bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera.
Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh
Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata
membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang
terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan
Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een
eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan
moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang
meliputi:
Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan
pertanian.
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulisan
Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal
sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi
untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke
daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa
Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan dalam pengembangan
dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis
yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), seorang Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri
sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda
dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap bumiputera
yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha
menyadarkan kaum bumiputera agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri
menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.
Penyimpangan Sunting
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda.
Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
Irigasi
Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda.
Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
Edukasi
Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-
perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-
daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain.
Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri.
Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie,
yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi,
kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Penyimpangan politik etis terjadi karena adanya kepentingan Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Sumber : .https://id.m.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis
Politik etis atau politik balas budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial
Belanda memegang hutang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan rakyat Nusantara.
Berkat adanya politik etis berdampak positif untuk jangka panjang bagi bangsa Indonesia. Di mana pada
bidang pendidikan melahirkan golongan terpelajar dan terdidik, seperti Sutomo atau Wahidin
Soedirohusodo.
Mereka kemudian membentuk organisasi-organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Sarikat
Islam, hingga Perhimpunan Indonesia.
Selanjutnya organisasi-organisasi tersebut dipakai sebagai alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Baca juga: Politik Etis Belanda: Awal Lahirnya Tokoh-Tokoh Pergerakan Nasional
Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), pada kebijakan politik etis bantuan keuangan dari Belanda
akan dikhususkan untuk perluasan layanan kesehatan dan pendidikan dan penyediaan layanan
penyuluhan pertanian yang dirancang untuk merangsang pertumbuhan ekonomi desa.
Politik etis bertendesi pada desentralisasi pada politik, kesejahteraan rakyat, dan efisiensi.
Ada tiga bidang yang dipakai dalam politik etis tersebut, yakni irigasi, emigrasi, dan pendidikan.
Pada pengairan pemerintah Belanda membangun dan memperbaiki irigasi. Membangun bendungan
besar penampung hujan untuk keperluan pertanian.
Ada juga perbaikan sarana infrastruktur terutama pada jalan raya dan jalur kereta api. Infrastruktur
tersebut untuk memudahkan dalam pengangkutan komoditas pertanian dan perkebunan.
Program emigrasi dipakai pemerintah Belanda untuk pemerataan penduduk di Pulau Jawa dan Madura.
Karena di dua pulau tersebut jumlah penduduk pada 1900 mencapai 14 juta jiwa.
Apalagi kawasan perkebunan yang begitu luas di luar Pulau Jawa tidak sebanding dengan kawasan
pemukiman yang semakin sempit.
Akhirnya pemerintah Belanda membuat pemukiman baru di Pulau Sumatra dan memindahkan rakyat.
Educasi
Edukasi merupakan program peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) dan pengurangan jumlah
buta huruf rakyat yang berimplikasi baik untuk pemerintah Belanda.
Dalam pendidikan sedikit dilakukan untuk memberikan tingkat peluang yang lebih besar di tingkat dasar,
menengah.
Dalam bidang pendidikan sangat berperan dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan di
Hindia Belanda. Pada 1900, berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang
hampir merata di daerah-daerah.
Latar Belakang
Sistem tanam paksa yang dilakukan pemerintah Belanda di Hindia Belanda menjadi awal dari keluar
politik etis.
Adanya kecaman tersebut, akhirnya pada 1901 Ratu Belanda Wilhelmina mengeluarkan kebijakannya
yang disebut dengan politik etis.
Ratu Wilhelmina menyampaikan pidatonya, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral
dan hutang budi pada bangsa pribumi di Hindia Belanda.
Pidato tersebut merupakan suatu awal kebijakan untuk memakmurkan Hindia Belanda dan dikenal
dengan politi etis atau politik balas budi.
Kebijakan Etis dilihat oleh pendukungnya yang paling bersemangat sebagai percobaan yang dirancang
untuk mengubah masyarakat Indonesia.
Di mana untuk memungkinkan elit baru untuk berbagi dalam kekayaan peradaban Barat, dan untuk
membawa koloni ke dunia modern.
Sumber : https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/25/080000069/politik-etis--tujuan-dan-latar-
belakang?amp=1&page=3