Anda di halaman 1dari 2

ILA NABINYA

XII MIPA 2

CERITA SEJARAH PERANG PUPUTAN JAGARAGA

Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak atau daerah
Jembara yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng. Kerajaan-kerajaan di Bali
termasuk Buleleng pada saat itu memberlakukan hak tawan karang. Hak tawan karang adalah
hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah
kekuasaan kerajaan yang bersangkutan. Dengan demikian, kapal dagang Belanda tersebut
menjadi hak Kerajaan Buleleng. Pemerintah kolonial Belanda tidak terima dan memprotes
Raja Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda. Belanda pun dan mengadakan
perjanjian dengan raja-raja Bali agar terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding
ialah Raja Klungkung, Raja Badung, Raja Buleleng, dan Raja Karangasem. Akan tetapi,
perjanjian tersebut tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk menggunakan
kekerasan dalam usaha menunduki Bali. Hal inilah yang memicu pecahnya Perang Bali, atau
dikenal juga dengan nama perang puputan Jagaraga.
Dalam menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda mengerahkan ekspedisi
militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama dilakukan pada tahun 1846
dengan kekuatan 1.700 pasukan, namun gagal dalam usaha menunduki rakyat Bali. Ekspedisi
kedua dilakukan pada tahun 1848 dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan
disambut dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelentik, yang telah mempersiapkan
pasukannya di benteng Jagaraga yang berada di desa Jagaraga. Secara geografis desa ini
berada di tempat ketinggian, yakni di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan
kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk supit
urang. Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat
gerakan musuh. Benteng Jagaraga diserang oleh Belanda, namun gagal karena Belanda belum
mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang laskar Jagaraga. I Gusti
Ketut Jelantik bersama seluruh laskarnya setelah memperoleh kemenangan, bertekad untuk
mempertahankan benteng Jagaraga sampai titik darah penghabisan demi kehormatan kerajaan
Buleleng dan rakyat Bali. Perang ini disebut sebagai perang Jagaraga I.
Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua, menyebabkan
pemerintah Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga pada tahun 1849 di bawah pimpinan
Mayor Jenderal Michies, dengan kekuatan yang lebih besar lagi yakni 4.177 pasukan,
sehingga menimbulkan perang Jagaraga II. Belanda menyerang dan merebut Benteng
Jagaraga. Belanda juga menyerang kerajaan Karang Asem. Pada 1906, Belanda menyerang
kerajaan Badung. Raja dan rakyat Bali melakukan perlawanan sampai titik darah
penghabisan.

1
ILA NABINYA
XII MIPA 2

Perang yang dilakukan sampai titik darah penghabisan dikenal dengan puputan. Untuk
memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat di Jagaraga, pihak Belanda mengerahkan
pasukan darat dan laut yang terbagi dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van
Swieten, kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin oleh
Poland. Setelah Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka setelah mengatur
persiapan, mereka langsung menyerang benteng Jagaraga. Mereka menyerang dari dua arah,
yaitu arah depan dan dari arah belakang benteng Jagaraga.
Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi, terutama pada posisi dimana I Gusti
Ketut Jelantik berada. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban
telah berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar
Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19
April 1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai
Bali Utara.

Anda mungkin juga menyukai