Anda di halaman 1dari 30

PERJUANGAN PAHLAWAN NASIONAL SEBELUM TAHUN 1908

Sultan Ageng Tirtayasa

Nama Lengkap
Sultan Ageng Tirtayasa
Alias
Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah | Sultan Ageng Titayasa
Agama
Islam
Tempat Lahir
Banten
Tanggal Lahir
Tahun 1631
Biografi
Sultan Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi
Banten. Lahir pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan
Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640 - 1650. Perjuangan
beliau salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten.
Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng
dalam perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten
mempunyai kerajaan Islam. Langkah yang beliau tempuh pertama dalam sektor
ekonomi. Kesejahteraan rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru
serta irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana perhubungan. Sultan Ageng tidak
hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik tetapi juga berperan besar
di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar,
menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan
penasehat sultan dalam bidang pemerintahan. Dia juga menggalakkan pendidikan
agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di masyarakat melalui pondok
pesantren.
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan
menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat.
Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang
pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan
membangun bangsanya. Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang
sangat visioner, ahli perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta
berwawasan internasional. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan
kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun.
Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang
sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin
hubungan baik dengan Makasar, Bangka, Cirebon dan Indrapur. Karakter Sultan
Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual.  Bagi dia,
kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan pemimpin juga tidak kalah
penting.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia
meninggal dunia dalam penjara. Ia dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja
Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan
Ageng Tirtayasa diberi gelar Pahlawan Nasional.
Sultan Hasanuddin

Nama Lengkap
Sultan Hasanuddin
Alias
Ayam Jantan Dari Timur
Agama
Islam
Tempat Lahir
Makassar, Sulawesi Selatan
Tanggal Lahir
Minggu, 12 Januari 1631
Biografi
Terkenal dengan sebutan 'Ayam Jantan Dari Timur', Sultan Hasanuddin adalah
pahlawan nasional dari Sulawesi, tepatnya dari Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin
adalah Raja Gowa ke-16, putra dari I Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan
Malikussaid (ayah) dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu. Ilmu berpolitik,
diplomasi, ilmu pemerintahan dan ilmu perang dipelajari Hasanuddin ketika ikut
mendampingi ayahnya melakukan perundingan-perundingan penting, ditambah
dengan bimbingan Karaeng Pattingaloang, mangkubumi kerajaan Gowa, yang sangat
berpengaruh dan cerdas. Pergaulan Hasanuddin yang luas dengan rakyat jelata, orang
asing dan Melayu membuatnya sering dipercaya menjadi utusan ayahnya untuk
mengunjungi daerah dan kerajaan lain.
Pada usia 21 tahun, Sultan Hasanuddin ditugaskan untuk menjabat bagian
pertahanan Kerajaan Gowa. Di sinilah Sultan Hasanuddin mulai bermain strategi
mengatur pertahanan untuk melawan serangan Belanda yang ingin memonopoli
perdagangan di Maluku. Setahun kemudian ayahnya wafat, dan atas titah beliau,
Sultan Hasanuddin yang seharusnya tidak ada dalam garis tahta dinobatkan menjadi
raja karena kepintaran dan keahliannya.
Peperangan dengan Belanda berlangsung alot karena dua kubu memiliki
kekuatan armada yang sebanding. Hingga Belanda menemukan bahwa daerah-daerah
di bawah kekuasaan Gowa mudah dihasut dan dipecah belah. Arung Palakka yang
merupakan sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin saat kecil memimpin
pemberontakan Raja Bone terhadap Kerajaan Gowa.
Tahun 1662, Belanda kembali mengobarkan perang saudara dan di tahun 1664,
Sultan Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka berhasil disatukan di bawah kendali
Belanda. Setelah 16 tahun berperang tidak hanya dengan Belanda namun juga dengan
rakyatnya sendiri (yang memberontak), Sultan Hasanuddin akhirnya kalah dalam
peperangan tahun 1669. Di tahun yang sama Sultan Hasanuddin mundur dari
jabatannya sebagai Raja Gowa dan memilih menjadi pengajar agama Islam sambil
tetap menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan. Sultan Hasanuddin wafat tanggal
12 Juni 1670, dan tidak mau bekerja sama dengan Belanda hingga akhir hayatnya.
Tuanku Imam Bondjol

Nama Lengkap
Tuanku Imam Bondjol
Agama
Islam
Tempat Lahir
Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat
Ayah
Khatib Bayanuddin
Ibu
Hamatun
Biografi
Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan
pejuang yang berperang melawan Belanda dalam sebuah peperangan yang dikenal
dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan
nama asli Muhammad Shahab di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari
pasangan Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama dari Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya Hamatun. Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku Imam Bonjol
memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari
Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum
Padri di Bonjol. Dia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku
Imam Bonjol.
Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan
pribadi yang santun. Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan
dari Kaum Paderi. Kaum Paderi merupakan sebutan yang diberikan kepada
sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syiar agama dalam tatanan
masyarakat yang zaman dulu populer di tanah Minangkabau terutama pada masa
Perang Padri.
Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan
pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan
Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta
menjadi pemimpin Kaum Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk
oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya
untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh
meninggal dunia.
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang
merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi
pemimpin dari Kaum Padri. Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini
komando Kaum Paderi ada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin,
Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin
Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan. Perang Padri muncul
sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan
yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa
setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi
kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat
(opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran pelaksanaan
kewajiban ibadah agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah
memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum
Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803. Hingga tahun 1833, perang ini
dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan
Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan
Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni
Sultan Arifin Muningsyah. Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan
kepada Belanda pada tahun 1821 yang justru memperumit keadaan, sehingga sejak
tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum
Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan
Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat lama.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh
untuk berunding. Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan
dibuang ke Cianjur, Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke
Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol
meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan
di tempat pengasingannya tersebut. Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam
Bonjol mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri
terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di
sisi lain, fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi
apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai penghargaan
dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku
Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6
November 1973.
Pangeran Diponegoro

Biografi
Nama Bendara Raden Mas Antawirya
Lahir Yogyakarta, 17-November-1785
Meninggal Makassar, 8-Januari-1855 (Usia 69)
Orang Tua Sultan Hamengkubuwono III & R.A Mangkarawati
Pahlawan Perang Jawa, 1825-1830

Pangeran Diponegoro memiliki nama asli B.R.M Antawirya, lahir di lingkungan


keraton Ngayogyakarta pada tanggal 17 November 1785. Kontribusinya dalam pegerakan
melawan penjajah di era Hindia-Belanda, membuatnya dianugerahi gelar pahlawan nasional
Indonesia. Banyak orang yang tidak tahu bahwa ternyata ia adalah anak tertua dari raja Jogja,
Sultan Hamengkubuwono ke-3. Mungkin ini terjadi karena Pangdip adalah anak dari selir,
bukan sang ratu. Ibunya bernama R.A Mangkarawati yang berdarah Pacitan, Jawa Timur.
Bendara Raden Mas Antawirya atau Pangeran Diponegoro juga dikenal dengan nama
Bendara Raden Mas Antawirya, ketika ia masih kecil hingga remaja. Masa kecilnya
dihabiskan di Yogyakarta, hingga sebelum akhirnya memulai ikut perjuangan melawan
penjajah. Kemuliaan dan ketinggian akhlak Pangeran Diponegoro membuat ayahnya sang raja
jadi kagum dan berniat menyerahkan takhtanya padanya. Namun pangeran menolak karena ia
menyadari bahwa keputusan raja ini tidak tepat, sebab ia hanyalah anak selir, bukan
permaisuri ratu. Jika ia naik takhta, tentu akan menciptakan iklim kontestasi politik yang
panas di lingkungan keraton, di antara anak-anak dan keluarga besar.
Pangeran Diponegoro setidaknya pernah menikah hingga 9 kali disemasa hidupnya.
Dari sembilan istri ini, ia memperoleh 12 putra dan 10 putri. Sejarah menyatakan bahwa
meskipun ia adalah pangeran, namun selalu menolak tinggal di dalam kompleks keraton
maupun perumahan bangsawan. Ia malah memilih tinggal di kampung halaman eyang buyut
putrinya, sang permaisuri dari Sultan Hamengkubuwono ke-1. Kampung halaman ini
dinamakan Tegalrejo, namun konsepsi mengenai Tegalrejo sangat filosofis, bahwa yang
dimaksud dengan Tegalrejo adalah kawasan pedesaan. Jadi tidak spesifik menyebutkan
lokasinya di mana. Namun di masa lalu, desa Tegalrejo lokasinya di Jawa Tengah.
Sepanjang gerilyanya sebagai pahlawan perang, Diponegoro dianggap telah
membangkitkan semangat kebangkitan perlawanan orang-orang di desa. Karena ia memang
tinggalnya selalu di desa. Perang Diponegoro tercetus pada tahun 1825-1830. Penyebab
tercetusnya Perang Diponegoro adalah karena ia menolak Belanda melakukan kaplingisasi
alias pematokan tanah di desa Tegalrejo secara paksa. Selain itu juga diberlakukannya pajak
yang sangat besar, padahal tanah yang dipijak adalah tanah nenek moyangnya sendiri. Tidak
hanya berjuang sendirian, sejarah Pangeran Diponegoro juga menyebutkan bahwa langkahnya
didukung di tingkat grassroot (akar rumput) serta elite politik (lingkungan kerajaan).
Setidaknya ia mendapatkan dukungan besar dari Mangkubumi, pamannya. Tapi
tragedi Perang Diponegoro yang berdara-darah ini seakan-akan menjadi tragedi genosida,
sebab perang ini menimbulkan korban jiwa lebih dari 200.000 orang Jawa mati, beberapa ribu
pasukan di pihak lawan yaitu tentara Belanda berdarah Eropa. Bisa dibilang memang pihak
dari Kasunanan Surakarta yang mendukung langkahnya, sedangkan pihak monarki Jogja
sebagai keluarga intinya sendiri malah terkesan mengecap pangdip sebagai pemberontak.
Labelling pemberontak ini melekat tidak hanya pada diri Pangeran Diponegoro, tapi juga
seluruh trah keturunannya. Pangdip dan keturunannya, semenjak perang ini tercetus, dilarang
masuk lagi ke lingkungan keraton. Bahkan perang usai pun, seluruh trahnya tidak
diperkenankan masuk ke keraton, tidak dianggap lagi.
Baru pada era Sri Sultan Hamengkubuwono IX, status pemberontak ini dicabut,
sehingga seluruh cucu-cicitnya kembali dianggap sebagai bagian dari keraton Yogyakarta.
Mereka bisa mengurus berkas-berkas silsilah keluarga yang mungkin saja akan memberikan
kebanggaan dan kedamaian tersendiri di hati mereka.
Kapitan Pattimura

Nama Lengkap : Kapitan Pattimura


Alias : Pattimura | Thomas Matulessy
Agama : Islam
Tempat Lahir : Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku
Tanggal Lahir : Minggu, 8 Juni 1783

BIOGRAFI
Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu
Fransina Silahoi. Munurut M. Sapidja ( penulis buku sejarah pemerintahan pertama)
mengatakan bahwa “pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa
Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali
Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama
orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan"
Ia adalah pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC Belanda. Sebelumnya
Pattimura adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk lutut
kepda belanda. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan
keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan
kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat
senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura.
Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama
pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengoordinir raja-raja dan patih dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan
pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Dalam perjuangan menentang Belanda
ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi
dan Jawa. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat
dan bumi hangus oleh Belanda.
Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun
dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang
luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut
berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya
tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga
dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil
dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja
benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan
pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan
Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda.
Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia
dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya. Para
tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan
pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihannya memperjuangkan
kemerdekaan, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan”
oleh pemerintah Republik Indonesia.

PENGHARGAAN
 Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan RI
I Gusti Ketut Jelantik

Nama Lengkap : I Gusti Ketut Jelantik


Alias : Ketut Jelantik
Agama : Hindu
Istri : I Gusti Ayu Made Geria, I Gusti Ayu Kompyang, 
Gusti Biyang Made Saji, Jero Sekar
Anak : I Gusti Ayu Jelantik, I Gusti Ayu Made Sasih, 
I Gusti Bagus Weda Tarka
BIOGRAFI
I Gusti Ketut Jelantik adalah pahlawan nasional Indonesia. Dia mendapatkan
penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun
1993 karena memang layak disematkan pada  berkat usahanya yang tetap teguh membela
tanah kelahiran atas kekuasaan Belanda kala itu. Berawal dari hak hukum Tawan yang
menyatakan bahwa kapal dari pemerintah manapun apabila bersandar maupun terdampar di
wilayah perairan Bali maka menjadi milik kerajaan Bali. Saat itu, pemerintah Belanda
menolak dengan adanya hak Tawan yang sudah barang tentu merugikan pihaknya. Kapal
dagang Belanda terdampar di daerah Prancak, Jebrana yang merupakan wilayah dari kerajaan
Buleleng disita oleh kerajaan Buleleng yang membuat pemerintah Belanda meradang. Tak
setuju dengan adanya peraturan hak Tawan yang mengakibatkan kapalnya terkena Tawan
Karang, pemerintah Belanda menuntut untuk penghapusan hukum tersebut dan menyarankan
agar pihak kerajaan Buleleng mengakui kekuasaan Belanda di Hindia Belanda.
Tuntutan yang bagi patih kerajaan Buleleng, Ketut Jelantik, sangat meremehkan
tersebut akhirnya ditanggapi dengan sikap meradang. Ia bahkan bersumpah selama hidupnya
tidak akan pernah tunduk pada kekuasaan Belanda demi apapun alasannya. Suami dari I Gusti
Ayu Made Geria ini lebih memilih untuk berperang dibandingkan mengakui kedaulatan dan
kekuasaan pemerintah Belanda.
Memilih jarang peperangan. Begitulah tindakan berani Ketut Jelantik dalam
menghadapi pemerintah Belanda. Pada tahun 1943, ketika pemerintah Belanda berhasil
meminta persetujuan beberapa raja dari kerajaan-kerajaan Bali untuk menghapuskan hak
hukum Tawan dan mengakui kekuasaan Belanda, kerajaan Buleleng tetap pada pendiriannya.
Mereka menolak untuk menghapuskan perjanjian yang bagi Ketut Jelantik akan merugikan
warganya. Karena penolakan itulah akhirnya pecah perang yang terjadi antara Buleleng dan
Belanda pada tahun 1846 yang menghasilkan kekalahan dari pihak Buleleng. Istana Buleleng
berhasil dikuasai Belanda yang membuat raja Buleleng dan patihnya melarikan diri ke daerah
Jagaraga. Kurang puas hanya merebut istana Buleleng, Belanda mengejar Ketut Jelantik dan
raja ke daerah Jagaraga. Di sana, ayah dari tiga anak ini bersembunyi di benteng-benteng
pertahanan yang dibuatnya bersama dengan para prajurit. Siasat perang yang menyatakan
bahwa daerah benteng mempunyai bentuk bangunan yang sulit dijangkau oleh meriam, Ketut
Jelantik memilih untuk bertahan dan menyusun strategi perang. Benar saja, keteguhan sikap
yang menolak adanya penghapusan hak hukum Tawan nyatanya mengantarkan Buleleng pada
peperangan yang cukup sengit.
Peperangan yang meletus pada bulan Juni 1848 ini tak hanya melibatkan tentara
Belanda, tapi juga kerajaan-kerajaan yang berhasil diberdaya Belanda untuk tunduk kepada
Belanda. Berhasil memukul mundur tentara Belanda pada perang Jagaraga I, pasa tahun 1849
Belanda kembali menyerang wilayah Jagaraga. Dengan pengalaman strategi yang pernah
dipelajari, maka pada 16 April 1849, akhirnya Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Kalah dalam
berperang, Ketut Jelantik melarikan diri ke pegunungan Batur Kintamani. Di sana, ia bertahan
di perbukitan Bale Pundak sampai akhirnya gugur dalam perjuangan ketika Belanda
mengetahui gerak geriknya dan berhasil mengepungnya. Berkat usahanya yang gigih dalam
mempertahankan tanah kelahiran, Ketut Jelantik berhak mendapatkan gelar Pahlawan
Nasional menurut SK tahun 1993. Penghargaan tersebut sepadan dengan pengorbanannya.

KARIR
 Patih Agung Kerajaan Buleleng, Bali
PENGHARGAAN
 Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993
PERJUANGAN PAHLAWAN NASIONAL SETELAH TAHUN 1908

Tjoet Njak Dhien

Nama Lengkap
Tjoet Njak Dhien
Alias
Cut Nyak Dien
Agama
Islam
Tempat Lahir
Lampadang, Aceh
Tanggal Lahir
Selasa, 0 1848
Suami
Teuku Cek Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
Biografi
Tjoet Njak Dhien merupakan pahlawan nasional wanita Indonesia asal Aceh.
Ia berasal dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh Besar. Ketika usianya
menginjak 12 tahun, Tjoet Njak Dhien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim
Lamnga yang juga berasal dari keluarga bangsawan.
Semenjak Belanda menyerang Aceh untuk pertama kalinya pada tanggal 26
Maret 1873, semangat Tjoet Njak Dhien untuk memerangi pasukan kolonial Belanda
mulai timbul. Peristiwa gugurnya Teuku Cek Ibrahim Lamnga dalam peperangan
melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 semakin menyulut kemarahan dan
kebencian wanita pemberani ini terhadap kaum penjajah tersebut. Ia kemudian
menikah lagi dengan Teuku Umar yang juga merupakan pahlawan nasional Indonesia
di tahun 1880.
Awalnya Tjoet Njak Dhien menolak pinangan Teuku Umar, tetapi ia akhirnya
setuju untuk menikah dengan pria yang masih memiliki garis kekerabatan dengan
dirinya ini setelah Teuku Umar menyanggupi keinginannya untuk ikut turun ke medan
perang. Ia sangat ingin mengenyahkan Belanda dari bumi Aceh dan menuntut balas
atas kematian suaminya terdahulu.
Bersama dengan Teuku Umar dan para pejuang Aceh lainnya, Tjoet Njak
Dhien pun gencar melakukan serangan terhadap Belanda. Dalam masa perjuangan
tersebut, Tjoet Njak Dhien sempat mendapat makian dari Tjoet Njak Meutia yang juga
pejuang wanita dari Aceh lantaran keputusan suaminya, Teuku Umar, menyerahkan
diri pada Belanda dan bekerja sama dengan mereka. Padahal Teuku Umar tidak benar-
benar menyerahkan diri pada Belanda. Hal ini ia lakukan sebagai taktik untuk
mendapatkan peralatan perang Belanda. Setelah niatnya terlaksana dan ia kembali
pada Tjoet Njak Dhien dan para pengikutnya, Belanda yang merasa telah dikhianati
oleh Teuku Umar melancarkan operasi besar-besaran untuk memburu pasangan
suami-istri tersebut. Teuku Umar pun akhirnya gugur dalam pertempuran di Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899.
Sepeninggal suaminya, Tjoet Njak Dhien masih meneruskan perlawanan
kepada Belanda. Namun, sakit encok yang dideritanya dan kondisi matanya yang
mulai rabun membuat para pengawalnya merasa kasihan dan akhirnya membuat
kesepakatan dengan Belanda bahwa Tjoet Njak Dhien boleh ditangkap asalkan
diperlakukan secara terhormat, bukan sebagai penjahat perang.
Setelah Belanda menyetujui kesepakatan ini, Tjoet Njak Dhien pun akhirnya
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia kemudian dibuang ke Sumedang tanggal 11
Desember 1905 dan menghembuskan napas terakhirnya di sana tanggal 6 November
1908. Jenazah Tjoet Njak Dhien kemudian dikebumikan di Gunung Puyuh,
Sumedang.  
Teuku Umar

Nama Lengkap
Teuku Umar
Agama
Islam
Tempat Lahir
Meulaboh
Anak
Cut Gambang
Istri
Nyak Malighai, Nyak Sofiah, Tjoet Njak Dhien
Biografi
Lahir di Meulaboh, Aceh Barat pada 1854, Teuku Umar adalah salah satu
pahlawan nasional Indonesia. Tercatat, pria yang diyakini memiliki taktik unik
melawan penjajah ini pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873
sampai 1899. Teuku Umar sendiri merupakan keturunan Minangkabau. Kakeknya,
Datuk Makdum Sati, dikenal berjasa terhadap Sultan Aceh. 
Teuku Umar kecil memiliki sifat pemberani. Selain itu ia juga dikenal cerdas
dan pang menyerah, serta memiliki hobi berkelahi. Ketika berusia 19 tahun dan
diangkat sebagai keuchik Daya Meulaboh, terjadi perang Aceh. Teuku Umar lantas
bergabung bersama para pejuang di kampungnya hingga Aceh Barat.  Setahun
kemudian Teuku Umar melepas masa lajangnya dengan Nyak Sofiah, anak
Uleebalang Glumpang. Dan karena ingin meningkatkan derajatnya, ia kemudian
menikah lagi dengan puteri Panglima Sagi XXV Mukim bernama Nyak Malighai yang
membuatnya menerima gelar Teuku dan dikaruniai anak perempuan bernama Cut
Gambang yang lahir di tempat pengungsian. Tak hanya sampai di situ, di tahun 1880
Teuku Umar kembali menikah. Kali ini dengan putri pamannya, janda Teuku Ibrahim
Lamnga bernama Cut Nyak Dien. Keduanya lantas berjuang bersama menyerang pos-
pos Belanda di Krueng.
Teuku Umar sempat berdamai dengan Belanda tahun 1883. Namun satu tahun
kemudian perang kembali tersulut di antara keduanya. 9 tahun kemudian tepatnya
1893, Teuku Umar mulai menemukan cara untuk mengalahkan Belanda dari 'dalam'.
Ia lantas berpura-pura menjadi antek Belanda. Aksi ini sampai membuat Cut Nyak
Dien marah besar karena bingung dan malu.
Atas jasanya menundukkan beberapa pos pertahanan di Aceh, Teuku Umar
mendapat kepercayaan Belanda. Ia lalu diberi gelar Johan Pahlawan dan diberi
kebebasan untuk membentuk pasukan sendiri berjumlah 250 orang tentara dengan
senjata lengkap dari Belanda. Pihak Belanda tidak tahu, kalau itu hanya akal-akalan
Teuku Umar semata yang telah berkolaborasi dengan para pejuang Aceh sebelumnya.
Tak lama kemudian, Teuku Umar malah diberi lagi tambahan 120 prajurit dan 17
panglima termasuk Pangleot sebagai tangan kanannya. 30 Maret 1896, Teuku Umar
keluar dari dinas militer Belanda. Di sinilah ia kemudian melancarkan serangan
berdasarkan siasat dan strategi perang miliknya. Bersama pasukan yang sudah
dilengkapi 800 pucuk senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi dan uang 18 ribu dolar,
Teuku Umar yang dibandu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan 400 orang
pengikutnya membantai Belanda. Tercatat, ada 25 orang tewas dan 190 luka-luka dari
pihak Belanda.
Gubuernur Deykerhof sebagai pengganti Gubernur Ban Teijn yang telah
memberi kepercayaan kepada Teuku Umar selama ini merasa sakit hati karena telah
dikhianati Teuku Umar. Ia lantas memerintahkan Van Heutsz bersama pasukan
besarnya untuk menangkap Teuku Umar. Serangan mendadak ke daerah Meulaboh
itulah yang merenggut nyawa Teuku Umar. Ia ditembak dan gugur di medan perang,
tepatnya di Kampung Mugo, pada 10 Februari 1899.
Lebih dari 70 tahun kemudian, pemerintah Indonesia menganugerahi Teuku
Umar sebagai pahlawan nasional lewat SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6
November 1973. Nama pahlawan pemberani ini juga dijadikan nama jalan di kota-
kota besar.
Sultan Iskandar Muda

Nama Lengkap
Sultan Iskandar Muda
Agama
Islam
Tempat Lahir
Aceh, Banda Aceh
Tanggal Lahir
Tahun 1583
Biografi
Sultan Iskandar Muda adalah putra dari Puteri Raja Indra Bangsa, keturunan
keluarga Raja Darul Kamal dan ayahnya adalah Sultan Alauddin Mansur Syah yang
merupakan putra Sultan Abdul Jalil bin Sultan 'Alaiddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar.
Besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar Muda dikirim
ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang ulama dari Baitul
Mukadis pakal ilmu falak dan ilmu firasat.
Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau. Selanjutnya ayah Iskandar
Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan dari Gujarat. Di
antaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar
Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan
Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.
Dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, Sultan Iskandar Muda memberikan
tatanan baru dalam kerajaannya. Beliau mengangkat pimpinan adat untuk tiap suku
dan menyusun tata negara sekaligus qanun yang menjadi tuntunan penyelenggaraan
kerajaan dan hubungan antara raja dan rakyat. Selama 30 tahun masa pemerintahannya
(1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah membawa Kerajaan Aceh Darussalam
dalam kejayaan. Saat itu, kerajaan ini telah menjadi kerajaan Islam kelima terbesar di
dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra. Seluruh wilayah
semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara ekonomi
kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang baik
secara internasional.
Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup
seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda. Tahun 1993, pada tanggal
14 September, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan
Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan kejayaannya membangun dasar-
dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas keagungan beliau.
I Gusti Ngurah Rai

Nama Lengkap
I Gusti Ngurah Rai
Alias
Ngurah Rai
Agama
Hindu
Tempat Lahir
Badung, Bali
Tanggal Lahir
Selasa, 30 Januari 1917
Biografi
Lahir di Badung, 30 Januari 1917, I Gusti Ngurah Rai merupakan anak dari
seorang camat Petang, I Gusti Ngurah Palung. Tertarik dengan dunia militer sejak
kecil, Ngurah Rai bergabung dengan HIS Denpasar lalu melanjutkan dengan MULO
yang ada di Malang. Tak cukup sampai di sana, ia kemudian bergabung dengan
sekolah kader militer, Prayodha Bali, Gianyar. Pada tahun 1940, Ngurah Rai dilantik
sebagai Letnan II yang kemudian melanjutkan pendidikan di Corps Opleiding Voor
Reserve Officieren (CORO), Magelang dan Pendidikan Artileri, Malang.
Pada masa kependudukan Jepang, Ngurah Rai sempat menjadi intel sekutu di
daerah Bali dan Lombok. Setelah kabar Indonesia merdeka pada tahun 1945 akhirnya
sampai di Bali, BKR berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda
Kecil di mana ia sebagai komandannya. Sebagai komandan TKR Sunda Kecil, Ngurah
Rai merasa perlu untuk melakukan konsolidasi dengan pimpinan TKR pusat di mana
saat itu bermarkas di Jogjakarta. Sampai di Jogjakarta, Ngurah Rai dilantik menjadi
komandan resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel.
Kembali dari Jogjakarta dengan bantuan persenjataan, Ngurah Rai mendapati
bahwa Belanda telah menduduki Bali dengan mempengaruhi raja-raja Bali. Sebanyak
kurang lebih 2000 pasukan dengan persenjataan lengkap dan sejumlah pesawat
terbang yang berhasil dihimpun Belanda telah siap berperang menyerang Ngurah Rai
dan pasukan kecilnya. Pertempuran tersebut dilatar belakangi dengan kekecewaan
Ngurah Rai atas hasil dari perjanjian Linggarjati antara Belanda dan pemerintah
Indonesia. Dalam perjanjian tersebut menyebutkan bahwa pemerintah Belanda
mengakui kekuasaan Indonesia yang meliputi pulau Jawa, Madura dan Sumatera.
Sedangkan Bali diakui menjadi bagian dari negara Indonesia timur bikinan Belanda.
Bersama Ciung Wanara, pasukan kecil Ngurah Rai, pada tanggal 18 November 1946
menyerang Tabanan yang menghasilkan satu datasemen Belanda dengan persenjataan
lengkap menyerah. Hal ini memicu Belanda untuk membalas pertempuran lebih sengit
dan mengerahkan kekuatannya yang ada di seluruh pulau Bali dan Lombok untuk
membalas perbuatan Ngurah Rai. Dalam pertempuran tersebut, pertahanan demi
pertahanan yang dibentuk Ngurah Rai hancur hingga sampai pada pertahanan terakhir
Ciung Wanara, desa Margarana, Ngurah Rai dan pasukannya berhasil dipukul mundur
lantaran seluruhnya jatuh ke dalam jurang yang dalam. Perang tersebut akhirnya
dikenal dengan perang Puputan Margarana karena sebelum gugur Ngurah Rai sempat
meneriakkan kata puputan yang berarti perang habis-habisan. Peristiwa tersebut terjadi
pada tanggal 20 November 1946.
Berkat usahanya tersebut, Ngurah Rai mendapatkan gelar Bintang Mahaputra
dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Tak hanya itu, ia juga
mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975
tanggal 9 Agustus 1975.

Pendidikan
 HIS, Denpasar
 MULO, Malang
 Prayodha Bali, Gianyar, Bali
 Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang
 Pendidikan Artileri, Malang
Penghargaan
 Bintang Mahaputra
 Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus
1975
Untung Surapati

Nama Lengkap : Untung Surapati


Tempat Lahir : Bali
Tanggal Lahir : Tahun 1660
Istri : Suzane
BIOGRAFI
Untung Surapati merupakan salah seorang pahlawan nasional Indonesia berdasarkan
penetapan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. Menurut sejarah,
Untung Surapati berasal dari Bali yang awalnya ditemukan oleh perwira VOC yang
ditugaskan di Makasar yang bernama Kapten van Beber. Perwira VOC itu kemudian
menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia bernama Moor.  Ketika usianya 20 tahun, ia
dimasukkan ke penjara oleh Moor karena berani menikahi putrinya yang bernama Suzane.
Kemudian Untung memimpin pergerakan para tahanan hingga akhirnya berhasil kabur dari
penjara dan menjadi buronan. 
Pada tahun 1683, VOC berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa,  sang raja
Banten. Putra sang raja yang bernama Pangeran Purbaya melakukan pelarian ke Gunung
Gede. Setelah melalui proses yang panjang, iIa memutuskan menyerah asalkan ia dijemput
oleh perwira VOC pribumi. Beruntungnya, Untung telah menerima tawaran sebagai tentara
VOC dan dilatih ketentaraan. Ia diberi pangkat letnan dan saat itu ditugasi untuk menjemput
Pangeran Purbaya.  Untung yang tiba di Kartasura kemudian mengantarkan Raden Ayu Gusik
Kusuma pada Patih Nerangkusuma, ayahnya, yang juga tokoh anti VOC. Ia gencar
melakukan pendesakan kepada Amangkurat II untuk melanggar kesepakatan dengan Belanda.
Nerangkusuma kemudian menikahkan Gusik Kusuma dengan Suropati. 
Pada Februari 1686, Kapten François Tack yang merupakan perwira VOC senior tiba
di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi
Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC. Pertempuran pun tidak terhindarkan. Pasukan
VOC sebanyak 75 orang tewas, termasuk Kapten Tack yang tewas di tangan Untung.
Amangkurat II yang takut pengkhianatannya terbongkar kemudian merestui Suropati dan
Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Di Pasuruan, Suropati berhasil mengalahkan
Anggajaya, Sang bupati. Untung Suropati pun menjabat menjadi bupati Pasuruan bergelar
Tumenggung Wiranegara. 
Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC dibawah pimpinan Mayor
Goovert Knole menyerang Pasuruan. Pertempuran tersebut menewaskan Untung Suropati
pada tanggal 17 Oktober 1706. 
Achmad Subardjo

Nama Lengkap
Achmad Subardjo
Alias
Achmad Soebardjo | Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
Agama
Islam
Tempat Lahir
Karawang, Jawa Barat, Indonesia
Tanggal Lahir
Senin, 23 Maret 1896
Biografi
Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo adalah Menteri Luar Negeri Pertama
Indonesia, ia mempunyai gelar Meester in de Rechten yang diperoleh dari menempuh
pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda setelah sebelumnya menempuh
pendidikan di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah
Menengah Atas). Lahir di Karawang, Jawa Barat pada 23 Maret 1896.
Nama Achmad Soebardjo adalah nama pemberian ibunya setalah sebelumnya
ia mempunyai nama Teuku Muhammad Yusuf, pemberian dari ayahnya yang masih
mempunyai keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, nama belakang Djojoadisoerjo ia
tambahkan sendiri saat dewasa. Bersama Mohammad Hatta, ia menjadi perwakilan
Indonesia untuk menghadiri persidangan antar bangsa "Liga Menentang Imperialisme
dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudian di Jerman.
Sekembalinya di Indonesia, Achmad Soebardjo yang pernah aktif dalam organisasi
Jong Java melanjutkan perjuangannya dengan menjadi anggota organisasi Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di kediaman Laksamana Muda Maeda, ia juga ikut
serta dalam menyusun naskah proklamasi bersama Soekarno dan Muhammad Hatta
yang kemudian naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Pada tanggal 18 Agustus
1945 ia dilantik sebagai Menteri Luar Negeri, itu menjadikannya Menteri Luar Negeri
pertama di Republik Indonesia. Ia juga menjadi Duta Besar di Switzerland antara
tahun 1957 - 1961.
Dalam usia 82 tahun, di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, ia
mengembuskan napas terakhir dikarenakan flu yang menimbulkan komplikasi. Yang
kemudian dimakamkan di Cipayung, Bogor. Pada tahun 2009 pemerintah
mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.
 
Pendidikan
 Hogere Burger School, Jakarta 
 Universitas Leiden, Belanda
Penghargaan
 Pahlawan Nasional Indonesia
Tjut Nyak Meutia

Nama Lengkap : Tjut Nyak Meutia


Alias : Cut Nyak Meutia
Agama : Islam
Tempat Lahir : Keureutoe, Pirak, Aceh Utara
Tanggal Lahir : Tahun 1870
Suami : Teuku Muhammad/Teuku Tjik Tunong Pang Nagroe
BIOGRAFI
Tjoet Njak Meutia merupakan salah satu pejuang wanita dari Aceh yang telah diakui
sebagai pahlawan nasional Indonesia. Sama halnya dengan para pejuang dari Tanah Rencong
lainnya seperti Tjoet Njak Dhien, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, dan tokoh pejuang Aceh
lainnya, Tjoet Njak Meutia dikenal sebagai sosok pemberani dan memiliki semangat juang
yang tinggi serta tekad kuat untuk mengenyahkan para penjajah.
Tjoet Njak Meutia bertempur melawan Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad
atau lebih dikenal sebagai Teuku Tjik Tunong. Mereka bersama-sama melalui perjuangan
yang panjang, namun pada akhirnya Teuku Tjik Tunong ditangkap oleh pihak Belanda pada
bulan Maret tahun 1905. Teuku Tjik Tunong kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Belanda
di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, ia berpesan pada sahabatnya Pang Nagroe
agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya sepeninggal dirinya kelak.
Sesuai pesan mendiang suaminya, Tjoet Njak Meutia pun menikah dengan Pang
Nagroe lalu bergabung bersama pasukan pimpinan Teuku Muda Gantoe. Dalam suatu
pertempuran melawan Korps Marechausée di Paya Cicem, Pang Nagroe tewas dalam
peperangan pada tanggal 26 September 1910 sedangkan Tjoet Njak Meutia berhasil selamat.
Ia bersama para wanita lainnya yang masih selamat kemudian melarikan diri ke dalam hutan.
Setelah kematian Pang Nagroe, Tjoet Njak Meutia masih terus melakukan perlawanan
terhadap Belanda bersama sepasukan kecil pengikutnya. Mereka berusaha menyerang dan
merampas pos-pos kolonial sepanjang perjalanan mereka ke Gayo melewati hutan belantara.
Namun, pada pertempuran di Alue Kurieng tanggal 24 Oktober 1910 Tjoet Njak Meutia
akhirnya gugur akibat tembakan peluru tentara Belanda. Atas jasa-jasanya, pemerintah
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Tjoet Njak Meutia di tahun 1964.  

PENGHARGAAN
 Gelar Pahlawan Nasional (1964)
Panglima Polem IX

Biodata Panglima Polem IX


 Nama Lengkap : Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud
 Tanggal Lahir : (Tidak ada data yang terverifikasi terkait tanggal kelahiran beliau)
 Wafat :  Tahun 1939
 Status Sosial : Kaum Bangsawan Aceh
 Anak : Muhammed A. Polem
 Ayah : Panglima Polem VIII Raja Kuala
 Kakek : Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin

Biografi Panglima Polem IX


Kakek dari Panglima Polem IX merupakan salah seorang Panglima Sagoe XXII di
kawasan Mukim Aceh Besar. Note : Mukim dalam kewilayahan Aceh yaitu sebuah tingkatan
dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodal Uleebalang. Sistem ini berlaku pada
zaman Kesultanan Aceh. Setelah menginjak usia dewasa, Teuku Panglima Polem Sri Muda
Perkasa Muhammad Daud alias Panglima Polem mempersunting salah seorang putri Tuanku
Hasyim Bantamuda. Beliau merupakan salah seorang tokoh di wilayah Aceh. Teuku
Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud resmi diangkat menjadi Panglima
Polem IX sekitar bulan Januari pada tahun 1891. Pengangkatan Teuku Panglima Polem Sri
Muda Perkasa Muhammad Daud sebagai Panglima Polem IX sekaligus menggantikan jabatan
ayahnya yang wafat. Setelah resmi diangkat sebagai Panglima Polem IX, ia pun dianugerahi
gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Wazirul Azmi. Perjuangan Teuku
Muhammad Daud sebagai seorang panglima telah mengundang banyak simpatik dan
dukungan, dan diantara barisan pendukung beliau adalah kelompok para ulama Aceh saat itu.
Selain itu, Panglima Polem IX juga mendapatkan dukungan penuh dari Teungku Muhammad
Amin dan Teungku Beb.
Menurut literature yang kami temui, zaman kolonialisme Belanda / penjajahan
Belanda terhadap Indonesia dimulai sejak tahun 1800. Pada tahun 1893, suami dari Cut Nyak
Dien yaitu Teuku Umar, berpura pura menyerah kepada Belanda bersama 15 orang panglima
lainnya. Dan setelah berhasil masuk ke dalam pertahanan wilayah pasukan Belanda, Teuku
Umar beserta panglima lainnya berkoordinasi untuk mengambil simpanan senjata Belanda
dan memberikannya kepada rakyat Aceh. Saat itulah Panglima Polem IX bersama dengan 400
orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar dalam menghadapi kemarahan Belanda
karena telah terkecoh dengan tipu muslihat Teuku Umar yang berpura pura menyerah kepada
Belanda. Saat pertempuran berlangsung, pihak Belanda pun semakin emosi, sebab mereka
banyak kehilangan nyawa dan korban luka luka. Hingga tahun 1896, pasukan Belanda masih
mengalami banyak hambatan untuk menaklukan kubu pertahanan di wilayah Aceh.
Setahun kemudian (tahun 1897), pihak Belanda yang kehabisan cara pun berinisiatif
menambah jumlah pasukannya di wilayah Aceh, agar dapat menembus pertahanan dan
menaklukan pasukan rakyat Aceh. Dampak dari besarnya jumlah pasukan Belanda berimbas
pada melemahnya pertahan dan daya serang pasukan Aceh saat itu. Melihat kondisi tersebut,
Teuku Umar pun terpaksa menarik diri ke wilayah Daya Hulu untuk mengecoh pasukan
Belanda. Ketika itu Teuku Umar berpisah dengan Panglima Polem IX beserta pasukannya,
dan meninggalkan mereka di wilayah pegunungan Seulimeum.
Singkat cerita terjadi sebuah pertempuran di wilayah Gle Yeueng. Ketika itu Panglima
Polem IX berhadapan dengan 4 kompi infantry Belanda, dan pertempuran pun berakhir
dengan kemenangan pihak pasukan Belanda. 3 buah benteng yang didirikan Panglima Polem
IX pun berhasil dikuasai pasukan Belanda. Pertempuran sengit tersebut pun menyisakan
banyak kesedihan bagi Panglima Polem, sebab 27 orang diantaranya dinyatakan meninggal
dunia dan 47 orang lainnya mengalami luka luka. Sekitar bulan Oktober tahun 1987 daerah
Seulimeum jatuh ke tangan Belanda, dan Panglima POlem IX melakukan hijrah ke wilayah
Pidie, Aceh. Setibanya panglima Polem di Pidie, Sultan Muhammad Daud Syah (Sultan Aceh
saat itu) menerima kedatangannya dan ia (Panglima Polem) pun
mengadakan musyawarah dengan para pejuang dan tokoh Aceh lainnya. Seiring berjalannya
waktu, tepatnya Februari tahun 1898 Teuku Umar bersama seluruh pasukannya tiba di
wilayah VII Mukim Pidie.
Tahun 1901 Sultan Aceh yaitu Muhammad Daud Syah berinisiatif melakukan hijrah
ke daerah Gayo bersama dengan Panglima Polem dan menjadikan wilayah Gayo tersebut
sebagai pusat pertahan Aceh, serta kembali menyusun strategi baru untuk menghadapi
serangan Belanda berikutnya. Waktu pun terus berjalan, Belanda terus menerus gagal
menangkap Sultan Aceh dan Panglima Polem. Hingga akhirnya mereka merencanakan siasat
licik dengan menangkap dan menyandra keluarga dekat Sultan. Ketika itu Belanda berhasil
menangkap 2 istri Sultan dan salah seorang putranya. Singkat cerita, Sultan Muhammad Daud
Syah menerima ancaman bahwa kedua istrinya akan dibuang jika sang Sultan tidak
menyerahkan diri dalam kurun waktu 1 bulan. Tanggal 10 Januari tahun 1903 Sultan pun
terpaksa menyerah dan berdamai dengan Belanda. Pihak Belanda saat itu pun mengasingkan
Sultan ke wilayah Ambon, hingga akhirnya berpindah ke wilayah Batavia. Tepat tanggal 6
Februari tahun 1939 Sultan Muhammad Daud Syah wafat dalam pengasingannya di Batavia.
7 September tahun 1903 Panglima Polem IX berdamai dengan Belanda.

Anda mungkin juga menyukai