Anda di halaman 1dari 15

Cultuurstelsel (Tanam Paksa)

Oleh Kelompok 4:
Binazir Suraiya
Christopher Setiawan Wijaya
Dimas Aji Sukmandaru
Herlyana Maghfiroh
Kendy Yudha Permana
Tavia Yuga Ayudia
Wisnu Anjani Putri
Pengertian Cultuurstelsel
• Cultuurstelsel (harfiah: Sistem Kultivasi
atau secara kurang tepat diterjemahkan
sebagai Sistem Budi Daya) yang oleh
sejarawan Indonesia disebut sebagai
Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan
yang dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch pada
tahun 1830 yang mewajibkan setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya
(20%) untuk ditanami komoditi ekspor,
khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila)
• Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi
Hindia Belanda. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi
tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan
sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan
besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia
Belanda pada 1835 hingga 1940.
• Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri
Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf
oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Sejarah Cultuurstelsel
• Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah
terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur
Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa
(Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan
yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
• Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan
senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch
ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi
ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk
menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
• Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan
mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila
pendapatan desa dari penjualan komoditi
ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah
yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut
mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain.
• Sistem tanam paksa diperkenalkan secara
perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun
1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah
sepenuhnya berjalan di Jawa.
• Pemerintah kolonial memobilisasi lahan
pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja
yang serba gratis. Komoditas kopi, teh,
tembakau, tebu, yang permintaannya di
pasar dunia sedang membubung,
dibudidayakan.
• Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda,
sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara
1831-1871 Batavia tidak hanya bisa
membangun sendiri, melainkan punya hasil
bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan
Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen
anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari
Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan
Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische
atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak
langsung, Batavia menjadi sumber modal.
Misalnya, membiayai kereta api nasional
Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan
Belanda pun mengalami surplus.
• Badan operasi sistem tanam paksa
Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM)
merupakan reinkarnasi VOC yang telah
bangkrut.
• Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan
harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana
kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa
Tengah, tahun 1850.
• Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras
dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung
sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah
sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Peraturan Cultuurstelsel
• Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk
cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami
jenis tanaman perdagangan.
• Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil
tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
• Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di
perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama
66 hari atau seperlima tahun.
• Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh
melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
• Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
• Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani
seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
• Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Kritik
• Serangan-serangan dari orang-orang non-
pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya
kelaparan dan kemiskinan yang terjadi
menjelang akhir 1840-an di
Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini
diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa
pemerintah telah melakukan eksploitasi yang
berlebihan terhadap bumiputra Jawa.
Muncullah orang-orang humanis maupun
praktisi Liberal menyusun serangan-serangan
strategisnya. Dari bidang sastra muncul
Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan
jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga,
dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van
Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik Kaum Liberal
• Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil
pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun
tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada
penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
• Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh
karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang
ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya
pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka
menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara
pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana,
menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
• UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa
lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami
tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk
tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik Kaum Humanis
• Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan
UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis
Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard
Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860).
Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran
Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat
petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia
Belanda.
• Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer
membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang
membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia Belanda.
Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun
1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada
Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan
rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini
kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Dampak Pada Bidang Pertanian
• Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi
pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya
ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara
luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah
sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman
"tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh.
Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat
merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni
akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian,
dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870
kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
Dampak Pada Bidang Ekonomi
• Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal
sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih
mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di
kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan
tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah
pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi
sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara
paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk
ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
• Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu
suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak,
menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja.
Dampak Pada Bidang Sosial
• Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak
mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil
penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial
dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian
tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini
malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi
karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan
terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk
perkembangan kehidupan penduduknya.
Kesimpulan
• Sistem Tanam Paksa merupakan suatu sistem yang sangat merugikan
bagi bangsa Indonesia,karena menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat
Indonesia.Dan dari sistem ini bangsa penjajah dapat mendapatkan
keuntungan yang sangat besar.

Anda mungkin juga menyukai