Inggris atau negara dengan julukan "The Black Country" (banyak sekali industri)
merupakan salah satu negara yang pernah menjajah di Indonesia (Nusantara saat itu). Pada
artikel sebelumnya, kita telah mengulas mengenai sejarah penjajahan Belanda / Hindia
Belanda yang terkenal dengan kongsi dagangnya bernama VOC dan juga kebijakan terkenal
dengan sebutan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel).
Selain penjajahan Belanda, ada juga artikel menarik lainnya terkait dengan
negara yang pernah menjajah di Indonesia selain Belanda dan Inggris, yaitu
mengenai masa pendudukan atau penjajahan Jepang di Indonesia. Bagi yang belum
membacanya silahkan baca juga, agar wawasan kita semakin luas. Kembali ke topik
pembahasan mengenai perkembangan kolonialisme Inggris di Indonesia, berikut ini
penjelasan mengenai pembahasan tersebut secara singkat dan jelas.
Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif terkait
dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-
besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan
negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada
swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif
berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila
langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Akhirnya pada 22 Desember 1818
Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi
ditanah jajahan adalah Gubernur Jenderal. Van der Capellen ditunjuk sebagai
Gubernur Jenderal.
Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen
itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional
(bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik
pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong
terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus
Gisignies. Kebijakan De Bus tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak
mampu menyediakan barangbarang yang diekspor.
Walaupun banyak merugikan rakyat, namun Tanam Paksa juga memiliki beberapa
dampak positif bagi rakyat, diantaranya adalah dikenalkan tanaman jenis baru untuk
ekspor, dibangun saluran irigasi, dan dibangun jaringan rel kereta api. Sedangkan
dampak negatifnya adalah sebagai berikut.
1. Pelaksanaan tanam paksa tidak sesuai dengan peraturan
2. Terjadi tindak korupsi dari pegawai dan pejabat dan rakyat sangat menderita
3. Para pekerja jatuh sakit dan terjadi bahaya kelaparan
4. Hindia Belanda mengeruk keuntungan 832 jt gulden 1831- 1877
C.SistemUsahaSwasta
Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung
ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam
Paksa. Pihak yang pro Tanam Paksa tetap adalah kelompok konservatif dan para
pegawai pemerintah, sedangkan yang kontra adalah mereka dipengaruhi oleh ajaran
agama dan penganut asas liberalisme.
Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni
buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya
Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula) tulisan Frans
van de Pute. Secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai
diterapkan sistem politik ekonomi liberal.
Sisi positif kebijakan ini antara lain pada tahun 1873 dibangun serangkaian
jalan kereta api, tahun 1872 dibangun pelabuhan tanjung priok, Belawan, Teluk Bayur,
dan 1883 maskapai tembakau Deli memprakarsai pembangunan jalan kereta api.
Sedangkaan dampak negatifnya adalah pelaksanaan usaha swasta membawa
penderitaan bagi rakyat bumiputera, pertanian merosot, rakyat kerja paksa dan
membayar pajak
Agama Kristen (Katolik dan Protestan) masuk dengan cara damai melalui
kegiatan pelayaran dan perdagangan. Agama ini tumbuh di daerah-daerah pantai di
Semenanjung Malaya dan juga pantai barat di Sumatera.