Anda di halaman 1dari 18

Biografi Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (memerintah 1640-1650)
serta cucu dari Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (memerintah 1605-1640). Pada masa
mudanya, beliau bergelar Pangeran Surya. Kemudian setelah ayahnya wafat, sang kakek
mengangkatnya sebagai Sultan Muda bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Dia diangkat
sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah , setelah kakeknya meninggal dunia.
Selaku penguasa Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal tegas dan cakap dalam menjalankan roda
pemerintahan. Dia pun berusaha untuk mengembalikan kejayaan Banten. Beliau memajukan
perdagangan Banten dengan meluaskan daerah kekuasaan dan mengusir Belanda dari Batavia.
Berkat kebijakannya itu, dalam waktu tidak terlalu lama, Banten telah menjadi kota pelabuhan
dagang yang penting di Selat Malaka. Kondisi ini tidak disukai VOC. Mereka lantas memblokade
Banten. Banten terpaksa mengadakan perjanjian dengan VOC yang menyatakan bahwa hak-hak
Belanda diakui dan perdagangan Banten dibatasi oleh Belanda. Namun, Sultan Ageng
Tirtayasa beberapa bulan kemudian malah menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Pada saat bersamaan,Sultan Ageng Tirtayasa juga berkeinginan mewujudkan Banten menjadi
kerajaan Islam terbesar. Ada dua hal yang ia lakukan. Pertama, di bidang ekonomi, kesejahteraan
rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi
sebagai sarana perhubungan. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama
asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan
penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.
 Tempat/Tgl. Lahir : Banten, 1631
 Tempat/Tgl. Wafat : Jakarta, 1692
 SK Presiden : Keppres No. 045/TK/1970, Tgl. 1 Agustus 1970
 Gelar : Pahlawan Nasional
Sayangnya, saat kedua putra beliau beranjak dewasa justru terjadi pertentangan dan perebutan
kekuasaan di antara mereka yang antara lain disebabkan hasutan Belanda. Sultan Abdul Fathi yang
telah mengundurkan diri kemudian pindah ke daerah Titayasa di Serang dan mendirikan
keratin baru. Dari sini sebutan Sultan Ageng Tirtayasa berasal. Di, sisi lain, Belanda terus
menghasut Sultan Haji (Pangeran Gusti) sebagai putra tertua bahwa kedudukannya sebagal sultan
akan diganti oleh adiknya,Pangeran Purbaya yang didukung Sultan Ageng. Kekhawatiran ini buat
Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan Belanda yang intinya adalah persekongkolan
merebut kekuasaan dan tangan Sultan Ageng Tirtayasa. Tahun 1681, Sultan Haji mengkudeta
ayahnya dan tahta kesultanan. Sultan Ageng segera menyusun kekuatan kembali guna mengepung
Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak, akhirnya Sultan Haji meminta bantuan
Belanda. Pasukan Sultan Haji dan Belanda pun menyerang benteng Tirtayasa dan dapat
menaklukkannya dengan menderita kerugian besar. Sultan Ageng masih mengadakan perjuangan
secara gerilya. Namun, Belanda terus mendesak ke wilayah selatan. Hingga kemudian di tahun
1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap melalui tipu muslihat Belanda dan Sultan Haji. Beliau
akhirnya dipenjarakan di Batavia sampai meninggal di Jakarta pada tahun 1692. Atas permintaan
pembesar dan rakyat Banten, jenazah Sultan Ageng Tirtayasa dapat dibawa kembali ke Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa lantas dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten
Biografi Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 Januari 1631 dan
meninggal di Makassar pada tanggal 12 Juni 1670. Sultan Hasanuddin merupakan raja Gowa ke -
16 yang terlahir dengan nama asli I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangepe. Setelah memeluk Islam, ia mendapatkan gelar sebagai Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkanaatau dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin.

Oleh Belanda, Sultan Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan Dari Timur atau dalam
bahasa Belanda de Haav van Oesten karena keberaniannya dalam perlawanan terhadap Belanda.
Ia diangkat menjadi sultan Gowa ke 16 pada tahun 1655 di usianya yang ke 24 tahun.

Beliau merupakan putra dari Sultan Malikussaid, raja Gowa ke 15. Wilayah Makassar semakin
ramai seiring ditaklukannya Malaka oleh Portugis. Ada dua kerajaan di wilayah Sulawesi Selatan
pada saat itu yaitu Gowa dan Tallo. Keduanya melebur dalam satu kerajaan yang bernama
Kerajaan Makassar. Raja Gowa menjadi Raja Kerajaan Makassar sedangkan raja Tallo menjadi
perdana menterinya.
Konflik antara VOC dan Makassar diawali pada tahun 1660. Makassar menyerang VOC yang
dibantu Bone yang merupakan wilayah taklukkan Kerajaan Makassar yang membelot ke VOC
Pada saat itu, Panglima Bone, Tobala, tewas namun Arung Palakka raja Bone berhasil meloloskan
diri. Pada akhirnya perang selesai dengan adanya perjanjian damai.

Akan tetapi, perjanjian damai tidak berlangsung lama karena perjanjian tersebut merugikan pihak
Sultan Hasanuddin. Makassar yang merasa dirugikan kemudian melakukan penyerangan terhadap
dua kapal Belanda yaitu Walvis dan Leeuwin. Penyerangan ini menyulut konflik diantara
keduanya.

Belanda kemudian membalas dengan mengirimkan armada perang besar yang dipimpin oleh
Cornelis Speelman yang bersekutu dengan Arung Palaka, raja Kerajaan Bone. Sultan Hasanuddin
diserang dari laut oleh VOC, sedangkan dari darat pasukan Arung Palakka berhasil memaksa suku
Bugis untuk tunduk dan melakukan pemberontakan kepada Sultan Hasanuddin. Pada akhirnya
Sultan Hasanuddin terdesak dan secara terpaksa harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada
tanggal 18 November 1667.

Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin melakukan penyerangan kembali terhadap VOC.
Namun karena kekuatan VOC lebih kuat, maka Benteng Sombaopu yang saat itu menjadi basis
dari kekuatan Kerajaan Makassar mampu dikuasai Belanda. Hingga akhir hidupnya Sultan
Hasanuddin tidak mau bekerjasama dengan VOC dan memilih mengundurkan diri dari tahta
kerajaannya. Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Biografi Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab.
Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai
Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar
Malin Basa.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa
gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari
Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya
sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat
dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam
Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat
untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah
pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan
diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda
berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai
kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman
Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di
bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van
den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian
perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan
Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan
akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda
dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan
nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat
berdasarkan agama).

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri
dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.

3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil
dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal
16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia
meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
tersebut.

Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November
1973.
Biografi Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di
Yogyakarta. Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Ibunya
Pangeran Diponegoro bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri atau selir) yang berasal dari Pacitan.

Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari kedudukannya
sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana
III, untuk mengangkatnya menjadi raja.

Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu:
Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal
di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo
daripada di keraton.

Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822)


dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana
V yang baru berusia 3 tahun.
Sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda.
Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro
Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai dari Perang
Diponegoro. Perang tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima
tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Perang ini antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan
penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro.
Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit.
Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah,
disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu
Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda
selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah
perang ini sebagai Perang Jawa.
Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam
kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai
pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.
Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan
keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang
ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai
kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika
Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru
berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa.
Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo,
seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat
seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan
membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi
makam dari leluhur Pangeran Diponegoro.
Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat
senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-
patok yang melewati makam tersebut.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah
memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau.
Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga
Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa
Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis
kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang
terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya.

Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat
pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran
setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya.
Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk,
sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati.
Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan
Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan.
Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai
akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan Pangeran Diponegoro
Dalam biografi Pangeran Diponegoro diketahui bahwa pada tanggal 16 Februari 1830 Pangeran
Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah
Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di
Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa
mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu
ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.
Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30
April 1830 keputusan pun keluar.

Pangeran Diponegoro Wafat


Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para
pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke
Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke
Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8 Januari
1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Biografi Kapitan Pattimura

Asal Usul Pattimura

Ayah Pattimura bernama Frans Matulessy dan ibunya bernama Fransina Tilahoi, Pattimura lahir
pada tanggal 8 Juni 1783, di wilayah bernama Haria di daerah Saparua, Maluku Tengah menurut
versi pemerintah Indonesia.

Perjuangan Pattimura Melawan Belanda

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam militer sebagai
mantan sersan Militer Inggris. Kata “Maluku” berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik
yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan

Sebab Perang Pattimura (Perang Maluku)

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian
Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan
penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten).

Belanda juga mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa
Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan
Gubenur.
Dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris
berakhir di Maluku. Maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak
untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer.

Akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali
kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena
kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad.

Pecahnya Perang Pattimura (Perang Maluku)

Dalam biografi kapitan pattimura diketahui bahwa rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat
senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah
Belanda tahun 1817

Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan
panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai
panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya.

Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun
benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja
Patih maupun rakyat biasa.

Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan
Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa.

Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar
dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk
menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya,
Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha.
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda
Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di
Pulau Ambon dan Seram Selatan.

Pattimura Tertangkap

Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi
hangus oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat
ditangkap.

Dalam biografi kapitan Pattimura diketahui bahwa Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial
Belanda di sebuah Rumah di daerah Siri Sori. Pattimura kemudian diadili di Pengadilan Kolonial
Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda.

Dihukum Gantung

Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang gantungan, Belanda
ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda,
namun Pattimura menolaknya. Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan
pada tanggal 16 Desember 1817 di depan Benteng Victoria di kota Ambon.
Biografi Kapitan I Gusti

Kapan I Gusti Ketut Jelantik lahir tidak diketahui dengan pasti. Yang jelas, pada tahun 1828 ia
diangkat sebagai Patih Agung Kerajaan Buleleng, Bali. Ia merupakan keturunan darah Dinasti
Perang Puputan Jagaraga. Sebagai Patih Agung, ia membina kerjasama dengan kerajaan-kerajaan
lain di Bali. Berkaitan dengan itu, ia juga dipaksa berhadapan dengan pihak Belanda yang ingin
menguasai Bali umumnya dan Buleleng khususnya.

Dalam suatu perundingan, pihak Belanda menuntut agar Raja Buleleng mengganti kerugian atas
kapal-kapal Belanda yang dirampasnya. Sebagai dalih, Belanda menuntut agar raja-raja Bali
menghapus hukum “Tawan Karang”. Karena menurut hukum Tawan Karang, kapal yang
terdampar di pantai disita oleh penduduk pantai tempat kapal itu terdampar dan menjadi milik raja
Bali.

Belanda merasa dirugikan sebab beberapa kapal dagang mereka sudah dikenakan Tawan Karang.
Kapal yang dimaksud adalah kapal dagang Belanda yang terdampar di daerah Prancak (wilayah
Jebarana) pada tahun 1844 yang merupakan wilayah hukum (juridiksi) Kerajaan Buleleng. Selain
itu, Belanda juga menuntut agar Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda di Hindia Belanda.

Mendengar tuntutan itu, Patih I Gusti Ketut Jelantik menjadi sangat marah. Ia tidak mau tunduk
terhadap tekanan Belanda itu. Dengan menepukkan tinju ke dadanya ia pun berkata: “Apapun tidak
akan bisa terjadi. Selama aku hidup, tidak akan mengakui kekuasaan Nederland di kerajaan ini.
Bila aku mati, raja boleh berbuat apa saja yang dikehendaki. Tetapi dengan cara begini orang tidak
bisa dibentuk oleh sehelai kertas saja hendak menguasai negara lain. Keris ini harus sepadan
berbicara dulu”. Kata-kata patih itu ditulis oleh Mard Johansen Lane, seorang pengusaha dan
diplomat berkebangsaan Denmark yang menjadi penengah antara raja-raja Bali dan Belanda.

Pada tahun 1843 Belanda berhasil memaksa beberapa raja, antara lain raja Buleleng
menandatangani perjanjian penghapusan Tawan Karang. Namun, Raja Buleleng tidak mau
menaati perjanjian itu sepenuh hati.

Pada tahun 1845 sebuah kapal Belanda terdampar di pantai Sangsit yang merupakan wilayah
Kerajaan Buleleng. Belanda menuntut agar kapal itu dibebaskan. Ketut Jelantik menolak. Bahkan
ia menghina utusan Belanda dan menantangnya untuk berperang. Akibatnya, pada bulan Juni 1846
pasukan Belanda menyerang Buleleng. Pertempuran sengit pun terjadi. Pertempuran tersebut tidak
berjalan seimbang karena tentara Belanda berjumlah 1.700 orang dengan persenjataan yang lebih
lengkap dan modern. Istana Buleleng pun mereka duduki. Buleleng akhirnya jatuh ke tangan
Belanda pada 29 Juni 1846. Buleleng terpaksa mengakui kedaulatan Belanda, begitu pula
Karangasem. Akan tetapi, Buleleng tetap saja memperlihatkan sikap bermusuhan.

Raja Bali dan Ketut Jelantik menyingkir ke Jagaraga dan membangun benteng-benteng pertahanan
di tempat itu. Patih Jelantik menyadari bahwa kekuatan serdadu Belanda terutama terletak dalam
kelengkapan persenjataan, seperti senapan dan perlengkapan yang memadai. Untuk menghadapi
kelebihan pihak lawan itu, Patih Jelantik memilih sistem pertahanan “Supit Udang” (makara
wyuda). Patih itu menyadari bahwa daerah pantai sulit dipertahankan karena dengan mudah dapat
dijangkau oleh peluru meriam Belanda. Oleh karena itu, Benteng Jagaraga dipandang sebagai
pertahanan yang baik karena wilayah itu tidak dapat dicapai oleh peluru meriam dan mortir dari
pantai.

Untuk menghindari gempuran yang lebih hebat lagi, Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made
Karangasem bersiaga penuh menghadapi serangan Belanda. Buleleng tetap menolak mengadakan
perjanjian dengan Belanda. Isi perjanjian itu antara lain: 1). Daerah Buleleng merupakan bagian
dari Hindia Belanda; 2). Raja Buleleng tidak akan mengadakan hubungan dengan orang Eropa
lainnya; 3). Hak Tawan Karang dihapuskan; 4). Buleleng harus mengganti kerugian perang.

Pembangunan benteng di Jagaraga itu wujud nyata penolakan perjanjian itu. Di samping itu, kapal
Belanda yang terdampar di Pantai Kusumba dan Badung juga diperlakukan sebagaimana mestinya
sesuai hak Tawan Karang. Untuk mengantisipasi penyerbuan Belanda di Jagaraga, pasukan
disiagakan. Pembangunan benteng itu menyebabkan Gubernur Jenderal Belanda mengerahkan
kekuatan besar-besaran di bawah pimpinan Jenderal van der Wijk sekaligus menuntut agar Patih
Jelantik menyerahkan diri.

Advertisement
Buleleng mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Dewa Agung Putra sebagai
Susuhunan raja-raja Bali memberi bantuan laskar sebanyak 1.650 orang yang terdiri dari prajurit
gabungan Klungkung-Gianyar lengkap dengan persenjataannya di bawah pimpinan I Dewa Ketut
Agung. Laskar Kerajaan Mengwi berjumlah 600 orang, Kerajaan Karangasem mengirim 1.200
orang di bawah pimpinan I Made Jungutan dan Gde Padang. Menjelang akhir tahun 1846 di Ibu
Kota Jagaraga telah berkumpul laskar 7.000-8.000 orang lengkap dengan persenjataannya. Laskar-
laskar itu digabung dengan laskar Buleleng yang dipimpin oleh Ida Bagus Tamu dan I Nengah
Raos sehingga merupakan laskar dalam jumlah besar.

Pada bulan Juni 1848 Belanda kembali mengirim pasukannya ke Bali. Raja Buleleng diultimatum
agar menyerahkan Ketut Jelantik dan membongkar benteng-benteng di Jagaraga. Ultimatum itu
tidak diindahkan oleh Ketut Jelantik. Pasukan Belanda langsung menyerang Jagaraga. Kekuatan
pertahanan dan kegigihan para prajurit Buleleng membuat Belanda tidak mampu merebut Benteng
Jagaraga. Serangan itu pun gagal. Bahkan, pihak Belanda kehilangan 14 perwira dan 242
prajuritnya. Pertempuran sengit itu dikenal sebagai Perang Jagaraga I. Raja Buleleng I Gusti
Ngurah Karangasem dan patihnya I Gusti Ketut Jelantik yang mundur ke desa Jagaraga dan
menyusun pasukan baru ternyata berhasil menahan serbuan Belanda.

Masih pada tahun 1848, pertempuran kedua dengan Belanda kembali meletus. Untuk kedua
kalinya, tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal van der Wijk juga tak mampu menahan
gempuran dahsyat pasukan Buleleng yang dipimpin oleh Patih Ketut Jelantik. Tentara Belanda
pun mundur ke arah pantai.

Kemenangan Buleleng itu disusul dengan peperangan ketiga pada tanggal 31 Maret 1849. Tentara
Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Michels melancarkan tembakan meriam di atas kapal.
Pertempuran sengit berkobar di Jagaraga selama dua hari. Prajurit Bali mempertahankan Jagaraga
sekuat tenaga. Karena Belanda sudah mengetahui kekuatan Benteng Jagaraga maka pada 16 April
1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. I Gusti Ketut Jelantik pun harus mundur ke
Pegunungan Batur Kintamani.

Selanjutnya, Ketut Jelantik pergi ke Karangasem mencari bantuan. Ternyata istana Karangasem
juga sudah diduduki Belanda. Ketut Jelantik akhirnya bertahan di perbukitan Bale Pundak,
sementara Belanda terus memburunya. Ia akhirnya gugur dalam pertempuran di tempat itu pada
akhir April 1849.

Anda mungkin juga menyukai