Anda di halaman 1dari 10

Perkembangan Landelijk stelsel (Sistem sewa tanah) pada masa pemerintahan Raffles

dan Van der Capellen di Jawa tahun (1811-1826)


Oleh:
SATRIA ISKANDAR
1403617001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

ABSTRAK
Pada penulisan artikel kali ini. Saya akan mengangkat judul tentang Perkembangan
Landelijk stelsel (Sistem sewa tanah) pada masa pemerintahan Raffles di Jawa tahun (1811-
1826). Judul ini sangat menarik karena bagi saya. Masih banyak orang bahkan saya sendiri
yang pada awalnya kurang paham akan perkembangan sistem ini dan dampaknya bagi
kehidupan Indonesia masa mendatang. Dalam artikel ini kita akan membahas tentang
permulaan bagaimana Jawa jatuh ke tangan Inggris dan kemudian bagaimana perkembangan
dari sistem sewa tanah yang di berlakukan oleh Raffles pada saat itu yang menjadi Gubernur
Jenderal untuk Inggris di Nusantara.
Pada penerapaanya kita yang kebanyakan kita tahu bahwa sistem ini adalah sistem
yang dipakai pemerintahan kolonial Inggris di India, kemudian oleh Raffles mencoba untuk
menerapkannya di Nusantara, terutama di Jawa. Namun pada kenyataanya sistem ini kurang
berjalan dengan baik. Selain karena faktor rakyat Jawa yang kurang paham dalam
pemakaiannya, masih banyak kekacauan lain yang terjadi, seperti kurangnya anggota
pengawas pajak yang diberlakukan, masih banyak penyelewengan pada sistem ini yang
membuat rakyat sengsara, dan masih kuatnya sistem feodal di tanah Jawa. Hingga akhirnya
pada masa akhir Raffles menggunakan sistem lama Pemerintahan Kolonial VOC. Kemudian
setelah kembali ke tangan pemerintahan Belanda. Sistem ini masih tetap dipakai hingga De
Bush sampai 1830. Van der Capellen yang saya angkat pada judul merupakan gubernur
jenderal Belanda pertama setelah beralih dari Inggris ke Belanda. Pada masa
pemerintahannya, sistem Raffles yang biasa disebut sistem sewa tanah diberlakukan kembali
dengan bantuan modal asing dan pelaksanaan pembayaran sewa tanah per kepala desa.
PENDAHULUAN
Dalam penulisan kali ini, saya sangat tertarik untuk membahas lebih dalam tentang

sistem sewa tanah yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Inggris di Nusantara. Hal ini

dikarenakan banyak hal yang masih perlu dikaji dan ditelusuri lebih dalam tentang bagaimana

perkembangan sistem tersebut dan apakah baik atau buruk bagi perkembangan Nausantara.

Tahun 1811, tepatnya setelah perjanjian Tutang pada 18 September 1811 dan ketika

itu Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens tak mampu menahan serangan Inggris di Jawa,

maka dengan begitu kekuasaan Belanda di Nusantara beralih ke tangan Inggris. Kekuasaan itu

meliputi Jawa, Sumatera, Madura, Sunda Kecil, Banjarmasin, Makassar, dan Madura.

Tangkup kepemimpinan di Hindia Belanda itu dipegang oleh Letnan Gubernur Thomas

Stamford Raffles.1 Sistem sewa tanah yang diberlakukan di Indonesia dibawa oleh Raffles

dari merlihat perkembangan kebijakan itu di India. Hal itu yang menyebabkan Raffles

berusaha untuk mengadakan suatu pembaharuan yang bersifat liberal.2

Sistem sewa tanah ini berlangsung dari tahun 1811 hingga 1830. Walaupun pada

akhirnya sistem ini berjalan kurang baik dan digantikan dengan sistem tanam paksa pada

masa pemerintahan van den Bosch. Namun sistem ini merupakan sistem yang mampu

memberikan warna baru dalam diri Nusantara, baik dari segi politik maupun ekonomi. Tidak

semua daerah di Nusantara menerima dampak dari sistem sewa tanah ini. Ada beberapa

daerah yang tidak dikenakan sistem ini daiantaranya adalah daerah sekitar Batavia dan

Parahyangan, Jawa Barat.3 Rumusan masalah yang akan diangkat adalah: Mengapa sistem

sewa tanah diberlakukan di Nusantara? Bagaimana perkembangan sistem sewa tanah masa

pemerintahan Raffles hingga Van der Capellen?

1
Parakitri T, Simbolon. Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas, 1995, hlm. 90
2
Ibid.
3
Ibid., hlm. 67.
A. Permulaan masuk dan penerapan sistem sewa tanah di Jawa.

Masuknya sistem sewa tanah dimulai pada masa pemerintahan Raffles di Nusantara.

Kala itu pemerintahan kolonial Inggris telah berhasil menduduki Jawa dan mengambil alih

kekuasaan Nusantara dari Belanda-Prancis. Sejak perjanjian Tuntang Capitulatie van

Tuntang, semua kekuasaan Belanda di Nusantara dikuasai Inggris. Perjanjian itu berisi:

1. Seluruh tanah di Pulau Jawa diserahkan kepada Inggris.

2. Seluruh militer Belanda dianggap sebagai tawanan.

3. Inggris tidak mengambil tanggungan atas perutangan Hindia Belanda.

4. Semua pegawai yang ingin bekerja pada pemerintah Inggris boleh tetap pada

pekerjaannya.4

Lord Minto, merupakan gubernur jenderal Inggris di India. Kala itu setelah penanda

tanganan Kapitulasi Tuntang, maka dia menunjuk Sir Thomas Stamford Raffles sebagai

pemimpin di Inggris di Jawa dan daerah bawahannya; Palembang, Makassar, Banjarmasin,

dan Maluku.5

Berbeda dengan sistem VOC yang memanfaatkan para raja dan bupati setempat untuk

mendapatkan hasil bumi dan alat kebijaksanaan perdagangannya. Raffles lebih menerapkan

sistem liberal. Pengamatan Raffles itu didapat setelah melihat sistem yang dirasa kurang

menuntungkan sejak zaman VOC sebelumnya. Sistemnya ini lebih menutamakan agar para

petani lebih leluasa dalam menanam tanaman dagang untuk di ekspor.6

Kegagalan yang dialami VOC dengan sistemnya, membuat Raffles juga menyatakan

bahwa perubahan sistem ke liberal merupakan hal yang tepat, selain karena pengalamannya

4
Pemerintah Daerah Tingkat 1 Provinsi Jawa Barat. Sejarah Pemerintahan Jawa Barat. Bandung: Pemerintah
Daerah, 1992, hlm. 248.
5
Drs. Sjafii. Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles. Bandung: PT. Sanggabuwana, 1976, hlm. 25.
6
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia 4. Jakarta: Balai
Pustaka, 1993, hlm. 90.
melihat perkebangan sistem itu di India, sistem liberal sendiri lebih berkembang dan maju di

negara Inggris ketimbang di Belanda.7

B. Perjalanan dan perkembangan sistem sewa tanah di Jawa

Adapun sebagai awalan, Raffles memiliki tiga azas dalam melaksanakan sistemnya

tersebut, yaitu yang pertama adalah penyerahan wajib dalam berbagai bentu serta kerja rodi

bagi masyarakat dihapuskan. Hal ini dilihat karena terlalu menyengsarakan rakyat. Sebagi

gantinya, rakyat diberi kebebasan dalam menentukan tanaman yang hendak ditanam di tanah

mereka atau tanah sewaan. Yang kedua adalah para bupati tidak lagi berperan sebagai

pemungut pajak. Mereka merupakan kesatuan dari pemerintah kolonial untuk

mensejahterakan rakyat dibawah fungsi-fungsi pemerintahan. Yang ketiga adalah khusus bagi

petani yang hendak menggarap tanah. Tanah yang digarap untuk tanaman dianggap sebagai

tanah pemerintah. Maka para petani haruslah setidaknya membayar sewa tanah (land-rent)

untuk itu karena petani dianggap sebagai penyewa tanah (tenant).8 Selain itu, pembaruan

sistem pemilikan tanah oleh raja dan pemerintah lokal ke pemerintah merupakan sebuah

revolusi. Karena pemerintah yang menyewakan tanah, maka akan mendapat pemasukan, baik

dari pelaku ekonomi manapun (Swasta Eropa atau China).9

Sistem sewa tanah pada masa itu mulailah dijabarkan dengan beberapa kebijakan yang

berubah, seperti penghapusan kerja rodi, wajib pajak, dan lain-lain. Pajak yang diharapkan

dapat dihasilkan adalah pajak yang berasal dari sewa tanah oleh rakyat kepada pemerintah.

Tergantung seberapa luas dan kesuburan tanah yang akan digarap. Jumlahnya akan ditentukan

antara seperempat sampai sepertiga hasil tanah.10 Semula, telah dilakukan penelitian

berulang-ulang kali, baik mengambil langkah berdasarkan penelitian zaman Daendels atau

penelitian ulang. Penelitan pada zaman Daendels dirasa kurang lengkap, maka dari itu

7
Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Yogyakarta: Ombak, 2017, hlm. 342
8
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, loc. cit.
9
D.H. Burger, De Ontsluiting van Java’s Binnenland voor Wereldverkeer (Wageningen: Venman & Zoon, 1939),
hlm 57-59.
10
Drs. Sjafii, op. cit., hlm. 34.
diadakan penelitian ulang tentang kondisi hak milik tanah di Jawa. Namun penelitian itu tetap

saja ada kesalahannya, hal itu karena telah berkembangnya adat istiadat atau pranata-pranata

yang berbeda di Jawa.11 Setelah pengkajian lebih dalam, Raffles menemukan bahwa terdapat

kesamaan antara Benggala dengan Jawa dalam konteks kondisi sosial, maka dari itu dia

memperkenalkan sistem tersebut yang dilaksanakan oleh Perusahaan India Timur di India ke

Jawa. Berdasarkan teori bahwa semua hak milik tanah di seluruh negeri adalah sah milik

penguasa berdaulat.12 Pada dekrit yang dia keluarkan, 15 Oktober 1813, dinyatakan

pemerintah akan menyewakan tanah kepada kepala-kepala desa yang kemudian akan

menyewakan kembali pada perseorangan dengan harga yang tidak menyulitkan rakyat.

Penyewa akan dilindungi oleh pemerintah dengan adil.13

Penerapannya pada tahun-tahun pertama membuahkan hasil yang cukup memuaskan.

Dalam perjalanan awalnya, sistem ini diterangkan bahwa setiap penyewa harus memiliki

catatan sewa yang disimpan oleh kepala desa dan kepala desa harus memaparkan data sewa

yang jelas kepada tiap penyewa tanah tersebut. Desa haruslah memilih kepala desa yang

mampu memutuskan beban pajak yang adil kepada penduduk. Penerapan metode ini mencoba

menipiskan pengaruh bupati yang aristokratik dengan perantara administrasinya dalah kepala

desa.14

Jika pada mulanya Raffles melaksanakan kebijakannya dengan perantara kepala desa,

setahun kemudian, tepatnya tahun 1814, Raffles mengubah pendapatnya dan rencananya

dengan pemikiran yang berbeda. Menurutnya pemungutan pajak haruslah langsung

berhubungan dengan tiap rakyat yang menyewa.15 Proses menjalankan sistem yang baru ini

memerlukan informasi yang rinci tentang luas dan mutu tanah (kadaster). Ditambah dengan

11
Bernard H.M. Vlekke. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008, Hlm. 299.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 300.
14
Ibid., hlm. 300-301.
15
Parakitri T, Simbolon, op. cit., hlm. 95.
12 orang yang mengkoordinasi dan merancang informasi, serta penunjukan resident sebagai

pelaksana. Mereka dibantu juru ukur (surveyor) dan pemungut pajak (collector).16

Raffles berusaha untuk dapat berhubungan langsung dengan rakyat dalam menjalankan

pemerintahannya. Karena menurutnya, sistem feodal sudah sangat kuat melekat dalam ikatan

atara rakyat dengan pemimpinnya. Tentunya dia ingin berusaha menghilangkan kekuasaan

mutklak itu dan pengaruh bupati terhadap rakyatnya agar menurun. Dalam usaha agar dapat

tercapainya keinginan tersebut, maka Raffles menempatkan bupati sebagai pegawai umum

pemerintah dibawah pengawasan residen. Sistem pergantian bupati yang secara turun-

temurun tidak diakui dan hak untuk mengadili dicabut, tugas itu diberikan kepada residen

yang memimpin. Namun hak untuk memungut pajak tidak diganggu gugat. 17 Dibeberapa

daerah, para bupati benar-benar dijadikan pegawai biasa dibawah pemerintahan. Seperti

contohnya adalah Bupati Sukapura, Raden Demang Anggadipa (1807-1811) dipecat karena

tidak melaksanakan perintah penanaman nila. Kejadian itu membuat daerah itu dihapus dan

digabung ke wilayah Kabupaten Limbangan. Dari berbagai tindakan yang didapat oleh bupati

itu membuat terjadinya banyak pergolakan.18 Pergolakan yang terjadi merupakan akibat

Preangerstelsel yang ternyata masih berlaku atau diberlakukan lagi sejak zaman Daendels.

Akibat dari tindakan Raffles itu, mulailah salah satu sebab-sebab kegagalan kolonialisasi

untuk mencapai keuntungan. Tindakan itu pula berdampak pada sistem sewa tanah yang

dijalankan.19

Dalam penerapan sistem sewa tanah yang terbaru itu ternyata tidak berjalan sesuai

rencana dan tak sebagus yang diharapkan. sangat jelas jika dilihat dari pengawasan yang

hanya mengandalkan 12 orang tenaga inti. Kekacauan yang terjadi di lapangan

membingungkan pejabat Eropa terutama resident. Kekacauan didasari beberapa faktor,

hampir semua kepala desa mengalami buta huruf, tentunya menyebabkan kesulitan pendataan

16
Ibid.
17
Pemerintah Daerah Tingkat 1 Provinsi Jawa Barat, op. cit., hlm. 250.
18
Ibid., hlm. 251.
19
Ibid., hlm. 264.
dalam mengisi data dan perhitungan, alhasil data yang diberikan tak sedikit yang

mengarang.20 Selain itu, para petani dalam hal menentukan tanaman apa yang akan ditanam,

apa yang harus di lakukan, dan bagaimana cara pengumpulan pajak sudah terbiasa dengan

dimobilitasi oleh bupati mereka (kekuasaan tradisionil). Seringkali penyewaan dan

penggunaan tanah justru jatuh ketanggan kekuasaan saudagar China. Karena para petani tak

dapat memperoleh uang tunai, maka mereka meminjam ke saudagar China dengan bunga

besar. Mereka masih belum paham apa itu bunga yang nantinya akan memberatkan mereka.

Akibat dari gagal panen itu membuat tanah tersebut jatuh ke tangan penguasa China. 21 Akibat

dari kegagalan itu, Raffles kembali ke sistem lama untuk mengisi kas dan mendapat

keuntungan dengan penyerahan wajib dan kerja wajib.

Sepeninggal Raffles 1816 dan penggantinya John Fendall, Nusantara dikembalikan

kepada Belanda. Pada pimpinan setelahnya, yaitu Gubernur Jenderal Van der Capelllen.

Penghapusan sistem feodal dilakukan, tapi tidak didaerah sekitar tanah partikelir Jakarta,

Priangan, dan Vorstenlanden yang memeang menguntungkan. Melihat pemakaian sistem

pajak tanah yang sedang berkembang sebelumnya kurang baik. Sistem yang diterapkan

hampir sama dengan sistem Daendels dan Raffles, yaitu pengambilan pajak dari sewa tanah.

Namun Capellen memutuskan untuk mengambil pajak tanah dalam bentuk kolektif dari

kepala desa. Hal itu bahkan menyengsarakan rakyat karena kembali lagi banyak penindasan

terhadap rakyat.22

20
Parakitri T, Simbolon, op. cit., hlm 96.
21
Clive Day, The Policy and Administration of the Dutch in Java. (New York, London, Melbourne: Macmillan,
1904), hlm. 164-190.
22
PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Indonesia dalam Arus Sejarah jilid 4. Jakarta: hlm. 167.
KESIMPULAN

Penerapan sistem liberal oleh Raffles adalah caranya agar mampu memperbaiki

Nusantara, terutama Jawa, dari keterpurukan pada zaman pemerintanah kolonial Belanda

(VOC). Sistem yang memberikan kebebebasan untuk para petani dalam menggarap tanahnya

diharapkan dapat membuka pasar perdagangan bebas seperti yang dilakukan di India.

Pemerintah kolonial akan mendapatkan tambahan kas dari pajak yang didapat dari penyewaan

tanah para petani dan hasil dari ekspor tanaman. Hanya beberapa daerah seperti Parahiyangan

yang dijadikan tanah feodal dan tetap menerapkan tanam wajib yaitu kopi sebagai komoditas

ekspor utama.

Penerapan yang diharapkan itu berjalan kurang baik karena pengamatan yang tidak

tepat seperti kurang adanya tenaga untuk mengawasi jalannya sistem itu, kebutaan penduduk

akan sistem baru, dan lain sebagainya. Hal itu kurang dicermati oleh Raffles yang hanya

bernaggapan bahwa Jawa sama seperti India (Benggala). Sistem yang berusaha menghapus

unsur feodal ini kurang mampu diterapkan karena telah mengikat kuat di masyaratak Jawa

dan itu adalah hambatan tersulit pula oleh pemerintah kolonial.

Sistem sewa tanah ini berlanjut hingga zaman komisaris jenderal dan kembali ke

tangan pemerintah Belanda 1830. Pada masa pimpinan Gubernur Jenderal Van der Capellen,

sistem ini sedikit diubah dengan penyewaan tanah ke pihak swasta dan penarikan pajak yang

awalnya perseorangan menjadi kolektif perdesa.


DAFTAR PUSTAKA

Biegman, G. J. F. Hikajat Tanah Hindia. Batawi: Goebernemen, 1894.

Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa diMasa Kolonial. Jakarta: LP3ES,

1983.

Burger, D.H. De Ontsluiting van Java’s Binnenland voor Wereldverkeer (Wageningen:

Venman & Zoon, 1939).

Clive Day. The Policy and Administration of the Dutch in Java. (New York, London,

Melbourne: Macmillan, 1904).

Irsyam, Tri Wahyuning M. Tempat-Tempat Bersejarah di Depok. Depok: Humas Depok

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Yogyakarta: Ombak,

2017.

dan Dr. Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial

Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991

Lubis, Nina H. Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES,

2004.

Pemerintah Daerah Tingkat 1 Provinsi Jawa Barat. Sejarah Pemerintahan Jawa Barat.

Bandung: Pemerintah Daerah, 1992.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia 4.

Jakarta: Balai Pustaka, 1993

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2007.

Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta:

Kompas, 1995.

Sjafii, Drs. Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles. Bandung: PT. Sanggabuwana, 1976.
Suroyo, A. M. Djuliati, Eksploitasi Kolonial abad XIX. Kerja Wajib di Keresidenan Kedu

1800-1890. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000.

Suryo, Prof. Dr. Djoko dan Prof. Dr. Nina Herlina. Indonesia dalam Arus Sejarah jilid 4.

Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.

Vlekke, Bernard H.M. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008.

Anda mungkin juga menyukai