Anda di halaman 1dari 11

BIOGRAFI PAHLAWAN YANG BERASAL DARI ACEH.

1. SULTAN ISKANDAR MUDA

Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh,
yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Sultan Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda
Aceh pada tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh, Aceh pada tanggal 27 September
1636.

Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar Muda
dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang ulama dari Baitul
Mukadis pakar ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau.

Selanjutnya ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan dari
Gujarat. Diantaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar
Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan Sekh
Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.

Sultan Iskandar Muda dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, pada masa kepemimpinan
beliau, Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan
reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.
2. Teungku Cik Di Tiro

Teungku Chik di Tiro bernama asli Muhammad Saman dilahirkan di Cumbok-Lamlo,


Tiro, Aceh, pada tahun 1836 dan wafat di Aneuk Galong, Aceh Besar, Januari 1891. Beliau
adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh. Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro,
pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.

Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya
bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836,
bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah
Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Teungku Chik di Tiro tidak menjalani pendidikan formal tetapi relajar agama kepada ulama-
ulama terkenal di Tiro. Itulah sebabnya mengapa beliau dipanggil dengan sebutan Tengku Cik
Di Tiro.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu
tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu
tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan
kolonialisme.

Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa
saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa.
Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan
Perang Sabil. Ketika Aceh Besar jatuh di tangan Belanda dan kekuatan Aceh makin melemah,
Tengku Cik Di Tiro muncul untuk memimpin perang
3. Teuku Umar

Pahlawan nasional Teuku Umar merupakan seseorang yang lahir pada tahun 1854 dan berasal
dari meulaboh, aceh barat. Beliau merupakan pahlawan yang mencetuskan adanya perang aceh
melawan pemerintahan Belanda pada masa situ. Perang gerliya aceh tersebut terjadi pada tahun
1873 sampai 1899. Bapak dari teuku umar adalah teuku Mahmud yang merupakan seorang
pejuang juga di tanah aceh. Dalam biografi Teuku umar diceritakan sejak berumur 19 tahun
beliau sudah menjabat sebagai kepala desa atau keuchik di daerah meulaboh.

Perang aceh terjadi pada tahun 1873, pada perang tersebut teuku umar muda sudah ikut berjuang
bersama pejuang lainnya untuk mengusir Belanda. Teuku umar tidak pernah mendapatkan
pendidikan formal, tetapi beliau merupakan seorang pemimpin yang bijaksana, pintar dan juga
tegas dalam merumuskan berbagai macam strategi perang. Selain itu beliau juga memiliki
pribadi yang kuat, tidak mudah patah menyerah dan juga pemberani. Inilah yang membuat
banyak orang yang percaya dengan kepemimpinan beliau. Jika membaca buku tentang biografi
Teuku umar, anda akan mengetahui seperti apa perjalanan hidup teuku umar.

Teuku umar menikah pada saat beliau berumur 20 tahun dengan seorang wanita yang bernama
Nyak sofiah. Nyak sofiah merupakan anak dari uleebalang glumpah. Selanjutnya beliau juga
pernah menikah dengan Nyak malighai. Nyak malighai merupakan putri dari panglima sagi
XXVI mukim. Sejak pernikahan keduanya tersebut, beliau memiliki gelar teuku. Terakhir beliau
menikah dengan seorang janda yang bernama Cut Nyak Dien, yang merupakan putri dari paman
Teuku umar. Mereka menikah pada tahun 1880. Suami pertama dari Cut Nyak Dien adalah
Teuku Ibrahim lamnga, tetapi suami dari Cut Nyak Dien sudah meninggal pada tahun 1878.
Dalam biografi teuku umar, teuku umar dan Cut Nyak Dien berjuang bersama untuk mengusir
Belanda dari aceh.

Pada tahun 1883 pasukan pemerintahan Belanda menyerah pada pasukan dari teuku umar. Tetapi
pada tahun 1884, terjadi peperangan kembali antara Belanda dan rakyat aceh. Teuku umar
akhirnya bergabung dengan Belanda. Awalnya rakyat aceh berpikir bahwa teuku umar
merupakan penghianat. Tetapi hal itu dilakukan teuku umar untuk mendapatkan tambahan
senjata dan juga mencari tahu tentang strategi perang dari Belanda. Pada saat itu teuku umar
masuk ke dinas politik dan sempat dianugerahi gelar johan pahlawan. Hal ini banyak diceritakan
diberbagai buku biografi teuku umar.

Setelah berhasil memasukkan banyak orang aceh dipecah Belanda. Pada tanggal 30 maret tahun
1896, teuku umar bisa melepaskan diri dan berhasil membawa senjata, amunisi, butir peluru dan
juga uang dari pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda sangat marah dan melakukan
penyerbuan pada rakyat aceh. Pada tanggal 11 februari tahun 1899, Belanda akhirnya bisa
menemukan teuku umar dan beliau wafat pada saat penyeragaman tersebut. Itulah beberapa
cerita tentang biografi teuku umar. Semoga menjadi pengetahuan tentang pahlawan nasional
Indonesia.

4. Panglima Polim

Panglima Polem Muhammad Daud


Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad
Daud adalah seorang panglima Aceh. Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas
mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima Polem, yang jelas ia berasal dari keturunan
kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku
Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta
(Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXII Mukim
Aceh Besar.[1]

Biografi

Stempel Panglima Polem

Diangkat sebagai Panglima

Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang
puteri dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia
diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya
Panglima Polem Raja Kuala yang telah wafat. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia
kemudian mewarisi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Wazirul Azmi.[1]
Dalam perjuangannya Panglima Polem Muhammad Daud juga memperoleh dukungan dari
para ulama Aceh. Sebagai pendukung utama, Teungku Muhammad Amin dan Teungku Beb,
yang kemudian diangkat menjadi panglima besar.[1]

Perjuangan melawan Belanda

Bersama Teuku Umar

Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan Aceh. Teuku Umar
bersama 15 orang panglimanya pada bulan September 1893, pura-pura menyerah kepada
Belanda, setelah terjadi penyerahan, patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII, Mukim Ba'et
Aceh Besar. Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh.
Sementara itu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya
bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran
tersebut pasukan Belanda sangat marah karena dari pihak mereka banyak yang
berjatuhan.Korban dalam penyerangan itu sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-
luka.[1]
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh.
Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umarpun mengambil jalan
pintas mengundurkan diri ke daerah Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang
keberadaannya, Teuku Umar meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di wilayah
pegunungan Seulimeum.[1]
Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda
akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam
pertempuran ini, jatuh korban 27 orang tewas dan 47 orang luka-luka. Pada bulan Oktober
1897, wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan,
dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.[1]

5. Teuku Nyak Arif

Nama Lengkap : Teuku Nyak Arief


Lahir : Tekengon, 4 Mei 1946
Makam : Lam Nyong Aceh

Teuku Nyak Arief menempuh pendidikanya di OSVIA (Sekolah pamong praja) serang, jawa barat.
Setelah tamat pada tahun 1915, ia kembali ke banda aceh. Tahun 1919, ia diangkat menjadi ketua
Nationale Indische Partij (NIP) cabang Banda Aceh. Tahun 1920, ia kembali diangkat suatu daerah
tertentu di aceh.
Teuku Nyak Arief peenah menjadi anggota Voolksraad (Dewan Rakyat) selama satu periode. Ia juga
merupakan salah seorang pendiri fraksi nasional dalam Volksraad. Selama menjadi anggota
Volksraad, ia kerap mengritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang selalu merugikan rakyat.

Demikian pula pada jaman jepang, nyak Arief selain ditunjuk sebagai anggota aceh syu
sangikai(dewan rakuat aceh), juga dipercaya menjadi anggota sumatera cuo sangi in (dewan rakyat
sumatera). Meskipun kedua lembaga tersebut bentukan jepang, namun secara diam-diam nyak arief
tetap melakukan gerakan bawah tanah untuk menentang jepang.

Setelah indonesia merdeka, Teuku Nyak Arief diangkat sebagai Residen Aceh. Ketika iru aceh masih
ada tentara jepang yang tersisa menunggu dilucuti sekutu. Sekutu ditolak masuk oleh Teuku Nyak
Arief, alasanya pemerintah daerah aceh mampu melakukan itu. Teuku Nyak Arief kemudian melucuti
senjata tentara jepang.
Namun jepang sendiri menolak untuk dilucuti oleh orang-orang aceh, sehingga pertentangan antara
keduanya dimaafkan oleh pihak sekutu. Dengan begitu, sekutu merasa tidak perlu turun tangan
langsung melawan pejuang-pejuang aceh yang menolak kedatangan tentara sekutu. Terjadilah perang
antara pejuang aceh melawan jepangyang dikenal sebagai peristiwa Krueng Panjo/Bireun.

Selain melawan jepang dan sekutu, pemerintah daerah aceh juga dipusingkan oleh adanya
pemberontakan yang dilakukan oleh golongan agama di aceh. Mereka ingin merebut tampuk
pemerntah dari golongan ULU Balang (bangsawan). Untuk menghindari terjadinya pertumpahan
darah, Teuku Nyak Arief sebagai residen aceh membiarkan dirinya untuk ditawan oleh laskar
mujahidin dan tentara perlawanan rakyat(TPR). Teuku Nyak Arief kemudian dibawa ke Takengon.
Tidak berapa lama, tanggal 4 Mei 1946, Teuku Nyak Arief meninggal dunia akibat penyakit gula
yang dideritanya selama ini kambuh. Teuku Nyak Arief diteguh sebagai Pahlawan Nasional
berdasarkan SK Presiden RI. No.071/TK/1974.

6. Teuku Muhammad Hasan

Teuku Muhammad Hasan (lahir di Pidie, Aceh, 4 April 1906 meninggal di Jakarta, 21
September 1997 pada umur 91 tahun) adalah Gubernur Wilayah Sumatera pertama[1] setelah
Indonesia merdeka , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 hingga
tahun 1949 dalam Kabinet Darurat[2]. Selain itu ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan
pahlawan nasional Indonesia.
Teuku Muhammad Hasan dilahirkan tanggal 4 April 1906 sebagai Teuku Sarong, di Sigli,
Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ul Balang di Pidie (Ul Balang
adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di Aceh). Ibunya bernama Tjut Manyak.

Dia bersekolah di Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoeh Saka 1914-1917. Pada tahun
1924 bersekolah di sekolah berbahasa Belanda Europeesche Lagere School (ELS),
dilanjutkan ke Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia (sekarang Jakarta).
Kemeudian ia masuk Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).

Pada usia 25 tahun, T.M Hasan memutuskan untuk bersekolah di Leiden University, Belanda.
Selama di Belanda, ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang dipelopori oleh
Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk
Pamuntjak. Selain kesibukannya sebagai mahasiswa, Hasan juga menjadi aktivis yang
mengadakan kegiatan-kegiatan organisasi baik di dalam kota maupun di kota-kota lain di
Belanda

Hasan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Master of Laws) tahun 1933.

7. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dhien adalah seorang wanita Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang
melawan penjajahan Belanda pada masa Perang Aceh.

Gambar Cut Nyak Dhien diambil dari wikipedia

Biodata

Nama Lengkap : Cut Nyak Dhien


Tempat Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh
Tahun Lahir : 1848
Meninggal : 6 November 1908. Sumedang, Hindia Belanda
Agama : Islam

Kehidupan
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir dari
kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang, yang juga
mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati.

Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan
Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan
Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecil Cut Nyak Dhien, Ia memperoleh pendidikan agama (yang dididik oleh orang tua
ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan
sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien
dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun
1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Namun pada tahun 1878
Teuku Ibrahim Lamnga suami dari Cut Nyak Dhien tewas karena telah gugur dalam perang melawan
Belanda di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878.

Meninggalnya Ibrahim Lamnga membuat duka yang mendalam bagi Cut Nyak Dhien. Tidak lama
setelah kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dipersunting oleh Teuku Umar pada tahun 1880.

Teuku Umar adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak,
tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien
setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama
Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur
bersama melawan Belanda.

8. Cut Nyak Mutia


Biografi Cut Nyak Meutia

Cut Nyak Meutia , Pejuang perempuan kelahiran Perlak, Aceh, ini adalah seorang pemberani yang
hingga titik darah penghabisan memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial. Beliau lahir
tiga tahun sebelum Perang Aceh berkecamuk sehingga besar dalam suasana gelora semangat
perjuangan. Ketika sudah beranjak dewasa, ia menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang
yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong.

Perang terhadap pendudukn Belanda terus berkobar. Cut Nyak Meutia bersama Teuku Cik Tunong
langsung memimpin perang di daerah Pasai. Berkali-kali pasukan beliau berhasil mencegat patroli
pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda
di Idie. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong
berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak. Berselang beberapa waktu
setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk
dan dipesan suami pertamanya sebelum menjalani hukuman tembak.

Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda. Di lain pihak,
pengepungan pasukan Belanda semakin ketat. Pasukan Cut Meutia semakin tertekan mundur, masuk
lebih jauh ke pedalaman rimba Pasai. Pada satu pertempuran di Paya Cicem pada bulan September
tahun 1910, Pang Nangru gugur di tangan pasukan Belanda. Cut Nyak Meutia sendiri masih dapat
meloloskan diri. Kondisi yang sudah mulai terdesak membuat beberapa anggota pasukan Cut Meutia
menyerah. Namun, beliau bersikeras terus berjuang di pedalaman rimba Pasai bersama anaknya, Raja
Sabil, yang masih berumur sebelas tahun.

Upaya dan bujukan dari keluarga atas permintaan Belanda pun tak beliau hiraukan. Dalam suatu
pengepungan pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Nyak Meutia berhasil ditemukan. Pasukan Belanda
yang bersenjata Iengkap tidak membuat beliau gentar. Dengan sebilah rencong di tangan, beliau tetap
melakukan perlawanan. Namun, tiga buah tembakan pasukan musuh menghentikan perlawanan Cut
Nyak Meutia. Meski demikian, semangat perjuangan dan nama beliau tetap harum hingga kini.

Tempat/Tgl. Lahir: Perlak, 1870 (tanggal dan bulan tidak diketahui)


Tempat/TgI. Wafat: Aceh, 24 Oktober 1910
SK Presiden: Keppres No.107 Tahun 1964. Tgl 2 Mei 1964
Gelar: Pahlawan Nasional

9. Laksamana Malahayati
Laksamana Malahayati adalah salah satu diantara perempuan hebat dalam sejarah Indonesia. Nama
aslinya Keumalahayati, putri dari Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah.
Kakeknya merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada 1530-1539. Karena
ayahnya seorang laksamana, tak heran jika Malahayati akrab dengan dunia angkatan laut, termasuk soal
perangnya.

Selain dari ayahnya, Malahayati mendapat pendidikan akademi militer dan memperdalam ilmu kelautan
di Baital Makdis, sebuah pusat pendidikan tentara Aceh. Konon disana pula Malahayati berkenalan
dengan seorang perwira muda yang kemudian menjadi pendamping hidupnya.

Dalam suatu perang melawan Portugis di Teluk Haru, armada Aceh sukses menghancurkan Portugis.
Tetapi dalam pertempuran tersebut sekitar seribu orang Aceh gugur, termasuk Laksamana yang
merupakan suami Malahayati.

Tak ingin berlama-lama bermuram durja atas gugurnya sang suami, Malahayati membentuk armada
yang terdiri dari para wanita. Pasukannya perupakan para janda yang suaminya gugur dalam
pertempuran melawan Portugis. Armada ini dikenal dengan nama Inong Balee atau armada perempuan
janda. Dalam perkembangannya pasukannya tidak hanya terdiri dari para janda, tetapi gadis-gadis juga
ikut bergabung. Armada ini memiliki 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang. Tiap kapal
perang dilengkapi dengan meriam. Bahkan kapal paling besar dilengkapi lima meriam. Pangkalannya
berada di Teluk Lamreh Krueng Raya.

Pada Juni 1599 dua kapal dagang Belanda yang dipersenjatai yang dipimpin Cornelis de Houtman dan
Frederick de Houtman datang mengunjungi Aceh. Kedatangan mereka disambut oleh Sultan dengan
upacara kebesaran dan perjamuan. Tetapi setelah itu timbul ketegangan dan konflik, hingga pecah
perang melawan Belanda pada September 1599. Sejumlah orang Belanda terbunuh, termasuk Cornelis
de Houtman yang dibunuh oleh panglima armada Inong Balee, Malahayati, dengan rencongnya.
Selain menjadi panglima perang, Malahayati juga seorang diplomat. Saat itu setelah pertempuran
melawan armada Belanda, hubungan Aceh dan Belanda sempat tegang. Prins Maurits, yang memimpin
Belanda saat itu berusaha memperbaiki hubungan. Maka dikirim utusan ke Aceh, dan Malahayati
ditugaskan oleh Sultan untuk melakukan perundingan-perundingan awal dengan utusan Belanda,
hingga tercapai sejumlah persetujuan.

Atas keberaniannya Malahayati mendapat gelar laksamana hingga ia lebih dikenal dengan nama
Laksamana Malahayati. Namanya kemudian dikenang di berbagai tempat, diantaranya digunakan
sebagai nama salah satu kapal perang Republik Indonesia, KRI Malahayati.

10. Teuku Fakinah

Teungku Fakinah
(kaskus.co.id)

Tengku Fakinah yang biasanya disebut dengan Teungku Faki adalah pejuang perempuan yang dikenal
sebagai panglima perang Sukey Fakinah.

Riwayat

Tengku Fakinah dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam
Krak). Ia adalah Puteri dan Tengku Datuk dan Kampung Lam Beunot (Lam Taleuk) Mukim Lam
Kerak VII Mukim Baet, Sagi XXII Mukim Aceh Besar.

Ayahnya yang bernama Tengku Datuk juga disebut dengan Tengku Asahan karena pada masa
remajanya merantau ke Asahan Aceh Selatan. Sekembalinya dan Asahan a menikah dengan Cut Mah
puteri dan Tengku Cik Lam Pucok. Pada tahun 1856, Perkawinan Cut Mah dengan Tengku Datuk
dikaruniai seorang puteri yang bernama Tengku Fakinah.

Pada masa kecil hingga remajanya Tengku Fakinah mendapat didikan agama, jahit menjahit. dan
kerajinan kerawang sutera emas dan perak. Tidak mengherankan ketika dewasa ia dikenal cebagai
ahli agama dan pakar kerajinan kerawang.

Anda mungkin juga menyukai