Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan
Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin,
Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di
Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda
dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).
Sistem sewa tanah yaitu system pertanian dimana para petani atas kehendaknya sendiri
menanam dagangan (cash crops), Yang dapat di Ekspor keluar negeri.
Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di
Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan
pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah
kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari
penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru
bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan
memeras masyarakatnya.
Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak
memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan
pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang
semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan
Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli
yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda
ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.
Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan
barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena
itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil
usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman
apa yang akan ditanam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, mengenai “Sewa Tanah” yang digagas oleh Stamford
Rafles di Indonesia, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana Latar Belakang sehingga di Terapkanya system Sewa Tanah di Indonesia
2. Bagaimana Pelaksanaan Sewa Tanah di Indonesia?
3. Apa Akibat dan Ketentuan dari Sewa Tanah terhadap Indonesia?
4. Bagaimana Kegagalan dari di terapkanya system sewa Tanah di Indonesia?

C. Tujuan
Adapun tujuan dan dari makalah kami ini yaiitu:
1. Agar kita dapat mengetahui latar belakang dari diterapkanya sewa tanah
2. Agar kita dapat memahami mengenai pelaksanaan dari system Sewa tanah
3. Agar kita dapat mengetahui akibat dan ketentuan dari sewa tanah
4. Agar kita mengetahui kegagalan dari diterapkanya system sewa tanah di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAAN

A. Latar Belakang Diterapkanya Sewa Tanah


Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di
Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan
pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah
kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari
penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru
bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan
memeras masyarakatnya.
Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak
memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan
pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang
semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan
Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli
yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda
ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.
Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan
barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena
itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil
usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman
apa yang akan ditanam.
Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan
terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para para
penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya
jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan
Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena
apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk
menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.
Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran
orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang. Masyarakat pun dengan
keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa.
Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.
Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini
dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan
kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara
mengalami kerugian. Pada hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem
ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem
penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.
B. Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh
Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem
pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak
penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.
Tujuan dari Sewa tanah itu sendiri yaitu untuk meningkatkan tingkat kemakmuran
penduduk di jawa dan merangsang produksi tanaman dagangan.
Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter
Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa: Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu
pajak bumi atau lebihtepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus
dipungut pada akhir periode colonial, dan andrente sebagai suatu sistem (Belanda: Landrente
Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830.
Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya
bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. sistem sewa tanah ini pada
mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan
uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang
bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.
Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian
hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal
Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan
semboyannya mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie
(persaudaraan)”. Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-
unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.
Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana
Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai perangkat
(struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah.
Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai
penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan
melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

1. Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah:


a. Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang
dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa. Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa
kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber
penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin
tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa. Dengan makin bertambahnya
pengaruh pejabat pejabat bangsa Eropa, timbul pikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan
bupati. Tidak mengherankan bahwa perkembangan ini sangat menggelisahkan para bupati, yang
sebelum Raffles mempunyai kekuasaan dan gengsi social yang amat besar.
b. Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian
pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada masa sewa
tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
Dalam mengatur penggunaan wajib ini para kepala desa oleh VOC diberikan kebebasan
penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh masing masing petani. Sudah
barang tentu kebebasan ini mengakibatkan tindakan-tindakan sewenag-wenag yang sering
merugikan rakyat. Sebagai seorang liberal Rafles menentang kebiasaan ini. Berdasarkan
keyakinanya bahwa penduduk jawa harus dapat menikmati kepastian hokum maka ia
memepertimbangkan penetapan pajak secara perorangan. Peraturan menegenai penetapan pajak
berupa pajak tanah yang harus di bayar oleh perorangan dan bukan lagi desa sebagai keselurhan
dikeluarkan dalam tahun 1814.
Akan tetapi tidak lama kemudian ternyata bahwa pelaksanaan pemungutan pajak secara
perorangan mengalami banyak kesulitan. Salah satu factor yang penting dalam hal ini adalah tidak
tersedianya bahan-bahan keterangan yang baik dan dapat dipercayai untuk penetapan jumlah pajak
yang harus di bayar oleh tiap tiap orang. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa penetapan
pajak tidak dilakukan dengan tepat, sehingga sering memperberat beban pajak untuk rakyat, dan
bukan memperinganya seperti yang di maksud Raffles.
c. Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang
merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami
kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman
mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.
Perkembangan yang sama juga terlihat pada tanaman dagangan lainya, seperti gula dan lain-
lain. Salah satu dari sebab kegagalan ini adalah kekurangan pengalaman para petani dalam menjual
tanaman mereka di pasar bebas, sehingga sering penjualan ini diserahkan kepada kepala desa
mereka. Hal ini mengakibatkan bahwa kepala-kepala desa sering menipu para petani, sehingga
akhirnya pemerintah colonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan penanaman paksa
bagi tanaman-tanaman perdagangan.
2. Dua hal yang ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah:
a. Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.
b. Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide
Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.
Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah Rakyat
diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk
memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang
yang didapatkan sebagian kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut.
Pada masa ini sistem feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya
memdapatkan hak-hak atau pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.
Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya
kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena kecenderungan
rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya menanam saja, untuk
mernjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan, sehingga mereka kemudian
menyerahkan urusan menjual hasil pertanian kepada para kepala-kepala desa untuk menjualnya di
pasar bebas. Tentu saja hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang
dilakukan oleh para kepala desa tersebut.
3. Tanaman Dan Sistem Perdagangan Pada Masa Sewa Tanah
Pada sistem sewa tanah, petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka
kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk
menanam tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah
milik swasta atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib.
Pelaksanaannya di Parahyangan, Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena
merupakan sumber keuntungan bagi kas negara.
Walaupun demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan hasil.
Selain kopi, tanaman tebu juga mengalami kemunduran yang sama, sehingga pada sistem sewa
tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah yang terbatas. Penurunan
hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu mengenal tanaman ekspor.
Dalam sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan kebebasan untuk menanam, mereka juga
diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan atau menjual tanaman mereka sendiri di pasaran
bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif karena penjualan sering diserahkan rakyat kepada
kepala desa mereka. Penyerahan penjualan kepada kepala desa dikarenakan kurang pengalamannya
petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. hal ini mengakibatkan kepala-
kepala desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun pembeli, sehingga membuat
pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman
perdagangan.
C. Akibat Dan Ketentuan Dari Sewa Tanah
Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendels dari Indonesia, Jawa diduduki
oleh Inggris dalam tahun 1811. Zmana pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima
tahun, yaitu antara tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakakan dasar-dasar
kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaannya pemerintahan
kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah
kolonial Inggris. (Kartodirdjo: 1977: 65).
Azas-azas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles,
yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya Rafless ingin
menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsure paksaan yang dahulu
melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh kompeni Belanda
(VOC) dalam kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. (Kartodirdjo: 1977: 65)
Thomas Stanford Rafless menyebut Sistem Sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem
pajak bumi dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa:
“Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebih tepat pajak
hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode colonial,
dan landrentesebagai suatu sistem (Belanda: Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813
sampai 1830”
Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan colonial yang baru, Raffles ingin
berpatokan pada tiga azas: Pertama, segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan
rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis
tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsure paksaaan apa pun juga. Kedua, peranan para bupati
sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral
dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas
pemerintahan di negeri barat. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa pemerintah colonial adalah
pemilik tanah, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah
milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa
tanah(landrente) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. (Kartodirdjo: 1977: 66).
Prinsip dasar dari Sistem Sewa tanah adalah setiap penggarap akan dikenai pajak sesuai
jumlah dan kualitas tanah pemiliknya, karena semua tanah dianggap sebagai milik pemerintah.
Perintah bulan Februari 1814 ini memberikan pedoman pemungutan pajak sebagai berikut:

 Sawah, kelas, pajak:


a. Sawah, Kelas I, ½ dari hasil sebagai pajak;
b. Sawah, Kelas II, 2/5 dari hasil sebagai pajak;
c. Sawah, Kelas III, 1/3 dari hasil sebagai pajak;
 Tegal, kelas, pajak:
a. Tegal, Kelas I, 2/5 dari hasil sebagai pajak;
b. Tegal, Kelas II, 1/3 dari hasil sebagai pajak;
c. Tegal, Kelas III, 1/4 dari hasil sebagai pajak;
Ketika Jawa dikembalikan kepada Belanda tahun 1816, Sistem Pajak Bumi tetap
dipertahankan, walaupun perkenalan dan pelaksanaannnya selama tiga tahun kekuasaan Inggris
masih jauh dari memuaskan. Sistem sewa tanah berlangsung hingga tahun 1830.
Diperkenalkannya sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social ekonomi dalam
beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah dihapuskan,
hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun. Kedua,
kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras dan
memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan
oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang disebut
kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu itu
hanyalah primus inter pares (yang pertama diantara lain-lainnya yang sederajat) dari penduduk desa
yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah
pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas pembagian tanah-
tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dalam banyka hal diubah
menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi bagi, dan sering dengan jatah yang sama.Kelima,
Masuknya sistem baru ini didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selnjutnya
semua residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan pertanian.
D. Kegagalan Dari Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles
pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang
diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk
pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu di sebabkan beberapa
faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya
mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia. Beberapa faktor kegagalan sistem sewa
tanah antara lain ialah:
 Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.
 Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh
para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang
berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.
 Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang
pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat
Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi
masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannyadalam penjualan ke pasar bebas belum
disadari betul.
 Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal
ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas
hasil pertanian belum disadari betul.
 Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat
menurunkan produksifitas hasil pertanian.
 Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.:
Selain kegagalan diatas, ternyata system sewa tanah juga membawa damapak positif antara lain:
Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat
memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.
Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan
susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan sistem yang
sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masi
cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self sufficient.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengalaman –pegalaman yang diperoleh selama masa system sewa tanah berlaku, baik
selama pemerintah sementara Inggris di bwah pemerintahan Raffles maupun selama pemerintahan
Belanda di bawa para komisaris jenderal dan Gubernur Jenderl Van Der Capellen,menunjukan
bahwa untuk mengesampingkan para Bupati dan kepala kepala desa tidak berhasil. Ternyata mau
tidak mau Struktur feudal yang berlaku di masyarakat tradisional jawa, khususnya gengsi social
yang dimiliki para Bupati dan kepala-kepala desa, perlu di mobilisasi lagi oleh pemereintah colonial
jika mereka mau mencapai tujuan mereka untuk mendorong penduduk menanam tanaman
perdagangan yang diinginkan.
Sistem sewa tanah ini memang mengakibatkan lebih meresapnnya pengaruh politik maupun
pengaruh social sampai batas tertentu ke dalam terutama oleh karena usaha mengesampingkan para
bupati untuk langsung berhubungan dengan para petani sendiri. Namun kita melihat bahwa hal ini
tidak sepenuhnya berhasil dan dalam berbagai hal ikatan ikatan tradisional masi perlu di faedahkan.
B. Saran
Semoga didalam isi makalah ini dapat memberikan Informasi dan gambaran secara jelas
mengenai Sistem Sewa Tanah di Indonesia, dan semoga dapat menjadi tambahan Referensi bagi
mahasiswa yang akan menyususn makalah dengan judul yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Foth, Henry D. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Yogjakarta: Gajah Mada University Press
Kartodirjo Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 1. Jakarta: Gramedia.
Leiriza RZ. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Edisi Revisi). Jakarta: Balai Pustaka.
Marwoto Soewito dkk. 2000. Sistem Pemerintahan Indonesia Raffles, Belanda Dan
Jepang. Bandung: Koperasi Abdi Praja
Notosutanto Nugroho Dkk. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan Balai Pustaka.
Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Moderen. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Suroya Djuliati, dkk. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve atas
kerja sama dengan Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Wijayanti, Putri Agus. 2001. Tanah Dan Sistem Perpajakan Masa Kolonial Inggris.
Yogjakarta.:Tarawang Prees

Internet:
Ivan Sujatmoko. 2008. System sewa tanah masa Raffles.E-mail blog. Diakses pada tanggal 10
September 2014
http://teguhsrhy10.blogspot.co.id/2014/10/makalah-sistemsewa-tanah-masa-raffles.html
MAKALAH SEJARAH INDONESIA
SISTEM SEWA TANAH

Kelas XI IPA 1
SMAN 1 Batu Sopang
Tahun 2017/2018
Nama Kelompok:
Annurun Nisa Harahap
Galuh Sekarwangi
M. Naufal Gani
Norsyifa Nilsa Aulia
Rida Ahyadi
Rosikah Andaru Sikarini

Anda mungkin juga menyukai