Anda di halaman 1dari 19

PemerintahanDaruratRepublikIndonesia(PDRI)

disusunoleh:
DwieAndini,JoewittaF.S,M.AlfanFarizi,RikaYuanita,TresnaYuniar,YayahS.
Salsiah.
PendidikanSejarah2011UniversitasPendidikanIndonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perjalanan Pemerintahan Republik Indonesia setelah memperoleh kemerdekaan lantas
tidak berjalan dengan mulus begitu saja. Masih banyak permasalahan yang harus dihadapi
oleh Bangsa Indonesia ini yaitu pada masa revolusi. Masih banyak usaha-usaha yang
dilakukan oleh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan baik secara diplomasi
maupun secara militer. Setelah tiga tahun Indonesia merdeka, pada bulan November hingga
Desember 1948 Belanda kemudian melancarkan kembali serangan militer terakhir yang
dimaksudkan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Pada agresi militer Belanda yang
kedua ini tentara Belanda berhasil masuk ke Yogyakarta dan seluruh kota Yogyakarta yang
ketika itu menjadi ibu kota Republik Indonesia berhasil dikuasai oleh Belanda.
Kerusuhan di ibu kota Republik Indonesia ini tak terelakan. Dengan dikuasainya
Yogyakarta maka Belanda berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa pejabat
tinggi lainnya. Mereka kemudian diasingkan ke daerah yang berbeda dengan maksud dan
tujuan tertentu. Hal inilah yang kemudian membuat para tentara Republik merasa bahwa
mereka merupakan satu-satunya penyelamat bagi Republik Indonesia. untuk mengisi
kekosongan pemerintahan, maka dalam sidang kabinet kemudian memutuskan untuk
memberikan mandat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran
Republik Indonesia ketika itu untuk mendirikan atau membentuk Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI).
Berdasarkan mandat dari Presiden dan Wakil Presiden inilah kemudian Pemerintahan
Darurat Republik Indoensia ini berhasil dibetuk oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara di daerah

Sumatera. Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini berlangsung begitu singkat karena
kemenangan berhasi diperoleh oleh Republik Indonesia. Agresi militer Belanda kedua ini
menimbulkan banyak permasalahan yang merugikan bagi pihak Belanda sendiri.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat adalah
sebagai berikut :
1.2.1
1.2.2

Bagaimana latar belakang berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ?


Siapakah Sjafruddin Prawiranegara dan apa peranannya dalam Pemerintahan Darurat

Republik Indonesia ?
1.2.3 Bagaimana kronologi dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.3.1
1.3.2

Dapat mengetahui latar belakang berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.


Dapat mengetahui biografi Sjafruddin Prawiranegara dan peranannya dalam Pemerintahan

1.3.3

Darurat Republik Indonesia.


Dapat mengetahui kronologi dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
1.4. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis
maupun secara praktis. Secara teoritis laporan

ini berguna sebagai pengembangan

pengetahuan khususnya mengenai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan secara


praktis laporan ini diharapkan bermanfaat bagi orang lain dan bagi umum khususnya. Bagi
penulis, manfaat penulisan makalah ini ialah untuk menambah wawasan, menambah
pengalaman, serta memperkaya konsep keilmuan.
1.5. Metode Penulisan
Makalah ini menggunakan berbagai metode dalam pencarian sumber kajian keilmuan
berupa kajian pustaka dan internet baik konvensional maupun elektronik. Kajian pustaka
berdasarkan sumber buku yang relevan sehingga tidak menghilangkan unsur keilmuan dalam
makalah ini. Pencarian sumber di internet dijadikan sebagai tambahan ilmu bagi penulis
untuk mencari sumber yang relevan dengan makalah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Terbentuknya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)
Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau yang kita kenal dengan singkatannya
PDRI merupakan penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia yang pembentukannya
diresmikan tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, dekat Payakumbuh (Poesponegoro dan
Notosusanto, 2009: 260). PDRI dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara dan pada tanggal 13
Juli 1949 Sjafrudin Prawiranegara mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno
(Poesponegoro dan Notosusanto, 2009: 261). Sjafrudin Prawiranegara itu sendiri tidak
pernah menyalahgunakan amanah pembentukan Pemerintah Darurat Republik IndonesiaPDRI untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden PDRI. Melainkan hanya sebagai Ketua
PDRI (Suryanegara, 2010: 268).
Adapun alasan adanya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada masa
Revolusi di Indonesia adalah adanya Agresi Militer II, 19 Desember 1948, Ibu Kota RI
Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Presiden, Wakil Presiden dan beberapa Menteri ditangkap
dan diasingkan ke Bangka (Suryanegara, 2010: 265). Yang kita ketahui bahwasannya Ibu
Kota RI pindah ke Yogyakarta pada tanggal 1946 yang menurut Ricklefs bahwasannya pada
bulan Januari 1946, pendudukan kembali Belanda atas Jakarta telah berjalan begitu jauh
sehingga diputuskan untuk memindahkan pemerintahan republik ke Yogyakarta, yang tepat
menjadi ibu kota Indonesia yang merdeka selama masa Revolusi (Ricklefs, 2008: 462). Dan
memang Yogyakarta sendiri tepat dijadikan ibu kota karena keadaan Yogyakarta yang
memiliki cukup gedung untuk kebutuhan tempat pemerintahan dibandingkan kota
Palangkaraya yang diusulkan oleh Presiden Soekarno. Kembali pada topik alasan adanya
PDRI, jadi ketika Yogyakarta telah menjadi ibu kota Indonesia dan pada tanggal 19
Desember 1948 pasukan payung Belanda melancarkan serangan terhadap Lapangan Terbang
Maguwo (kini Lanuma Adisucipto) kurang lebih enam kilo meter di sebelah timur ibukota RI
Yogyakarta. Dengan serangan itu mulailah Agresi Militer Belanda Kedua. (Poesponegoro
dan Notosusanto, 2009: 258). Dan memang pada awalnya alasan Belanda memilih
melancarkan agresi militer kedua di ibu kota RI (Yogyakarta) adalah (Tim Penyusun, 1985:
191-192):
Pertikaian yang terjadi di kalangan Republik sebagai akibat dari perjanjian Renville,
kegoncangan di kalangan TNI sehubungan dengan adanya rekonstruksi dan rasinalisasi,

serta penumpasan pemberontakan PKI yang menelan daya upaya dan kekuatan Republik,
memberikan kesempatan baik bagi Belanda untuk lebih menekan Republik Indonesia.
Perundingan-perundingan yang dilakukan di bawah pengawasan KTN selalu menemui jalan
buntu sebab Belanda sengaja mengemukakan hal-hal yang tidak mungkin diterima Republik
Indonesia, seperti penafsiran Garis van Mook sebagai garis demokrasi antara daerah
yang masuk kekuasaan Republik dengan daerah yang menjadi kekuasaan daerah yang
masuk kekuasaan Republik dengan daerah yang menjadi kekuasaan Belanda, serta masalah
pembentukan Pemerintah Interim Negara Indonesia Serikat. Pada tanggal 18 Desember
1948, pukul 23.30, Dr. Beel memberitahukan kepada delegasi RI dan KTN bahwa Belanda
tidak lagi mengakui dan terikat pada persetujuan Renville. Delegasi Republik Indonesia
tidak dapat menyampaikan berita tersebut ke Yogyakarta karena hubungan telepon telah
diputuskan. Pada tanggal 19 Desember 1948, jam 06.00 pagi, agresi militer kedua
dilancarkan Belanda. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan ke ibukota
Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan
selanjutnya seluruh kota Yogyakarta.
Tidak hanya alasan yang tertera diatas, Belanda juga pada dasarnya hendak
menghancurkan Republik Indonesia yang merdeka dengan menghancurkan pemerintahannya
untuk menghilangkan salah satu pokok atau syarat Hukum Internasional, sehingga pada
agresi militer Belanda kedua menyerang ibu kota negara pada masa Revolusi yaitu
Yogyakarta. Tindakan Belanda semakin nyata lagi ketika selanjutnya kedua pemimpin RI
(Soekarno dan Hatta) ditawan oleh Belanda ke Bangka, yang sebelumnya Soekarno ditawan
ke Prapat.
Maka Pemerintahan Darurat Republik Indonesia lahir untuk menjamin kelangsungan
hidup Republik Indonesia untuk mengisi kekosongan pemerintahan, yang pada saat itu juga Ir
Soekarno dan Hatta telah diasingkan oleh Belanda ke Bangka. PDRI diketuai oleh Sjafrudin
Prawiranegara. Dan pada akhirnya, pada tanggal 19 Desember 1948 itu juga diadakannya
suatu sidang kabinet yang menghasilkan keputusan untuk memberikan mandat melalui
radiogram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjarifudin Prawiranegara yang kebetulan sedang
berada di Sumatera, agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) (Tim
Penyusun, 1985: 192). Dengan upaya mempertahankan kemerdekaan RI berhasil dilakukan,
usaha fihak Belanda di Yogya untuk memaksakan Pemerintahan RI menerima konsepsi
politik mereka, gagal sama sekali (Nasution, 1979: 190).
2.2 Tokoh Sjafruddin Prawiranegara serta Peranannya dalam PDRI

Biografi Sjafruddin Prawiranegara


Mr. Syafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada tanggal 28 Februari
1911 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun. Beliau
adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia. Tokoh yang lahir di Anyar
Kidul memiliki nama kecil "Kuding", yang berasal dari kata Udin pada nama Syariffudin. Ia
memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu dan Sunda Minangkabau dari pihak ayah.
Buyutnya dari pihak ayah, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera
Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri
bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad
Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, namun cukup dekat dengan rakyat,
dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur. Syafruddin menempuh pendidikan ELS
pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung
pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi
Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan
berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (Anonim, 2013).
Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio
swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta
pegawai Departemen Keuangan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota
Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum
terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garisgaris Besar Haluan Negara.
Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang
diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan
Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya (Anonim, 2013).
Pemerintahan resmi lumpuh. Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan
Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil
Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri
Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim
kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara
membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini
kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (Anonim, 2013). Di
sebuah dangau kecil yang belakangan dikenal sebagai "Dangau Yaya", Syafruddin
mengumumkan berdirinya PDRI, pada Rabu 22 Desember 1948. Dari sudut pandang seorang

pemuda pengikutnya, Kamil Koto, mengalirlah kisah Presiden Syafruddin Prawiranegara,


yang selama 207 hari nyaris melanjutkan kemudi kapal besar bernama Indonesia yang sedang
oleng, dan nyaris karam. Sebuah perjuangan yang mungkin terlupakan, tetapi sangat krusial
dalam memastikan keberlangsungan Indonesia (Nasery, 2011). Atas usaha Pemerintah
Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri
upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke
Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno,
Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian
mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta (Anonim, 2013).
Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri
Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada
tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran
pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi
Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI. Seusai menyerahkan kembali kekuasaan
Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949,
kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan
dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai
Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik
itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin. Syafruddin kemudian menjabat sebagai
Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah
Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral
Indonesia (Anonim, 2013). Meskipun hanya sementara memegang jabatan presiden, namun
memiliki arti penting pada masanya. Tetapi sosok Syafruddin Prawiranegara seolah
tenggelam ketika Penguasa Orde Baru menebar jaring kepatuhan tanpa reserve. Tampaknya
Syafruddin Prawiranegara memang berseberangan dengan Suharto (Siswanto, 2009).
Peranan Sjafruddin Prawiranegara dalam PDRI
Mr. Syafrudin adalah seseorang yang berjasa dalam menyelamatkan eksistensi negara
Republik Indonesia. Di sini ada suatu peranan yang diberikan oleh Mr. Syafrudin
Prawiranegara adalah tetap membuat Indonesia berada dalam pemerintahan yang merdeka
dan berdaulat. Karena kita ketahui bahwa ketika Soekarno ditahan oleh pemerintah Belanda
akibat dari Agresi Militer Belanda II maka presiden memberikan mandat kepada Mr.
SyafruTdin ini untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ). Kita
telah mengetahui bahwa negara merupakan integrasi dari kekuatan politik, negara adalah

organisasi pokok dari kekuasaan politik (Budiardjo, 2010: 47). Maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa kepala negara adalah suatu symbol dari pemerintahan yang merdeka dan
berdaulat karena di dalamnya terdapat mengenai unsur-unsur yang ada dalam suatu negara.
Menurut Konvensi Montevideo (sebuah kota di Uruguay), yang merupakan konvensi hukum
intenasional dimana negara harus mempunyai empat unsur konstitutif sebagai berikut :
1) Harus ada penghuni, (rakyat, penduduk, warga negara), nationalen staatsburger, atau bangsa
2)
3)
4)
5)

(staatsvolk).
Harus ada wilayah (tertentu) atau lingkungan kekuasaan.
Harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat), pemerintah yang berdaulat.
Kesanggupan berhubungan dengan negara-negara lainnya.
Pengakuan (deklaratif)
Keempat unsur tersebut yaitu penghuni, wilayah pemerintah dan kesanggupan
berhubungan dengan negara-negara lainnya, merupakan unsur konstitutif. Sedangkan unsur
yang kelima pengakuan merupakan unsur deklaratif. Negara sebagai konsep ilmu politik
telah terwujud apabila ketiga unsur konstitutif (penghuni, wilayah dan pemerintah) telah
dipenuhi oleh sesuatu kesatuan politik, yaitu penduduk, wilayah dan pemerintah yang
berdaulat. Ketiga unsur ini merupakan unsur konstitutif yang tradisionil dari negara. Cukup
apabila sudah ada ketiga unsur ini negara sebagai konsep ilmu politik telah terpenuhi (Nazmi,
2009) . Dengan adanya PDRI dan Mr Syafrudin dipilih sebagai pejabat presiden sementara
maka eksistensi negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena di hadapan
Pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto dipimpin oleh Soekarno dari penjara,
meskipun sebenarnya de jure pemerintahan berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan
kedudukan Soekarno yang berada dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala negara yang
merdeka dan berdaulat (Asshidiqie, 2009). Jadi dengan diberikan mandat dari presiden
kepada kepala pemerintahan darurat RI maka posisi Mr.Syafrudin adalah sebagai pejabat
presiden sementara ( Ketua PDRI ) dan bukan dianggap sebagai presiden RI yang utuh
karena ia hanya sebagai pemegang jabatan sementara saja berdasarkan mandat yang
diterimanya dari mandator yaitu Presiden Pertama RI Sendiri. Maka dari fakta sejarah ini,
Mr.Syafrudin Prawiraegara tidak menyalahgunakan amanah pembentukan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia PDRI untuk mengangkat dirinya sebagai presiden
PDRI.Melainkan hanya sebagai ketua PDRI (Suryanegara, 2010: 268) .
Ketika di PDRI sendiri Mr.Syafrudin ini sendiri selalu berpindah dari satu tempat ke
tempat lain bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil dikarenakan pemerintahan
PDRI sangat dicari oleh pihak kolonial Belanda untuk dihancurkan. Namun ini bukan berarti

pemerintahan darurat ini tanpa adanya perlawanan karena pada tanggal 1 Januari 1949 PDRI
ini membentuk lima wilayah pemerinatahan militer di Sumatera yaitu Aceh dengan Gubernur
Militer Tgk Daud Beureuh di Beureuh. Daerah Tapanuli dan Sumatra Timur Bagian Selatan
dengan Gubernur Militer dr.Ferdinand Lumban Tobing sedangkan Riau dengan Gubernur
Militer R.M. Utoyo. Sumatera Barat dipimpin oleh Gubernur Militer Mr.Sultan Muhammad
Rasjid dengan wakil Gubernur Militer Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Sementara Sumatera
Selatan dengan Gubernur Militer dr.Adnan Kapau Gani (Anonim, 2013). Mungkin
pembentukan ini dengan maksud sebagai alat bertahan dan melakukan dari gerakan
mobilisasi tentara pemerintahan Belanda sehingga pemerintahan PDRI tetap terlindungi dari
serangan musuh dan eksistensi negara Indonesia tetap ada.
2.3 Kronologi dari PDRI
Awal Berdirinya PDRI
Setelah terjadinya peristiwa pengkudetaan PKI di Madiun 19 September 1948,
Belanda kembali melancarkan Agresi Militer Kedua pada tanggal 19 Desember 1948
tepatnya pukul 06.00 pagi. Serangan ini dilakukan oleh pihak Belanda sebagai serangan
terakhir yang bertujuan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Dengan pasukan lintas
udara, serangan langsung di tujukan ke ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan
terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta
(Sudharmono, 1981 : 192). Dengan keberhasilan ini maka Belanda beranggapan bahwa
mereka dapat dengan mudah menduduki dan melumpuhkan ibu kota Republik Indonesia.
Dengan adanya Agresi Militer Kedua ini secara fisik Belanda berhasil menangkap dan
menawan Presiden Soekarno yang diterbangkan ke Prapat dan kemudian dipindahkan ke
Bangka, Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diasingkan di Bangka, dan beberapa petinggi
lainnya seperti Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohammad Roem dan beberapa menteri
lainnya.
Sebelum para petinggi Republik Indonesia ini ditawan oleh pihak Belanda, mereka
mengadakan Sidang Kabinet dan mengambil sebuah keputusan untuk memberikan mandat
melalui radiogram yang akan dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran yaitu Mr. Sjafruddin
Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera. Mandat atau materi kawat ini dikirim pada
menit-menit terakhir sebelum Soekarno-Hatta ditawan. Mandat tersebut berisikan agar Mr.
Sjafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Adapun teks Kawat Pertama 19/12/1948 berbunyi :

Mandat Presiden Soekarno/wakil Presiden Hatta kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara.


Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19
Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah mulai serangnnja atas Ibu Kota Djogjakarta.
Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannja lagi, kami
menguasakan pada Mr. Sjafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia
untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra (Suryanegara, 2010 : 266).
Dengan tertangkapnya para petinggi Republik Indonesia lantas tidak berarti bahwa
pemerintah Republik Indonesia telah berakhir. Pada umumnya tentara Republik tidak dapat
memahami alasan menyerahnya para politisi sipil pada Belanda sementara para prajurit
mengorbankan jiwa mereka demi Republik. Seluruh kekuatan TNI yang ada di Yogyakarta
diperintahkan keluar kota untuk bergerilya. Pasukan-pasukan Republik mengundurkan diri ke
luar kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis van
Mook (Ricklefs, 1999: 347). Selain materi Kawat yang dikirimkan kepada Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Hadji Agoes
Salim mengirim Kawat kedua kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis di New
Delhi yang berbunyi sebagai berikut :
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19
Desember 1948, jam 06.00 pagi, Belanda mulai seranagannja atas Ibu Kota Djogjakarta.
Djika ichtiar Mr. Sjafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera
tidak berhasil, kepada Saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Goverment Republik
Indonesia di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Mr. Sjafrudin Prawiranegara di Sumatra.
Djika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan seperlunja (Suryanegara, 2010 :
267).
Materi Kawat atau radiogram itu ternyata tidak pernah diterima oleh Mr. Sjafrudin,
hal ini diperkirakan bahwa dalam keadaan perang itu sangat dituntut mobilitas yang tinggi
dengan berpindah-pindah kedudukan yang dimaksudkan untuk menghindari serangan dari
lawan. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan Hatta mengirimkan radiogram kepada Dr.
Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis. Namun, kontroversi mengenai sampai tidaknya
radiogram itu berhenti pada tanggal 22 Desember 1948, ketika di Desa Halaban, dekat
Payakumbuh, Sumatera Barat, diadakan rapat dengan beberapa tokoh, yang akhirnya
memutuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat. Mr. Syafroeddin Prawiranegara, terpilih

sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) (Mahendra, 2007). Dan pada
tanggal 31 Maret 1949 berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Susunan Kabinet PDRI
Setelah terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang diketuai oleh Mr.
Sjafrudin Prawiranegara, kemudian Beliau membentuk susunan kementrian PDRI sebagai
berikut :
Ketua dan Menteri
Pertahanan dan Penerangan

: Mr. Sjafrudin Prawiranegara

Wakil Ketua dan Menteri Kehakiman: Mr. Soesanto Tirtoprodjo


Menteri Luar Negeri

: Mr. A.A. Maramis

Menteri dalam Negeri


dan Menteri Kesehatan

: Dr. Soekiman Wirjosandjojo

Menteri Keuangan

: Mr. Loekman Hakim

Menteri Kemakmuran
dan Pengawasan Makanan Rakjat

: I. Kasimo

Menteri Agama

: K.H. Masjkoer

Menteri P dan K

: Mr. Teuku Mohammad Hasan

Menteri Perhubungan

: Ir. Inderatjaja

Menteri Pekerdjaan Umum

: Ir. Mananti Sitompul

Menteri Perburuhan dan Sosial

: Mr. St. M. Rasjid

Dari fakta sejarah ini, Mr. Sjafrudin Prawiranegara tidak menyalahgunakan amanah
pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia PDRI untuk mengangkat dirinya
sebagai Presiden PDRI. Melainkan hanya sebagai Ketua PDRI (Suryanegara, 2010 : 268).
Perjalanan Singkat PDRI
Setelah ditawannya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan beberapa menteri
lainnya. Sesuai dengan rencana awal dalam Sidang Kabinet tanggal 19 Desember 1948
bahwa seluruh kekuatan TNI yang masih ada di Yogyakarta diperintahkan keluar kota untuk
melakukan gerilya. Angkatan perang yang telah membagi wilayah pertahanan Republik

menjadi dua komando, yaitu Jawa dan Sumatera, siap melaksanakan rencana di bidang
pemerintahan tersebut (Sudharmono, 1981 : 192). Untuk melancarkan rencananya telah
disiapkan konsepsi baru dalam bidang pertahanan. Konsepsi tersebut dituangkan dalam
Perintah Siasat No. 1 Tahun 1948 yang pokok isinya adalah sebagai berikut :
1) Tidak melakukan pertahanan yang linear;
2) Memperlambat setiap majunya serbuan musuh dan pengungsian total, serta bumi hangus
total;
3) Membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai kompleks di beberapa
4)

pegunungan; dan
Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis
musuh (wingate) dan membentuk kantong-kantong sehingga seluruh Pulau Jawa akan
menjadi medan gerilya yang luas.
Siasat ini berhasil untuk melawan Belanda yang bersenjatakan lengkap. Perlahan para
TNI ini bergrilya ke luar Yogyakarta. Di Jawa, berdasarkan siasat tersebut berlangsung Long
March Siliwangi, yang sangat terkenal itu.Sejumlah 11 Batalyon Divisi Siliwangi dengan
keluarga mereka dan penduduk sipil lainnya mulai bergerak kembali ke Jawa Barat dengan
berjalan kaki (Sudharmono, 1981 : 196). Namun setibanya di Jawa Barat, mereka dihadang
oleh Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwirjo. Namun setelah dua bulan
melakukan Long March, mereka berhasil untuk menguasai atrau memperoleh kedudukan di
Jawa Barat sesuai dengan yang diharapkan.
Berkat perjungan Mr. Sjafrudin Prawiranegara dengan PDRI di Bukittinggi, Sumatera
Barat dan Exile Government di India, serta perjuangan A.N. Palar selaku Wakil Indonesia di
PBB, menyebabkan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi pada tanggal 28 Januari
1949 yang berisi sebagai berikut :
Pertama, Belanda menghentikan Agresi Militer Belanda Kedua.
Kedua, Republik Indonesia dan Keradjaan Protestan Belanda, bersedia berunding dalam
Konferensi Meja Bundar.
Ketiga, mengembalikan pembesar Republik Indonesia dari tempat pembuangan ke
Jogyakarta.
Keempat, menyiapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat, paling lambat 1 Juli
1949.

Kelima, Komisi Tiga Negara-KTN, Komisi Djasa Baik, digantikan dengan United Nations
Commission for Indonesia UNCI atau Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Indonesia,
bertugas memperlancar perundingan.
(Suryanegara, 2010 : 264).
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1949 terjadilah serang umum terhadao kota
Yogyakarta yang diduduki oleh Belanda ketika itu. Penyerangn ini dilakukna oleh TNI dan
dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah wehrkreise III yang
membawahi daerah Yogyakarta. Alam penyerangan ini dibentuk sektor-sektor untuk
mempermudah pengepungan. Sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual, sektor
selatan dan timur dipimpin oleh Mayor Sardjono, sektor utara dipimpin oleh Mayor Kusno.
Untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki (Sudharmono,
1981 : 207). Serangna dilakukan dari berbagai penjuru kota, sehingga dalam waktu enam jam
Yogyakarta berhasil dikepung dan dikuasai oleh TNI. Dan serangan umum ini berhasil
mencapai tujuannya yaitu mendukung perjuangan secara diplomasi dan meninggikan moral
rakyat serta TNI yang sedang bergrilya, menunjukan kepada dunia internasional bahwa TNI
mempunyai kekuatan yang mampu mengadakan ofensif serta mematahkan moral pasukan
Belanda.
Tindak lanjut dari resolusi yang dikeluarkan oleh pihak Dewan Keamanan PBB maka
dipertemukan perwakilan Indonesia dengan Belanda yang kemudian melahirkan RoemRoyen Statements pada tanggal 7 Mei 1949. Isi dari persetujuan ini yaitu :
Pemerintah Republik Indonesia bersedia :
1) TNI segera menghentikian Perang Gerilya.
2) Kerjasama menciptakan perdamaian dan ketertiban serta keamanan.
3) Bersedia ikut dalam perundingan di Konferensi Meja Bundar KMB di Den Haag.
Keradjaan Protestan Belanda bersedia :
1) Menyetujui kembalinya pemrintahan Republik Indonesia ke Jogjakarta.
2) Menghentikan Aksi Militer Belanda Kedua dan membebaskan kembali segenap tahanan
politik.
3) Tidak mendirikan lagi negara boneka sesudah 19 Desember 1948.
4) Menyetujui Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
5) Menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar sesudah pemerintah Republik Indonesia
kembali ke Jogjakarta.

Hal ini terjadi ketika serangan gerilya yang sedang dilakukan oleh TNI terutama di
wilayah Jawa dan Sumatera sedang menggoyahkan moral dari pasukan Belanda. namun
dengan demikian Mr. Sjafrudin Prawiranegara dan Panglima Besar Jendral Sudirman tetap
menerima dengan lepang dada keputusan dari Roem-Royen Statemens ini. hal ini dilakukan
karena ini merupakan persetujuan langsung yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden
di tempat pengasingan.
Akhir dari PDRI
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang diketuai oleh Sjafrudin Prawiranegara
yang berada di Bukittinggi ini berawal ketika Soekarno dan anggota pemerintahan lainya
ditawan oleh Belanda saat ibu kota kepemerintaahan berada di Yogyakarta. Dalam hal ini ada
dua mandat yang mendasari adanya pemerintahan darurat ini yaitu mandat pertama dari
Soekarno yang menujuk Hatta untuk memimpin suatu kabinet pemerintahan darurat yang
bertanggung jawab kepada presiden yang kemudian mandat ini jatuh pada Sjafrudin
Prawiranegara,

untuk

mengatur

kepemerintahan

darurat

republik

Indonesia

jika

kepemerintahan di yogakarta tidak bisa menjalankan keperintahanya. Hal ini seperti


pernyataan yang dinyatakan oleh Rickefs dalam bukunya yaitu sebagai berikut :
Dia (Soekarno) menunjuk Hatta untuk memimpin suatu kabinet presidentil darurat
(1948-9), yang bukan bertanggung jawab pada KNIP tetapi pada Soekarno sebagai
presiden. ( Ricklefs, 2008: 475)
Mandat yang kedua yang berasal dari Mentri Luar Negri yaitu Agus Salim kepada Dr.
Sudarsono/Palar/Mr. A.A Maramis yang berada di New Delhi, india untuk membentuk Exile
Goverment. Dimana kedua mandat ini yang menjadi salah satu dasar hukum dari pendirian
pilar PDRI, tetapi kemudian kedua mandat ini tidak pernah di keperintahan Bukittinggi itu
sendiri yang kemudian dalam buku Chairul Basri yang merupakan mantan Wakil Kepala
Seksi Intelijen- Komendemen Sumatra mengatakan :
Secara Hukum, kawat-kawat inilah yang menjadi sumber hukum berdirinya PDRI
ditambah dengan dukungan seluruh masyarakat Indonesia. Tetapi kedua kawat tersebut tidak
pernah diterima di Bukittinggi (Basri, 2003: 190)
Yang kemudian pada tanggal 22 Desember 1948, di Halaban salah satu daerah selatan
Payakumbuh, yang kemudian tersusun kabinetnya dengan Sjafrudin Prawiranegara sebagai
ketua dari PDRI yang merangkap sebagai mentri pertahanan, Jendral Soedirman sebagai
sebagai panglima besar angkatan Perang Republik indonesia, A.H. Nasution sebagai

panglima tentara teritorial jawa. Seperti yang dinyarakan dalam buku Basri yaitu sebagi
berikut :
Mr. Sjafrudin Prawiranegara diangkat sebagai perdana mentri yang merangkap sebagai
menti pertahanan, penerangan dan luar negri. Ad interim dan sejumlah anggota kabinet
lainya. Letnan Sudirman tetap menjadi panglima besar Angkatan Perang Republik
Indonesia, Kolonel A.H Nasution tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Tentara teritoriial
Jawa... (Basri, 2003: 190)
Nampaknya salah satu aspek yaitu A.H Nasution tetap menjadi panglima besar
angkatan teritorial jawa menyebabkan Jawa segera mengikuti dan mematuhi PDRI, dan
membentuk komisaris pemerintahan pusat Jawa. Dimana disini kita bisa menerti kenapa
keperintahan berpindah-pindah yang tak lain dilatar belakangi agar roda keperintahan
berjalan dengan semestinya.
Berakhirnya keperintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan
Roem-Royen dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta. Dan
membebaskan tahannan politik yang ditahan sejak 19 Desember 1948 tersebut, hal ini juga
berarti bahwa pemerintahan kedaulatan akan segera diserahkan oleh Belanda kepada RIS,
ditambah dengan meninggalnya panglima militer Belanda Simon H. Spoor , yaitu salah satu
tokoh yang memprakasai perebutan kedaulatan pemerintahan Indonesia. Hal ini seperti
dinyatakan dalam buku Basri :
....pada tanggal 25 Mei kembali Belanda ditimpa musibah dengan meninggalnya Simon
H. Spoor Panglima perang Belanda. (Basri, 2003: 290).
Walaupun begitu, pertahanan Indonesia di Sumatra tak sepenuhnya aman, Belanda
yang berkubu di Bukittinggi berusaha berkali-kali tentara Belanda berusaha mengusir
pasukan kita yang berpangkal di Palupuh. Hingga sampai penyerahan kedaulatan oleh
Belanda ke Republik Indonesia, pertempuran-pertempuran tidak lagi sering terjadi terlebih
setelah case fire gerakan Belanda hanya tertuju pada keamanaan saja.
Beberapa tokoh dan agak sedikit bertentangan dengan delegasi-delgasi dengan
Belanda yang berdampak pada keputusan pengembalian mandat PDRI kepada keperintaahan
di Yogyakarta. Seperti Sjahrir yang juga tak ikut dalam delgasi-delegasi dengan Belanda
karena menurut Beliau pemerintahan yang sah pada saat itu adalah PDRI, bukan tawan
politik belanda. Selain itu ada pula tokoh Muh. Natsir yang menganggap adanya pertentangan
diantara para pemimpin Indonesia sebelum agresi, ditambah dengan tidak dilibatkannya

PDRI dalam perundingan Roem-Royen sehingga perundingan tersebut diluar persetujuan


PDRI.
Pemerintahan yang berlangsung kurang lebih selama tujuh bulan ini berakhir ketika
penyerahan mandat dari PDRI kepada Hatta pada tanggal 14 Juli 1948. Setelah perjanjian
Roem-Royen disahkan dan Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang dan
menyelesaikan dualisme keperintahan yang ada pada saat itu yaitu PDRI, dan kabinet Hatta.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya, kami dapat mengemukakan simpulan sebagai berikut.
Latar belakang adanya Pemerintah Darurat Republik Indonesia adalah karena adanya
Agresi Militer II yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 di ibu kota RI, Yogyakarta
yang diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan payung Belanda
melancarkan serangan terhadap Lapangan Terbang Maguwo (kini Lanuma Adisucipto).
Agresi militer ini pada dasarnya keinginan Belanda yang ingin menghancurkan Republik
Indonesia yang merdeka dengan menghancurkan pemerintahannya untuk menghilangkan
salah satu pokok atau syarat Hukum Internasional. Karena itulah Belanda mengambil
kesempatan untuk lebih menekan Republik Indonesia pada saat pertikaian yang terjadi di
kalangan Republik sebagai akibat dari perjanjian Renville, kegoncangan di kalangan TNI
sehubungan dengan adanya rekonstruksi dan rasinalisasi, serta penumpasan pemberontakan
PKI yang menelan daya upaya dan kekuatan Republik. Selain itu juga atas dasar
perundingan-perundingan KTN yang telah mengalami jalan buntu, yang dengan sengaja
dilakukan oleh Belanda. Sehingga dibentuklah PDRI yang diketuai oleh Sjafrudin
Prawiranegara, untuk mengisi kekosongan pemerintahan, yang pada saat itu juga Ir Soekarno
dan Hatta telah diasingkan oleh Belanda ke Bangka.
Mr. Syafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada tanggal 28 Februari
1911 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun. Mr.
Syafrudin adalah seseorang yang berjasa dalam menyelamatkan eksistensi negara Republik
Indonesia. Di sini ada suatu peranan yang diberikan oleh Mr. Syafrudin Prawiranegara adalah
tetap membuat Indonesia berada dalam pemerintahan yang merdeka dan berdaulat. Dengan
adanya PDRI dan Mr Syafrudin dipilih sebagai pejabat presiden sementara maka eksistensi
negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena di hadapan Pemerintah

Belanda, pemerintahan RI de facto dipimpin oleh Soekarno dari penjara, meskipun


sebenarnya de jure pemerintahan berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan
Soekarno yang berada dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala negara yang merdeka dan
berdaulat.
Berawal dari agresi militer Belanda kedua di Yogyakarta sebagai ibu kota Republik
Indonesia. Lalu Belanda menawan Presiden Soekarno yang diterbangkan ke Prapat dan
kemudian dipindahkan ke Bangka, Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diasingkan di
Bangka, dan beberapa petinggi lainnya seperti Agus Salim (Menteri Luar Negeri),
Mohammad Roem dan beberapa menteri lainnya. Sebelum para petinggi Republik Indonesia
ini ditawan oleh pihak Belanda, mereka mengadakan Sidang Kabinet dan mengambil sebuah
keputusan untuk memberikan mandat melalui radiogram yang akan dikirimkan kepada
Menteri Kemakmuran yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera.
Selain materi Kawat yang dikirimkan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Wakil Presiden
Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Hadji Agoes Salim mengirim Kawat kedua
kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis di New Delhi. Pada tanggal 22
Desember 1948, ketika di Desa Halaban, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat, diadakan rapat
dengan beberapa tokoh, yang akhirnya memutuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat.
Mr. Syafroeddin Prawiranegara, terpilih sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Dan pada tanggal 31 Maret 1949 berhasil membentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan yang berlangsung kurang lebih selama tujuh bulan
ini berakhir ketika penyerahan mandat dari PDRI kepada Hatta pada tanggal 14 Juli 1948.
Setelah perjanjian Roem-Royen disahkan dan Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang
dan menyelesaikan dualisme keperintahan yang ada pada saat itu yaitu PDRI, dan kabinet
Hatta. Berakhirnya keperintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan
Roem-Royen dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta. Tahannan
politik yang ditahan sejak 19 Desember 1948 tersebut dibebaskan, hal ini juga berarti bahwa
pemerintahan kedaulatan akan segera diserahkan oleh Belanda kepada RIS, ditambah dengan
meninggalnya panglima militer Belanda Simon H. Spoor , yaitu salah satu tokoh yang
memprakasai perebutan kedaulatan pemerintahan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2013). Sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan Peranan Sumatera Barat.
[Online].

Tersedia:www.marawanews.com

berita-123-sejarah-pemerintahan-darurat-republik-

indonesia-dan-peranan-sumatera-barat.html.
Anonim.(2013).Syafruddin Prawiranegara.
[Online].
Tersedia:Syafruddin_Prawiranegara

http://id.wikipedia.org/wiki/Syafruddin_Prawiranegara

[12 Juli 2013]


Anonim.(2013).Agresi Militer Belanda II.
[Online].
Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II [12 Juli 2013]
Asshidiqie, Jimmy. (2009). Mr. Syafrudin Prawiranegara.
[ Online].
Tersedia:http://www.jimly.com/makalah/namafile/76/
Presiden_Syafruddin_Prawiranegara.pdf [15 Juli 2013].
Basri, Chairul. (2003). Apa yang saya ingat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Budiardjo, Miriam. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.

Mahendra, Y.I. (2007). Menyelamatkan NKRI:Berkaca pada Peran Syafroeddin Prawiranegara dan
Mohammad Natsir.
[Online].
Tersedia:

http://www.setneg.go.id/index.php?

Itemid=54&id=88&option=com_content&task=view [15 Juli 2013]


Nasery, Akmal. (2011). Presiden Prawiranegara.
[Online].
Tersedia:http://www.goodreads.com/book/show/10793219-presiden-prawiranegara [12 Juli
2013].
Nasution, Abdul Haris. (1979). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia- Jilid 9 (Agresi Militer
Belanda II. Bandung: Disjarah AD dan Angkasa.

Nazmi, Didi. 2009. Pemerintahan Mobile PDRI dan Perjuangan Mempertahankan RI : Kabinet
PDRI dan Aparat Pemerintah Mobile PDRI di Sumatera (Kajian dari Perspektif Hukum
Ketatanegaraan).
[ Online ].
Tersedia: http://didinazmi.blogspot.com/2011/04/makalah-pdri_29.html [15 Juli 2013].
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. (2009). Sejarah Nasional Indonesia VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. (1999). Sejarah Indoensia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Siswanto, Agus. (2009). Sejarah Bagi Para Pembangkang.
[Online].
Tersedia: http://gus7.wordpress.com/2009/08/18/ibsn-sejarah-bagi-para-pembangkang/ [12
Juli 2013].
Sudharmono, S.H. (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 1. Jakarta : PT Tema Baru.
Suryanegara, Ahmad Mansur. (2010). Api Sejarah-2. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Tim Penyususn. (1985). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Citra Lantoro Gung Persada.

Artikel Terkait:
Sejarah Revolusi Indonesia

M. C. Ricklefs: Laporan Peluncuran dan Diskusi Buku Sejarah Asia Tenggara: Dari
Masa Prasejarah sampai Kontemporer

Peluncuran dan Diskusi Buku Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah Sampai
Kontemporer Karya M.C. Ricklefs, Dkk

PERUNDINGAN LINGGARJATI

Perbandingan Strategi Perjuangan Fisik dan Diplomasi Dalam Upaya


Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (1945-1949)

Kiprah Mohamad Roem, Sang Pejuang Perundingan di Panggung Politik Era


Revolusi (1945-1949)

Resolusi Jihad Santri-santri NU (Sejarah yang Dilupakan )

PERJANJIAN RENVILLE

KONFERENSI MEJA BUNDAR

Peran Aceh Dalam Perang Kemerdekaan RI

Latar Belakang Konferensi Meja Bundar

Anda mungkin juga menyukai