Biografi dan Profil Lengkap Sultan Ageng Tirtayasa – Sultan Ageng Tirtayasa
merupakan sultan Banten ke-6. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Kesultanan
Banten pada tahun 1631. Sultan Ageng Tirtayasa dikenal gigih melakukan
perlawanan terhadap penjajah Belanda. Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa melawan
Belanda di Serang, Banten sehingga beliau diberi gelar Pahlawan Nasional oleh
pemerintah Indonesia. Sultan Ageng Tirtayasa meninggal di Batavia, Hindia Belanda
tahun 1692 pada sekitar umur 60-61 tahun.
1
Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan putra dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yaitu Sultan
Banten periode 1640-1650 dan Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di
Kesultanan Banten pada tahun 1631.
Nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Sejak
kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.
Saat ayahnya yaitu Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat
sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati. Abdul Fatah atau pangeran Dipati
merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Tapi saat ayahnya wafat, Beliau belum menjadi
sultan karena kesultanan Banten saat itu kembali dipimpin oleh kakeknya yaitu Sultan Abul
Mufakhir Mahmud Abdul Qadir.
Pada tahun 1651, kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat. Abdul Fatah
atau pangeran Dipati lalu naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Abul
Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan Banten,
beliau masih sangat muda yaitu pada usia 20 tahun.
Sultanb Ageng Tirtayasa sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di
daerahnya. Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk
membina mental para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal
sebagai ahli strategi dalam perang.
Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan, pelayaran dan
juga diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark dan Perancis.
Hubungan tersebut membuat pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi para pedagang dari
Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, konflik antara Kesultanan Banten dan
Belanda semakin meruncing. Hal tersebut disebabkan karena ikut campurnya Belanda dalam
internal kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan.
Belanda melalui politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr
Abdul Kahar) melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.
Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
kepadanya dan saudaranya tersebut merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris
tahta kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji
yang didukung oleh VOC Belanda lalu berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
2
Akhirnya, perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa saat itu mengepung
pasukan Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack
dan Saint-Martin yang dikirim Belanda datang membantu Sultan Haji.
Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya
pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia dan dipenjara.
Pada tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Sultan Ageng Tirtayasa
dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten.
Pada tanggal 1 agustus 1970, melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun
1970 Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng
Tirtayasa. Selain itu, untuk menghargai jasanya, nama Sultan Ageng Tirtayasa diabadikan
sebagai nama salah satu universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Hasannudin merupakan anak kedua dari pasangan Sultan Malikussaid yang
merupakan raja Gowa ke-15 dan juga I Sabbe To’mo Lakuntu yang merupakan putri
bangsawan Laikang. Sultan Hasanudin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada
tanggal 12 januari 1631 dan wafat pada 12 Juni 1670 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Nama lahir Sultan Hasanuddin adalah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
3
Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Sultan Hasanuddin memiliki saudara
perempuan bernama I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne.
Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah memperlihatkan jiwa kepemimpinan, selain itu Ia
juga memiliki kecerdasan dan kerajinan dalam belajar yang sangat menonjol
dibanding dengan saudaranya yang lain, serta pandai bergaul dengan banyak orang
tidak hanya di lingkungan istana tetapi juga dengan orang asing yang mendatangi
Makassar untuk berdagang.
Saat Hasanuddin berumur 8 tahun, sang kakek yaitu Sultan Alauddin yang merupakan
raja Gowa ke-14 wafat setelah memerintah kerajaan Gowa selama 46 tahun. Setelah
kakeknya meninggal sang ayah Sultan Malikussaid menggantikan sebagai raja yang
dilantik pada 15 Juni 1639.
Selama kepemimpinan ayahnya, Sultan Hasanuddin yang masih remaja sering diajak
untuk menghadiri perundingan penting. Hal ini dilakukan sang ayah agar Hassanudin
belajar tentang ilmu pemerintahan, diplomasi dan juga strategi perang. Setelah pandai
pada bidang tersebut, Hasanuddin pernah beberapa kali diutus untuk mewakili sang
ayah mengunjungi kerajaan nusantara terutama daerah dalam gabungan pengawalan
kerajaan Gowa. Saat hendak memasuki usia 21 tahun, Hassanudin dipercaya untuk
menjabat urusan pertahanan Gowa dan membantu ayahnya mengatur pertahanan
untuk melawan Belanda.
Melawan VOC
Karena menentang usaha monopoli yang hendak dilakukan VOC dan juga Kerajaan
Gowa merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan, VOC
berusaha mengahncurkan Kerajaan Gowa.
4
Pada tahun 1666, Belanda dibawah kepemimpinan Laksamana Cornelis Speelman berusaha
menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di bagian timur Indonesia. Namun usaha mereka
untuk menguasai kerajaan Gowa belum berhasi karena Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin
berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan kecil di bagian timur Indonesia untuk melawan
Belanda. Peperangan yang terjadi antara kedua belah pihak selalu diakhiri dengan perjanjian
perdamaian dan gencatan senjata namun VOC selalu melanggar dan hal tersebut merugikan
Kerajaan Gowa. Belanda terus menambah pasukan selama peperangan sehingga Kerajaan
Gowa semakin lemah dan terdesak, lalu dengan pertimbangan pada 18 November 1667
Sultan Hasanuddin bersedia menandatangani Perjanjian Bungaya. Rakyat dan Kerajaan Gowa
yang merasa sangat dirugikan dengan adanya perjanjian tersebut, pada 12 April1668 akhirnya
perang kembali pecah. Sultan Hasanuddin memberi perlawanan sengit. Namun karena
pasukan Belanda yang dibantu dengan tentara luar, pada 24 Juni 1969 mereka berhasil
menerobos Benteng Sombaopu yang merupakan benteng terkuat kerajaan Gowa.
Belanda terus melancarkan usahanya memecah belah Kerajaan Gowa, usaha yang dilakukan
oleh mereka berhasil dengan beberapa pembesar kerajaan yang menyerah seperti Karaeng
Tallo dan Karaeng Lengkese. Namun tidak dengan Sultan Hasanuddin yang telah bersumpah
tidak akan pernah sudi bekerja sama dengan Belanda. Pada 29 Juni 1969, Sultan Hasanuddin
turun tahta dan kemudian digantikan oleh putranya yang bernama I Mappasomba Daeng
Nguraga yang bergelar Sultan Amir Hamzah.
Pada 12 Juni 1670, pada usia 39 tahun Sultan Hasanuddin wafat. Kemudian beliau
dimakamkan di suatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di
Kampung Tamalate.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, pada 6 November 1973 atas jasa-
jasanya, Sultan Hasanuddin diberi gelar sebagai pahlawan nasional.
5
3. Biografi Iman Bonjol
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan
Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini
merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Selain menjadi seorang pejuang, Imam
Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan
praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut
ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh
beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan
Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih
dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku
Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
6
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum
Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815,
dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah
terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu. Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur
Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang
pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan
menyerang nagari Pandai Sikek. Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara
kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan
Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan
masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai
dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah
yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal
dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi
yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri
kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah
pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba
di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir
itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah
7
Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal
6 November 1973.
Ia adalah seorang raja dari Mataram. Sang ibu bernama R.A. Mangkarawati, ia berdarah
Pacitan. Saat dilahirkan, Diponegoro memiliki nama Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Sang
Ayah sempat punya niat untuk mengangkatnya sebagai raja. Hanya saja waktu itu ia sadar
bahwa ia hanya putra dari seorang selir, sehingga menolak keinginan dari ayahnya tersebut.
Sepanjang hidupnya, Diponegoro pernah mempersuntingnya banyak istri, diantaranya adalah
Raden Ayu Ratnaningrum, Bendara Raden Ayu Antawirya, dan Raden Ayu Ratnaningsih.
Kehidupannya lebih banyak dihabiskan untuk mendalami agama. Ia juga dikenal sangat
merakyat dan banyak tinggal di Tegalrejo. Ada satu momen dimana ia melakukan
pemberontakan terhadap keraton dan ini bermula saat keraton berada di bawah pemerintahan
Hamengkubuwana V (1822). Ia saat itu bertindak sebagai anggota perwalian. Ia tidak
menyukai prosedur perwalian tersebut. Diponegoro adalah sosok pejuang luar biasa. Ia tidak
8
suka dengan Belanda sejak mereka berani memasang patok di tanah miliknya yang berlokasi
di Tegalrejo. Itu tidak lain adalah karena Belanda dinilai semena-mena terhadap masyarakat.
Mereka juga suka membebani pajak kepada rakyat. Ia pun menunjukkan ketidaksukaannya
secara terbuka dan sikap ini ternyata banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Sang
paman Pangeran Mangkubumi kemudian memintanya pindah dari Tegalrejo untuk
memikirkan strategi melawan kaum kafir. Ia menamai perjuangan tersebut sebagai Perang
Sabil. Semangat tersebut tidak hanya menyulut semangat orang-orang terdekatnya saja,
namun mleluas hingga ke Kedu dan Pacitan. Bahkan tokoh agama penting seperti Kyai Maja
juga turut serta di dalam perjuangan tersebut.
Perang tersebut menyebabkan kerugian di pihak kolonial. Mereka kehilangan banyak prajurit,
bahkan mencapai 15.000 orang. Karena dinilai membahayakan, mereka pun membuat
sayembara dengan hadiah 50.000 Gulden supaya orang tertarik ikut serta dalam perburuan
tersebut. Diponegoro baru berhasil ditangkap di tahun 1830.
Beberapa minggu setelah ditangkap, 28 Maret 1830, ia bertemu dengan Jenderal de Kock di
Magelang. Sang jenderal meminta supaya Diponegoro tidak melakukan aksi serangan lagi. Ia
pun menolaknya, sehingga berdampak pada pengasingan dirinya ke Ungaran, kemudian
Semarang, dan terakhir Batavia. Tidak berhenti disini, ia kembali dipindahkan beberapa kali
dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan sampai ke Manado.
Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap
berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti
Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus
menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.
9
Belanda akan kita lenyapkan di tanah jawa,
Dengan kewibawaan ksatria Muhammad yaitu Ali Hasan dan Husein,
Kita semua akan berperang dengan Takbir dan Sholawat,
jika kita gugur di medan perang,
itu adalah tanda laksana gugurnya sahabat Husein di Nainawa
5. Biografi Patimura
Gelar Kapitan
Berdasarkan sejarah yang dituliskan M.Sapija, gelar kapitan yang dimiliki oleh
Pattimura berasal dari pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran dari Abdul Gafur (leluhur bangsa
Indonesia). Dilihat dari sudut sejarah dan antropologi adalah homo religosa (makhluk
agamis). Keyakinan mereka terhadap suatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran
mereka yang akhirnya menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Karena
itulah tingkah laku sosialnya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan alam yang mereka
takuti.
10
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus
dimiliki seseorang. Kesaktian tersebut kemudian diterima sebagai suatu peristiwa
yang suci dan mulia. Bila kekuatan tersebut melekat pada seseorang maka akan
menjadi lambang kekuatan untuknya.
Pattimura merupakan pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat tersebut
melekat dan berproses turun temurun. Meskipun kemudian mereka sudah memeluk
agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau
kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura
itu bermula.
Perjuangan Pattimura
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam
dunia militer sebagai mantan sersan militer Inggris. Hingga pada tahun 1816, terjadi
perpindahan kekuasaan dari kolonialisme Inggris ke tangan Belanda. Kedatangan
Belanda sangat di tentang oleh Belanda, karena sebelum Inggris darang ke daratan
Ambon. Belanda pernah menguasai daratan Ambon selama kurang lebih 2 Abad.
Selama kurun waktu 2 abad hubungan kemasyarakatan, politik dan ekonomi sangat
buruk. Datangnya Belanda kali ini membawa aturan baru seperti monopoli politik,
pemindahan penduduk, pajak atas tanah, dan mengabaikan Traktat london.
Akibatnya, Rakyat Maluku melakukan perlawanan angkat senjata untuk melawan
Belanda di bawah pimpinan Pattimura. Pattimura diangkat menjadi pemimpin
perjuangan melawan Belanda oleh Patih, ketua adat, dan para kapitan lainnya karena
sifat kemimpinan dan ksatria yang ada pada diri Pattimura.
Karena perjuangan yang ia lakukan, Pattimura berhasil menggalang kekuatan dengan
mengajak kerajaan ternate, Tidore, dan beberapa Raja di Jawa dan di Bali untuk
membantu rakyat Maluku memerangi Belanda. Dengan kekuatan besar ini, Belanda
sampai mengerahkan kekuatannya dibawah pipiman Laksamana Buykes, yang
merupakan komisaris Jenderal Belanda.
Pejuangan Kapitan Pattimura dalam melawan Belanda yaitu untuk memperebutkan
Benten Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano. Ouw-Ullath,
Jasirah Hitu di pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat dan
bumi hangus oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang
bersamanya akhirnya dapat ditangkap. Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial
Belanda disebuah Rumah di daerah Siri Sori Pattimura kemudian di adili di
Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda.
11
6. I Gusti ketut Jelantik
12
Tawan Karang (taban karang) merupakan hukum adat yang berlaku di Bali pada masa
silam dan sudah dikenal sejak abad 10 M. Hukum ini membolehkan raja atau
masyarakat wilayah pesisir untuk menyita kapal seisinya yang terdampar di
wilayahnya. Tujuan hukum ini adalah menjaga wilayah kekuasaan dari masuknya
musuh asing.
13
suku lain yang ada di wilayah dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik
beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah pengasingan Sultan Hidayatullah ke Cianjur oleh Belanda, perjuangan rakyat
banjar diteruskan oleh Pangeran Antasari. Pada 14 Maret 1862, untuk menguatkan
posisi Pangeran Antasari sebagai pemimpin perjuangan untuk melawan penjajah di
kawasan bagian utara Banjar, di depan rakyat, pejuang, bangsawan, panglima dayak
serta alim ulama Banjar, Pangeran Antasari ditunjuk sebagai Petinggi kesultanan
Banjar atau menjadi Sultan Banjar dengan gelar Panembah Amiruddin Khalifatul
Mukminin. Penguatan posisi tersebut dimulai dengan seruan
“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!”.
Perjuangan Pangeran Antasari Melawan Belanda
Pada 25 April 1859, Pangeran Antasari bersama 300 prajuritnya menyerang
pertambangan batu bara milik Belanda yang ada di Pengaron dengan dimulainya
penyerangan tersebut Perang Banjar pun pecah. Peperangan demi peperangan terus
terjadi di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran Antasari yang dibantu para
panglima dan pengikut setianya menyerang pos-pos milik Belanda yang ada di
Martapura, Riam Kanan, Hulu Sungai, Tabalong, Tanah Laut, Sepanjang sungai
Barito hingga Puruk Cahu.
Peperangan yang terjadi antara pasukan Pangeran Antasari dengan Belanda semakin
sengit. Belanda yang dibantu oleh pasukan Batavia dan juga persenjataan canggih,
berhasil mendesak Pangeran Antasari dan pasukannya dan Pangeran Antasari
akhirnya memindahkan benteng pertahanannya ke Muara Taweh.
Belanda terus membujuk Pangeran Antasari agar menyerah, namun Pangeran Antasari
tetap teguh pada pendiriannya. Pihak Belanda pernah menawarkan hadiah imbalan
sebesar 10.000 gulden bagi siapapun yang dapat menangkap lalu membunuh
Pangeran Antasari, namun tidak ada yang mau menerima tawaran tersebut.
Meninggalnya Pangeran Antasari
Setelah lama berjuang, pada 11 Oktober 1862 di kampung Bayan Begok, Sampirang
Pangeran Antasari wafat ditengah pasukannya di Usia sekitar 75 tahun tanpa
menyerah, tertangkap ataupun tertipu oleh Belanda. Pangeran Antasari meninggal
akibat penyakit paru-paru dan juga cacar yang dideritanya setelah perang dibawah
kaki Bukit Begantung, Tundukan. Sepeninggalan Pangeran Antasari, perjuangan di
teruskan oleh putranya yang bernama Muhammad Seman.
Pada tanggal 11 november 1958 atas keinginan Banjar dan juga persetujuan keluarga,
setelah terkubur selama sekitar 91 tahun di daerah Hulu sungai Barito, kerangka
Pangeran antasari dipindah makamkan ke Taman Makam Perang Banjar yang ada di
Kelurahan Surgi Mufti, Banjarasin. Bagian tubuh Pangeran Antasari yang masih utuh
dan dipindah makamkan adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan juga beberapa
helai rambut.
Penghargaan Untuk Pangeran Antasari
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah
Republik Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan
Kemerdekaan. Untuk mengenang jasa beliau, nama beliau di abadikan pada Korem
101/Antasari dan juga nama beliau dipakai sebagai nama julukan Kalimantan Selatan
yaitu Bumi Antasari.
14
8. Sisingamangaraja
Sisingamangaraja XII adalah pejuang gigih yang lahir di Bakara, Tapanuli pada 18
Februari 1845. Selama hidup, ia habiskan waktunya untuk memperjuangkan wilayahnya
dari penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia meninggal di Dairi pada 17 Juni
1907 dan mendapat gelar pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 9 November, melalui
Keppres No. 590 Tahun 1961. Kiprahnya Sisingamangaraja XII bermula pada tahun 1867
saat ia naik tahta menggantikan ayahnya. Ia menjadi Tapanuli yang gigih melawan
kompeni. Kala itu Belanda mulai masuk ke Tapanuli dan Sisingamangaraja XII
mengumpulkan para penguasa lokal untuk melawan. Lobi Belanda selama beberapa tahun
untuk masuk ke wilayah Tapanuli selalu gagal, hingga puncaknya terjadi perang pada 19
Februari 1878 antara tentara kolonial versus pasukan Sisingamangaraja XII di pos
pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Pasukan Sisingamangaraja mengalami
kekalahan dan mundur, sementara itu tentara Belanda terus merengsek mengejar sembari
membakar tiap desa yang dilaluinya. Pertempuran kembali terjadi di Balige,
Sisingamangaraja XII terkena tembakan di bagian atas lengan. Ia kembali harus mundur
dan menetapkan taktik gerilya untuk melawan Belanda. Taktik berpindah tempat ini
berhasil membuat tentara Belanda kewalahan hingga pada 1989 Belanda mengetahui
pasukan Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong. Pasukan Sisingamangaraja XII
kembali dibombardir dengan alat modern, sehingga harus mundur dan bertahan di Dairi.
Mulai saat itu Belanda berhasil menguasai Tapanuli dan selama bertahun-tahun tidak ada
pertempuran. Namun, sebenarnya Sisingamangaraja XII tetap berjuang dengan menjalin
banyak sekutu dan mengobarkan semangat anti penjajah sampai ke Aceh. Karena inilah,
pada masa ini banyak perlawanan-perlawanan dari penguasa lokal terhadap Belanda.
Sampai akhirnya Belanda tahu bahwa bahwa perlawanan raja-raja lokal tersebut akibat
dari pengaruh Sisingamangaraja XII.
15
pertempuran hebat yang menewaskan Sisingamangaraja XII. Lalu pengikut beserta
kerabatny ditawan, tahun ini menandai rampungnya perlawanan Sisingamangaraja XII
terhadap Belanda.
9. Wahidin Sudirohusodo
10. Sutomo
Sutomo atau lebih dikenal sebagal Bung Tomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya,
pada 3 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Sutomo adalah sosok yang
aktif berorganisasi sejak remaja. Bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI),
beliau tercatat sebagai salah satu dari tiga orang pandu kelas I di seluruh Indonesia saat itu.
Pada masa mudanya, Bung Tomo yang memiliki minat pada dunia jurnalisme tercatat sebagai
wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Setahun kemudian, ia
menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok
harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang,
Domei, bagian Bahasa Indonesia untük seluruh Jawa Timur di Surabaya (1942-1945). Saat
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam
bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang.
Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai
orator ulung di depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan
tentara Inggris dan NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di
Surabaya yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut
menghadapi tentara Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November pun kemudian
kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an.
Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada
11 April 1978 ditahan oleh pemerintah selama satu tahun karena kritik-kritiknya yang pedas.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo
dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo,
pahlawan pengobar semangat Juang arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara
resmi dan pemerintah pada tahun 2008.
Tempat/Tgl. Lahir : Surabaya, 3 Oktober 1920
Tempat/Tgl. Wafat : Mekah,7 Oktober 1981
SK Presiden : Keppres No. 41/TK/2008, Tgl. 6 November 2008
17
Gelar : Pahlawan Nasional
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin
setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe
menjerah kepada siapapoen djuga!”
– Bung Tomo –
Pertempuran Surabaya merupakan salah satu perang terberat yang pernah dihadapi Inggris
seusai PD II. Bahkan, seorang jenderal Inggris tewas di Surabaya.
18