sultan Sri Alam ( 1575 – 1576 M).


7. Sultan Zain Al-abidin ( 1576 – 1577 M).
8. Sultan Ala’ Al-din Mansur Syah ( 1577 – 1589 M).
9. Sultan Buyong ( 1589 – 1596 M).
10. Sultan Ala’ Al-din Riyayat Syah Sayyid Al-mukkamil ( 1596–1604 M).
11. Sultan Ali Riayat Syah ( 1604 – 1607 M).
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam ( 1607 – 1636 M).
13. Sultan Sri Ratu Salfi Al-din Taj Al-alam ( 1641 – 1675 M).
14. Sultan Sri Ratu Naqi Al-din Nur AL-alam ( 1675 – 1678 M).
15. Sultan Sri Ratu Zaqi Al-din Inayat Syah (1678 – 1688 M).
16. Sultan Sri Ratu Kamalat Syah Zinat Al-din ( 1688 – 1699 M).
17. Sultan Badr Al-alam Syarif Hashim Jamal Al-din ( 1699 – 1702 M).
18. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui ( 1702 – 1703 M).
19. Sultan Jamal Al-alam Badr Al-munir ( 1703 – 1726 M).
20. Sultan Jauhar Al-alam Amin Al-din ( 1726 M).
21. Sultan Syams Al-alam ( 1726 – 1727 M).
22. Sultan Ala’ Al-din Ahmad Syah ( 1727 – 1735 M).
23. Sultan Ala’ Al-din Johan Syah ( 1735 – 1760 M).
24. Sultan Mahmud Syah ( 1760 – 1781 M).

4
25. Sultan Badr Al-din ( 1781 – 1785 M).
26. Sultan Sulaiman Syah ( 1785 - .... M).
27. Alauddin Muhammad Daud Syah
28. Sultan Ala’ Al-din Jauhar Al-alam ( 1795 – 1815 dan 1818 – 1824 M).
29. Sultan Syarif Syaif Al-alam ( 1815 – 1818 M).
30. Sultan Muhammad Syah ( 1824 - 1838 M).
31. Sultan Sulaiman Syah ( 1838 – 1857 M).
32. Sultan Mansyur Syah ( 1857 – 1870 M).
33. ltan Mahmud Syah ( 1870 – 1874 M).
34. Sultan Muhammad Daun Syah ( 1874 – 1903 M).

 Masa Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu


dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang
diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena
perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan
pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan
kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang.
Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid
al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode
ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil
memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya
dirasakan pada sultan berikutnya.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada
masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah
utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis
di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara
laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan
semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang
sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.

5
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan
Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602
dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke
berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van
Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi
kekuasaan Aceh.

C. Kehidupan Ekonomi

Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat.


Bidang perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur.
Setelah dapat menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin
bertambah makmur. Dengan kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu
membangun angkatan bersenjata yang kuat. Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh
Darussalam adalah lada dan emas. Mata pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam
adalah bidang perdagangan, terutama perdagangan lada dan emas. Selain berdagang,
rakyat Aceh Darussalam juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang
mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras
bagi kesultanan.Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor
adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor
Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang,
senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya

6
diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu
Rigas, Teunom, dan Meulaboh

D. Kehidupan Sosial dan Budaya


1. Kehidupan sosial

Meningkatnya kemakmuran telah menyebabkan berkembangnya sistem


feodalisme dan ajaran agama islam di aceh. Kaum bangsawan yang memegang
kekuasaan dalam pemerintahan sipil dalam golongan Teuku, sedangkan kaum ulama
yang memegang peranan penting dalam agama disebut golongan Teungku, namun
antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang kemudian
melemahkan aceh. Sejak berkuasanya Kerajaan Perlah ( abad ke-12 M samapai ke-
13 M ) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan Sunnah Wal Jamma’ah.
Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah memperoleh
perlindungan dan berkembang sampai di daerah-daerah kekuasaan aceh.

Aliran ini diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang
bernama Syamsuddin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah Wal
Jamma’ah mengembangkan islam beraliran Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga menulis
sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin. ( Taman raja-raja dan berisi adat-
istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).

Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani muncul ahli tasawwuf terkenal
dari gujarad yang bernama Nurruddin Ar-Raniri. Hasil karyanya yang terkenal
adalah Bustanus Salatin yang berisi sejarah Aceh. Ajaran Nurruddin Ar-Raniri
bertentangan dengan ajaran Hamzah Fansyuri dan Syamsudin As-Samatrani. Hal itu
menyebabkan perpecahan di kerajaan aceh pada tahun 1641, Sultan Iskandar Thani
wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal aceh mengalami kemunduran di
berbagai bidang.

2. Kehidupan Budaya

Kejayaan yang dialami oleh Kerajaan Aceh tersebut tidak banyak diketahui
dalam bidang kebudayaan. Walaupun ada perkembangan dalam bidang kebudayaan,
tetapi tidak sepesat perkembangan dalam aktifitas perekonomian. Peninggalan
kebudayaan yang terlihat nyata adalah Masjid Baiturrahman.

7
E. Keruntuhan Kerajaan Aceh

Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin


menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya
perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat
kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda)
yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan
pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman
utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada
dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum
wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka
mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman.
Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan
dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam
mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan
kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah
Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824),
seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan
dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah
namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang
kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan.
Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara
Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-
1870).

8
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan
yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke
sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat
pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh
Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan
kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh
angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai
pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah
dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan
beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha
membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis
Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak
ditanggapi dengan serius.

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan
lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh
Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda
gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima
Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh.
Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima
Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera,
dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan
terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-
pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha
untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia.
Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke
sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru
saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis
hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih
simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa.

9
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sebagai salah satu negara dengan mayoritas muslim, tentunya kita harus tahu jati diri
kita sebagai muslim dengan cara mengetahui sejarah yang membentuk masyarakat kita di
masa kini. Tujuan dari pembelajaran ini tentunya diharapakan selain mengetahui
kesultanan aceh, kita juga bisa membudayakan budaya keislaman kita sebagai penerus
kerajaan islam di masa lalu.

Kami selaku pemakalah pula sangat meminta maaf dengan segala keterbatasannya isi
yang di sajikan dalam isi makalah ini. Dengan referensi yang tentu kurang memuaskan
karena kutipannya berupa alamat web yang bisa diakses di mana saja. Dengan tidak
sedikitupun mengurangi rasa hormat kami terhadap penulisan karya ilmiah, kami
memohon maaf yang sebesar besarnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://www.artikelsiana.com/2014/11/sejarah-kerajaan-islam-kerajaan-aceh.html#_

http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh

http://awal-berdiri-kerajaan-aceh.blogspot.com/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh

11

Anda mungkin juga menyukai