Pada kurun waktu 1816-1830, pertentangan antara kaum liberal dan kaum konservatif terus
berlangsung. Persoalan pokoknya tentang sistem yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya
bagi negeri induk. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberi keuntungan besar bagi
negeri induk apabila urusan eksploitasi ekonomi diserahkan kepada orang-orang swasta Barat.
Pemerintah hanya mengawasi jalannya pemerintahan dan memungut pajak. Kaum konservatif
berpendapat sebaliknya, bahwa sistem pemungutan hasil bumi oleh pemerintah secara langsung akan
menguntungkan negeri induknya. Kaum konservatif meragukan sistem liberal karena keadaan tanah
jajahan belum memenuhi syarat.
Para komisaris jenderal kemudian mengambil jalan tengah. Di satu pihak, pemerintah tetap
berusaha menangani penggalian kekayaan tanah jajahan bagi keuntungan negeri induknya. Di lain pihak,
mencari jalan melaksanakan dasar-dasar kebebasan. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van
der Capellen juga dilaksanakan sistem politik yang dualistis. Pada satu pihak melindungi hak-hak kaum
pribumi, di lain pihak memberi kebebasan kepada pengusaha-pengusaha swasta Barat untuk membuka
usahanya di Indonesia selama tidak mengancam kehidupan penduduk.
Berbagai jalan tengah telah diupayakan, tetapi ternyata kurang memberikan keuntungan bagi
negeri induk. Sementara itu, kondisi di negeri Belanda dan di Indonesia semakin memburuk. Oleh karena
itu, usulan van den Bosch untuk melaksanakan cultuur stelsel (tanam paksa) diterima dengan baik
karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hokum adat yang menyatakan bahwa
barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di
Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti
raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada
pemerintah Belanda.
Pelaksanaan system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif
maupun negatif.
a) Dampak Positif
Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi impor
b) Dampak Negatif
Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
Beban pajak yang berat.
Pertanian, khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen.
Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari
pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan
(1849-1850) sebagai akibat kegagalan panen.
Jumlah penduduk Indonesia menurun dengan sangat drastis.
Pelaksanaan system tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi hanya
memberikan keuntungan kepada pihak Belanda secara besar-besaran.
Berkembangnya paham liberalism sehingga system tanam paksa tidak sesuai lagi untuk
diteruskan.
Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda
menerapkan system ekonomi liberal di Indonesia. Tujuannya agar para pengusaha Belanda
sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Adanya traktar Sumatera (1871) yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan
wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan system ekonomi
liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Indische Comptabiliteit Wet (1867), berisi tentang perbendaharaan negara Hindia Belanda yang
menyebutkan bahwa dalam menentukan anggaran belanja Hindia Belanda harus diterapkan
dengan undang-undang yang disetujui oleh Parlemen Belanda.
Suiker Wet (Undang-Undang Gula), yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli
pemerintah yang secara berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.
Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) 1870.
Agrarische Besluit (1870). Jika Agrarische Wet diterapkan dengan persetujuan parlemen. Maka
Agrarische Besluit diterapkan oleh persetujuan Raja Belanda. Agrarische Wet hanya mengatur
hal-hal yang bersifat umum tentang agrarian, sedangkan Agraria Besluit mengatur hal-hal yang
lebih rinci, khususnya tentang hak kepemilikan tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh
pihak swasta.
Pelaksanaan system politik ekonomi liberal di Indonesia merupakan jalan bagi pemerintah
colonial Belanda menerapkan imperialism modernnya. Hal itu berarti Indonesia dijadikan tempat untuk
berbagai kepentingan, antara lain sebagai berikut.
Seiring dengan pelaksanaan system politik ekonomi liberal, Belanda melaksanakan Pax
Netherlandica, yaitu usaha pembulatan negeri jajahan Belanda di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar
wilayah Indonesia tidak diduduki oleh bangsa Barat lainnya. Lebih-lebih setelah dibukanya Terusan Suez
(1868) yang mempersingkat jalur pelayaran antara Eropa dan Asia.
a) Bagi Belanda
Memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kaum swasta Belanda dan pemerintah
colonial Belanda.
Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke negeri Belanda.
Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajajahan.
b) Bagi Indonesia
Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk.
Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena jatuhnya harga kopi dan gula berakibat sangat
buruk bagi penduduk.
Menurunnya konsumsi bahan makanan, terutama beras, sementara pertumbuhan penduduk
Jawa meningkat sangat pesat.
Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena kalah bersaing dengan barang-barang impor dari
Eropa.
Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya angkutan
dengan kereta api.
Rakyat menderita karena masih diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman berat bagi yang
melanggar peraturan Poenale Sanctie
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menyatakan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, jika pemerintah Belanda memiliki panggilan moral serta hutang budi
(een eerschuld) pada bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina tuangkan panggilan
kepribadian itu ke kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer. Berikut ini isi
politik etis, meliputi :
Kebijakan pertama serta ke-2 disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan bangun irigasi
untuk perkebunan-perkebunan Belanda serta emigrasi dikerjakan dengan mengalihkan masyarakat ke
daerah perkebunan Belanda untuk jadikan pekerja rodi. Cuma pendidikan yang bermakna buat bangsa
Indonesia.
Dampak politik etis dalam bidang pengajaran serta pendidikan begitu bertindak dalam
peningkatan serta pelebaran dunia pendidikan serta pengajaran di Hindia Belanda. Salah seseorang dari
grup etis yang begitu berjasa dalam bagian ini ialah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), seseorang Menteri
Kebudayaan, Agama,serta Kerajinan saat lima tahun (1900-1905). Semenjak tahun 1900 berikut berdiri
sekolah-sekolah, baik untuk golongan priyayi ataupun rakyat biasa yang hampir rata di beberapa daerah.
Selain itu, dalam penduduk terjadi seperti transisi mental pada beberapa orang Belanda serta
beberapa orang bumiputera. Kelompok simpatisan politik etis terasa prihatin pada bumiputera yang
memperoleh diskriminasi sosial-budaya. Untuk sampai arah itu, mereka berupaya menyadarkan
golongan bumiputera supaya melepas diri dari belenggu feodal serta meningkatkan diri menurut mode
Barat, yang meliputi proses emansipasi serta menuntut pendidikan mengarah swadaya.Politik Etis atau
Politik Balas Budi ialah satu pemikiran yang mengatakan jika pemerintah kolonial menggenggam
tanggung jawab kepribadian buat kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini adalah masukan pada politik
tanam paksa. Timbulnya golongan Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De
Locomotief) serta C.Th. van Deventer (orang politik) nyatanya membuka mata pemerintah kolonial untuk
lebih memerhatikan nasib beberapa bumiputera yang terbelakang.