Anda di halaman 1dari 19

Masa Kekuasaan

Belanda kedua
(1816-1942)
Kelompok 5
Anggota kelompok
AMANDA PUTRI
IBNU ABDI RABBIH
NUR AZIQIN
RAHMAH INTAN AMALIAH
RIZKY MEIFITRI SESILIA
Masa Kekuasaan Belanda kedua
(1816-1942)-
Setelah berakhirnya kekuasaan Inggris, Indonesia dikuasai
oleh Belanda. Namun situasinya tidak menguntungkan bagi
Belanda karena pemerintah mereka dalam krisis keuangan
karena pengeluaran untuk melawan pendudukan Perancis dan
membayar hutang-hutang VOC. Maka, Belanda mengangkat
van der Capellen (1816-1826) sebagai gubernur jenderal
untuk mengeksploitasi kekayaan alam koloninya guna
menutupi kas negara yang kosong.
Kemudian, Belanda mengirim du Bus de Gisignies
(1826-1830).
Belanda kembali disambut oleh perlawanan seperti:
● Perang Saparua (1817);
● perlawanan sultan Palembang (1818-1825);
● Perang Diponegoro (1825-1830);
● Perang Padri (1815-1838);
● Perang Bone (1824).
Di Eropa, Belanda juga mengeluarkan biaya besar untuk menghadapi
pemberontakan rakyat Belgia yang akhirnya lepas dari Belanda pada
tahun 1830. Serangkaian perang itu membuat keuangan Belanda
merosot dan mereka berada di jurang kebangkrutan.
van den Bosch diutus Belanda untuk menyelamatkan negara dari
krisis ekonomi dengan mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya.
Van de Bosch memusatkan kebijakan pada peningkatan produksi
tanaman ekspor dengan memaksa rakyat menanamnya. Dari sinilah
kebijakan tanam paksa dimulai.
Kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Johannes
van den Bosch (1830-1870)

Secara harfiah, "cultuurstelsel" berarti sistem budaya.


Dalam praktiknya rakyat dipaksa menanam tanaman-
tanaman ekspor yang hasilnya dijual kepada Belanda.
Sudah sejak abad ke-18 di bawah Gubernur Jenderal VOC
Hendrick Zwaardecroon (1720-1725), kebijakan ini dirintis
di Tanah Sunda (Priangan), namanya Preangerstelsel
(Sistem Priangan).
Sistem TP diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835. Di seluruh Pulau
Jawa, delapanbelas (18) keresidenan atau asistenan
menjadi pusat area TP. Di daerah Vorstenlanden
atau ‘‘wilayah-wilayah kerajaan‘‘ seperti Surakarta
dan Yogyakarta, sistem ini tidak diberlakukan.
Menjelang tahun 1840, sistem ini telah sepenuhnya
berjalan di Jawa.
Berikut ini kebijakan-kebijakan dasar Cultuurstelsel:
• Setiap desa diwajibkan menyisihkan 20% tanah untuk
ditanami tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila
yang akan dibeli oleh pemerintah kolonial dengan harga
yang telah ditentukan;
• Rakyat yang tidak memiliki tanah digantikan dengan
bekerja di tanah pemerintah selama 66 hari;
• kelebihan hasil produksi dikembalikan kepada rakyat;
• pemerintah kolonial menanggung gagal panen yang
bukan karena kesalahan petani;
• pengawasan dilakukan oleh kepala desa.
Dalam praktiknya, lahan pertanian rakyat digunakan untuk
tanam paksa. Hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada
pemerintah Belanda. Selain itu, petani juga dipaksa untuk
berjalan dari desa mereka ke perkebunan kopi. Para petani
harus mempersiapkan ladang, menanam, menjaga, menuai,
dan mengangkut hasil panen ke pabrik dengan cara
dipanggul di atas pundak karena kurangnya alat
transportasi dan binatang serta kondisi jalanan yang
buruk. Mereka juga menjadi kuli di pabrik-pabrik.
Sistem TP juga menyita tenaga petani untuk membangun
infrastruktur yang dibutuhkan, seperti jalan, jembatan,
pelabuhan, rumah pejabat, pabrik, gudang, bendungan,
irigasi, dan benteng pertahanan.
Pemerintah Hindia-Belanda sukses dalam sistem ini dengan 72%
penerimaan Kerajaan Belanda berasal dari Hindia Belanda pada
tahun 1860-an. Di Belanda, van den Bosch dihormati sebagai
pahlawan. Raja Belanda memberikan gelar *de Graaf* kepadanya
pada tahun 1839, gelar bangsawan bagi orang-orang yang berjasa
kepada negara. Sistem TP menuai kritik, termasuk dari orang-
orang Belanda sendiri. Salah satu kritik terkenal berasal dari
Eduard Douwes Dekker, mantan asisten residen di Lebak, Banten.
Kritiknya ditulis dalam buku Max Havelaar (1860) dengan nama
samaran Multatuli. Buku ini tentang petani menderita di bawah
kebijakan Belanda.
Sistem TP kemudian dihapus pada tahun 1870 setelah dikeluarkannya
Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula. Tujuan
dikeluarkannya *Undang-undang Agraria* adalah:
• melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal
asing.
• memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari
penduduk Indonesia seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat,
Jepang, Cina, dan lain- lain
• membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh
perkebunan.

Sementara itu, Undang-undang Gula bertujuan memberikan kesempatan


yang lebih luas kepada para pengusaha gula untuk mengambil-alih
pabrik-pabrik gula milik pemerintah.
2. Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900):
Eksploitasi Manusia dan Eksploitasi Agraria

Kebijakan Pintu Terbuka adalah kebijakan yang dilakukan oleh


pemerintahan Hindia Belanda yang membuka pintu seluas-
luasnya bagi pihak swasta untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Latar belakangnya adalah perubahan politik di Belanda dengan
kemenangan partai liberal di Belanda pada tahun 1850, yang
membuat Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di mana
pemerintah hanya bertugas untuk mengawasi dan usaha-usaha
ekonomi sepenuhnya dilakukan oleh swasta.
Karena bergantung pada modal swasta untuk menggerakkan
perekonomian, sistem ini juga disebut dengan kapitalisme.
Pengaruh Revolusi Industri

Pada masa ini, Revolusi Industri yang terjadi sejak 1750 di


Inggris telah banyak memberikan dampak positif bagi
perekonomian Belanda. Belanda menyambut baik hasil
inovasi teknologi di Inggris, di dalamnya termasuk
penggunaan mesin-mesin baru dan canggih dalam industri.
Revolusi Industri di Belanda tidak terlepas dari lancarnya
pasokan bahan mentah dari negeri-negeri jajahan termasuk
Indonesia. Sistem Tanam Paksa memberikan sumbangan
penting bagi perkembangan industri itu.
Sebagai landasannya, Parlemen Belanda meluncurkan dua undang-undang
yang telah disebutkan sebelumnya: Undang- undang Agraria dan Undang-
undang Gula pada 1870.

Bagi Belanda dan kaum swasta asing, kebijakan ini berhasil menarik minat
banyak pengusaha swasta untuk menanamkan modal di Indonesia.

Bagi rakyat Indonesia, kesempatan ekonomi yang baru terbuka itu tidak
membawa dampak apa pun selain beban penderitaan yang semakin besar.
Kebijakan ini menjadi sarana eksploitasi baru, yang tidak kalah buruknya
dengan kebijakan TP. Eksploitasi itu terdiri dari dua bentuk: eksploitasi
manusia dan eksploitasi agraria
• Ekploitasi manusia berupa pengerahan tenaga manusia yang penuh tipu
daya, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan yang dialami para pekerja
di perkebunan-perkebunan.
Eksploitasi agraria, tampak dalam masifnya penggunaan lahan baik lahan
produktif yang telah dikerjakan rakyat maupun lahan kosong untuk
dijadikan perkebunan dan pertambangan.

• Ekploitasi dalam kebijakan Pintu Terbuka membuat kaum humanis di


Belanda mendesak pemerintah untuk memajukan rakyat Indonesia sebagai
balas budi Belanda yang telah menerima banyak keuntungan selama
penjajahannya di Indonesia, sehingga melahirkan politik etis.
3. Politik Etis : 1901
Politik Etis atau Politik Balas Budi (Belanda Ethische Politiek) adalah suatu
pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung
jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik
terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter
Brooshooft dan C.Th. van Deventer ternyata membuka mata pemerintah
kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan
dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda
mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa
bumiputera di Hindia Belanda.
Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam
kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van
deventer yang meliputi:
(1) Irigasi (pengairan), yaitu membangun dan memperbaiki pengairan
dan bendungan untuk keperluan pertanian.
(2) Migrasi, yaitu mengajak rakyat untuk bertransmigrasi sehingga
terjadi keseimbangan jumlah penduduk.
(3) Edukasi, menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang
pengajaran dan pendidikan.
Terlihat sekilas, Trias van Deventer sangat "mulia". Namun praktiknya di
lapangan tidak seindah gagasannya. Pemerintah kolonial tak pernah
sampai menerjemahkan PE ke dalam kebijakan kolonial yang dilaksanakan
secara konsekuen. Hal itu dapat dilihat dalam kenyataan berikut ini.
1. Irigasi: pengairan dialirkan hanya ke tanah-tanah pertanian perkebunan
swasta, bukan ke tanah-tanah rakyat.
2. Edukasi: Edukasi: diselenggarakan dua macam pengajaran; pertama
untuk anak-anak pegawai negeri, bangsawan, dan orang yang mampu,
dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar; kedua, untuk rakyat
biasa, yang hanya diberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung
setingkat kemampuan siswa sekolah dasar kelas 2, dengan bahasa
pengantar bahasa Melayu.
3. Migrasi keluar Pulau Jawa ternyata ditujukan ke perkebunan-perkebunan
swasta dan perkebunan milik pengusaha-pengusaha Belanda dan swasta
asing.
TERIMA
KASIH
ADA PERTANYAAN?

Anda mungkin juga menyukai