disusunoleh:
DwieAndini,JoewittaF.S,M.AlfanFarizi,RikaYuanita,TresnaYuniar,YayahS.
Salsiah.
PendidikanSejarah2011UniversitasPendidikanIndonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Sumatera. Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini berlangsung begitu singkat karena
kemenangan berhasi diperoleh oleh Republik Indonesia. Agresi militer Belanda kedua ini
menimbulkan banyak permasalahan yang merugikan bagi pihak Belanda sendiri.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat adalah
sebagai berikut :
1.2.1
1.2.2
Republik Indonesia ?
1.2.3 Bagaimana kronologi dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.3.1
1.3.2
1.3.3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Terbentuknya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)
Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau yang kita kenal dengan singkatannya
PDRI merupakan penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia yang pembentukannya
diresmikan tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, dekat Payakumbuh (Poesponegoro dan
Notosusanto, 2009: 260). PDRI dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara dan pada tanggal 13
Juli 1949 Sjafrudin Prawiranegara mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno
(Poesponegoro dan Notosusanto, 2009: 261). Sjafrudin Prawiranegara itu sendiri tidak
pernah menyalahgunakan amanah pembentukan Pemerintah Darurat Republik IndonesiaPDRI untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden PDRI. Melainkan hanya sebagai Ketua
PDRI (Suryanegara, 2010: 268).
Adapun alasan adanya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada masa
Revolusi di Indonesia adalah adanya Agresi Militer II, 19 Desember 1948, Ibu Kota RI
Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Presiden, Wakil Presiden dan beberapa Menteri ditangkap
dan diasingkan ke Bangka (Suryanegara, 2010: 265). Yang kita ketahui bahwasannya Ibu
Kota RI pindah ke Yogyakarta pada tanggal 1946 yang menurut Ricklefs bahwasannya pada
bulan Januari 1946, pendudukan kembali Belanda atas Jakarta telah berjalan begitu jauh
sehingga diputuskan untuk memindahkan pemerintahan republik ke Yogyakarta, yang tepat
menjadi ibu kota Indonesia yang merdeka selama masa Revolusi (Ricklefs, 2008: 462). Dan
memang Yogyakarta sendiri tepat dijadikan ibu kota karena keadaan Yogyakarta yang
memiliki cukup gedung untuk kebutuhan tempat pemerintahan dibandingkan kota
Palangkaraya yang diusulkan oleh Presiden Soekarno. Kembali pada topik alasan adanya
PDRI, jadi ketika Yogyakarta telah menjadi ibu kota Indonesia dan pada tanggal 19
Desember 1948 pasukan payung Belanda melancarkan serangan terhadap Lapangan Terbang
Maguwo (kini Lanuma Adisucipto) kurang lebih enam kilo meter di sebelah timur ibukota RI
Yogyakarta. Dengan serangan itu mulailah Agresi Militer Belanda Kedua. (Poesponegoro
dan Notosusanto, 2009: 258). Dan memang pada awalnya alasan Belanda memilih
melancarkan agresi militer kedua di ibu kota RI (Yogyakarta) adalah (Tim Penyusun, 1985:
191-192):
Pertikaian yang terjadi di kalangan Republik sebagai akibat dari perjanjian Renville,
kegoncangan di kalangan TNI sehubungan dengan adanya rekonstruksi dan rasinalisasi,
serta penumpasan pemberontakan PKI yang menelan daya upaya dan kekuatan Republik,
memberikan kesempatan baik bagi Belanda untuk lebih menekan Republik Indonesia.
Perundingan-perundingan yang dilakukan di bawah pengawasan KTN selalu menemui jalan
buntu sebab Belanda sengaja mengemukakan hal-hal yang tidak mungkin diterima Republik
Indonesia, seperti penafsiran Garis van Mook sebagai garis demokrasi antara daerah
yang masuk kekuasaan Republik dengan daerah yang menjadi kekuasaan daerah yang
masuk kekuasaan Republik dengan daerah yang menjadi kekuasaan Belanda, serta masalah
pembentukan Pemerintah Interim Negara Indonesia Serikat. Pada tanggal 18 Desember
1948, pukul 23.30, Dr. Beel memberitahukan kepada delegasi RI dan KTN bahwa Belanda
tidak lagi mengakui dan terikat pada persetujuan Renville. Delegasi Republik Indonesia
tidak dapat menyampaikan berita tersebut ke Yogyakarta karena hubungan telepon telah
diputuskan. Pada tanggal 19 Desember 1948, jam 06.00 pagi, agresi militer kedua
dilancarkan Belanda. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan ke ibukota
Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan
selanjutnya seluruh kota Yogyakarta.
Tidak hanya alasan yang tertera diatas, Belanda juga pada dasarnya hendak
menghancurkan Republik Indonesia yang merdeka dengan menghancurkan pemerintahannya
untuk menghilangkan salah satu pokok atau syarat Hukum Internasional, sehingga pada
agresi militer Belanda kedua menyerang ibu kota negara pada masa Revolusi yaitu
Yogyakarta. Tindakan Belanda semakin nyata lagi ketika selanjutnya kedua pemimpin RI
(Soekarno dan Hatta) ditawan oleh Belanda ke Bangka, yang sebelumnya Soekarno ditawan
ke Prapat.
Maka Pemerintahan Darurat Republik Indonesia lahir untuk menjamin kelangsungan
hidup Republik Indonesia untuk mengisi kekosongan pemerintahan, yang pada saat itu juga Ir
Soekarno dan Hatta telah diasingkan oleh Belanda ke Bangka. PDRI diketuai oleh Sjafrudin
Prawiranegara. Dan pada akhirnya, pada tanggal 19 Desember 1948 itu juga diadakannya
suatu sidang kabinet yang menghasilkan keputusan untuk memberikan mandat melalui
radiogram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjarifudin Prawiranegara yang kebetulan sedang
berada di Sumatera, agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) (Tim
Penyusun, 1985: 192). Dengan upaya mempertahankan kemerdekaan RI berhasil dilakukan,
usaha fihak Belanda di Yogya untuk memaksakan Pemerintahan RI menerima konsepsi
politik mereka, gagal sama sekali (Nasution, 1979: 190).
2.2 Tokoh Sjafruddin Prawiranegara serta Peranannya dalam PDRI
organisasi pokok dari kekuasaan politik (Budiardjo, 2010: 47). Maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa kepala negara adalah suatu symbol dari pemerintahan yang merdeka dan
berdaulat karena di dalamnya terdapat mengenai unsur-unsur yang ada dalam suatu negara.
Menurut Konvensi Montevideo (sebuah kota di Uruguay), yang merupakan konvensi hukum
intenasional dimana negara harus mempunyai empat unsur konstitutif sebagai berikut :
1) Harus ada penghuni, (rakyat, penduduk, warga negara), nationalen staatsburger, atau bangsa
2)
3)
4)
5)
(staatsvolk).
Harus ada wilayah (tertentu) atau lingkungan kekuasaan.
Harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat), pemerintah yang berdaulat.
Kesanggupan berhubungan dengan negara-negara lainnya.
Pengakuan (deklaratif)
Keempat unsur tersebut yaitu penghuni, wilayah pemerintah dan kesanggupan
berhubungan dengan negara-negara lainnya, merupakan unsur konstitutif. Sedangkan unsur
yang kelima pengakuan merupakan unsur deklaratif. Negara sebagai konsep ilmu politik
telah terwujud apabila ketiga unsur konstitutif (penghuni, wilayah dan pemerintah) telah
dipenuhi oleh sesuatu kesatuan politik, yaitu penduduk, wilayah dan pemerintah yang
berdaulat. Ketiga unsur ini merupakan unsur konstitutif yang tradisionil dari negara. Cukup
apabila sudah ada ketiga unsur ini negara sebagai konsep ilmu politik telah terpenuhi (Nazmi,
2009) . Dengan adanya PDRI dan Mr Syafrudin dipilih sebagai pejabat presiden sementara
maka eksistensi negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena di hadapan
Pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto dipimpin oleh Soekarno dari penjara,
meskipun sebenarnya de jure pemerintahan berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan
kedudukan Soekarno yang berada dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala negara yang
merdeka dan berdaulat (Asshidiqie, 2009). Jadi dengan diberikan mandat dari presiden
kepada kepala pemerintahan darurat RI maka posisi Mr.Syafrudin adalah sebagai pejabat
presiden sementara ( Ketua PDRI ) dan bukan dianggap sebagai presiden RI yang utuh
karena ia hanya sebagai pemegang jabatan sementara saja berdasarkan mandat yang
diterimanya dari mandator yaitu Presiden Pertama RI Sendiri. Maka dari fakta sejarah ini,
Mr.Syafrudin Prawiraegara tidak menyalahgunakan amanah pembentukan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia PDRI untuk mengangkat dirinya sebagai presiden
PDRI.Melainkan hanya sebagai ketua PDRI (Suryanegara, 2010: 268) .
Ketika di PDRI sendiri Mr.Syafrudin ini sendiri selalu berpindah dari satu tempat ke
tempat lain bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil dikarenakan pemerintahan
PDRI sangat dicari oleh pihak kolonial Belanda untuk dihancurkan. Namun ini bukan berarti
pemerintahan darurat ini tanpa adanya perlawanan karena pada tanggal 1 Januari 1949 PDRI
ini membentuk lima wilayah pemerinatahan militer di Sumatera yaitu Aceh dengan Gubernur
Militer Tgk Daud Beureuh di Beureuh. Daerah Tapanuli dan Sumatra Timur Bagian Selatan
dengan Gubernur Militer dr.Ferdinand Lumban Tobing sedangkan Riau dengan Gubernur
Militer R.M. Utoyo. Sumatera Barat dipimpin oleh Gubernur Militer Mr.Sultan Muhammad
Rasjid dengan wakil Gubernur Militer Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Sementara Sumatera
Selatan dengan Gubernur Militer dr.Adnan Kapau Gani (Anonim, 2013). Mungkin
pembentukan ini dengan maksud sebagai alat bertahan dan melakukan dari gerakan
mobilisasi tentara pemerintahan Belanda sehingga pemerintahan PDRI tetap terlindungi dari
serangan musuh dan eksistensi negara Indonesia tetap ada.
2.3 Kronologi dari PDRI
Awal Berdirinya PDRI
Setelah terjadinya peristiwa pengkudetaan PKI di Madiun 19 September 1948,
Belanda kembali melancarkan Agresi Militer Kedua pada tanggal 19 Desember 1948
tepatnya pukul 06.00 pagi. Serangan ini dilakukan oleh pihak Belanda sebagai serangan
terakhir yang bertujuan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Dengan pasukan lintas
udara, serangan langsung di tujukan ke ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan
terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta
(Sudharmono, 1981 : 192). Dengan keberhasilan ini maka Belanda beranggapan bahwa
mereka dapat dengan mudah menduduki dan melumpuhkan ibu kota Republik Indonesia.
Dengan adanya Agresi Militer Kedua ini secara fisik Belanda berhasil menangkap dan
menawan Presiden Soekarno yang diterbangkan ke Prapat dan kemudian dipindahkan ke
Bangka, Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diasingkan di Bangka, dan beberapa petinggi
lainnya seperti Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohammad Roem dan beberapa menteri
lainnya.
Sebelum para petinggi Republik Indonesia ini ditawan oleh pihak Belanda, mereka
mengadakan Sidang Kabinet dan mengambil sebuah keputusan untuk memberikan mandat
melalui radiogram yang akan dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran yaitu Mr. Sjafruddin
Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera. Mandat atau materi kawat ini dikirim pada
menit-menit terakhir sebelum Soekarno-Hatta ditawan. Mandat tersebut berisikan agar Mr.
Sjafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Adapun teks Kawat Pertama 19/12/1948 berbunyi :
sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) (Mahendra, 2007). Dan pada
tanggal 31 Maret 1949 berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Susunan Kabinet PDRI
Setelah terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang diketuai oleh Mr.
Sjafrudin Prawiranegara, kemudian Beliau membentuk susunan kementrian PDRI sebagai
berikut :
Ketua dan Menteri
Pertahanan dan Penerangan
Menteri Keuangan
Menteri Kemakmuran
dan Pengawasan Makanan Rakjat
: I. Kasimo
Menteri Agama
: K.H. Masjkoer
Menteri P dan K
Menteri Perhubungan
: Ir. Inderatjaja
Dari fakta sejarah ini, Mr. Sjafrudin Prawiranegara tidak menyalahgunakan amanah
pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia PDRI untuk mengangkat dirinya
sebagai Presiden PDRI. Melainkan hanya sebagai Ketua PDRI (Suryanegara, 2010 : 268).
Perjalanan Singkat PDRI
Setelah ditawannya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan beberapa menteri
lainnya. Sesuai dengan rencana awal dalam Sidang Kabinet tanggal 19 Desember 1948
bahwa seluruh kekuatan TNI yang masih ada di Yogyakarta diperintahkan keluar kota untuk
melakukan gerilya. Angkatan perang yang telah membagi wilayah pertahanan Republik
menjadi dua komando, yaitu Jawa dan Sumatera, siap melaksanakan rencana di bidang
pemerintahan tersebut (Sudharmono, 1981 : 192). Untuk melancarkan rencananya telah
disiapkan konsepsi baru dalam bidang pertahanan. Konsepsi tersebut dituangkan dalam
Perintah Siasat No. 1 Tahun 1948 yang pokok isinya adalah sebagai berikut :
1) Tidak melakukan pertahanan yang linear;
2) Memperlambat setiap majunya serbuan musuh dan pengungsian total, serta bumi hangus
total;
3) Membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai kompleks di beberapa
4)
pegunungan; dan
Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis
musuh (wingate) dan membentuk kantong-kantong sehingga seluruh Pulau Jawa akan
menjadi medan gerilya yang luas.
Siasat ini berhasil untuk melawan Belanda yang bersenjatakan lengkap. Perlahan para
TNI ini bergrilya ke luar Yogyakarta. Di Jawa, berdasarkan siasat tersebut berlangsung Long
March Siliwangi, yang sangat terkenal itu.Sejumlah 11 Batalyon Divisi Siliwangi dengan
keluarga mereka dan penduduk sipil lainnya mulai bergerak kembali ke Jawa Barat dengan
berjalan kaki (Sudharmono, 1981 : 196). Namun setibanya di Jawa Barat, mereka dihadang
oleh Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwirjo. Namun setelah dua bulan
melakukan Long March, mereka berhasil untuk menguasai atrau memperoleh kedudukan di
Jawa Barat sesuai dengan yang diharapkan.
Berkat perjungan Mr. Sjafrudin Prawiranegara dengan PDRI di Bukittinggi, Sumatera
Barat dan Exile Government di India, serta perjuangan A.N. Palar selaku Wakil Indonesia di
PBB, menyebabkan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi pada tanggal 28 Januari
1949 yang berisi sebagai berikut :
Pertama, Belanda menghentikan Agresi Militer Belanda Kedua.
Kedua, Republik Indonesia dan Keradjaan Protestan Belanda, bersedia berunding dalam
Konferensi Meja Bundar.
Ketiga, mengembalikan pembesar Republik Indonesia dari tempat pembuangan ke
Jogyakarta.
Keempat, menyiapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat, paling lambat 1 Juli
1949.
Kelima, Komisi Tiga Negara-KTN, Komisi Djasa Baik, digantikan dengan United Nations
Commission for Indonesia UNCI atau Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Indonesia,
bertugas memperlancar perundingan.
(Suryanegara, 2010 : 264).
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1949 terjadilah serang umum terhadao kota
Yogyakarta yang diduduki oleh Belanda ketika itu. Penyerangn ini dilakukna oleh TNI dan
dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah wehrkreise III yang
membawahi daerah Yogyakarta. Alam penyerangan ini dibentuk sektor-sektor untuk
mempermudah pengepungan. Sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual, sektor
selatan dan timur dipimpin oleh Mayor Sardjono, sektor utara dipimpin oleh Mayor Kusno.
Untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki (Sudharmono,
1981 : 207). Serangna dilakukan dari berbagai penjuru kota, sehingga dalam waktu enam jam
Yogyakarta berhasil dikepung dan dikuasai oleh TNI. Dan serangan umum ini berhasil
mencapai tujuannya yaitu mendukung perjuangan secara diplomasi dan meninggikan moral
rakyat serta TNI yang sedang bergrilya, menunjukan kepada dunia internasional bahwa TNI
mempunyai kekuatan yang mampu mengadakan ofensif serta mematahkan moral pasukan
Belanda.
Tindak lanjut dari resolusi yang dikeluarkan oleh pihak Dewan Keamanan PBB maka
dipertemukan perwakilan Indonesia dengan Belanda yang kemudian melahirkan RoemRoyen Statements pada tanggal 7 Mei 1949. Isi dari persetujuan ini yaitu :
Pemerintah Republik Indonesia bersedia :
1) TNI segera menghentikian Perang Gerilya.
2) Kerjasama menciptakan perdamaian dan ketertiban serta keamanan.
3) Bersedia ikut dalam perundingan di Konferensi Meja Bundar KMB di Den Haag.
Keradjaan Protestan Belanda bersedia :
1) Menyetujui kembalinya pemrintahan Republik Indonesia ke Jogjakarta.
2) Menghentikan Aksi Militer Belanda Kedua dan membebaskan kembali segenap tahanan
politik.
3) Tidak mendirikan lagi negara boneka sesudah 19 Desember 1948.
4) Menyetujui Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
5) Menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar sesudah pemerintah Republik Indonesia
kembali ke Jogjakarta.
Hal ini terjadi ketika serangan gerilya yang sedang dilakukan oleh TNI terutama di
wilayah Jawa dan Sumatera sedang menggoyahkan moral dari pasukan Belanda. namun
dengan demikian Mr. Sjafrudin Prawiranegara dan Panglima Besar Jendral Sudirman tetap
menerima dengan lepang dada keputusan dari Roem-Royen Statemens ini. hal ini dilakukan
karena ini merupakan persetujuan langsung yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden
di tempat pengasingan.
Akhir dari PDRI
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang diketuai oleh Sjafrudin Prawiranegara
yang berada di Bukittinggi ini berawal ketika Soekarno dan anggota pemerintahan lainya
ditawan oleh Belanda saat ibu kota kepemerintaahan berada di Yogyakarta. Dalam hal ini ada
dua mandat yang mendasari adanya pemerintahan darurat ini yaitu mandat pertama dari
Soekarno yang menujuk Hatta untuk memimpin suatu kabinet pemerintahan darurat yang
bertanggung jawab kepada presiden yang kemudian mandat ini jatuh pada Sjafrudin
Prawiranegara,
untuk
mengatur
kepemerintahan
darurat
republik
Indonesia
jika
panglima tentara teritorial jawa. Seperti yang dinyarakan dalam buku Basri yaitu sebagi
berikut :
Mr. Sjafrudin Prawiranegara diangkat sebagai perdana mentri yang merangkap sebagai
menti pertahanan, penerangan dan luar negri. Ad interim dan sejumlah anggota kabinet
lainya. Letnan Sudirman tetap menjadi panglima besar Angkatan Perang Republik
Indonesia, Kolonel A.H Nasution tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Tentara teritoriial
Jawa... (Basri, 2003: 190)
Nampaknya salah satu aspek yaitu A.H Nasution tetap menjadi panglima besar
angkatan teritorial jawa menyebabkan Jawa segera mengikuti dan mematuhi PDRI, dan
membentuk komisaris pemerintahan pusat Jawa. Dimana disini kita bisa menerti kenapa
keperintahan berpindah-pindah yang tak lain dilatar belakangi agar roda keperintahan
berjalan dengan semestinya.
Berakhirnya keperintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan
Roem-Royen dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta. Dan
membebaskan tahannan politik yang ditahan sejak 19 Desember 1948 tersebut, hal ini juga
berarti bahwa pemerintahan kedaulatan akan segera diserahkan oleh Belanda kepada RIS,
ditambah dengan meninggalnya panglima militer Belanda Simon H. Spoor , yaitu salah satu
tokoh yang memprakasai perebutan kedaulatan pemerintahan Indonesia. Hal ini seperti
dinyatakan dalam buku Basri :
....pada tanggal 25 Mei kembali Belanda ditimpa musibah dengan meninggalnya Simon
H. Spoor Panglima perang Belanda. (Basri, 2003: 290).
Walaupun begitu, pertahanan Indonesia di Sumatra tak sepenuhnya aman, Belanda
yang berkubu di Bukittinggi berusaha berkali-kali tentara Belanda berusaha mengusir
pasukan kita yang berpangkal di Palupuh. Hingga sampai penyerahan kedaulatan oleh
Belanda ke Republik Indonesia, pertempuran-pertempuran tidak lagi sering terjadi terlebih
setelah case fire gerakan Belanda hanya tertuju pada keamanaan saja.
Beberapa tokoh dan agak sedikit bertentangan dengan delegasi-delgasi dengan
Belanda yang berdampak pada keputusan pengembalian mandat PDRI kepada keperintaahan
di Yogyakarta. Seperti Sjahrir yang juga tak ikut dalam delgasi-delegasi dengan Belanda
karena menurut Beliau pemerintahan yang sah pada saat itu adalah PDRI, bukan tawan
politik belanda. Selain itu ada pula tokoh Muh. Natsir yang menganggap adanya pertentangan
diantara para pemimpin Indonesia sebelum agresi, ditambah dengan tidak dilibatkannya
Tersedia:www.marawanews.com
berita-123-sejarah-pemerintahan-darurat-republik-
indonesia-dan-peranan-sumatera-barat.html.
Anonim.(2013).Syafruddin Prawiranegara.
[Online].
Tersedia:Syafruddin_Prawiranegara
http://id.wikipedia.org/wiki/Syafruddin_Prawiranegara
Mahendra, Y.I. (2007). Menyelamatkan NKRI:Berkaca pada Peran Syafroeddin Prawiranegara dan
Mohammad Natsir.
[Online].
Tersedia:
http://www.setneg.go.id/index.php?
Nazmi, Didi. 2009. Pemerintahan Mobile PDRI dan Perjuangan Mempertahankan RI : Kabinet
PDRI dan Aparat Pemerintah Mobile PDRI di Sumatera (Kajian dari Perspektif Hukum
Ketatanegaraan).
[ Online ].
Tersedia: http://didinazmi.blogspot.com/2011/04/makalah-pdri_29.html [15 Juli 2013].
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. (2009). Sejarah Nasional Indonesia VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. (1999). Sejarah Indoensia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Siswanto, Agus. (2009). Sejarah Bagi Para Pembangkang.
[Online].
Tersedia: http://gus7.wordpress.com/2009/08/18/ibsn-sejarah-bagi-para-pembangkang/ [12
Juli 2013].
Sudharmono, S.H. (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 1. Jakarta : PT Tema Baru.
Suryanegara, Ahmad Mansur. (2010). Api Sejarah-2. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Tim Penyususn. (1985). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Citra Lantoro Gung Persada.
Artikel Terkait:
Sejarah Revolusi Indonesia
M. C. Ricklefs: Laporan Peluncuran dan Diskusi Buku Sejarah Asia Tenggara: Dari
Masa Prasejarah sampai Kontemporer
Peluncuran dan Diskusi Buku Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah Sampai
Kontemporer Karya M.C. Ricklefs, Dkk
PERUNDINGAN LINGGARJATI
PERJANJIAN RENVILLE