Anda di halaman 1dari 8

Cultuurstelsel (secara harfiah berarti Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat

diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya) (Inggris: Cultivation System) yang oleh sejarawan


Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditas ekspor,
khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah
kolonial.

Penyimpangan Sistem Tanam Paksa


Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.

1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.

2) Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.

3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih
dari 66 hari atau 1/5 tahun.

4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.

5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.

Dampak Negatif Tanam Paksa

Karena adanya berbagai penyimpangan tersebut, rakyat mengalami dampak tanam paksa
yang sangat menyengsarakan kehidupan mereka. Dampak dari tanam paksa di Indonesia
akibat eksploitasi luar biasa pada sumber alam adalah sebagai berikut:

1. Sawah dan ladang milik rakyat tidak terurus dengan baik sehingga tidak
menghasilkan panen yang layak, karena rakyat wajib kerja rodi berkepanjangan sehingga
penghasilan sehari – hari sangat menurun.
2. Beban hidup rakyat semakin berat dan sulit karena harus menyerahkan sebagian dari
tanah milik serta hasil panen, termasuk membayar pajak, kerja paksa dan turut menanggung
resiko kegagalan panen.
3. Rakyat mengalami tekanan secara fisik dan mental yang berkepanjangan karena
berbagai kebijakan pemerintah Belanda yang membebani kehidupannya.
4. Karena kerap mengalami kegagalan panen dan tidak bisa mencari nafkah, kemiskinan
merajalela dan timbul dimana – mana sehingga rakyat semakin sengsara.
5. Muncul masalah wabah penyakit dan kelaparan dimana – mana sehingga angka
kematian meningkat tajam. Misalnya di Cirebon pada tahun 1843 sebagai dampak dari tanam
paksa berupa pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, di Demak pada 1848,
Grobogan tahun 1849 hingga 1850 karena kegagalan panen. Semua itu menyebabkan jumlah
penduduk Indonesia menurun.
Dampak Positif Tanam Paksa

Dampak Bagi Pribumi

1. Dampak dari tanam paksa yang bermanfaat adalah bahwa dengan kebijakan tersebut
rakyat menjadi mengenal berbagai teknik menanam jenis- jenis tanaman baru.
2. Rakyat mulai mengenal jenis tanaman yang berpotensi ekspor dan bisa
diperdagangkan.

Dampak Bagi Belanda

1. Kas kerajaan yang semula kosong bahkan minus menjadi penuh dan mendapatkan
keuntungan berlipat – lipat.
2. Pendapatan dari tanam paksa melebihi anggaran belanja kerajaan.
3. Hutang – hutang yang besar segera terlunasi.
4. Perdagangan dan kegiatan ekonomi Belanda berkembang pesat sehingga Amsterdam
sukses menjadi kota pusat perdagangan dunia.

Aturan landrent (dalam bahasa Belanda; landrete) adalah kebijakan ekonomi liberal
berdasarkan asas liberal yang berupa sewa tanah yang diprakarsai oleh Raffles. Raffles
berpendirian bahwa semua tanah adalah milik raja yang berdaulat yakni Inggris. Pada tahun
1813, Raffles mengambil alih tanah milik kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon.
Sebagai gantinya Sultan diberi uang sebesar 10000 ringgit atau sekitar 30 juta rupiah.
                Dalam aturan landrent system, rakyat yang menyewa tanah dan membayar pajak
tanah bebas menanam tanaman apapun ditanah yang disewa. Untuk lebih lengkapnya, berikut
ketentuan-ketentuan dalam landrent system :

1.  Petaniharus menyewa tanah meskipun dia adalah pemilik dari tanah tersebut,
2. Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah,
3. Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan menggunakan uang tunai, dan
4. Bagi yang tidak punya tanah dikenakan pajak per kepala (per orang)
  
                    Dalam pelaksanaannya, landrent system di Indonesia mengalami kegagalan
karena faktor-faktor berikut :

1.  Rakyat pribumi terutama dipedesaan tidak biasa menggunakan uang, karena saat
masa Belanda rakyat membayar dengan hasil bumi (contingenten),
2. Feodalisme masih sangat kental dalam masyarakat,
3. Masa kekuasaan Raffles yang terbilang singkat, yakni hanya sekitar 4 tahun (1811-
1814),
4. Sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda,
5. Sulit menentukan kondisi tanah atau pun tingkat kesuburan tanah, dan
6. Terbatasnya Jumlah Pegawai. 
 
C. Th. van Deventer. Sumber: resources.huygens.knaw.nl

Sebenarnya, banyak pihak yang menghubungkan kebijakan politik etis ini


dengan tulisan-tulisan dan pemikiran van Deventer, salah satunya pada
tulisan yang berjudul Een Eereschuld (Hutang Kehormatan) dimuat dalam
harian De Gids tahun 1899.

Kritikan tersebut berisi perlunya pemerintah Belanda membayar utang


budi dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan. Kritik-
kritik ini menjadi perhatian serius dari pemerintah kolonial Belanda dan
membuat Ratu Wilhelmina memunculkan kebijakan baru bagi daerah
jajahan, yang dikenal dengan politik etis. Kemudian terangkum dalam
program Trias van Deventer.
Ratu Wilhelmina. Sumber: Tirto.id

Kebijakan politik etis serta program Trias van Deventer diterapkan di


Indonesia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Alexander W.F.
Idenburg (1909-1916).
Irigasi diperlukan untuk memperbaiki taraf kehidupan masyarakat
pribumi dalam bidang pangan. Emigrasi dilakukan demi mengirimkan
tenaga kerja murah untuk dipekerjakan di wilayah Sumatera.
Sedangkan pendidikan atau edukasi dilaksanakan untuk menghasilkan
tenaga kerja yang diperlukan negara.

Edukasi menjadi program paling berpengaruh bagi masyarakat di Hindia


Belanda. Penerapan program edukasi dilakukan oleh Pemerintah Hindia
Belanda dengan menerapkan pendidikan gaya Barat.

Pendidikan gaya barat tersebut diterapkan di beberapa sekolah yang


didirikan pemerintah Hindia Belanda antara lain:

Melalui sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan gaya barat


tersebut, lahirlah golongan baru dalam masyarakat Hindia Belanda yang
disebut golongan elite baru. Golongan elite baru disebut juga sebagai
golongan priyayi. Golongan priyayi tersebut banyak yang berprofesi
sebagai dokter, guru, jurnalis, dan aparatur pemerintahan.

Mereka memiliki pikiran yang maju serta semakin sadar terhadap


penindasan-penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, golongan elite baru berhasil mengubah corak perjuangan
masyarakat dalam melawan penindasan pemerintah kolonial, dari yang
tadinya bersifat kedaerahan menjadi bersifat nasional. Inilah titik di mana
masa pergerakan nasional dimulai.
Kesadaran awal kebangsaan di antara kalangan bumiputera ini terjadi di
awal abad 20 Squad. Tentunya hal itu nggak terjadi begitu saja dong. Ada
beberapa faktor yang membuat kesadaran itu muncul.
Faktor-faktor yang ada di info grafis itu, berpengaruh besar dalam
merubah karakteristik bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan. Saat
itu, pada abad 20. Lalu, seperti apa sih corak perjuangan bangsa
Indonesia ketika menghadapi penjajahan di masa itu?

Baca Juga: 7 Strategi Perlawanan Indonesia terhadap Belanda


Sampai Awal Abad 20

Nah, beberapanya bisa kamu lihat pada poin-poin di bawah ini Squad.

 Dipimpin dan digerakkan oleh kaum terpelajar. Kaum


terpelajar mendorong perjuangan melawan penjajahan barat
melalui pendirian organisasi-organisasi pergerakan.

 Bersifat nasional dan sudah ada persatuan antara


daerah. Perjuangan yang dilakukan melalui organisasi berhasil
menyatukan masyarakat Hindia Belanda yang terdiri dari beragam
suku. Selain itu persamaan nasib membuat munculnya persatuan
nasional di masa ini.

 Melakukan perlawanan secara pemikiran. Perjuangan melalui


pemikiran muncul karena masyarakat bumiputera sadar bahwa
kekuatan persenjataan tidak mampu mengalahkan pemerintah
Hindia Belanda. Alhasil perjuangan beralih melalui pemikiran yang
muncul dalam berbagai cara, mulai dari kampanye lewat pers, rapat
akbar, tulisan, hingga menolak bekerja sama dengan pemerintah
kolonial.

 Terorganisir dan ada kaderisasi yang jelas. Perjuangan melalui


organisasi berhasil menciptakan kaderisasi anggota. Melalui
kaderisasi anggota, faktor kepemimpinan dalam perjuangan tidak
lagi terfokus pada pemimpin yang kharismatik, karena akan selalu
muncul pemimpin dari kaderisasi yang dilakukan oleh organisasi.

 Memiliki visi yang jelas yaitu Indonesia merdeka. Perjuangan


masyarakat bumiputera di masa ini memiliki tujuan yang jelas yaitu
Indonesia merdeka.

Anda mungkin juga menyukai