Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

IDENTITAS NEGARA KAMBOJA DAN SINGAPURA

ILMU PENGETAHUAN UMUM


Guru Pembimbing : Nur Elpi S.pd

Nama Anggota Kelompok I :


 Alfira Tunggal Putri
 Nur Fadillah
 Rasmi Azzahrah T.
 Reza Aditya
 Ajrin (Tidak Aktif)

SMP NEGERI 2 KONAWE SELATAN


TAHUN AJARAN 2021/2022
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan lancar.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Pengaruh sistem sewa
tanah", yang mmenurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari
cahaya sebagai faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan perkecambahan tumbuhan.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman
bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang buat kurang tepat atau menyinggu
perasaan pembaca.

Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Perancis, menandai berakhirnya kekuasaan


Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin,
Makasar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di
Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin
oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).

Sistem sewa tanah yaitu sistem pertanian dimana para petani atas kehendaknya sendiri menanam
dagangan (cash crops), Yang dapat di Ekspor keluar negeri.

Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia.
Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van
Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi
setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan
dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang,
terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.

Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan
dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari
Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada
masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami
kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan
pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa
Raffles diganti dengan perdagangan bebas.

Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan
jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada
masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya
sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang
akan ditanam.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, mengenai “Sistem Sewa Tanah” yang digagas oleh Stamford
Rafles di Indonesia, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :

1.      Bagaimana latar belakang sehingga di terapkanya Sistem Sewa Tanah di Indonesia ?

2.      Bagaimana pelaksanaan Sistem Sewa Tanah di Indonesia ?

3.      Apa akibat dan ketentuan dari Sistem Sewa Tanah terhadap Indonesia ?

4.      Bagaimana kegagalan dari di terapkanya Sistem Sewa Tanah di Indonesia ?

1.3  Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini yaiitu:

1.      Agar kita dapat mengetahui latar belakang dari diterapkanya Sistem Sewa Tanah di Indonesia.

2.      Agar kita dapat memahami mengenai pelaksanaan dari Sistem Sewa Tanah di Indonesia.

3.      Agar kita dapat mengetahui akibat dan ketentuan dari Sistem Sewa Tanah di Indonesia.

4.      Agar kita mengetahui kegagalan dari diterapkanya Sistem Sewa Tanah di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAAN

2.1  Latar Belakang Diterapkanya Sistem Sewa Tanah

Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia.
Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van
Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi
setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan
dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang,
terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.

Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan
dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari
Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada
masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami
kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan
pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa
Raffles diganti dengan perdagangan bebas.

Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan
jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada
masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya
sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang
akan ditanam.

Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan terjadinya
kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para penduduk
mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan bagi
para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak
percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan
menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak
dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.
Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang
Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang. Masyarakat pun dengan keinginannya sendiri
akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa. Semua ini pada
akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.

Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan
munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan. Secara makro
kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian. Pada
hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas
dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi
yang dijalankan pemerintah Belanda.

2.2  Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah

Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur
Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghimpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari
tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai
pemilik semua tanah yang ada.

Tujuan dari Sewa tanah itu sendiri yaitu untuk meningkatkan tingkat kemakmuran penduduk di jawa
dan merangsang produksi tanaman dagangan.

Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter Boomgard
(2004:57) menyatakan bahwa : Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi
atau lebih tepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir
periode kolonial, dan andrente sebagai suatu sistem (Belanda : Landrente Stelsel), yang berlaku
antara tahun 1813 sampai 1830.

Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab
membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat
dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur
Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala
unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. 

Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan
kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford
Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya
mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie (persaudaraan)”. Hal tersebut
membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja
dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.

Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur
Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan kolonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur
pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun
keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya
mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan kolonial, dengan melaksanakan proyek-
proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

2.2.1        Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah :

a.      Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern

Pergantian dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh
para raja-raja dan kepala desa. Pergantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional
raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka
dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh
para pegawai - pegawai Eropa. Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat bangsa Eropa, timbul
pikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Tidak mengherankan bahwa perkembangan
ini sangat menggelisahkan para bupati, yang sebelum Raffles mempunyai kekuasaan dan gengsi sosial
yang amat besar.

b.      Pelaksanaan pemungutan sewa

Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak
tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada masa sewa tanah hal ini
digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.

Dalam mengatur penggunaan wajib ini para kepala desa oleh VOC diberikan kebebasan penuh untuk
menetapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh masing masing petani. Sudah barang tentu
kebebasan ini mengakibatkan tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat.
Sebagai seorang liberal Rafles menentang kebiasaan ini. Berdasarkan keyakinanya bahwa penduduk
jawa harus dapat menikmati kepastian hukum maka ia mempertimbangkan penetapan pajak secara
perorangan. Peraturan mengenai penetapan pajak berupa pajak tanah yang harus di bayar oleh
perorangan dan bukan lagi desa sebagai keseluruhan dikeluarkan dalam tahun 1814.

Akan tetapi tidak lama kemudian ternyata bahwa pelaksanaan pemungutan pajak secara perorangan
mengalami banyak kesulitan. Salah satu faktor yang penting dalam hal ini adalah tidak tersedianya
bahan-bahan keterangan yang baik dan dapat dipercayai untuk penetapan jumlah pajak yang harus di
bayar oleh tiap tiap orang. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa penetapan pajak tidak
dilakukan dengan tepat, sehingga sering memperberat beban pajak untuk rakyat, dan bukan
memperinganya seperti yang di maksud Raffles.

c.       Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport

Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan
komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini
karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas,
karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.

Perkembangan yang sama juga terlihat pada tanaman dagangan lainya, seperti gula dan lain-lain.
Salah satu dari sebab kegagalan ini adalah kekurangan pengalaman para petani dalam menjual
tanaman mereka di pasar bebas, sehingga sering penjualan ini diserahkan kepada kepala desa mereka.
Hal ini mengakibatkan bahwa kepala-kepala desa sering menipu para petani, sehingga akhirnya
pemerintah kolonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan penanaman paksa bagi
tanaman-tanaman perdagangan.

2.2.2        Dua hal yang ingin dicapai oleh Raffles melalui Sistem Sewa Tanah ini adalah :

a.      Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.

b.      Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide
Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.

Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah rakyat diposisikan
sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah
tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian
kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem
feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya mendapatkan hak-hak atau
pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.

Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya kepada
siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena kecenderungan rakyat yang
telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya menanam saja, untuk menjual tanaman yang
mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan, sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan
menjual hasil pertanian kepada para kepala-kepala desa untuk menjualnya di pasar bebas. Tentu saja
hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa
tersebut. 

2.2.3        Tanaman Dan Sistem Perdagangan Pada Masa Sistem Sewa Tanah

Pada sistem sewa tanah, petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka
kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk
menanam tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-
daerah milik swasta atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem
tanam wajib. Pelaksanaannya di Parahyangan, Inggris enggan untuk mengganti penanaman
kopi karena merupakan sumber keuntungan bagi kas negara.

Walaupun demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan hasil. Selain
kopi, tanaman tebu juga mengalami kemunduran yang sama, sehingga pada sistem sewa tanah
pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah yang terbatas. Penurunan
hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu mengenal tanaman ekspor.

Dalam sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan kebebasan untuk menanam, mereka juga
diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan atau menjual tanaman mereka sendiri di
pasaran bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif karena penjualan sering diserahkan rakyat
kepada kepala desa mereka. Penyerahan penjualan kepada kepala desa dikarenakan kurang
pengalamannya petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. Hal ini
mengakibatkan kepala-kepala desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun
pembeli, sehingga membuat pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan
penanaman paksa bagi tanaman perdagangan.

2.3  Akibat Dan Ketentuan Dari Sewa Tanah


Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendels dari Indonesia, Jawa diduduki oleh
Inggris dalam tahun 1811. Di mana pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun,
yaitu antara tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakkan dasar-dasar
kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaannya pemerintahan
kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah
kolonial Inggris. (Kartodirdjo: 1977: 65).

Azas-azas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang
sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya Rafless ingin menciptakan
suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada
sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh kompeni Belanda (VOC) dalam
kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. (Kartodirdjo: 1977: 65)

Thomas Stanford Rafless menyebut Sistem Sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak
bumi dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa :

“Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebih tepat pajak hasil
tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode kolonial,
dan landrente sebagai suatu sistem (Belanda : Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813
sampai 1830”

Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin
berpatokan pada tiga azas: Pertama, segala bentuk dan  jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan
rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis
tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan apa pun juga. Kedua, peranan para bupati
sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral
dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas
pemerintahan di negeri barat. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah
pemilik tanah, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah
milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa
tanah (landrente) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. (Kartodirdjo: 1977: 66).
Prinsip dasar dari Sistem Sewa tanah adalah setiap penggarap akan dikenal pajak sesuai jumlah
dan kualitas tanah pemiliknya, karena semua tanah dianggap sebagai milik pemerintah. Perintah
bulan Februari 1814 ini memberikan pedoman pemungutan pajak sebagai berikut :

Ø  Sawah, kelas, pajak :

a.       Sawah, Kelas I, ½ dari hasil sebagai pajak

b.      Sawah, Kelas II, 2/5 dari hasil sebagai pajak

c.       Sawah, Kelas III, 1/3 dari hasil sebagai pajak

Ø  Tegal, kelas, pajak :

a.       Tegal, Kelas I, 2/5 dari hasil sebagai pajak

b.      Tegal, Kelas II, 1/3 dari hasil sebagai pajak  

c.       Tegal, Kelas III, 1/4 dari hasil sebagai pajak

Ketika Jawa dikembalikan kepada Belanda tahun 1816, Sistem Pajak Bumi tetap dipertahankan,
walaupun perkenalan dan pelaksanaannnya selama tiga tahun kekuasaan Inggris masih jauh dari
memuaskan. Sistem sewa tanah berlangsung hingga tahun 1830.

Diperkenalkannya sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi dalam


beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah
dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun.
Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras
dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah
dipekerjakan oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka
yang disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu
itu hanyalah primus inter pares (yang pertama diantara lain-lainnya yang sederajat) dari
penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala
desa adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas
pembagian tanah-tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dalam
banyak hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi bagi, dan sering dengan jatah
yang sama. Kelima, Masuknya sistem baru ini didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan
penduduk dan selanjutnya semua residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi
data penduduk dan pertanian.

3.4  Kegagalan Dari Sistem Sewa Tanah


Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles pada
sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan
ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia.
Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu di sebabkan beberapa faktor dan mendorong
sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan
kolonisasi Inggris di Indonesia. Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah :

Ø  Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan


pertanian.

Ø  Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki
oleh para kalangan pemerintah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut
kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.

Ø  Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang
pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9,
masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan
karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan
ke pasar bebas belum disadari betul.

Ø  Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal
ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari
produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.

Ø  Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat
menurunkan produksifitas hasil pertanian.

Ø  Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.

Selain kegagalan diatas, ternyata sistem sewa tanah juga membawa dampak positif antara lain :
Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat
memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.

Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan
kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara
India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masih cukup sederhana
dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self sufficient.
BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan
Pengalaman – pengalaman yang diperoleh selama masa sistem sewa tanah berlaku, baik selama
pemerintah sementara Inggris di bawah pemerintahan Raffles maupun selama pemerintahan Belanda
di bawa para komisaris jenderal dan Gubernur Jenderal Van Der Capellen, menunjukan bahwa untuk
mengesampingkan para Bupati dan kepala desa tidak berhasil. Ternyata mau tidak mau Struktur
feudal yang berlaku di masyarakat tradisional jawa, khususnya gengsi sosial yang dimiliki para Bupati
dan kepala-kepala desa, perlu di mobilisasi lagi oleh pemerintah kolonial jika mereka mau mencapai
tujuan mereka untuk mendorong penduduk menanam tanaman perdagangan yang diinginkan.

Sistem sewa tanah ini memang mengakibatkan lebih meresapnnya pengaruh politik maupun pengaruh
sosial sampai batas tertentu ke dalam terutama oleh karena usaha mengesampingkan para bupati untuk
langsung berhubungan dengan para petani sendiri. Namun kita melihat bahwa hal ini tidak
sepenuhnya berhasil dan dalam berbagai hal ikatan tradisional masih perlu di faedahkan.

B.     Saran

Semoga didalam isi makalah ini dapat memberikan Informasi dan gambaran secara jelas mengenai
Sistem Sewa Tanah di Indonesia, dan semoga dapat menjadi tambahan Referensi bagi mahasiswa
yang akan menyusun makalah dengan judul yang sama.
 
 

DAFTAR PUSTAKA

Boomgard, Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda : Sejarah Sosial Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: KITLV &
Djambatan
Kartodirjo Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 1. Jakarta: Gramedia.

Marwoto Soewito dkk. 2000. Sistem Pemerintahan Indonesia Raffles, Belanda Dan Jepang. Bandung:
Koperasi Abdi Praja

Anda mungkin juga menyukai