Kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diterapkan oleh Johannes van den Bosch (1830-1870)
menghapus sistem sewa tanah era Raffles dan memaksa rakyat Indonesia menanam komoditas
ekspor seperti kopi, tebu, dan nila yang dijual kepada Belanda. Meskipun bukan hal baru, kebijakan
ini diperkenalkan secara resmi pada awal 1830-an dan diterapkan di seluruh Jawa menjelang tahun
1840. Desa-desa diwajibkan menyisihkan sebagian tanah mereka untuk budidaya tanaman ekspor,
sementara rakyat yang tidak memiliki tanah bekerja di tanah milik pemerintah selama periode
tertentu. Kritik terhadap sistem ini muncul, termasuk dari orang-orang Belanda, seperti Eduard
Douwes Dekker yang menulis buku "Max Havelaar" (1860) yang menggambarkan penderitaan
petani akibat kebijakan ini. Sistem tanam paksa dihapus pada tahun 1870 setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula yang bertujuan melindungi hak milik petani dan
memberikan peluang ekonomi yang lebih luas.
2. Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900)
Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900) merupakan penerapan sistem ekonomi liberal dan kapitalisme
di Indonesia, yang dipicu oleh perubahan politik-ekonomi di Belanda pada pertengahan abad ke-19.
Kemenangan Partai Liberal Belanda pada pemilu 1870 dan pengaruh Revolusi Industri Inggris
memberikan dorongan bagi pelaksanaan sistem ekonomi liberal di Nusantara. Konsep dasarnya
adalah memberikan kebebasan kepada individu untuk bergerak dalam kegiatan ekonomi tanpa
campur tangan negara, dengan negara hanya berperan sebagai pengawas. Sistem ini memunculkan
kapitalisme dan memperkenalkan rakyat Indonesia pada prinsip-prinsip ekonomi liberal.
2. Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900)
Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900) merupakan penerapan sistem ekonomi liberal dan kapitalisme
di Indonesia, yang dipicu oleh perubahan politik-ekonomi di Belanda pada pertengahan abad ke-19.
Kemenangan Partai Liberal Belanda pada pemilu 1870 dan pengaruh Revolusi Industri Inggris
memberikan dorongan bagi pelaksanaan sistem ekonomi liberal di Nusantara. Konsep dasarnya
adalah memberikan kebebasan kepada individu untuk bergerak dalam kegiatan ekonomi tanpa
campur tangan negara, dengan negara hanya berperan sebagai pengawas. Sistem ini memunculkan
kapitalisme dan memperkenalkan rakyat Indonesia pada prinsip-prinsip ekonomi liberal.
1) Eksploitasi Manusia
Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan lahan produktif masyarakat serta penebangan
ratusan ribu hektare areal hutan untuk perkebunan dan pertambangan. Pemanfaatan lahan produktif
umumnya terjadi di Jawa, sedangkan perkebunan di Sumatra menggunakan lahan yang masih
kosong.
C. Reaksi terhadap kebijakan pintu terbuka De ya m se se pa ta Hi ke a. Praktik eksploitasi dalam
penerapan kebijakan pintu terbuka membuat kaum humanis bersuara lantang. Mereka mendesak
pemerintah Belanda memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Menurut mereka, Belanda sudah menerima
banyak dari kekayaan alam Indonesia selama berabad-abad, dan sudah seharusnya Belanda
membalasnya dengan memajukan bangsa Indonesia. Itulah gagasan dasar politik etis.
3. Politik Etis: 1901
Politik etis mencakup dua bidang, yaitu politik dan ekonomi. Dalam bidang politik, para penggagas
politik etis menyerukan segera diterapkannya kebijakan desentralisasi. Sementara itu, politik etis
dalam bidang ekonomi diterjemahkan ke dalam kebijakan Trias van Deventer.
Di Indonesia, kritik kaum etis diwakili oleh seorang wartawan koran De Locomotief, koran pertama
yang terbit di Semarang (berdiri pada 1845), bernama Pieter Broosshooft (1845-1921), sedangkan di
Belanda, kritik kaum etis diwakili oleh seorang politikus Belanda bernama Conrad Theodore van
Deventer (1857-1915). Pada intinya, mereka mendesak pemerintah kolonial agar memperhatikan
nasib pribumi di tanah jajahan dan memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan mereka.
Dalam tulisannya yang berjudul Een Eereschuld (Utang Budi), van Deventer menjelaskan, Belanda
menjadi negara makmur karena dana yang mengalir deras dari tanah jajahan. Sudah sepantasnya
Belanda melakukan sesuatu untuk tanah jajahan. Bahkan, ia mendesak agar semua dana hasil
keuntungan yang diperoleh Belanda dari Nusantara sejak 1867 dikembalikan ke rakyat tanah jajahan.
Kritik kaum etis mendorong lahirnya politik etis. Dalam pidatonya pada 17 September 1901, Ratu
Wilhelmina mengakui pentingnya tanggung jawab moral pemerintah Belanda terhadap kaum pribumi
Hindia-Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam tiga program yang
kelak disebut Trias van Deventer:
a. Irigasi (pengairan), yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk
keperluan pertanian.
b. Migrasi, yaitu mengajak rakyat untuk bertransmigrasi sehingga terjadi keseimbangan jumlah
penduduk.
c. Edukasi, menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang pengajaran dan pendidikan.
F Berbagai Kebijakan Pemerintah Kolonial yang Memicu
Perlawanan Lokal
1. Kebijakan Portugis
Kehadiran Portugis membawa dua pengaruh besar terhadap Nusantara, yaitu dalam bentuk monopoli
perdagangan rempah- rempah dan penyebaran agama Kristen. Hal tersebut memicu perlawanan
kerajaan-kerajaan Islam.
a. Monopoli Perdagangan Rempah-rempah
Praktik monopoli perdagangan rempah-rempah dan ambisi Portugis untuk memperluas pengaruh
mereka di Jawa memicu tindakan preemtif dari Kesultanan Demak. Serangan-serangan preemtif
tersebut terjadi pada tahun 1513 dan 1521 di Malaka, serta 1526 dan 1527 di Sunda Kelapa. Demak
bertujuan untuk mencegah dominasi Portugis di Jawa, terutama dengan menghentikan upaya mereka
untuk menjadikan Pajajaran sebagai pintu masuk. Serangan ke Malaka tidak berhasil, tetapi serangan
ke Sunda Kelapa berhasil menghalangi ekspansi Portugis di wilayah tersebut. Karena monopoli
perdagangan, Kesultanan Ternate di Maluku juga melawan Portugis, menganggap kebijakan tersebut
melanggar praktik niaga tradisional yang lebih adil dan merusak mata pencaharian penduduk yang
bergantung pada rempah-rempah. Kebijakan monopoli Portugis juga diwarnai oleh sikap arogan dan
semena-mena yang mengganggu martabat Kesultanan Ternate.
b. Penyebaran Agama Kristen
Mengingat agama Islam telah mengakar di Ternate dan Demak, kedatangan Portugis yang membawa-
serta para misionaris menjadi salah satu faktor perlawanan. Alasan yang sama juga memicu serangan
Demak ke Malaka dan Sunda Kelapa. Pada masa itu, Demak telah menjadi pusat penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa. Demak bercita-cita menyebarkan agama Islam ke seluruh Pulau Jawa termasuk
ke wilayah kekuasaan Pajajaran (Sunda) yang bercorak Hindu. Cita-cita tersebut terancam terhambat
oleh kehadiran Portugis yang memperkenalkan agama Kristen.
2. Kebijakan VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda
(Hadits riwayat Abu Dawud nomor 3635, At Tirmidzi nomor 1940 dan
dihasankan oleh Imam At Tirmidzi).