Anda di halaman 1dari 3

E.

(Pidato Tan Malaka di depan Kongres Peleburan Tiga Partai, 7 November 1948)
Kini sudah tiga hari kita berkongres saya sudah agak merasa lelah dan suara tak begitu kuat lagi.
Jadi saya minta saudara-saudara agak dekat sedikit. Kepada saudara stenografis saya minta
kadang-kadang memakai perkataan sendiri, sebab mungkin juga saya nanti memakai ilustrasi.
Jadi Ilustrasi itu penjelasan / penerangan diisi dengan perkataan sendiri saja.
Karena ini bukan pidato semata-mata, bukan kursus semata-mata melainkan suatu uraian yang
saya rasa penting buat wakil yang kelak akan kembali ke daerah masing-masing, buat mencapai
usaha-usaha supaya kita tidak saja satu dalam partai, tetapi juga satu dalam agitasi dan
propaganda kelak di cabang dan ranting. Dengan bulatkan jiwa kita dan Murba kita dan
membulatkan kekuatan melemparkan imperialis mana saja yang menginjak bumi Indonesia ini.
Dengan tiada kebulatan keyakinan tidak bisa kita mendapat kebulatan perbuatan. Dengan tidak
kebulatan agitasi dan propaganda kita tidak akan mendapat kebulatan keyakinan. Jadi agitasi dan
propaganda ialah senjata yang tajam. Di Tiongkok ada satu pepatah yang mengatakan Agitasi
lebih kuat dari pada pelor.
Soal yang akan saya uraikan dan coba menjawabnya saya bagi tiga:
1) Soal (boleh diringkas) Internasional.
2) Soal Nasional.
3) Soal Partai.
F. Hukum revolusi yang sebenarnya harus jatuh/dijatuhkan pada mereka pelanggar demarkasi
revolusi itu, yang menegakkan kembali yang lama, ialah penjajahan Belanda dan
menghancurkan yang baru, ialah kemerdekaan 100 % yang sudah diproklamirkan pada 17
Agustus 1945 dan dibela oleh rakyat Indonesia dengan pengorbanan yang tak kalah sifat dan
bilangnya oleh Revolusi mana dan waktu bilapun juga.
Di tangan Murba lah terletaknya hukum revolusi; untuk membela kepentingan Murbalah hukum
revolusi itu harus dijatuhkan!
Hukum revolusi, ialah hukumnya kaum Murba, yakni kaum terbesar dalam masyarakat untuk
membela kepentingan, kemerdekaan serta keamanan masyarakat Murba itu sendiri !!!
G. Program Maksimum
1. Pemerintah, untuk dan Oleh rakyat (Murba)
Dunia demokrasi borjuis memang juga sering mempergunakan formula tersebut, buat merebut
hatinya para rakyat dalam pemilihan umum. Prakteknya pemerintah demokrasi borjuis masih
bertentangan dengan isi formula ini. Formula ini memang berasal dari kalangan borjuis. Tetapi
kaum borjuis sendiri tiada bisa dan tiada mau mempraktekkannya.

2. Tentara dari, untuk dan oleh rakyat (Murba)


janganlah hendaknya di hari kemudian hari Tentara Indonesia menjadi suatu alat kekuasaan,
yang berada di atas dan terpisah dari rakyat murba, tetapi hidup dari hasil keringat rakyat/murba
itu untuk diperalatkan oleh yang berkuasa dengan maksud menetapkan pemerasan dan
penindasan atas rakyat/murba sendiri. Hendaknya Tentara Rakyat itu terdiri dari rakyat/murba
sendiri, dipimpin oleh wakil sebenarnya dari rakyat/murba sendiri untuk kepentingan
rakyat/murba sendiri. Di antara beberapa syarat yang terpenting untuk menjawab sifat semacam
itu, maka haruslah tentara itu berhubungan rapat dengan penghidupan rakyat dalam politik,
ekonomi, sosial dan sebagainya. Apakah lagi dalam tingkatan gerilya (rombongan yang masih
kecil) maka anggota Tentara Rakyat mempunyai hak memilih yang sempurna. Dengan demikian,
maka prajurit tentara itu memegang senjata politik untuk memilih pemimpin yang cakap dan
dicintai serta memperhentikan pemimpin yang tak cakap dan dibenci. Suasana mengakui dan
menjalankan disiplin (tetapi seperti anak terdapat bapak), inilah yang dikejar Tentara Rakyat.
3. Menetapkan dalam konstitusi kedudukan murba dalam politik, ekonomi, sosial dan lainlainnya.
4. Nasionalisasi, mekaninasi, rasionalisasi dan kolektifisasi dari perusahaan vital, penting
(perkebunan, pertembangan, industri dan transportasi).
5. Menasionalisasi ekspor dan impor.
6. Menasionalisasi bank.
7. Membangun Industri berat.
Perimbangan industri berat, industri ringan dan pertanian modern akan
membangunkan perekonomian yang sehat bagi Indonesia. Bolehlah pula dikatakan,
bahwa tanah, air dan isinya tanah Indonesia ini akan memberi jaminan yang kokoh
buat berdirinya perekonomian yang sehat itu. Bukannya seperti di masa Hindia
Belanda bilamana industri berat tak ada. Industri ringan baru timbul dan sedikit
pula sedangkan pertanian modern berlebih-lebihan selain ekspor hasil perkebunan
dan tambang yang jauh melebihi impor dan jauh pula melebihi keperluan rakyat
Indonesia sendiri.
8. Pendidikan (pengajaran dan kebudayaan) atas dasar mekanisasi
kolektifisasi.
Didikan yang berdasarkan individualisme, memberi kesempatan kepada pemuda
borjuis buat melalui semua tingkat sekolah, karena kemampuan orangtuanya.
Didikan borjuis tidak memberikan kesempatan itu kepada proletar, karena
kemiskinan, walaupun si anak/pemuda proletar cukup mempunyai kecerdasan
untuk melalui semua tingkatan kesekolahan itu. Buat mencari kesenangan hidup
anak borjuis yang kecerdasannya sedang bisa melalui tingkatan setinggi-tingginya
(student) dalam dunia pengajaran. Sedangkan buat mencari nafkah anak proletar

yang cerdas pun terpaksa lekas meninggalkan bangku sekolah. Dengan demikian
anak borjuis mendapatkan pelajaran yang cukup memegang pimpinan politik,
ekonomi, militer dan kebudayaan. Sedangkan anak proletar cuma mendapatkan
sekedar pelajaran saja buat mengerjakan kerja tangan dalam semua cabang
pencaharian hidup (tani, tambang, pabrik, bengkel) dalam masyarakat itu.

9. Mengadakan perhubungan dagang luar negeri dan perhubungan sosial politik dengan
kaum murba di luar negeri atas dasar persamaan status.
10. Berusaha menjadi anggota UNO atau organisasi internasional yang lain atas dasar
persamaan status, demokrasi dan tujuan kepemerintahan dunia kemurbaan.
Kedua pasal ini bisa dilayani sekaligus dengan serba ringkas pula. Karena kedua pasal itu, sama
melayani perhubungan dengan luar negeri, bedanya cuma pasal 9 melayani perhubungan
(dagang, social dan politik) itu secara informal, ialah menurut aturan (diplomasi), jadi menurut
perhubungan de jure, dan perhubunngan de jure itu tidak bisa pada sembarang waktu dan
sembarang negara bisa dilakukan. Dan bisa dilakukan setelah persetujuan formal dari kedua
belah pihak dan berlakunya setelah persetujuan itu ditandatangani dan diumumkan.
Tetapi walaupun perhubungan dengan luar negeri itu dilakukan secara informal menurut de facto
atau de jure, bangsa dan negara, masyarakat Indonesia mesti menurut keadaan duduk sama
rendah dan tegak sama tinggi dengan negara manapun dan waktu bilapun juga.

Anda mungkin juga menyukai