NAMA:
KELAS:
X TKJ A
Dampak Kolonialisme dan Imperialisme
3.)Bidang Transmigrasi
Adanya jaringan jalan raya serta jalan kereta api dan hubungan laut telah
membantu mempercepat pertumbuhan kota. Terjadilah urbanisasi atau
perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pada akhir abad ke-19 lahirlah
kota-kota baru di pedalaman serta di pesisir pantai.Demikian juga dengan
kota-kota lama menjadi incaran penduduk untuk bermukim . Lahirnya
kota-kota tersebut terkait dengan perkembangan ekonomi seperti
perkebunan serta perdagangan antar pulau. Pada akhir abad ke-19
lahirlah kota pedalaman seperti Bandung, Malang dan Sukabumi. Kota-
kota tersebut lahir karena di sekitarnya dikembangkan perkebunan.
Sedangkan di pesisir pantai berkembang pula kota-kota pesirir seperti
Tuban, Gresik, Batavia, Surabaya, Semarang, Banten, Makasar, yang
telah lama ada maupun kota baru seperti Kotaraja, Medan, Padang,
Palembang, Pontianak, dan Banjarmasin.
4.)Bidang Pendidikan
Pembangunan pendidikan telah mempercepat mobilitas penduduk.
Sekolah-sekolah yang didirikan di perkotaan telah menarik minat yang
besar dari penduduk sekitarnya. Banyak penduduk yang berpindah dari
satu kota ke kota lainnya karena alasan sekolah. Misalnya, para priyayi
dari berbagai kabupaten di Jawa Barat banyak yang berpindah ke
Bandung untuk sekolah. Lulusan dari sekolah di sana ada yang tetap
bermukin di kota tersebut, ada juga yang kembali ke daerah asalnya atau
ke daerah lain tempat mereka bekerja. Pendidikan yang berkembang di
Indonesia pada abad ke-19 menggunakan sistem yang diselenggarakan
oleh organisasi agama Kristen, Katholik dan Islam. Sistem persekolahan
Islam menggunakan sistem pesantren. Di luar itu, pemerintah kolonial
menerapkan sistem
pendidikan Barat.
Demikian juga dengan buku pelajaran. Pada tahun 1851 telah diterbitkan
beberapa buku pelajaran mengenai pertanian, peternakan, kesehatan dan
bangunan. Buku-buku yang dikarang oleh Holle, Goedkoop, Winter,
Wilken dan lain-lain tersebut bersifat praktis dan dapat langsung
diterapkan oleh pembaca. Keberadaan sekolah tersebut mengakibatkan
terjadinya kemajuan yang cukup pesat dalam bidang pendidikan di
Hindia Belanda yang ditandai dengan meningkatnya jumlah siswa dan
guru antara tahun 1873- 1883. Misalnya, pada tahun 1873 terdapat 5512
jumlah siswa di Jawa dan Madura dan meningkat menjadi 16214 tahun
1883. Sedangkan untuk daerah lainnya terdapat 11276 jumlah siswa pada
tahun 1873, meningkat menjadi 18694 sepuluh tahun kemudian.
Sedangkan untuk guru seluruh Indonesia meningkat dari 411 tahun 1873
menjadi 1241 sepuluh tahun kemudian.
Menurut Sartono Kartodirjo (1988), perkembangan pendidikan abad ke-
19 dipengaruhi oleh kecenderungan politik dan budaya sebagai berikut:
5.)Emansipasi Wanita
Kedudukan kaum perempuan pada abad ke-19 masih rendah
dibandingkan dengan kedudukan pria. Kondisi ini diperkuat oleh struktur
sosial masyarakat feodal di Jawa yang menempatkan perempuan berada
di bawah posisi laki-laki. Hukum adat yang menempatkan perempuan
dalam posisi itu dibiarkan oleh pemeriantah kolonial karena kondisi itu
tidak merugikan pemerintah kolonial. Salah satu adat yang berkembang
pada saat itu adalah poligami. Tradisi tersebut tidak hanya berkembang
pada masyarakat kelas bawah tetapi juga di kalangan golongan
bangsawan. Fenomena ini dijelaskan Siti Soemandari (1986:16): Banyak
dari kalangan bangsawan Jawa yang awalnya menikah dengan
perempuan kebanyakan, pada saat akan mendapatkan kenaikan pangkat
akan menikah dengan perempuan dari derajat yang sama untuk
mendapatkan anak dari golongan itu. Hal ini berarti bahwa prestise
mendapatkan tempat yang tinggi pada masa itu. Gelar-gelar
kebangsawanan yang didapatkan menunjukkan beruratakarnya
feodalisme dalam komunitas rakyat Jawa. Ini membuktikan bahwa
banyaknya permaduan dalam masyarakat bangsawan sudah menjadi
“tradisi feodal”, maka tidak dapat diharapkan dalam jangka waktu yang
pendek memperbaiki struktur itu.
Menurut Cahyo Budi Utomo (1995), secara biologis ada dua jenis
gerakan perempuan pada masa-masa awal abad XX, yakni organisasi
lokal kedaerahan dan organisasi keagamaan. Putri Mardika merupakan
organisasi keputrian tertua yang merupakan bagian dari Budi Utomo.
Organisasi ini di bentuk pada tahun 1912. Tujuannya adalah memberikan
bantuan, bimbingan dan penerangan pada gadis pribumi dalam menuntut
pelajaran dan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Untuk
memperbaiki hidup perempuan, Putri Merdika memberikan beasiswa dan
menerbitkan majalah bulanan. Tokoh-tokohnya adalah R.A Sabarudin,
R.A Sutinah Joyopranoto, R.R Rukmini dan Sadikin Tondokusumo.
Setelah putri Merdiko lahirlah organisasi-organisasi perempuan baik
yang dibentuk sendiri oleh kaum perempuan maupun organisasi yang
beranggotakan kaum pria.