Anda di halaman 1dari 18

8th grade

E.Masa Kekuasaan Belanda Kedua (1816-


1942),

F.Berbagai Kebijakan Pemerintah


Kolonial yang Memicu Perlawanan Lokal
Kelompok 1
3.Akbar Fauzi
4. Ariel Ananda.P
5. Asmargani G.S
6. Aufa Maulana Ibrahim
Absen nomor 1 dan 2 tidak masuk kelompok kami karena tidak membantu
mengerjakan tugas kelompok, tolong jangan dikasih nilai bu🙏🙏
E.Masa Kekuasaan Belanda Kedua
(1816-1942)
Pada masa kekuasaan Belanda kedua (1816-1942), setelah Konvensi London mengembalikan
hak Belanda atas Nusantara, Belanda menghadapi krisis keuangan yang parah akibat biaya yang
tinggi untuk melawan Prancis dan membayar utang-utang VOC. Untuk mengatasi krisis ini,
Johannes van den Bosch diutus sebagai gubernur jenderal dengan misi menggali dana sebanyak
mungkin melalui eksploitasi kekayaan alam negeri jajahan. Ini mengarah pada kebijakan tanam
paksa (1830-1870), di mana rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor untuk menutupi keuangan
negara yang kosong. Periode ini juga ditandai oleh perlawanan di negeri jajahan, seperti Perang
Diponegoro dan Perang Padri, serta beban biaya besar akibat pemberontakan Belgia. Kebijakan
tanam paksa menciptakan kontroversi dan kritik, termasuk dari penulis seperti Eduard Douwes
Dekker (Multatuli), sebelum akhirnya dihapus pada tahun 1870.
1. Kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Johannes van den

Kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diterapkan oleh Johannes van den Bosch (1830-1870)
menghapus sistem sewa tanah era Raffles dan memaksa rakyat Indonesia menanam komoditas
ekspor seperti kopi, tebu, dan nila yang dijual kepada Belanda. Meskipun bukan hal baru, kebijakan
ini diperkenalkan secara resmi pada awal 1830-an dan diterapkan di seluruh Jawa menjelang tahun
1840. Desa-desa diwajibkan menyisihkan sebagian tanah mereka untuk budidaya tanaman ekspor,
sementara rakyat yang tidak memiliki tanah bekerja di tanah milik pemerintah selama periode
tertentu. Kritik terhadap sistem ini muncul, termasuk dari orang-orang Belanda, seperti Eduard
Douwes Dekker yang menulis buku "Max Havelaar" (1860) yang menggambarkan penderitaan
petani akibat kebijakan ini. Sistem tanam paksa dihapus pada tahun 1870 setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula yang bertujuan melindungi hak milik petani dan
memberikan peluang ekonomi yang lebih luas.
2. Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900)

Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900) merupakan penerapan sistem ekonomi liberal dan kapitalisme
di Indonesia, yang dipicu oleh perubahan politik-ekonomi di Belanda pada pertengahan abad ke-19.
Kemenangan Partai Liberal Belanda pada pemilu 1870 dan pengaruh Revolusi Industri Inggris
memberikan dorongan bagi pelaksanaan sistem ekonomi liberal di Nusantara. Konsep dasarnya
adalah memberikan kebebasan kepada individu untuk bergerak dalam kegiatan ekonomi tanpa
campur tangan negara, dengan negara hanya berperan sebagai pengawas. Sistem ini memunculkan
kapitalisme dan memperkenalkan rakyat Indonesia pada prinsip-prinsip ekonomi liberal.
2. Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900)

Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900) merupakan penerapan sistem ekonomi liberal dan kapitalisme
di Indonesia, yang dipicu oleh perubahan politik-ekonomi di Belanda pada pertengahan abad ke-19.
Kemenangan Partai Liberal Belanda pada pemilu 1870 dan pengaruh Revolusi Industri Inggris
memberikan dorongan bagi pelaksanaan sistem ekonomi liberal di Nusantara. Konsep dasarnya
adalah memberikan kebebasan kepada individu untuk bergerak dalam kegiatan ekonomi tanpa
campur tangan negara, dengan negara hanya berperan sebagai pengawas. Sistem ini memunculkan
kapitalisme dan memperkenalkan rakyat Indonesia pada prinsip-prinsip ekonomi liberal.
1) Eksploitasi Manusia

Eksploitasi manusia di bawah kebijakan perkebunan terjadi ketika pengusaha perkebunan


membutuhkan banyak tenaga kerja (koeli) dan merekrut mereka dari berbagai daerah, termasuk
Jawa, Madura, serta orang-orang Tionghoa dari Semenanjung Malaya dan Tiongkok Selatan.
Sayangnya, para koeli ini seringkali diperlakukan dengan sangat tidak adil dan kejam. Mereka harus
menghadapi pekerjaan yang berat dan kondisi kerja yang buruk, sehingga banyak di antara mereka
kabur dari lokasi perkebunan.
2) Eksploitasi Agraria

Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan lahan produktif masyarakat serta penebangan
ratusan ribu hektare areal hutan untuk perkebunan dan pertambangan. Pemanfaatan lahan produktif
umumnya terjadi di Jawa, sedangkan perkebunan di Sumatra menggunakan lahan yang masih
kosong.
C. Reaksi terhadap kebijakan pintu terbuka De ya m se se pa ta Hi ke a. Praktik eksploitasi dalam
penerapan kebijakan pintu terbuka membuat kaum humanis bersuara lantang. Mereka mendesak
pemerintah Belanda memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Menurut mereka, Belanda sudah menerima
banyak dari kekayaan alam Indonesia selama berabad-abad, dan sudah seharusnya Belanda
membalasnya dengan memajukan bangsa Indonesia. Itulah gagasan dasar politik etis.
3. Politik Etis: 1901
Politik etis mencakup dua bidang, yaitu politik dan ekonomi. Dalam bidang politik, para penggagas
politik etis menyerukan segera diterapkannya kebijakan desentralisasi. Sementara itu, politik etis
dalam bidang ekonomi diterjemahkan ke dalam kebijakan Trias van Deventer.
Di Indonesia, kritik kaum etis diwakili oleh seorang wartawan koran De Locomotief, koran pertama
yang terbit di Semarang (berdiri pada 1845), bernama Pieter Broosshooft (1845-1921), sedangkan di
Belanda, kritik kaum etis diwakili oleh seorang politikus Belanda bernama Conrad Theodore van
Deventer (1857-1915). Pada intinya, mereka mendesak pemerintah kolonial agar memperhatikan
nasib pribumi di tanah jajahan dan memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan mereka.
Dalam tulisannya yang berjudul Een Eereschuld (Utang Budi), van Deventer menjelaskan, Belanda
menjadi negara makmur karena dana yang mengalir deras dari tanah jajahan. Sudah sepantasnya
Belanda melakukan sesuatu untuk tanah jajahan. Bahkan, ia mendesak agar semua dana hasil
keuntungan yang diperoleh Belanda dari Nusantara sejak 1867 dikembalikan ke rakyat tanah jajahan.
Kritik kaum etis mendorong lahirnya politik etis. Dalam pidatonya pada 17 September 1901, Ratu
Wilhelmina mengakui pentingnya tanggung jawab moral pemerintah Belanda terhadap kaum pribumi
Hindia-Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam tiga program yang
kelak disebut Trias van Deventer:
a. Irigasi (pengairan), yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk
keperluan pertanian.
b. Migrasi, yaitu mengajak rakyat untuk bertransmigrasi sehingga terjadi keseimbangan jumlah
penduduk.
c. Edukasi, menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang pengajaran dan pendidikan.
F Berbagai Kebijakan Pemerintah Kolonial yang Memicu
Perlawanan Lokal
1. Kebijakan Portugis
Kehadiran Portugis membawa dua pengaruh besar terhadap Nusantara, yaitu dalam bentuk monopoli
perdagangan rempah- rempah dan penyebaran agama Kristen. Hal tersebut memicu perlawanan
kerajaan-kerajaan Islam.
a. Monopoli Perdagangan Rempah-rempah
Praktik monopoli perdagangan rempah-rempah dan ambisi Portugis untuk memperluas pengaruh
mereka di Jawa memicu tindakan preemtif dari Kesultanan Demak. Serangan-serangan preemtif
tersebut terjadi pada tahun 1513 dan 1521 di Malaka, serta 1526 dan 1527 di Sunda Kelapa. Demak
bertujuan untuk mencegah dominasi Portugis di Jawa, terutama dengan menghentikan upaya mereka
untuk menjadikan Pajajaran sebagai pintu masuk. Serangan ke Malaka tidak berhasil, tetapi serangan
ke Sunda Kelapa berhasil menghalangi ekspansi Portugis di wilayah tersebut. Karena monopoli
perdagangan, Kesultanan Ternate di Maluku juga melawan Portugis, menganggap kebijakan tersebut
melanggar praktik niaga tradisional yang lebih adil dan merusak mata pencaharian penduduk yang
bergantung pada rempah-rempah. Kebijakan monopoli Portugis juga diwarnai oleh sikap arogan dan
semena-mena yang mengganggu martabat Kesultanan Ternate.
b. Penyebaran Agama Kristen

Mengingat agama Islam telah mengakar di Ternate dan Demak, kedatangan Portugis yang membawa-
serta para misionaris menjadi salah satu faktor perlawanan. Alasan yang sama juga memicu serangan
Demak ke Malaka dan Sunda Kelapa. Pada masa itu, Demak telah menjadi pusat penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa. Demak bercita-cita menyebarkan agama Islam ke seluruh Pulau Jawa termasuk
ke wilayah kekuasaan Pajajaran (Sunda) yang bercorak Hindu. Cita-cita tersebut terancam terhambat
oleh kehadiran Portugis yang memperkenalkan agama Kristen.
2. Kebijakan VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda

a. Monopoli perdagangan rempah-rempah


Monopoli perdagangan merugikan rakyat Indonesia, terutama di Maluku. Kebijakan ekstirpasi dan
pelayaran hongi juga meruntuhkan harkat dan martabat raja-raja pribumi karena wilayahnya
dikuasai, rajanya diasingkan karena menolak kemauan VOC, dan kerajaannya dipecah belah.
b. Campur tangan terhadap masalah internal kerajaan
Intervensi terhadap masalah internal kerajaan bertujuan memuluskan monopoli perdagangan. Hal itu
umumnya terjadi saat kalangan istana berebut takhta. VOC akan memperuncing persoalan atau
melakukan politik pecah-belah dengan memihak salah satu kubu yang bersedia bekerja sama dengan
VOC.
c. Ekspansi wilayah demi melancarkan kebijakan pintu terbuka
Pada masa kebijakan pintu terbuka (1870), Belanda gencar melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah
kerajaan yang sebelumnya independen, seperti Tapanuli (Kerajaan Batak) dan Kalimantan bagian.
selatan (Kesultanan Banjar). Ekspansi bertujuan memperluas lahan perkebunan serta memudahkan
eksploitasi mineral.
d. Arogansi Belanda terhadap kerajaan pribumi
Perang terhadap Belanda juga dilancarkan karena arogansi serta kesewenang-wenangan Belanda
terhadap bangsawan dan raja-raja pribumi. Belanda kerap memperlakukan para bangsawan dan raja
pribumi sebagai bawahan. Adat-istiadat, kebiasaan, aturan, serta privilese mereka tidak dihormati.
Hal itu, misalnya, ikut melatarbelakangi Perang Diponegoro (1825-1930) dan perlawanan kerajaan-
kerajaan di Bali (1846-1849).
e. Adanya praktik diskriminasi terhadap penduduk pribumi Penduduk Indonesia digolong-golongkan
atas dasar ras, dari yang paling tinggi status sosial/kedudukannya (orang Eropa) sampai yang paling
rendah (pribumi).
1) golongan Eropa (Belanda, Inggris, Amerika, Belgia, dan Prancis).
2) orang-orang Indo (turunan pribumi dan Eropa),
3) orang-orang keturunan Timur Asing (Tiongkok),
4) orang-orang pribumi (Indonesia), golongan Timur Asing (Tionghoa, India, dan Arab), dan
golongan Pribumi.
f. Penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa, kebijakan pintu terbuka, serta politik etis
Rakyat Indonesia merasakan dampak negatif dari berbagai sikap dan kebijakan Belanda yang
sewenang-wenang serta tidak berperikemanusiaan: monopoli perdagangan, pajak, tanam paksa,
kebijakan pintu terbuka, dan politik etis. Karena tidak tahan, rakyat melakukan perlawanan.
“Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allah
akan memberi kemudharatan kepadanya, barangsiapa yang merepotkan
(menyusahkan) seorang muslim maka Allah akan menyusahkan dia.”

(Hadits riwayat Abu Dawud nomor 3635, At Tirmidzi nomor 1940 dan
dihasankan oleh Imam At Tirmidzi).

Anda mungkin juga menyukai