Sistem "tanam paksa" yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada
tahun 1830 memaksa petani menanam komoditas yang sesuai dengan permintaan pemerintah
di tanah mereka sendiri. Meskipun memberatkan penduduk, sistem ini juga menghasilkan
peningkatan produksi dan ekspor komoditas perkebunan seperti kopi, tebu, tembakau, dan lada.
Pada tahun 1870, pemerintah kolonial menerbitkan Undang-undang Agraria yang membatasi
hak kepemilikan tanah penduduk non-bumiputera dan mendorong modal asing masuk ke sektor
perkebunan. Pembukaan Terusan Suez mempercepat pertumbuhan perkebunan di Indonesia,
dengan banyak aliran modal asing yang masuk.
Tekstual ini mengingatkan pentingnya kesadaran lingkungan dan perlindungan sumber daya alam
saat menjaga sejarah industrialisasi dan eksploitasi alam di Indonesia.
Dampak lain dari pertumbuhan perdagangan dan perusahaan adalah urbanisasi penduduk
pribumi dari desa ke kota atau pusat perkebunan. Ini disebabkan oleh berkurangnya lahan
pertanian di pedesaan dan peluang pekerjaan yang lebih baik di kota. Kota-kota seperti
Surabaya, yang menjadi pusat industri dan perdagangan pada akhir abad ke-19, menjadi tujuan
orang-orang dari desa untuk mencari pekerjaan.
Selama tahun 1900-1925, kota-kota di Hindia Belanda tumbuh pesat. Orang-orang Eropa yang
datang mengadaptasi diri dengan kondisi tropis dan menciptakan lingkungan ideal berdasarkan
persepsi mereka, termasuk infrastruktur modern seperti jalan beraspal, penerangan jalan, taman
kota, pemakaman, dan gedung perkantoran bergaya Nieuw Indische Bouwstijl. Beberapa kota
yang berkembang pesat termasuk Batavia, Bandung, Malang, dan Semarang di Pulau Jawa
Namun, ketika politik etis mulai diterapkan, pemerintah kolonial mengubah fokusnya untuk
menyediakan layanan kesehatan yang lebih luas kepada masyarakat, terutama karena wabah
penyakit seperti malaria, pes, dan kolera mulai menyebar. Ilmu kedokteran berkembang, dan
banyak penduduk pribumi terlibat dalam perkembangannya. Pemerintah kolonial juga
memfasilitasi pendidikan tenaga medis melalui pelatihan bidan, pendirian Sekolah Dokter Jawa
(STOVIA), dan sekolah dokter lainnya. Hal ini menciptakan profesi baru seperti Dokter Jawa dan
mantri kesehatan.
Selain pendidikan medis, fasilitas kesehatan dan rumah sakit sudah ada sebelumnya. VOC telah
mendirikan rumah sakit permanen di Batavia pada tahun 1641, dan sarana pendukung
kesehatan seperti laboratorium penelitian dan dinas pemberantasan penyakit juga didirikan di
berbagai daerah di Indonesia. Selama masa penjajahan, pemerintah Belanda juga mendirikan
dinas khusus untuk penanggulangan wabah penyakit seperti Pes. Dalam rangka memeriksa
kesehatan tenaga kerja di Jawa dan di luar pulau Jawa, dibangun rumah sakit perusahaan
perkebunan, pertambangan, dan pelayaran.
5. Mobilitas Sosial
Pada masa kolonial Belanda di Indonesia, terjadi percepatan mobilitas sosial atau perpindahan
penduduk dengan beberapa faktor penyebab:
1. Pembangunan Infrastruktur Transportasi: Infrastruktur seperti jalan kereta api, jalan raya,
dan pelabuhan dibangun untuk mendukung pengangkutan barang dan tenaga kerja
perkebunan dari satu tempat ke tempat lain.
2. Pembukaan Lahan Pertanian dan Perkebunan: Perkembangan perkebunan di Indonesia,
seperti kopi dan tebu, menciptakan lahan pertanian baru dan memunculkan kota-kota baru
seperti Batavia, Banten, Bandung, dan lainnya.
3. Perubahan Profesi: Lahan pertanian desa beralih menjadi perkebunan besar, mendorong
petani beralih menjadi buruh perkebunan, dan pekerja pergi ke tempat-tempat industri
baru yang menjanjikan.
4. Kewajiban Tanam Paksa: Beberapa orang mencari daerah yang tidak memberlakukan
kewajiban tanam paksa atau kerja paksa.
5. Pendirian Kota Baru: Munculnya kota-kota baru yang menawarkan sarana prasarana lengkap
mendorong masyarakat pindah ke kota untuk memenuhi kebutuhan mereka.
6. Pendidikan: Banyak orang Indonesia masuk menjadi cendekiawan dan bekerja di kantor-
kantor pemerintah di kota.
Meskipun mobilitas meningkat, pekerja-pekerja Indonesia dibayar dengan upah rendah dan
terikat oleh peraturan kontrak yang mengancam hukuman bagi mereka yang meninggalkan
perkebunan.
1. Golongan Eropa: Golongan ini merupakan kelas tertinggi, terdiri dari orang-orang Eropa,
terutama Belanda, yang memiliki kontrol penuh atas pemerintahan kolonial dan ekonomi.
Mereka diperlakukan lebih tinggi daripada golongan lainnya.
2. Golongan Timur Asing: Kelas kedua terdiri dari orang-orang non-Eropa seperti Cina, Arab,
India, dan dari negara-negara lain yang datang ke Hindia-Belanda. Mereka memiliki posisi
lebih tinggi daripada golongan Pribumi tetapi masih dianggap sebagai kelas kedua.
3. Golongan Pribumi: Kelas ketiga adalah golongan terendah, terdiri dari penduduk asli
Indonesia atau orang Pribumi. Golongan ini seringkali diperlakukan secara diskriminatif oleh
golongan Eropa dan Timur Asing.
Pembagian rasial ini mendorong munculnya berbagai gerakan perlawanan terhadap kebijakan
rasial tersebut. Salah satu contohnya adalah berdirinya Indo Europe Verbond (IEV) pada tanggal
13 Juli 1919 oleh orang-orang Indo (campuran Eropa-Pribumi). IEV bertujuan untuk
memperjuangkan hak-hak mereka, melawan sikap rasis yang mereka alami dari orang Belanda
totok, dan meningkatkan kondisi hidup mereka. Meskipun orang Indo kadang-kadang tidak
diterima baik di kalangan Pribumi maupun di kalangan Belanda totok, hal ini tidak menjadikan
mereka bersikap rasis terhadap Pribumi.
Sementara itu, meskipun golongan Cina juga diperlakukan secara rasialis, mereka sering kali
lebih makmur daripada golongan Pribumi karena hak-hak milik mereka dilindungi secara hukum
Barat sejak masa VOC. Orang Cina memiliki peran penting dalam perekonomian kolonial sebagai
pedagang perantara dan pengawas antara koloni dan penduduk Pribumi.
Penting untuk mengingat sejarah ini sebagai bagian dari perjalanan Indonesia menuju
masyarakat yang lebih inklusif dan adil, di mana sentimen rasial diperjuangkan dan dihindari.
7. Dampak Politik
Pada masa VOC di Indonesia, pemerintahan kolonial Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal
dengan kekuasaan setara dengan Presiden dan memiliki Hak Oktroi yang memberikan hak
istimewa politik. Pada awal abad ke-20, Belanda menerapkan kebijakan politik etis untuk
memperbaiki pendidikan di Indonesia, yang melahirkan golongan cendekiawan. Ini memicu
kesadaran akan perlunya persatuan dalam perjuangan melawan penjajahan, yang dikenal
sebagai "Pergerakan Nasional."
Berdirinya Volksraad pada tahun 1918, lembaga perwakilan rakyat Hindia Belanda,
mempertemukan elit-elit bumiputera dan menumbuhkan perasaan kesamaan nasib di kalangan
mereka. Nasionalisme tumbuh di kalangan bumiputera, dan berbagai organisasi seperti Boedi
Oetomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1911), dan Indische Partij (1912) muncul untuk
memimpin perjuangan kemerdekaan, baik melalui perlawanan bersenjata maupun perundingan.
Semua organisasi ini memainkan peran penting dalam mempersiapkan jalan menuju
kemerdekaan Indonesia.