Anda di halaman 1dari 50

PAPER

BURUH BERGERAK;
SEMAUN DAN SURYOPRANOTO
DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH
1926

Oleh :
Mikael Yohanes Pradana Yapari
2001561034

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022

ABSTRAK
Paper yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan
Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926”
berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa
Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua,
peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di
Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab
terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926.
Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, paper ini
mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut
dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan
teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain,
yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan
tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif
konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi.
Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pergerakan buruh yang
dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto memang terinspirasi dari
kondisi ketertindasan atas nasib kaum pekerja saat itu. Dalam pergerakan
buruh, Semaun terinspirasi atas gagasan Marxis yang dipelajarinya dari
Sneevliet, sedangkan Suryopranoto menyadari perlunya perbaikan
kesejahteraan kaum pekerja. Perjuangan mereka pada perjalanannya
berhasil memberikan posisi tawar kaum buruh terhadap majikan. Namun,
sifat kepemimpinan yang cenderung tunggal serta kurangnya kaderisasi
serta penangkapan tokoh-tokoh gerakan buruh oleh pemerintah kolonial
menjadikan gerakan ini melemah dan akhirnya ditumpas pada tahun 1926.

Kata kunci: Semaun, Suryopranoto, Pergerakan Buruh


BAB I

PENGANTAR

• Latar Belakang
Setelah cukup lama Indonesia dijajah oleh VOC dan kemudian oleh
Pemerintah Belanda, pada tahun 1870 muncul sebuah era baru. Sebelum
1870, melalui Culture Stelsel, pemerintah Hindia Belanda secara
monopolistik bertindak sebagai pelaku, namun sejak 1870 dimulai sistem baru
yaitu ekonomi liberal yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investasi
swasta asing, khususnya swasta Belanda. Sebagai contoh, Bila sebelum 1870
usaha perkebunan dikuasai oleh pemerintah kolonial, kini modal swasta
diperbolehkan melakukan pengelolaan. Sistem ekonomi liberal
menghapuskan kerja paksa dan rodi, serta memperkenalkan sistem kerja
upahan.
Pada era ekonomi liberal, modal swasta asing antara lain melakukan
usaha dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan usaha-usaha lain.
Namun, modal asing ini tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakat pribumi. Para pemodal swasta oleh Soe Hok Gie disebut
berada dalam free fight competition to exploit Indonesian. Meskipun
mereka tidak dapat membeli lahan untuk usaha perkebunan mereka
dapat menyewanya dari pemerintah atau pribumi. Hal ini diatur dalam
Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 yang sangat bermanfaat untuk
membantu terlaksananya sistem ekonomi liberal.
Penyewaan tanah seringkali dilakukan oleh pejabat desa (lurah).
Sawah yang sebelumnya adalah milik desa (tanah kas desa) dan dikelola oleh
petani disewakan kepada pihak swasta. Pihak swasta juga memanfaatkan
sistem tradisional yang ada, termasuk di dalamnya keterikatan antara pemilik
tanah dengan petani penggarap. Setelah tanah milik tuan tanah disewa oleh
swasta para petani penggarap menjadi buruh dalam perusahaan tersebut.
Namun, untuk para buruh tani (petani penggarap) sering sekali tidak
diperhatikan kesejahteraannya untuk menekan biaya produksi perusahaan.
Sewa-menyewa tanah memposisikan para lurah seolah sebagai raja-raja kecil.
Sejak 1870 jalur kereta api sebagai sarana pengangkutan bertumbuh
pesat, terutama di daerah Semarang dan Vorstenlanden. Dalam kurun waktu
lima tahun jumlah barang dagangan yang dapat diangkut dengan kereta api
naik hingga 270 persen. Kondisi ini menyatakan betapa tingginya
pembangunan jalur transportasi guna pengangkutan barang perusahaan.
Sejak tahun 1870-an pula meningkat secara drastis jumlah tanah di daerah
vorstenlanden yang disewakan kepada pihak swasta. Hal ini turut mendorong
pergerakan buruh kereta api dan pabrik gula dari tahun 1917 hingga tahun
1926.
Kondisi perekonomian Indonesia paska 1870 mengalami pertumbuhan
sangat cepat karena masuknya investasi swasta asing secara besar-besaran.
Namun hal ini juga berdampak pada kaum pribumi.
Pertumbuhan pesat lahan tebu menciptakan penderitaan baru bagi
masyarakat pribumi, seiring dengan terjadinya perubahan fungsi lahan pangan
menjadi lahan industri. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis bahan pangan,
sehingga berdampak pada naiknya harga. Kesengsaraan pribumi semakin
bertambah karena pengusaha senantiasa memegang prinsip untuk menekan
upah sekecil-kecilnya guna menghasilkan keuntungan sebesar-bersarnya,
yang antara lain diwujudkan dalam upah buruh yang rendah. Kondisi buruk
atas kelangkaan serta naiknya harga bahan pangan dan upah buruh yang
sedemikian rendah memicu rasa ketidaksenangan masyarakat pribumi
terhadap pemilik modal.
Namun dalam praktiknya, hanya anak-anak dari keluarga kaum elite
pribumi sajalah yang mampu mendapatkan pendidikan dan pengajaran itu.
Lagi pula, program Politik Etis ini kemudian bergulir tidak pertama-tama
dalam rangka menciptakan pendidikan yang layak (berkualitas) melainkan
terutama menciptakan buruh modern lokal yang murah. Penyelenggaraan
pendidikan berubah dari upaya mencerdaskan, menjadi kepentingan ekonomi
perusahaan swasta asing untuk memenuhi standar penguasaan alat-alat
produksi industri modern.
Meskipun demikian, kesempatan menempuh jalur pendidikan yang
hanya sebatas pada segelintir orang ternyata mampu melahirkan tokoh
pergerakan nasional dikemudian harinya, termasuk penggerak kaum buruh.
Semaun dan Suryopranoto
adalah contohnya. Keduanya sempat menjadi siswa sekolah Belanda, bahkan
Semaun sempat belajar di negeri Belanda, sedangkan Suryopranoto lulus hingga
sekolah tinggi Belanda untuk pribumi di Hindia Belanda. Keduanya merupakan
produk dari Politik Etis, namun mereka mampu memanfaatkan pendidikan itu
untuk mensiasati ketertindasan kaum pribumi, terutama buruh.
Meningkat pesatnya usaha-usaha swasta Barat di Indonesia pada tahun
1900- 1915 berdampak pada bertambah besarnya jumlah buruh pribumi.
Pada masa ini mulai berkembang organisasi-organisasi maupun serikat-
serikat yang berpihak pada kaum buruh, diantaranya adalah Sarekat Islam di
Semarang pada saat kepemimpinan Semaun dan Adhi Darmo yang kemudian
berkembang menjadi Personeel Fabrieks Bond yang digagas oleh
Suryopranoto.
Semaun, setelah kongres SI Semarang pada tanggal 6 Mei 1917, saat
berusia 19 tahun, resmi menjadi presiden Sarekat Islam Semarang. Pada era
kepemimpinannya berfokus pada situasi sosial yang relevan bagi kaum pribumi,
yaitu persoalan buruh. Besarnya jumlah buruh di Semarang memberikan ruang
kegiatan bagi SI Semarang antara lain berupa advokasi dan upaya-upaya
pensejahteraan, baik melalui bantuan, aksi politik, pendidikan buruh, hingga
mogok kerja guna menuntut perbaikan kesejahteraan buruh. Semaun dalam
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Henk Sneevliet, seorang penganut
komunis dari Belanda. Perjumpaan dengan Sneevliet membawanya tertarik
dengan gagasan komunisme, yang dianggapnya sesuai dengan kondisi pribumi
saat itu.
Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto merupakan anak bangswan
Yogyakarta. Ia berhasil menyelesaikan sekolah yang diperuntukkan bagi
kaum pribumi hingga tingkat akhir di Jawa. Kedekatannya dengan buruh
dimulai sejak ia menjadi kleine Ambtenaar, Assisten Wedono Sentono serta
perjumpaan secara langsung dengan kondisi perburuhan yang tidak layak di
Jawa. Ia berjuang dengan inisiatif pribadi dan pandangan ke-Jawa-an yang
diajarkan ayahnya bahwa tugas para priyayi adalah membantu serta menolong
sesama masyarakat yang tertindas. Hampir serupa dengan Semaun, ia juga
memiliki panutan dari dunia pewayangan, yakni Bimo dan Kokrosono.
Suryopranoto memimpikan dirinya dapat mendobrak masyarakat pribumi
menuju kehidupan yang lebih baik.
Semaun maupun Suryopranoto berpandangan bahwa hak atas kaum
buruh tidak terpenuhi, sehingga mereka mengeluarkan sebuah sikap serta
tindakan melalui pergerakan. Semaun bergerak melalui organisasi SI cabang
Semarang guna membangun kesadaran buruh untuk melakukan perlawanan
bilamana hak mereka tidak terpenuhi. Suryopranoto pun demikian, ia
melakukan pendidikan serta membentuk lembaga-lembaga bantuan bagi kaum
buruh.

Melalui penelitian ini, hendak dicoba dilakukan sebuah kajian


perbandingan antara pemikiran Semaun dan Suryopranoto. Keduanya adalah
tokoh gerakan buruh sejaman tetapi dengan ideologi yang berbeda, meskipun
latarbelakang kondisi sosial dan ekonomi yang dihadapi sama, masing-masing
memiliki metode dan pemikiran tentang gerakan buruh yang berbeda. Semaun
yang berhaluan Marxis menyatakan sebuah pergerakan massa secara politis
revolusioner (bahkan dengan kekerasan sekalipun), sedangkan Suryopranoto
yang berangkat dari realitas dan pemikiran ke- Jawa-an memilih pendidikan
dan aksi massa tanpa perlu dengan tujuan politis.
Hipotesis awal dari penelitian ini adalah belum terbangunnya
kesadaran masyarakat atas posisi dan alat produksinya. Hal ini menyebabkan
tidak terbangunnya kesadaran kelas yang digagas oleh kaum Marxis Eropa,
yang cita- citanya menjadi dasar pedoman Semaun dan juga Suryopranoto.
Kondisi ini menciptakan pergerakan yang amat tergantung pada tokoh.
Setelah sang tokoh atau organisasi pergerakan diberhentikan, maka gerakan
buruh pun akan terhenti.
• Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan beberapa


permasalahan yang akan di bahas antara lain:
• Mengapa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi
perburuhan?

• Bagaimana Semaun dan Suryopranoto berperan dalam gerakan


perburuhan di Indonesia pada saat itu ?
• Apa yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh yang
dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926?

• Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan akademis dari penelitian ini sebagai berikut:


• Mendeskripsikan dan menganalisis munculnya pergerakan
perburuhan yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto.
• Mendeskripsikan dan menganalisis metode yang dilakukan oleh
Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh.
• Menganalisis faktor penyebab terhentinya pergerakan buruh yang
dipimpin oleh Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926.

Sementara itu tujuan praktisnya adalah melihat sebuah sistem


pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto sehingga
mampu mempengaruhi massa buruh pada 1915-1926.

Manfaat dari penulisan ini, yaitu:

• Diketahuinya metodologi Semaun dan Suryopranoto dalam


pergerakan buruh di Indonesia yang sesungguhnya berbeda dengan
negara Eropa.
• Tersedianya refrensi metodologis organisasi pergerakan buruh, serta
menjadikanya sebuah referensi bagi pergerakan buruh bagi pergerakan
buruh saat ini.

• Metode Penelitian
Melakukan sebuah rekonstruksi sejarah bukan pekerjaan mudah
karena peristiwa masa lalu tidak terekam secara utuh dan objektif. Dalam
penulisan sejarah tidak dapat dipungkiri adanya faktor subjektif seorang
penulis dalam melihat peristiwa melalui cara pandangnya secara pribadi.
Cara pandang setiap orang berbeda-beda, dan dari perbedaan pandangan ini
diharapkan muncul gagasan yang maksimal dalam membedah peristiwa
tersebut.
Dalam penulisan sejarah dikenal adanya langkah-langkah metodis,
yang merupakan tahapan umum penyusunan historiografi. Secara berurutan
sebagai berikut: pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik sumber,
analisa, dan yang terakhir adalah penulisan atau historiografi.19 Berdasarkan
sistematisasi tersebut, penelitian ini menentukan topik perbandingan gagasan
Semaun dan Suryopranoto tentang pergerakan buruh. Setelah topik
ditentukan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan sumber sejarah
(heuristik), baik yang bersifat primer maupun sekunder. Sumber primer
adalah sumber-sumber yang berasal dari pelaku langsung atau berupa
dokumen (surat, karya tulis dan sejenisnya) dari situasi tersebut.
Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak
terlibat dari peristiwa itu namun mampu menjelaskan serta
mendokumentasikan data sumber primer. Penelitian ini berupa kajian pustaka
yang didapatkan dari karya tulis, catatan dokumentasi maupun laporan
penelitian dari, Semaun dan Suryopranoto dalam hal pergerakan buruh.
Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukanlah kritik sumber baik
secara eksternal maupun internal. Pemilihan sumber didasarkan pada
kesesuaiannya dengan topik penulisan. Langkah berikutnya adalah analisis
terhadap sumber yang telah teruji dan melalui analisis inilah kemudian
ditentukan gagasan-gagasan yang terangkum. Tahap terakhir adalah
penulisan.
Beberapa contoh sumber primer yang digunakan adalah:

• Karya tulis, artikel di media massa, dan surat Suryopranoto yang


dirangkum dalam buku Anak Bangsawan Bertukar jalan karya
Budiawan.

• Hasil wawancara antara Soe Hok Gie dengan Semaun yang terangkum
dalam buku Lentera Merah
• Kumpulan tulisan, artikel di media massa, dan surat Semaun dalam
buku Bebareng Bergerak karya Soewarsono.
• Kumpulan data-data baik luas peralihan tanah dari petani kepada
penguasaha swasta di beberapa tempat di Jawa Tengah, panjang rel
serta jumlah beban angkutan kereta api di Semarang, jumlah produksi
gula di Yogyakarta dan jumlah sekolah beserta muridnya dari tahun
1862-1920 dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi.

Beberapa contoh sumber sekunder yang digunakan adalah:


• Surat dan foto semaun di Belanda yang sudah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dan ejaan modern dalam buku Di Negeri Penjajah
karya Harry A. Poeze.
• Hasil penelitian Soe Hok Gie mengenai Semaun dan SI.

• Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Semaun karya


Soewarsono.
• Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Suryopranoto
karya Budiawan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN


AWAL ABAD XX
Banyak hal yang memicu lahirnya pergerakan buruh. Dalam konteks
ini adalah munculnya ekonomi liberal. Setelah ekonomi liberal dimunculkan
pada tahun 1870, terjadi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat
Semarang dan Yogyakarta pada khususnya. Hal ini membawa dampak pada
sektor industri, tanah dan tentunya buruh.
Hindia Belanda berubah menuju arah modernitas secara sistematis.
Hal ini ditunjukkan dengan diperkenalkannya sistem gaji pada pribumi.
Proses produksi yang sebelumnya dikuasai oleh negara kini dipercayakan
kepada pihak swasta. Selain itu diatur pula alat produksi yaitu tanah dengan
munculnya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memuat aturan
penyewaan tanah dan Undang-Undang Pajak Kepala 1882 yang kemudian
menjadi pendorong lahirnya pasar tenaga kerja bebas (wage labourer), sampai
sistem mengenai hasil produksi swasta yang setiap tahunnya meningkat
hingga eksport ke Eropa, perbaikan infrastruktur berupa pelabuhan dan jalan.
Perubahan menuju modernitas juga terlihat dari watak kolonial yang
mulai memperhatikan permasalahan penyesuaian penduduk pribumi dalam
sistem modern kolonial, meskipun sesungguhnya pengenalan sistem modern
tersebut adalah upaya menciptakan buruh yang mampu menjalankan dan
memperkenalkan mesin-mesin modern. Berdasarkan laporan Mindere
Welvaart Commissie, terjadi penurunan tingkat kemakmuran pribumi pada
akhir abad XIX, sehingga memberikan solusi agar pemerintah kolonial
membangun sistem modern ini yang kemudian dikenal dengan Politik Etis.
Modernitas juga tampak dari lahirnya kelompok kelas menegah
(middle class) pribumi yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya.
Kelompok ini merupakan masyarakat prakapitalis yang menyandarkan
penghidupannya dari gaji. Meski demikian, fungsi awal dari kelompok ini
adalah pengisi pasar tenaga kerja yang memiliki keahlian. Namun kemudian,
masyarakat kelas menengah yang sebagian besar adalah kaum terpelajar ini
yang mengawali perubahan sosial dengan dilakukannya pergerakan.

• Kereta Api

Perubahan sosial dalam masyarakat pribumi salah satu penyebabnya


adalah munculnya kereta api. Pesatnya pertumbuhan kereta api menjadi salah
satu acuan modernisasi di Hindia Belanda terutama di pulau Jawa. Media
transportasi merupakan sarana pendukung pertumbuhan ekonomi pengusaha
lokal maupun Belanda. Pertumbuhan industri kereta api jalur Semarang-
Vorstenlanden merupakan contohnya. Semakin luas jarak tempuh dan
meningkatnya jumlah angkutan membuat industri kereta api semakin
membutuhkan banyak pekerja.
Fungsi lain dari hadirnya angkutan kereta api adalah sebagai sarana
penunjang ekonomi dalam mengangkut barang. Dengan peningkatan
jumlah barang maupun hasil bumi, maka diperlukan pula jalur kereta api
yang memadai.
Tabel berikut ini adalah data untuk melihat perkembangan luas
areal kereta api dan peningkatan jumlah angkutan baik manusia maupun
barang. Data-data diperoleh dari Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906,
dan 1916.
Tabel II.1
Peningkatan Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Angkutan Kereta
Api

Tahun Kilometer Penumpang Penghasilan dari


Penumpang Barang

(dalam ribu (dalam ribu


gulden) gulden)
1895 1.319 5.759.000 3.054 6.588
1900 1.609 9.738.000 4.022 9.743
1905 1.704 13.361.000 4.979 10.216
1910 2.174 28.420.000 8.825 15.738
1915 2.448 42.579.000 13.685 22.194
Sumber: Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916

• Peralihan Fungsi Tanah


Pada tahun 1880-1915, produk terpenting dalam pertanian pribumi
adalah beras atau padi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat
lokal mengkonsumsi nasi yang berasal dari padi. Selain itu, kondisi geografis
serta iklim mendukung tanaman ini, sehingga para petani pribumi memilih
padi sebagai tanaman pokok.
Ketertarikan pemodal swasta untuk menanam tebu di Hindia Belanda
guna mendapatkan keuntungan besar dalam pasar Eropa didukung oleh
pemerintah kolonial. Pada awal tahun 1910-an pemerintah kolonial
memunculkan kebijakan berupa ketentuan harga maksimal pembelian padi
dari petani dan ketentuan jumlah maksimal padi yang disimpan. Tentunya
kondisi ini sangat menyudutkan petani, baik dari segi penghasilan maupun
pemenuhan kebutuhan. Kebijakan lainnya adalah dilakukannya monopoli
pembelian dan penjualan padi sehingga mempersempit peluang pribumi kelas
menengah untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan
adanya sebuah upaya mencabut secara tidak langsung hak pribumi guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Di lain pihak kebijakan ekonomi kolonial semakin menguntungkan
pengusaha gula swasta. Dilakukannya perluasan lahan tebu mempersempit
lahan pertanian padi. Kondisi ini menciptakan kesulitan baru bagi masyarakat
pribumi. Harga beras yang rendah, membuat para pengusaha swasta melirik
tebu sebagai solusi. Kondisi berbeda dirasakan masyarakat pribumi yang
kebutuhan hidup secara ekonomi ditempuh dengan menanam padi secara
terpaksa lahannya disewakan sehingga terjadi kelangkaan padi yang
berdampak pada naiknya harga beras. Para petani padi yang awalnya
mengelola padi tetapi kemudian beralih menjadi buruh tebu, ternyata
mendapatkan upah yang tidak mampu mencukupi pemenuhan atas naiknya
harga beras di pasar. Di lain pihak, kurangnya bahan makanan berupa beras,
tidak mempengaruhi kehidupan bangsa Barat di Indonesia kala itu. Hal inilah
yang menyebabkan pemerintah kolonial tidak merasa perlu untuk
mempertahankan ataupun memperluas areal tanaman padi.
Kehidupan petani pada masa ini tidak lebih daripada saat mengelola
lahan pertaniannya sendiri. Areal perkebunan swasta yang makin lama
semakin meluas mengakibatkan penderitaan bagi petani pribumi, dari
rendahnya penghasilan hingga krisis pangan. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa kehidupan petani semakin terpuruk.
Peralihan fungsi lahan padi menjadi lahan tebu menjadikan harga
beras naik. Para petani padi yang bekerja pada kelas menengah lokal beralih
menjadi buruh di perkebuan tebu dengan gaji yang rendah sehingga kesulitan
memenuhi kebutuhan untuk membeli beras yang semakin langka dan
harganya terus melonjak. Pada tahun 1918, akibat kelangkaan dan harga
beras yang tinggi, di banyak tempat di Jawa muncul keadaan di mana
masyarakat harus antri saat membeli beras. Di Pekalongan antrian terjadi
sepanjang kira-kira satu kilometer, tidak jarang pula terjadi perkelahian dalam
antrian karena berebut tempat untuk lebih dahulu mendapatkan beras.
Kondisi tersebut juga menyebabkan terjadinya kematian semakin
meluas pada tahun 1919. Sulitnya mendapatkan beras dan makanan layak
mengakibatkan masyarakat terpaksa mengkonsumsi palawija, sayur-mayur
dan bahkan ada yang memakan bonggol pisang. Secara umum, karena
kesulitan ekonomi, buruh dan petani kecil banyak yang hanya makan satu kali
sehari.
Di samping kematian, hal lainnya adalah terjadinya penyakit akibat
kekurangan gizi seperti beri-beri, TBC, dan influenza. Kondisi terburuk
terjadi di Vorstenlanden terutama Yogyakarta,yang pada tahun 1919 angka
kematiannya mencapai 25.956 jiwa. Pada tahun tersebut penduduk
Yogyakarta berjumlah
1.313.486 orang. Untuk melihat angka kematian penduduk Yogyakarta pada
kuartal pertama tahun 1919 bisa diliihat pada tabel berikut ini .

Tabel II. 2
Jumlah Kematian Penduduk

Afdeeling Jumlah Penduduk Angka Kematian


Yogyakarta 755.472 10.623
Kulonprogo 281.216 5.436
Gunungkidul 276.798 9.897
Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919

Pada tabel II.2, meningkatnya angka kematian di Yogyakarta


disebabkan karena kekurangan gizi yang disebabkan kurangnya jumlah beras
dan munculnya wabah penyakit seperti beri-beri, TBC, dan influensa.
Pada kuartal kedua tahun 1919 terjadi penurunan jumlah kematian, hal
ini desbabkan karena wabah penyakit telah mereda. Data selanjutnya adalah
hasil penelitian kuartal kedua tahun 1919 berupa perbandingan antara jumlah
angka kelahiran dan kematian di daerah yang sama, seperti pada tabel
berikut:
Tabel II.3
Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk

Afdeeling Angka kematian Angka Kelahiran


Yogyakarta 7.238 4.759
Kulonprogo 2.241 1.255
Gunungkidul 3.089 1.680
Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919

Melalui data mengenai jumlah angka kelahiran dan kematian pada


tabel II.2 dan II.3 dapat memperlihatkan terjadinya peningkatan jumlah
kematian masyarakat pribumi. Surat kabar Sri Mataram Yogyakarta pada 4
September 1919 melampirkan data tabel Tabel II. 2 berdasarkan penelitian
pada kuartal pertama tahun 1919, sedangkan Tabel II.3 berdasarkan penelitian
pada kuartal kedua tahun 1919. Meningkatnya kematian penduduk
disebabkan karena daerah potensial penghasil pangan yakni Jogjakarta mulai
beralih menjadi lahan perkebunan. Kulonprogo dan Gunungkidul merupakan
daerah yang bergantung pada pasokan hasil pangan dari Yogyakarta. Namun,
karena terjadi peralihan fungsi lahan di Yogyakarta dari lahan persawahan
menjadi gula maka terjadi penurunan hasil pangan sehingga Kulonprogo dan
Gunungkidul terkena dampak yakni krisis pangan.
Tentunya meningkatnya jumlah kematian masyarakat pribumi ini tidak
dapat dilepaskan dari permasalahan kelangkaan bahan pangan dan kondisi
kesejahteraan yang tidak layak. Krisis pangan yang terjadi menyebabkan gizi
buruk dan masyarakat mudah terjangkit penyakit, yang paling mengenaskan
adalah kondisi pada kuartal pertama tahun 1919 karena krisis pangan yang
bersamaan dengan datangnya wabah penyakit.
• Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta

Fenomena kemunculan pabrik gula di Hindia Belanda dipengaruhi


oleh kondisi di Eropa. Setelah konvensi Brussels tahun 1902 Eropa mulai
membuka pasaran dunia bagi tebu. Hal ini membuat para pengusaha swasta
Belanda tertarik dengan keuntungan dari potensi Hindia Belanda yang mampu
menghasilkan tebu dengan kualitas baik.
Terbukanya pasar gula di Eropa menyebabkan pertumbuhan
perkebunan tebu di Hindia Belanda meningkat secara signifikan. Banyak
pengusaha swasta Belanda mengalihkan lahan perkebunan mereka dari non
tebu menjadi tebu. Pertumbuhan ini pun kemudian menggusur lahan-lahan
pertanian padi, sehingga berdampak pada kurangnya hasil padi guna
kebutuhan pangan masyarakat pribumi. Berdasarkan data dari Koloniaal
Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911 terjadi peningkatan jumlah produksi gula
di karesidenan Surakarta, Boyolali, Klaten, Sragen, Mangkunegaran dan
Wonogiri.
Tabel berikut ini menunjukkan adanya peningkatan produksi gula
secara bertahap.
Tabel II.4
Peningkatan Jumlah
Produksi Gula
Tahun Kota / Gula (dalam ribuan
pikul)
Surakarta Boyolal Klaten Sragen Wonogir Mangkunegaran
i i
1890 - 103 203 26 - 48
1900 66 41 520 98 - 102
1910 91 112 829 183 - 195
Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911

Kondisi pertumbuhan perkebunan tebu juga berdampak pada


perluasan lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan tebu. Data
berikut ini bersumber dari angka-angka sejak tahun 1862 hingga 1864 yang
diambil dari Rossenschon, “De Westerse op Java,” halaman 450. Angka-
angka dari tahun 1875 dan seterusnya berasal dari Koloniaal Verslag 1876,
1881, 1891, 1901, 1911, 1916 dan 1921.
Tabel II.5
Jumlah Tanah Yang Disewakan di Yogyakarta

Tahun Dalam bau


1880 88.000
1890 93.000
1895 93.000
1900 89.000
1905 85.000
1910 95.000
1915 97.000
1920 102.000
Pada data tersebut diperlihatkan sebuah kenaikan jumlah tanah yang
disewakan secara signifikan. Bila melihat dari tahun 1880 sampai 1890
terjadi kenaikan penyewaan lahan sejumlah 5000 bau. Meskipun jumlah ini
tetap hingga tahun 1895 dan turun sejumlah 4000 bau pada tahun 1900 dan
kembali turun kembali sejumlah 4000 bau pada 1905. Namun pada tahun
1905 sampai tahun 1910 terjadi kenaikan sejumlah 10.000 bau bahkan pada
tahun 1920 terjadi kenaikan hingga 7000 bau.
Berdasarkan data jumlah tanah yang disewakan oleh masyarakat
pribumi (yang secara umum difasilitasi oleh lurah) diketahui bahwa luas tanah
milik pribumi yang dikelola secara subsisten guna kebutuhan pribumi sendiri
semakin kecil. Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa pertumbuhan
swasta asing semakin meningkat.15
Salah satu faktor yang menyebabkan meningkat dan mudahnya
penyewaan lahan pertanian kepada pihak swasta Belanda menjadi perkebunan
tebu adalah melalui peranan lurah. Dengan cara menyuap para lurah dengan
uang 2,50 gulden untuk setiap baunya terjadi kemudahan untuk mendapatkan
lahan. Karena “suap” inilah di desa-desa banyak terjadi pemaksaan
penyewaan tanah.
Dalam masyarakat agraris tradisional, tanah sering dikonsepsikan
sebagai milik raja. Tanah bukan semata-mata sebagai sumber nafkah namun
juga sumber . Berdasarkan pengertian tersebut, Belanda yang datang dan
melakukan kolonialisme mempergunakan sistem tersebut untuk menguasai
tanah, yakni menguasai para raja dan secara sistematis tanah yang berada di
bawah kekuasaan raja akan dikuasai oleh Belanda.
Namun, dari data atas tingkat kematian, jumlah produksi gula hingga
luas lahan yang beralih fungsi menunjukkan sejumlah besar tanah milik
masyarakat adat sepenuhnya telah disewa oleh pihak swasta. Luas tanah
pertanian pangan yang semakin sempit, dan luas perkebunan tebu yang
semakin membengkak berakibat pada terjadinya kelangkaan pangan (krisis
pangan) dan meningkatnya jumlah kematian penduduk pribumi.

• Hadirnya Modernisasi

Bersamaan dengan dimulainya abad ke XX, hadir sebuah zaman baru


di Hindia Belanda, yakni zaman etis. Dalam periode ini muncul kata-kata
“kemajuan”, seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling
(perkembangan), dan opvoedening (pendidikan).
Pada awal bulan Agustus 1899 Conrad Theodor van Deventer menulis
sebuah artikel berjudul “Een Eereschlud” (“Hutang Budi”). Artikel ini
diterbitkan oleh majalah De Gids. Melalui artikel tersebut dinyatakan bahwa
bangsa Belanda telah memperoleh keuntungan dari bangsa Indonesia (Jawa)
sejak 1867 hingga 1899 kira- kira sejumlah 200 juta gulden. Bagi van
Deventer hal ini merupakan sebuah hutang kehormatan, sebuah hutang harus
dibayarkan. Menurut van Deventer hutang tersebut dapat dibayarkan melalui
cara memperbaiki kehidupan ekonomi dan memperhatikan nasib rakyat
Hindia Belanda. berdasarkan pengamatannya, sejak 1885 penduduk
bumiputera mengalami proses pemiskinan yang kian mendalam. Usulan van
Deventer dalam artikel tersebut adalah mengembalikan utang melalui
program pendidikan dan pembangunan ekonomi bumiputera.
Kritik van Deventer hanyalah salah satu dari sekian kritik bagi
pemerintah Belanda kala itu. Hal ini kemudian direspon oleh parlemen
Belanda dengan memutuskan sikap melalui program Politik Etis. Hadirnya
zaman etis ditandai dengan bermunculannya sekolah-sekolah. Kritik yang
melahirkan Politik Etis ini awalnya berasal dari internal negeri Belanda,
sebagai bentuk keprihatinan terhadap ketidaklayakan sikap pemerintah
kolonial atas penduduk pribumi. Berdasarkan kritik tersebut, parlemen
Belanda memutuskan untuk membentuk sebuah program balas budi. Namun,
seiring berjalannya waktu, langkah kolonial ternyata tidak sebatas pada upaya
balas budi yang beritikad baik, tetapi memanfaatkan program etis
sebagai media pemenuhan tenaga kerja murah. Lagi pula, kelompok
yang dapat mengenyam pendidikan praktis terbatas pada kaum menengah
yang umumnya memiliki cukup uang.
Awal pelaksanaan Politik Etis dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah
sekolah bagi masyarakat pribumi. Merebaknya sekolah secara tidak langsung
juga dimanfaatkan oleh pihak swasta Belanda untuk mendapatkan buruh-
buruh perindustrian yang dapat mengoperasikan teknologi modern. Pada 1893
pemerintah membentuk dua jenis sekolah dasar untuk bumiputera, Eerste
Klass Inladsche Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Satu) untuk anak-anak
priyayi , dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka
Dua) untuk anak-anak pribumi dari kelas sosial yang lebih rendah.
Meluasnya sekolah bagi pribumi juga meningkatkan jumlah murid
pribumi di dalamnya. Sekolah bagi kaum pribumi yang awalnya dibentuk
guna menghasilkan tenaga kerja murah ini kemudian secara bertahap
melahirkan kaum terdidik yang kritis terhadap kebijakan kolonial dan
bersedia melakukan usaha-usaha pembangunan kesadaran pada masyarakat
pribumi. Jumlah kaum terdidik yang bersekolah pada sekolah Belanda setiap
tahun jumlahnya semakin meningkat. Jumlah sekolah Bumiputera Angka Dua
dan jumlah murid, berdasarkan data dari S. L. van der Wal, ed, Het
Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900- 1940 (Groningen: J.B.
Wolters, 1963) dinyatakan sebagai berikut.
Tabel II.6
Jumlah Sekolah dan Jumlah Murid di Sekolah Negara dan Swasta

Jumlah Jumlah Murid


Sekolah
Tahun Negara Swasta Total Negara Swasta Total
1900 551 836 1.387 64.742 36.431 98.173
1905 674 1.286 1.942 95.075 66.741 161.816
1910 1.021 2.106 3.127 133.425 99.204 232.629
1915 1.202 2.198 3.400 186.300 134.644 320.974
1920 1.845 2.368 4.213 241.414 116.556 357.970
Sumber: Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940
(Groningen: J.B. Wolters, 1963).
Sedangkan berdasarkan data dari Koloniaal Verslag tahun 1896,
18906, 18911, dan 1916. Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan
Madura sebagai berikut.

Tabel II.7
Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura

Tahun Jawa/Madura Surakarta Yogyakarta


1895 391 15 13
1905 722 19 40
1910 1.088 41 111
1915 1.237 61 109
Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1896, 1906, 1911, dan 1916

Pada tahun 1900, Hoofden Scholeen yang mendidik para calon


pegawai priyayi pribumi disempurnakan menjadi Opleiding School Voor
Inladsche Ambtenaren (OSVIA). Pada waktu yang bersamaan, sekolah untuk
dokter Jawa yakni Indische Arsten dikembangkan menjadi Opleiding van
Indische Arsten atau STOVIA. Pada 1902, di Bogor didirikan sekolah
pertanian menegah untuk pribumi bernama Inlandsche Lanbouw School. Pada
1907, jumlah sekolah dasar dengan sistem pendidikan Barat berjumlah 675
sekolah, namun karena desakan kaum priyayi pribumi maka pemerintah
kolonial menyatakan akan membangun lagi 700 sekolah. Pada tahun 1907,
Sekolah Angka Satu atau Eerste Klasse School dikembangkan menjadi
Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS) dengan lama pendidikan 7 tahun.
Jumlah sekolah dengan pendidikan tradisional tanpa pelajaran bahasa Belanda
yang tercatat pada tahun 1912 sejumlah 2.500 buah.
Program pokok Politik Etis adalah Irigasi, Transmigrasi dan Edukasi.
Dalam konsepnya ketiga program tersebut merupakan upaya untuk
peningkatan ekonomi, mendistribusikan kepadatan penduduk, dan penerapan
pendidikan. Meskipun demikian, ternyata program-program tersebut juga
hanya menjadi perpanjangan tangan perusahaan swasta. Program irigasi
dalam implementasinya hanya menguntungkan perkebunan swasta bukan
pribumi, transmigrasi (umumnya dari Jawa ke Sumatra dan Kalimatan)
cenderung sebagai upaya pemenuhan tenaga kerja buruh perusahaan swasta
daripada upaya distribusi kepadatan penduduk, dan edukasi secara umum
dipandang sebagai usaha untuk mengenalkan teknologi industri kepada calon
buruh. Namun, dari ketiga program itu, edukasi nampak mengalami kemajuan
yang cepat.26
Meningkatnya jumlah sekolah dan terbukanya pendidikan bagi
masyarakat pribumi, meskipun masih sebatas kaum golongan atas dan
menengah saja, memberikan harapan baru bagi masyarakat. Dampak program
pendidikan tidak sebatas pada masyarakat bisa membaca, menulis dan
berhitung, tetapi juga munculnya menjadi pegawai-pegawai administrasi
kolonial dari kalangan pribumi baik di pemerintahan maupun perusahaan
swasta. Program etis juga memunculkan kesadaran baru bagi masyarakat
pribumi.
Pendidikan bagi publik memperkenalkan sebuah pandangan baru.
Orang- orang pribumi mulai sadar dan peka apa yang disebut kolonialisme.
Mereka semakin menyadari bahwa cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah
Belanda di Hindia Belanda sesungguhnya merupakan bentuk penindasan,
yang oleh masyarakat Eropa sendiripun kolonalisme pada masa itu ditolak.
Melalui pendidikan yang semakin meluas inilah kemudian masyarakat
pribumi menemukan cara baru dalam melakukan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial.
Dengan menjamurnya sekolah dan makin bertambahnya kaum
terdidik, maka kesadaran masyarakat pun meningkat. Berdasarkan catatan
yang diperoleh dari perkebunan tebu, terjadi penurunan angka protes dengan
cara membakar lahan tebu menjadi protes melalui jalur keorganisasian,
menjemur diri dan mogok kerja sebagai ungkapan perlawanan buruh terhadap
majikan. pada tahun 1907, di luar daerah Vorstenlanden aksi pembakaran
tercatat 2.300 kali, dengan areal yang dibakar seluas 4.700 bau lebih. Pada
1912 aksi serupa tercatat 2.700 kali dengan areal yang dirugikan sejumlah
6.650 bau. Setelah lahirnya organisasi serikat pekerja, aksi pembakaran
mengalami penurunan. Pada 1913 jumlah aksi pembakaran turun menjadi
1.900 kali pada areal seluas 5.300 bau, kemudian pada 1914 turun lagi
menjadi 1.500 kali aksi dengan luas areal 4.100 bau. Jumlah ini terus
menurun hingga pada 1917 hanya terjadi 886 kali pada areal seluas 1.925
bau.28
Dalam catatan perusahaan gula dinyatakan bahwa sejak hadirnya SI
terjadi penurunan aksi. Lahirnya organisasi serupa bernama Boedi Utomo,
dan sejenisnya (termasuk SI) menanamkan sikap baru dalam menyampaikan
aksi. Mereka umumnya mengawali dengan menggunakan negosiasi. Bila hal
yang diinginkan tidak terwujud, maka barulah aksi massa dikerahkan.
Lahirnya organisasi-organisasi pergerakan awal ini merupakan embrio bagi
lahirnya gerakan nasionalisme.
Dengan hadirnya era modernisasi inilah muncul kelompok
menengah pribumi, melalui cara mendidik para calon tenaga kerja yang
terlatih. Meskipun telah hadir sarana transportasi, pendidikan, dan organisasi
massa bagi kaum pribumi, namun usaha dalam bidang ekonomi masih sulit.
Kondisi ini disebabkan oleh kuatnya monopoli dan penguasaan modal oleh
pihak Belanda.
Politik Etis dapat dikatakan gagal, sebagai akibat dari munculnya
kerjasama kolonial antara kekuatan ekonomi dan pemerintahan. Ekspansi dan
konsentrasi kekuatan dipegang oleh beberapa pihak saja, sehingga pengaruh
pemilik modal terhadap pemegang kekuasaan cukup besar . Menjadi hal yang
wajar ketika banyak kebijakan bersifat politis namun menguntungkan kaum
pemodal.
Mendekati akhir abad XIX, yaitu pada tahun 1897, mulai bermunculan
organisasi perburuhan. Pada awalnya organisasi perburuhan ini sebagian
besar diprakarsai oleh para buruh Belanda yang bekerja di Hindia Belanda.
Beberapa organisasi tersebut adalah Cultuurbond, Handelsbond dan
Zuikerbond. kemunculan mereka disebabkan karena para pegawai Belanda di
negara asalnya memiliki hak atas pekerjaan, sehingga mereka bebas
membentuk organisasi. Pada awalnya organisasi pekerja yang dibuat oleh
pegawai tinggi Belanda bersifat ekslusif. Namun kondisi mulai berubah
setelah tahun 1900-an. Pada awalnya pekerja Eropa mendominasi serikat
pekerja. Namun, semakin bertambah banyaknya jumlah pekerja pribumi dan
semakin sedikitnya jumlah pekerja dari negeri Belanda berpengaruh terhadap
organisasi serikat pekerja. Para pegawai Belanda mengangap perlunya sebuah
kesatuan yang sama serta memperkuat jumlah massa buruh dalam organisasi,
sehingga dilibatkanlah buruh-buruh pribumi di dalamnya. Kondisi ini yang
kemudian menjadi embrio bagi pergerakan buruh pribumi di Hindia Belanda.
Pada periode 1900-1926 pergerakan buruh yang muncul umumnya
menuntut perbaikan nasib (kesejahteraan) bagi para pekerjanya. Pada awal era
Politik Etis muncul Semaun dan Suryopranoto dalam organisasi pergerakan
pribumi yang kemudian dalam perjalanannya melakukan transformasi
organisasi yang bersifat memperjuangkan nasib kaum pekerja pribumi secara
politis maupun secara organisasi massa.

E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik


Bila pada tahun 1900 hanya kelompok priyayi yang menjadi
administrator, maka pada tahun 1914 kelompok elit baru bertambah dengan
sejumlah pegawai pemerintah, teknisi dan cendekiawan. Hadirnya kaum elit
baru ini sesungguhnya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah kolonial akan
penambahan jumlah tenaga kerja terdidik dalam setiap bidang pekerjaan.
Lahirnya kaum terdidik menciptakan perubahan baru. Tirto Adi Suryo
seorang keturunan bangsawan yang merupakan lulusan STOVIA, tercatat
sebagai pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar. Ia menerbitkan
Medan Prijaji, sebuah jurnal yang berisikan berita harian tentang kehidupan
masyarakat. Namun kemudian, karena tergerak melihat situasi sosial yang
kian buruk bagi masyarakat pribumi, ia menuliskannya dalam surat kabar
tersebut. Dengan tulisan-tulisannya yang dimuat di Medan Prijaji banyak
kaum intelektual pribumi lainnya tergerak untuk ikut dalam pergerakan.
Melalui surat kabar ini, pergerakan nasional dimulai.

Tirto sendiri kemudian bergerak lebih dalam dengan membentuk


Serikat Dagang Islam di Bogor pada 1911. Pergerakan Tirto dilakukan
bersama dengan rekannya asal Surabaya yaitu H.O.S. Tjokroaminoto. Mereka
berdua mendirikan SDI (Sarekat Dagang Islam) yang kemudian berkembang
pesat sebagai organisasi awal di Indonesia.
Selain SDI, hadir pula organisasi priyayi Jawa bernama Budi Utomo
(BO) di Jogjakarta pada 10 Oktober 1908. Organisasi ini masih bersifat
kedaerahaan, namun merupakan organisasi yang memiliki struktur yang
sesuai dengan organisasi modern. Organisasi ini terdiri dari mahasiswa asal
Jawa yang berkumpul dan membicarakan masa depan masyarakat Jawa.
Secara umum, organisasi BO dan SDI menjadi pemicu bagi lahirnya
organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Termasuk
Suryopranoto yang terlahir dari BO, dan Semaun yang terlahir dari SDI yang
kemudian berubah menjadi SI. Suryopranoto dan Semaun adalah dua tokoh
pergerakan yang memfokuskan pada kajian perburuhan pribumi.

2.2 SEMAUN DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH

Tahun 1900 hingga 1919 merupakan awal pergerakan buruh di


Indonesia. Kondisi ekonomi dan politik yang semakin menekan masyarakat
pribumi pada masa tersebut menjadikan rasa perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda semakin menguat. Pada era 1900-an ini hadir pula
tokoh-tokoh pergerakan buruh. Satu diantaranya adalah Semaun.

• Latar Belakang Semaun


Semaun dalam beberapa catatan sejarah mulai dikenal ketika ia
menjabat sebagai presiden Sarikat Islam (SI) Semarang pada tanggal 6 Mei
1917. Semaun lahir di kota kecil Tjurah Malang, Mojokerto, Jawa Timur
sekitar tahun 1899.
Semaun merupakan anak dari seorang pegawai rendahan bernama
Prawiroatmodjo. Ayah Semaun merupakan pegawai rendah di jawatan kereta
api, tepatnya seorang tukang batu. Semaun sempat bersekolah Tweede Klas
(sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa
Belanda dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan
sekolah dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih
tinggi. Kondisi

• Awal Karir Politik

Bermula dari usia 15 tahun, Semaun muda memulai karir politiknya.


Tepatnya pada tahun 1914, Semaun mulai bergabung dalam organisasi Sarekat
Islam (SI) cabang Surabaya dan segera menjadi sekretaris cabang tersebut.
Dalam organisasi ini Semaun kemudian menjadi aktif dalam serikat buruh
kereta api. Aktivitas Semaun sebagai penggerak organisasi buruh kereta api
membuatnya tertarik pada upaya kaum revolusioner Eropa atas nama kaum
buruh Indonesia yang digerakan oleh Sneevliet. Perjumpaan Semaun diawali
ketika Sneevliet menjabat di VSTP (Vereeniging voor Spoor-en
Tramwegpersoneel. Melalui perjumpaan tersebut ia kemudian bergabung
dalam Indische Sociaal- Democratische Vereeniging, organisasi sosial
demokrat Hindia Belanda (ISDV) cabang Surabaya yang didirikan Sneevliet
dan Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api
dan trem (VSTP) cabang Surabaya pada tahun 1915. Satu tahun kemudian
(1916), Semaun menjabat sebagai wakil ketua cabang ISDV Surabaya, saat itu
usianya 17 tahun.
Dalam catatan Arnold C. Brackman dalam buku Indonesian
Communism dinyatakan bahwa ada hal lain yang sesungguhnya terjadi, yakni
sebuah kesulitan yang dihadapi oleh Sneevliet dalam melancarkan propaganda
terhadap kaum pribumi, adanya kendala bahasa, agama dan ras. Sneevliet
merasa perlu agar paham Marxisme mampu menembus organisasi SI. Dengan
demikian, Sneevliet mencoba melakukan metode baru ,“bloc within” yakni
keanggotaan ganda, baik dalam ISDV maupun SI.4 Kondisi ini terbantu
dengan hadirnya Semaun di Semarang pada 1916.

Tahun 1916, Semaun meninggalkan pekerjaannya di Staatspoor. Hal


ini disebabkan karena Semaun diangkat menjadi propagandis di VSTP
Semarang. Dengan kemampuan bahasa Belanda yang baik, Semaun berhasil
memperluas hubungan dan pergaulannya melalui media massa. Kedekatan
Semaun dengan Sneevliet juga menjadikan faktor yang menyebabkan dirinya
menempati posisi penting pada organisasi tersebut. Kemampuan dan
kepandaian Semaun dalam berbicara tentang organisasinya mendapatkan
simpati luas dari banyak kalangan, terutama buruh. Pada saat yang bersamaan
juga mulai bermunculan anggota muda SI yang bersimpati pada Semaun,
karena selain anggota ISDV dan VSTP ia juga merupakan anggota SI
Semarang. Dengan kemampuan bicaranya serta propaganda media massa
milik organisasi SI, anggota SI bertambah jumlahnya. Pada 1916 jumlah
anggota SI 1.700 orang dan pada 19 berlipat hingga 20.00 orang Saat berada
di Semarang, Semaun menjadi redaktur majalah VSTP berbahasa Melayu.
Selain itu ia juga menjadi redaktur di berbagai media massa lainnya seperti
Sinar Djawa dan Sinar Hindia (keduanya Koran Sarekat Islam Semarang).
Posisinya sebagai propagandis menjadikannya ahli dalam bidang
pengorganisasian masyarakat melalui media massa. Kejelian dan
kecerdasannya dalam melakukan kritik dan intrik serta keberaniannya
berkomentar atas kebijakan-kebijakan kolonial membuatnya semakin dikenal.
Pada tahun 1918, Semaun menjabat sebagai dewan pimpinan di
Sarekat Islam. Kondisi perburuhan di Semarang yang umumnya sama dengan
kondisi perburuhan lainnya di pulau Jawa menjadi perhatian khusus.
Keprihatinan atas ketertindasan yang terjadi di dalam tubuh masyarakat buruh
menjadikan Semaun berupaya melakukan advokasi serta menggerakkan
pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan cukup berhasil dilaksanakan pada
awal tahun 1918. Peristiwa tersebut dihadiri oleh 300 pekerja industri furnitur.
Pada tahun 1920, pemogokan besar-besaran di kalangan buruh kembali terjadi,
kali ini oleh para buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang, yang
berhasil memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan
uang makan 10 persen.

• Semaun dan Pergerakan Buruh

Semaun, seorang pemuda yang sempat bekerja sebagai pegawai di


perusahaan kereta Api Surabaya, sebuah perusahaan yang
membawanya bergabung dalam serikat pekerja. Bermula sebagai juru tulis
(klerk), Semaun mulai mengikuti organisasi pekerja. Perhatiannya pada kaum
pekerja awalnya tampak biasa-
biasa saja, namun seiring dengan perjalanan waktu, di mana ia makin dewasa
dan semakin kritis terhadap persoalan-persoalan kaum pekerja, Semaun terus
bergerak aktif menyuarakan kondisi ketertindasan buruh. Semaun dari usia 14
tahun hingga 27 tahun, secara konsisten mengabdikan dirinya guna
memperjuangkan nasib kaum buruh.
Berdasarkan catatan Mas Marco Kartodikromo dalam tulisan “ Korban
Pergerakan Rakyat” pada surat kabar Hidoep tahun 1924 diketahui bahwa,
penampilan Semaun dalam berbicara politik adalah pada tahun 1915 di
Vergadering dari perhimpunan VSTP Logegebouw Semarang.
Nama besar Semaun dimulai sejak masih muda. Pada 6 Mei 1917
ketika masih berusia 19 tahun, ia telah terpilih menjadi Presiden Sarekat Islam
Semarang. Salah satu hal yang membuat Semaun terpilih sebagai ketua SI
Semarang bermula dari permohonannya, sebagai propagandis, agar pengurus
SI Semarang mengadakan debat terbuka mengenai posisi SI Semarang
terhadap penahanan Mas Marco karena tulisan “sama rata sama rasa”. Dalam
acara debat yang dilangsungkan pada 14 Maret 1917, terjadi perdebatan antara
Semaun dengan Mohammad Joesoef selaku ketua SI Semarang di hadapan
para anggota SI. Akhir dari perdebatan bukan hanya menghasilkan sebuah
sikap bahwa SI Semarang akan mendukung Mas Marco melalui Commite
voor de Drukpersvrijheid, namun juga menjadi faktor penting yang
menghantarkan Semaun sebagai ketua SI Semarang.
Di bawah pimpinan Semaun banyak anggota SI yang berasal dari kaum
buruh dan rakyat kecil. Pergantian kepengurusan SI ini merupakan bagian
pertama dari pergerakan Sarekat Islam Semarang, dari pergerakan kaum
menengah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Hal ini menjadi penting,
karena awal dari perubahan tersebutlah yang akan membawa Indonesia
menuju arah gerakan Marxisme untuk pertama kalinya.
Meningkatnya sifat revolusioner Sarekat Islam Semarang tidak saja
dipengaruhi oleh pergantian kepengurusan saja, namun juga oleh kondisi
sosial kemasyarakatan yang ada di Hindia Belanda kala itu. Sejak masuknya
modal swasta asing ke tanah Hindia Belanda, maka mulai bermunculan
perusahaan, pertambangan, perkebunan, dan pabrik-pabrik asing yang
menyewa tanah pribumi dan menjadikan masyarakat di sekelilingnya menjadi
buruh. Namun, hadirnya usaha-usaha swasta Barat tidak serta merta
menciptakan kemakmuran bagi masyarakat yang bekerja sebagai buruh.
Terjadinya transformasi lahan pertanian pangan menjadi lahan bahan baku
industri telah menciptakan kelangkaan sumber pangan bagi pribumi. Kondisi
memprihatinkan ini merupakan akibat dari sistem kebijakan yang menerapkan
free fight competition to exploit Indonesian yang juga merupakan bagian dari
liberalisme ekonomi. Kebijakan tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai
sumber bahan baku utama yang berharga dan menghasilkan keuntungan besar.
Sementara para buruh pribumi terus dipaksa bekerja demi tuntutan produksi
dan keuntungan bagi majikan-majikan Belanda. Kondisi buruk ini mendorong
Semaun dan organisasinya bertindak kritis, dan melalui berbagai cara berusaha
mensikapi ketertindasan masyarakat pribumi dan kebijakan tidak adil
pemerintah kolonial. Sikap ini ditunjukkan melalui aksi-aksi massa maupun
melalui tulisan-tulisan di media massa.
Sejak 19 November 1917 Semaun mengambil alih kepemimpinan SI
Semarang dan pengelolaan redaksional Sinar Djawa yang dijadikannya
sebagai media propaganda. Pada 1 Mei 1918, nama Sinar Djawa diubah
menjadi Sinar Hindia. Pengambil-alihan pengelolaan redaksional media massa
dilakukan untuk memperluas gagasan, mengkritisi situasi dan mengajak
bertindak melalui organisasi SI Semarang. Hal ini bisa dikatakan berhasil.
Perluasan dan penambahan jumlah anggota SI Semarang melonjak drastis.
Bila pada tahun 1916 jumlah anggota baru 1.700 orang, maka pada 1917
berlipat ganda menjadi 20.000 orang.

• Semaun dan Sikap Politiknya

Sikap politik Semaun yang “keras” dan kepeduliannya yang tinggi


terhadap kondisi ketertindasan masyarakat, membuatnya geram dengan
perwakilan penduduk pribumi di Volksraad. Hal ini semakin menguat ketika
perwakilan pribumi dalam tubuh Volksraad yang disebut Indie Weerbaar
hanyalah seperti “wayang” yang dikendalikan oleh Belanda. Ungkapan yang
menyatakan bahwa Indie Weerbaar seperti “wayang”, berkaitan dengan sikap
perwakilan pribumi dalam Indie Weerbaar tidak mampu memberikan
perlawanan dan memperjuangkan nasib masyarakat Hindia Belanda dalam
Volksraad.
Peranan Semaun juga tampak dalam pertemuan Central Sarekat Islam.
Dalam setiap kongres CSI, Semaun mengutarakan gagasan-gagasannya.
Dalam kongres ke II CSI di Jakarta pada 20-27 Oktober 1917, ia
menyampaikan gagasan-gagasannya tentang Marxisme. Dalam forum tersebut
Semaun bersama dengan SI Semarang merekomendasikan perjuangan untuk
melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar.
Perjumpaan Semaun dengan para tokoh SI lainnya pun tidak
selamanya baik. Salah satu perdebatan besar pernah terjadi pada Kongres
Nasional Central Sarekat Islam ke-2 di Jakarta. Dalam kesempatan itu,
Semaun dengan pandangan Marxisnya berdebat dengan Abdul Moeis yang
merupakan utusan Indie Weerbaar tentang masa depan SI. Pada akhir kongres
disepakati bahwa Sidang Kongres CSI ke-2 mengambil jalan tengah yaitu
menentang kapitalisme jahat. Dalam hal ini berarti ada kapitalisme baik.
Namun demikian dalam aturan anggaran dasar yang disusun kongres, jelas
tampak adanya pengaruh sosialisme yang merupakan desakan dari kelompok
Semaun. Hasil dari kongres CSI ke-2 berupa upaya perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda melalui hubungan antara agama,kekuasaan, dan
kapitalisme. Dalam hal ini pemikiran Semaun tetang Marxisme telah cukup
matang . Hal ini terbukti dalam banyak perjumpaan ia mampu
mempertahankan ideologinya.
Pada kongres CSI ke-3 disepakati keputusan mengenai sikap
menentang kapitalisme dengan cara mengorganisasikan kaum buruh, yang
disambut baik oleh SI Semarang. Sikap ini muncul karena SI dari daerah-
daerah telah membentuk kesatuan gerakan buruh masing-masing. Kondisi ini
juga memicu pertumbuhan akar perjuangan gagasan sosialis revolusioner
hingga tahun 1926. Dalam kongres, Semaun mengusulkan didirikannya
organisasi pusat serikat buruh (vakcentral), tujuannya adalah mempersatukan
gerakan buruh di lingkungan serikat pekerja dinas pemerintah dan serikat
pekerja Eropa.
Pada kongres CSI ke-3 yang berlangsung pada bulan Oktober 1918 di
Surabaya, terjadi perdebatan antara Semaun dengan Suryopranoto. Dalam
perdebatan, Semaun menyatakan perlunya memberikan nama dengan tertulis
“Revolutionnair”, sebagai lambang keseriusan gerakan buruh yang bersatu
untuk mewujudkan perlawanan terbuka secara politik terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Namun hal tersebut ditolak oleh Suryopranoto, yang
menurutnya gagasan Semaun akan memicu reaksi keras Belanda dan
membahayakan organisasi. Suryopranoto menyarankan untuk mengubah nama
menjadi lebih umum namun dalam kerjanya tetap harus berpihak secara utuh
terhadap buruh.

Pembentukan Vakcentral yang diusulkan oleh Semaun baru dapat


direalisasikan pada pertemuan di Jogjakarta pada 25-26 Desember 1919.
Setelah diadakan banyak pertimbangan yang dianalisa tidak hanya dari sudut
pandang pergerakan namun juga dampak politis yang dapat mempengaruhi
organisasi, maka pada akhirnya disepakatilah nama PPKB (Persatoean
Pergerakan Kaoem Boereoeh).
Pada kongres CSI ke-4 bulan Maret 1921 di Jogjakarta, pembicaraan
terfokus pada permasalahan internal. Salah satu pembicaraan yang cukup
penting adalah mengenai pertikaian antara Semaun dan Suryopranoto dalam
tubuh gerakan buruh. Konflik ini terjadi karena haluan Semaun yang
menganggap diri seorang revolusioner berani secara politis menentang
kebijakan kolonial, sedangkan Suryopranoto lebih terfokus pada
pengembangan internal gerakan buruh dalam rangka membangun kesadaran
bersama. Namun, hingga acara selesai, upaya untuk mempersatukan keduanya
gagal. Akhirnya dalam pertemuan informal PPKB terpecah menjadi
Revolutionaire Vakcentraale (RV) dan PPKB.
Mensikapi perpecahan di atas CSI dalam kongres ke-4, pada bulan
Oktober 1921 di Jogjakarta, setelah melalui perdebatan sengit, melahirkan
rekomendasi penting, yakni perlunya disiplin partai (partij disiplince) dalam
kepengurusan CSI. Keputusan itu berbunyi, pengurus CSI tidak dapat
merangkap menjadi anggota organisasi lain.

• Semaun dan PPKB (Persatoean Pergerakan Kaoem Buruh)

Pada kongres CSI ke-3 yang berlangsung pada bulan Oktober 1918 di
Surabaya, terjadi sebuah perdebatan antara Semaun dan Suryopranoto. Mereka
berdua memperdebatkan mengenai perlunya sebuah kesatuan organisasi buruh.
Dalam perumsannya di Jogjakarta pada 25-26 Desember 1919. Terjadi
perdebatan mengenai gagasan dan nama organisasi buruh yang akan di bangun
tersebut. Seamun mengusulkan untuk menggunakan nama Vakcentral. Namun
hal ini sisanggah oleh Suryopranoto karena dirasa politis dan memiliki potensi
konflik. Maka pada akhirnya disepakatilah nama PPKB (Persatoean
Pergerakan Kaoem Boereoeh) yang dirasa cukup mengakomodasi
kepentingan buruh dan tidak politis.
Aksi massa PPKB yang cukup besar terjadi pada tanggal 23 Februari
1920. Dalam aksi ini PPKB berhasil mengajak sekitar 819 pekerja percetakan.
Aksi mereka dapat dikatakan berhasil karena dampak dari kejadian tersebut
adalah perusahaan percetakan satu demi satu mengabulkan kenaikan gaji
buruh sebesar 10%.23
Pada Agustus 1920 dalam kongres I PPKB di Semarang, Semaun
terpilih menjadi ketua dan Suryoranoto sebagai wakil ketua. Keduanya
dianggap mampu melaksanakan mandat karena pengalaman dan keahliannya
dalam gerakan buruh. Semaun memang menjadi rekomendasi kuat
mengingat ia memiliki pendukung

besar dari SI Semarang maupun gerakan-gerakan buruh yang pernah


dipimpinn melalui pemogokan-pemogokan massa.24
John Ingelson dalam buku In Search of Justice: Workers and Unions in
Colonial Java berpandangan bahwa metodologi pergerakan Semaun dalam
PPKB adalah melakukan pengorgansasian pekerja dengan isu penaikan gaji
atas peranan buruh yang besar bagi perusahaan. Isu permintaan kenaikan gaji
buruh terhadap sejumlah perusahaan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
banyak kaum pekerja. Tujuan bersama yang diumumkan PPKB oleh Semaun
adalah ”Economic Struggle” (perjuangan Ekonomi).25
Ada dua strategi bagi keberhasilan advokasi Semaun dalam PPKB.
Pertama, kepandaiannya melakukan propaganda dan pengorganisasian buruh.
Kedua, posisi tawar kaum buruh terhadap pengusaha dan pemerintah kolonial,
yang pada saat itu dipegang oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum.

• Semaun dan PKI


Sejak revolusi Rusia 1917, ISDV telah menjadi badan berpaham
komunis di Hindia Belanda dan konsisten menyebarkan paham tersebut guna
membangun masyarakat sosialis. Menguatnya gerakan buruh yang banyak
terjadi akibat propaganda ISDV, membuat orang-orang Belanda yang menjadi
pimpinan organisasi ini dipulangkan, termasuk Sneevliet. Dengan hilangnya
para pemimpin

24
Ibid., hlm 75.

25
Ibid.

berkebangsaan Belanda, maka naiklah para pengurus dari kaum pribumi pada
jabatan-jabatan penting organisasi tersebut, sehingga mempercepat ISDV
mendapatkan basis massanya.27
Setelah kepergian Sneevliet, partai diambil alih oleh Semaun dan
Darsono. Pada bulan Mei 1920 berubah nama menjadi Perserikatan Komunis
di Hindia dan pada tahun 1924 berganti nama lagi menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Partai ini merupakan organisasi politik pertama yang secara
legal didirikan oleh orang Indonesia.28
Kerjasama PKI melalui Semaun dengan SI yang diwakili oleh Semaun
sendiri serta Suryopranoto dalam PPKB mengalami perpecahan. Munculnya
dualisme ideologi menciptakan organisasi tersebut terpecah. Semaun
kemudian mempergunakan 22 serikat pekerja dan 72.000 orang yang berpihak
padanya membentuk Revolutionaire Vakcentraale.
Setelah kongres CSI ke-4 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1920,
dengan keputusan bahwa dalam tubuh SI diberlakukan disiplin partai, yakni
keanggotaan tunggal (kecuali anggota Muhammadiyah), maka anggota-
anggota PKI dikeluarkan dari SI. Perpecahan ini juga berdampak pada cabang-
cabang SI yang berpandangan sama dengan Semaun. Perpecahan pada tubuh
SI ini kemudian dikenal dengan pemilahan ”SI Merah” dan ”SI Putih”.
Semenjak keluar dari SI, PKI memulai membangun basis massanya
sendiri. Meskipun berpandangan sosialis, mereka merasa berbeda dengan
pergerakan dari Komunis Internasional (Komintern). Menurut Semaun,
gagasan yang ada di Rusia tidak sepenuhnya tepat untuk dilaksanakan di
Hindia Belanda, sehingga perlu adanya sebuah modifikasi pola pergerakan
PKI di Indonesia. PKI berbeda dengan doktrin Marx dan Lenin. PKI bersifat
Indonesia, sehingga perlu dibuat sebuah strategi yang cukup inovatif guna
membangun basis massa yang sesuai dengan tujuan PKI.
PKI dalam gerakannya lebih banyak berbicara dan mempermasalahkan
hal-hal yang secara umum dipahami oleh masyarakat pribumi. Masyarakat
tanpa kelas dikemukakan sebagai penjelmaan kembali Majapahit yang
diromantiskan, yang dipandang sebagai zaman persamaan derajat sebelum
datangnya bangsa Belanda, yang juga berarti sebelum Islam. Dalam
propagandanya disebutkan bahwa pahlawan-pahlawan PKI adalah Dipanegara,
Kyai Maja, dan Sentot dari Perang Jawa.3
Pada musim gugur 1921 Semaun berangkat ke Rusia, posisi ketua PKI
digantikan oleh Tan Malaka. Pada Mei 1922 Semaun kembali ke Indonesia
guna memperbaiki kinerja PKI dalam bertindak, namun dalam aksi mogok
buruh kereta api pada 1923, ia kembali diasingkan ke Belanda. Pada 20
September 1923 Semaun tiba di Amsterdam. Kedatangan Semaun merupakan
sebuah kesempatan bagi Communistche Partij Nederland (CPH) untuk
membangun sebuah komite bersama untuk Hindia Belanda. Bergsma yang
merupakan seorang anggota PKI yang berada di Belanda bersama Sneevliet
mengusulkan dibentuknya sebuah komite yang dari Partai Komunis Belanda
akan memberikan masukan atas kinerja PKI. Namun, Semaun menolak
usulan-usulan tersebut. Baginya CPH harus membatasi diri dalam memberikan
bantuan bagi PKI.
Di Belanda, Semaun berma Bergsma dan Sneevliet membuat majalah
”Pandoe Merah”. Majalah ini terbit dalam dua bahasa, Melayu dan Belanda.
Namun, setelah majalah jilid pertama masuk ke Indonesia, terjadi kesulitan
karena dilarang oleh pemerintah kolonial. Semaun kemudian memanfaatkan
para pelaut Indonesia di Belanda guna menjadi kurir, dan kedekatan ini
menghasilkan sebuah organisasi baru bernama Sarekat Pegawai Laoet
Indonesia (SPLI) tahun 1924. Melalui SPLI inilah artikel dan pesan Semaun
dihantarkan dari Belanda ke Indonesia.
Di Belanda, pada tahun 1923, Bergsma dan Sneevliet mengusulkan
kepada Semaun untuk kembali bersatu dengan Partai Sarekat Islam untuk
memperkuat gerakan pribumi. Namun, sikap Semaun lebih suka mendekati
kaum nasionalis radikal di Belanda yang diwakili oleh Perhimpunan Hindia
(PH). Pada tahun ini juga, Moskow mengangkat Semaun sebagai Komite
Eksekutif Komintern
Selain kepada SPLI, Semaun juga memberikan perhatiannya kepada
para mahasiswa pribumi di Belanda yang radikal. Pada tahun 1924 Semaun
tercatat

anggota PH. Dalam PH, Semaun menyebarkan gagasan Marxist, yang


digabungkan dengan gagasan anti imperialisme. Aksi Semaun ini didukung
oleh Komintern. Dalam perjuangannya di Belanda, Semaun banyak di bantu
oleh CPH, karena hanya CPH yang peduli dan mendukung Indonesia
merdeka.34

• Runtuhnya Pergerakan Politik

Pada tahun 1921, Semaun meninggalkan Indonesia menuju Rusia,


sedangkan tokoh SI yang juga sempat berpihak pada gagasan sosialisme yakni
Tjokroaminoto ditangkap pemerintah kolonial. Penangkapan Tjokroaminoto
berdasarkan tuduhan kolonial akibat sumpah palsu atas peristiwa penembakan
yang terjadi di Garut (Jawa Barat) yang melibatkan anggota SI pada bulan Juni
1919.35 Pada 1921 setelah kepergian Semaun ke Rusia dan Tjokroaminoto ke
penjara, maka kursi pimpinan PKI kosong dan program kerja organisasi
komunis menjadi tidak terkontrol dengan baik. Namun dalam kondisi tersebut
hadir Tan Malaka menggantikan posisi Semaun sebagai ketua PKI. Ia
mencoba mendamaikan PKI dengan SI, yang menurutnya perpecahan selama
ini hanya menguntungkan pihak Belanda dan bukan bagi kaum pribumi.
Namun upaya mendamaikan PKI dengan SI gagal.

Pada tahun 1922, terjadi pemogokan besar-besaran pertama di dalam


serikat buruh pegadaian yang dipimpin oleh Abdul Muis 37 dari CSI. PKI
merasa wajib memberikan dukungan. Aksi mogok ini kemudian ”dipatahkan”
oleh pemerintah kolonial dengan cara memecat para pegawai yang terlibat aksi
mogok dan Abdul Muis serta Tan Malaka diasingkan keluar Hindia Belanda.
Pada bulan Mei 1922, Semaun kembali ke Hindia Belanda, kemudian
ia segera membangkitkan kembali serikat pekerja dalam tubuh PKI. Semaun
juga mulai membangun pengaruh PKI dalam cabang-cabang dan sekolah-
sekolah SI.38
Perpecahan kembali terjadi setelah Tjokroaminoto bebas pada bulan Mei 1922.
Tjokroaminoto dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 mendirikan Partai
Sarekat Islam. Dalam gagasan Tjokroaminoto, partai ini akan berdiri di setiap
cabang ”SI Merah”, ungkapan ini melambangkan sikap ketidaksukaannya
pada PKI. Pada tahun yang sama, cabang-cabang ”Si Merah” berganti nama
menjadi Sarekat Rakyat.
Pada 1923, Semaun kembali dibuang ke Belanda setelah ia
mengkoordinasikan aksi mogok kerja yang dilakukan oleh serikat buruh kereta
api dan trem (VSTP). Dengan perginya Semaun, Darsono mengambil alih
jabatan sebagai ketua PKI.
Di sisi lain, CSI yang berada di bawah pimpinan Agus Salim menarik
seluruh anggotanya yang berada dalam Volksraad. Kebijakan organisasi CSI
kini menjadi nonkooperatif. Aksi-aksi CSI kini makin menjauh dari dinamika
politik.Melihat kesempatan tersebut, PKI segera mengambil tindakan, untuk
menjaga semangat rakyat agar tidak padam setelah sejak 1917-1923 terus
terjadi peningkatan kesadaran atas penindasan serta kesadaran akan
perlawanan terhadap kolonial melalui aksi massa.
Persaingan antara SI dengan PKI berlangsung untuk merebut simpati
rakyat. Sosrokardono (yang terlibat aksi penembakan di Jawa Barat pada
1923) keluar dari tahanan, dan ia memutuskan hubungan antara SI dengan PKI
pada 1924. Dua rekan Sosrokardono yang sempat ditahan atas kasus serupa,
setelah keluar dari tahanan memilih ikut dalam PKI, mereka adalah Alimin
Prawirodirdjo dan Musso. Setelah lama tidak bergerak, Suryopranoto juga
condong pada pihak komunis, meskipun ia berpandangan bahwa gerakan
buruh tetaplah penting guna membangun kesadaran dari ketertindasan.39
Pada bulan Desember 1924 direncanakan sebuah pemberontakan
terhadap kolonial Belanda oleh PKI. Upaya ini diketahui oleh Komintern,
Semaun, dan Tan Malaka, yang semuanya tidak setuju dengan aksi itu.
Menurut Semaun dan Tan Malaka langkah tersebut hanya akan membawa
malapetaka. Upaya-upaya pemberotakan didengar oleh polisi rahasia Belanda
yang kemudian menangkap oknum-oknum yang terlibat dalam persiapan
pemberontakan. Dalam peristiwa tersebut Darsono ditangkap. Ia
diperbolehkan pergi ke Rusia dengan biaya sendiri oleh pemerintah kolonial
Belanda.40

Pada 1 September 1925, terjadi sebuah aksi pemogokan perusahaan


percetakan di Surabaya. Pemogokan ini segera meluas, dan pada 5 Oktober
1925 aksi serupa juga dilakukan oleh operator mesin. Pada 21 Desember para
buruh galangan kapal juga melakukan mogok kerja. Hal ini tejadi gara-gara
permintaan perbaikan nasib pekerja tidak diperhatikan. Melihat kondisi ini,
gubernur jenderal berbeda pandangan dengan Bupati Surabaya yang berniat
mendiskusikan perbaikan nasib buruh tersebut. Gubernur jenderal
mengerahkan polisi, polisi memerintahkan para pekerja kembali bertugas dan
menangkap pimpinan buruh yang mogok dan anggota PKI yang diduga
menjadi penyulut permasalahan.41
Berangkat dari sikap represif pada Desember 1925, maka seluruh
organisasi serikat buruh, VSTP dan PKI mengadakan rapat rahasia di
Prambanan pada 25 Desember 1925. Dalam rencananya, akan dilangsungkan
upaya pergerakan bersenjata seperti di Cina, dengan cara mempersenjatai
petani dan perlawanan bersenjata secara serempak di daerah-daerah cabang
PKI.42
Setelah Darsono diasingkan, PKI bertambah pesat di Jawa dan
Sumatra. Perkembangannya kurang terkontrol dengan baik. Bulan Desember
1925 para pemimpin yang tersisa merencanakan sebuah pemberontakan.
Pemeritah kolonial yang mengetahui rencana ini melakukan upaya
penangkapan pada Januari 1926, namun para pemimpin PKI berhasil
melarikan diri. Satu-satunya pimpinan PKI yang masih berpengaruh adalah
Musso, namun ia menyelamatkan diri ke Singapura. Dipenjarakannya tokoh-
tokoh penting, menyebabkan terjadinya pertikaian internal organisasi di
antara para anggota PKI. Kondisi ini mempermudah polisi kolonial masuk
dan mendapatkan informasi tentang pemberontakan pada November 1926.
Sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI berhasil ditangkap.
Sebelum aksi pemberontakan menjadi semakin meluas, Tan Malaka
yang berada di Filipina untuk menghindari kejaran polisi kolonial,
memberikan tesis bahwa perlu dilakukan pembacaan situasi dengan teliti
dalam melakukan sebuah aksi pemberontakan. Pesan ini ia sampaikan kepada
Alimin di Singapura. Namun, pesan yang pada awalnya akan disampaikan
kepada Alimin, ditolak dengan alasan Alimin akan berangkat ke Moskow.
Saat Tan Malaka ke Singapura, ia tidak menjumpai Alimin dan Musso, karena
mereka telah pergi ke Kanton, Cina dan Moskow, Rusia. Di Singapura Tan
Malaka baru mengetahui bahwa surat pertamanya tidak disampaikan Alimin,
karena Alimin telah disingkirkan oleh faksi Prambanan. Untuk menghindari
hal terburuk, Tan Malaka bertemu dengan Subakat (anggota PKI yang tidak
pernah sepakat dengan faksi Prambanan) dan mereka menyurati pemimpin
eksekutif partai di Jawa guna menginformasikan tesis Tan Malaka dan
diadakannya konsultasi atas upaya pemberontakan. Para pemimpin eksekutif
mengirimkan Suprodjo untuk berbicara dengan Tan Malaka. Kemudian Tan
Malaka, Subakat, dan Suprodjo menyusun dan menandatangani tesis baru.
Bulan Juni 1926, Suprodjo dengan membawa tesis itu menginformasikan agar
ditunda pemberontakan, dan hal ini disampaikan pada faksi Prambanan.
Namun, tesis tersebut ditolak.

Aksi pemberontakan PKI tidak hanya direncanakan di satu tempat,


tetapi di banyak tempat. Pemberontakan PKI meletus di Banten, Jakarta, dan
Priangan pada malam hari 12 November 1926. Di Jakarta, pemberontakan
dapat dihentikan oleh pemerintah kolonial esok harinya, sedangkan di Banten
dan Priangan pada bulan Desember 1926. Pemberontakan juga terjadi di
Sumatra pada 1 Januari 1927. Pertempuran di Sumatra lebih berat dari di Jawa,
dan peristiwa ini baru dipadamkan pada 4 Januari 1927 dengan korban tewas
seorang Eropa. Pada peristiwa pemberontakan tersebut total 13.000 orang
ditangkap, beberapa orang ditembak. Kira-kira 4.500 orang dimasukan dalam
penjara, dan 1.308 di kirim ke Boven Digul, Irian, yang khusus dibuat pada
1927 untuk mengurung mereka.
Hingga akhir Perang Dunia II rakyat pribumi yang bergerak langsung
seperti pada masa SI dan PKI, tidak pernah lagi memainkan peran aktif dalam
pergerakan politik. Pihak Belanda pun tidak pernah lagi bersifat toleran
terhadap gerakan-gerakan yang menentang kolonialisme.45

2.3 SURYOPRANOTO, DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN


BURUH

Selain Semaun, dalam pergerakan buruh di Indonesia juga hadir sosok


Suryopranoto. Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto masih merupakan
keluarga bangsawan. Keluarganya berlatar belakang bangsawan Pakualaman.
Dalam pergerakan di Indonesia, Suryopranoto cukup banyak berpengaruh
dalam pergerakan buruh.

• Latar Belakang Suryopranoto

Tidak banyak orang mengenal Suryopranoto dalam kajian sejarah


bangsa Indonesia. Suryopranoto adalah seorang muslim dan nasionalis yang
memiliki visi kerakyatan. Ia lahir pada tahun 1871 dengan nama kecil
Iskandar. Masa kecilnya berada di dalam istana Pakulaman. Ia adalah putra
sulung K.P.A. Suryaningrat yang gagal menjadi Paku Alam IV karena
penyakit mata. Jiwa nasionalis Suryopranoto terbentuk oleh lingkungan
keluarganya yang anti kolonialisme Belanda. Perjumpaan dan perselisihannya
dengan anak Belanda sejak kecil menciptakan dirinya menjadi tidak berpihak
pada Belanda.1
Perjalanan hidup Suryopranoto menentukan arah perkembangan
pemikirannya tentang pergerakan nasional. Ia pernah bekerja di kantor
controleur di Tuban. Di kota ini ia bersahabat dengan Tjokoroaminoto.
Setelah pulang ke Yogyakarta ia menjabat sebagai wedana sentana di
istana Pakualaman. Ia memimpin gerakan ekonomi Mardi Kaskaya.
Suryopranoto pun pernah ditunjuk oleh Gubernur Jenderal untuk belajar di
Middelbare landbow School di Bogor, dan di kota ini ia bersahabat dengan
van Kol, van Deventer, dan Douwes Dekker. Bersama dengan pelajar
STOVIA Suryopranoto mendirikan Pirukunan Jawi. Selanjutnya
Suryopranoto menjabat sebagai kepala dinas pertanian di Wonosobo, dan di
tempat inilah ia melihat secara langsung bagaimana buruh pribumi
diperlakukan. Keprihatinannya mendorong sebuah inisiatif untuk membentuk
gerakan buruh dan tani melawan ekonomi kapitalis kolonial dengan
mendirikan Adidarmo.

• Awal Karir Pergerakan

Awal karir pergerakan Suryopranoto bermula ketika ia bekerja di


Controleurs Kantoor Tuban. Ia sesungguhnya terpaksa masuk menjadi
ambtenar, yang menurutnya sikap dari ambtenar sangat kooperatif dan hal ini
bertentangan dengannya. Posisi yang ia dapatkan berasal dari rekomendasi
asisten residen. Sikapnya yang kritis membuat pejabat kolonial
memindahkannya dengan pengalihan lokasi kerja ke Tuban. Di sini
Suryopranoto berjumpa dengan Oemar Said Tjokroaminoto.3
Pada 4 Agustus 1915 Suryopranoto bersama dengan Joyodiwiryo,
Sastrowiyono, dan Muso menerbitkan majalah Medan Budiman. Empat
pemuda yang merupakan keturunan bangsawan ini menyebut kelompok
mereka sebagai Tentara Buruh Adidarma, yang berkedudukan di Jogjakarta.
Perjumpaannya dengan Tjokroaminoto memunculkan banyak
pemikiran baru bagi Suryopranoto. Informasi dari Tjokroaminoto mengenai
perlakuan diskriminatif terhadap pedagang kecil bumiputera cukup menjadi
sorotan. Dalam pekerjaannya ia sering menjumpai pegawai bumiputera
dimarahi oleh kaum kolonial dengan sebutan pemalas dan inlander.
Pengalaman kerjanya hanya berlangsung selama enam bulan namun cukup
membuka pandangannya tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada kaum
bumiputera.
Suryopranoto tidak lama bekerja menjadi Ambtenar. Pada awal 1915
saat dirinya telah berorganisasi dalam SI, ada sebuah pristiwa di mana dalam
lingkungan kerjanya seorang pribumi yang bekerja pada pemerintah kolonial
dipecat karena ketahuan sebagai anggota SI. Melihat peristiwa itu
Suryopranoto langsung marah kepada pejabat Belanda yang juga atasannya, ia
kemudian merobek-robek ijasah MLS nya dan menyatakan berhenti sebagai
kepala Dinas Pertanian dan Kepala Sekolah Pertanian. Tidak sampai disitu
saja, Suryopranoto juga bersumpah untuk tidak akan bekerja lagi pada
pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk selama-lamanya.
Suryopranoto dalam Mardi Kaskaya, Societeit Sutohardjo, dan Boedi
OetomaSetelah kembali dari Tuban, Suryopranoto diangkat menjadi Wedono
Sentono di Praja Pakulaman.6 Di sini Suryopranoto memiliki harapan untuk
membentuk organisasi bernama Mardi Kaskaya. Impiannya terwujud dan
Mardi Kaskaya berdiri tahun pada 1900. Organisasi ini menyerupai koperasi
simpan pinjam. Tujuan dasarnya adalah membantu anggotanya yang terdiri
dari para abdi dalem istana Pakualaman terlepas dari rentenir. Dalam
berorganisasi, ia memiliki metode pembuatan strategi perjuangan dan
sistematika dasar.7Selain Mardi Kaskaya, organisasi yang dibentuk oleh
Suryopranoto adalah Societeit Sutohardjo. Melalui organisasi ini ia
memfasilitasi media bacaan, baik berupa koran, buku, surat kabar, dan
majalah. Tujuan dari didirikannya klub tersebut adalah untuk mendidik
pekerja di Pakulaman mengenai wacana baru baik tentang Eropa maupun hal
lainnya.8Suryopranoto juga sempat bergabung dalam organisasi BO. Ia
merasakan pentingnya kesatuan dan sebuah pergerakan organisasi modern,
maka dari itu BO ia pilih. Dalam kongresnya yang I di Jogjakarta tanggal 3-5
Oktober 1908 Suryopranoto terpilih menjadi Secretaris Hoofdbestuur.
Meskipun ia sudah6 Ibid., hlm 51. Jabatan ini memiliki pangkat Panji.jabatan
Wedono Sentono sama dengan kepala bagian administrasi istana.7 Ibid., hlm
53.8 Ibid., hlm 54.menjabat namun ia tidak merasa sejalan dengan BO.
Gerakan BO yang cenderung berhati-hati dan lambat ia kritik.9Suryopranoto
dan Sarekat IslamBerbeda dengan BO yang pola perjuangannya berbasiskan
pendidikan guna mengangkat martabat hidup, SI menyatakan hal tersebut
sebagai penentuan nasib sendiri dalam politik. Sikapnya yang anti kapitalisme
dan dalam pandangan SI, kaum priyayi tinggi atau bangsawan digambarkan
sosok yang malas dan suka bersenang-senang. Menguatnya peran
Suryopranoto dalam tubuh SI juga disebabkan faktor dukungan dari organisasi
Adidarmo.Gagasan SI membuat Suryopranoto tertarik, karena memiliki
keberpihakan pada kaum pribumi. Meskipun pada saat yang bersamaan
Suryopranoto masih menjadi Hoofdbestuur dalam BO. Dalam kongres CSI ke
I di Jogjakarta pada 1914 Suryopranoto terpilih menjadi anggota komisaris.
Setelah peristiwa tahun 1915 di mana ia berhenti bekerja dari pemerintah
kolonial ia kemudian mencurahkan hidupnya guna pergerakan buruh.Pada
tahun 1918 Adidarmo melancarkan tuduhan bahwa ketua SI cabang Jogjakarta
(saat itu dipegang oleh Tjokroaminoto) tidak mewakili rakyatnya. Ketua SI
dipandang tidak mengerti keadaan dan penderitaan rakyat karena bukan putera
asli daerah. Kritik tersebut baru berakhir ketika Suryopranoto mengambil alih
pimpinan SI cabang Jogjakarta. Dengan demikian perkembangan baru yang
muncul dalam tubuh SI adalah hadirnya Adidarmo sebagai salah satu
organisasi yang juga mendukung pergerakan terhadap rakyat pribumi.9 Ibid.,
hlm 67-75.Keanggotaan Suryopranoto yang juga terlibat aktif dalam PFB serta
Adidarmo, membawanya dalam upaya pemersatuan gerakan buruh dalam
tubuh SI. Dalam kongres di Bandung pada bulan Mei tahun 1919, para
pemimpin buruh dari ISDV dan SI yakni Sosrokardono, Alimin, Semaun dan
Bergsma menyusun rencana membangun serikat pekerja dalam satu front.
Mereka memimpikan federasi serikat buruh sosialis revolusioner yang akan
menjadi majelis tinggi ”Volksraad yang sesungguhnya”. Sedangkan majelis
rendahnya adalah organisasi politik Indonesia. Menurut Sosrokardono, bila hal
ini dilaksanakan maka akan tercapai sendiri suatu pemerintah untuk rakyat
Indonesia dan dapat mengubah masyarakat kapitalis menjadi sosialis. Dengan
keputusan bulat maka mereka memutuskan membentuk panitia persiapan
perwakilan serikat pekerja yang dipimpin oleh Suryopranoto guna
mempersiapkan federasi dan menunjuk Semaun untuk menyusun penjelasan
serta konstitusi.10Pada 1919 gelombang pemogokan buruh semakin banyak
terjadi. ISDV, PFB maupun Adidarmo cukup banyak melakukan bantuan
terhadap kaum pekerja pribumi di bawah satu kesatuan CSI.Pada tahun 1919-
1920, tendensi golongan sosialis dalam tubuh SI menguat. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran akan sikap pemerintah kolonial terhadap
organisasi SI. Kelompok sosialis mengacu pada SI Semarang, sedangkan SI
”kanan” berada pada pihak SI Jogjakarta. SI yang berhaluan sosialis dikenal
dengan sebutan SI Merah yang bersifat ”kiri”, dengan sosok pimpinan
Semaun,10 Ruth McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas
Bambu.Jakarta. 2010. hlm 72-73.dan SI Jogjakarta dengan sebutan
SI Putih dengan sosok pimpinan Suryopranoto.11Pada tahun 1918-
1920 bila Semaun berhasil membawa ISDV dan VSTP dalam kesatuan SI,
begitu pula Suryopranoto dengan PFB dan Adidarmo berhasil berada dalam
kesatuan SI, sehingga massa terbesar SI adalah kaum buruh. Namun,
Tjokroaminoto yang pada 1919 menyatakan bahwa pergerakan SI tidaklah
politis menuai kritik dari Semaun dan Suryopranoto, mengingat posisi buruh
selalu ditekan secara sistemik oleh pemerintah, sehingga diperlukan sikap
tegas atas kondisi buruh.Pada tahun 1920, hadirnya PKI (Partai Komunis
Indonesia) yang dipelopori oleh kader SI yakni Semaun, turut memperkeruh
keadaan. Sikap antipati terhadap sosialisme mulai hadir dalam tubuh SI. Meski
demikian tetap tujuan bersama menuju kesejahteraan buruh tetap dilakukan.
Hal ini ditempuh dengan dibentuknya Persatuan Pergerakan Kaum Buruh
(PPKB) yang merupakan peleburan elemen buruh SI dan PKI. Namun,
perbedaan ideologi dan tata gerak organisasi buruh menjadi awal pertengkaran
para pemimpinnya (Semaun dan Suryopranoto). Sikap patron dalam tubuh
organisasi membuat Suryopranoto menekankan pada arah pendidikan buruh,
sehingga usulan Semaun guna menciptakan buruh secara revolusioner yang
dalam artiannya bersikap politis pada pemerintah, perlu ditunda, karena hal
ini cenderung membahayakan organisasi.1211 Ibid., hlm 146.12 Ibid., hlm
152.Suryopranoto dan Adidarmo (Adidharma)13Terbentuknya Adidarmo
merupakan awal bagi kebangkitan nasionalisme Jawa. Kelahiran Adidarmo
dimaksudkan sebagai sebuah kewajiban untuk melakukan pendampingan
terhadap kaum bumiputera dengan cara memberi pengajaran serta upaya untuk
mengangkat derajat bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain. Tujuan utama
dari Adidarmo adalah berbuat kebaikan berdasar pada ketentuan luhur serta
membela penduduk bumiputera dari kesewenang-wenangan. Sistem
keanggotaan Adidarmo adalah sekelompok orang terpelajar, yang membangun
koperasi serta sekolah-sekolah bagi anak-anak bumiputera.Adidarmo di bawah
pimpinan Suryopranoto menempatkan diri seolah seperti bangsawan Jawa.
Sebagaimana bangsawan berkewajiban melindungi rakyatnya sesuai dengan
hukum yang berlaku, Suryopranoto dengan bangga selalu menyebut dirinya
sebagai tentara buruh Adidarmo. Hal ini disebabkan posisi buruh yang
rendah, ia adalah strata terendah dari kaum kapitalis kolonial. Karena hal
tersebutlah Adidarmo berkewajiban mengangkat derajat pribumi, terutama
buruh pabrik gula yang merupakan golongan paling menderita akibat dari
eksploitasi kapitalis kolonial.14Adidarmo cukup berbeda dengan organisasi
sejamannya. Adidarmo memiliki ”balatentara” yang terdiri dari para pemuda
dengan kepandaian mencari13 Adidarmo atau Adi Dharma dalam penulisannya
terjadi perbedaan ejaan. Dalam buku Budiawan, Anak Bangsawan bertukar
Jalan.LKIS. Yogyakata. 2006. Ditulis dengan ejaan Adi Dharma sedangkan
Bambang Sulistiyo . 1995.Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. PT
Tiara Wacana Yogyakarta dengan ejaan Adi Darmo.14 Bambang Sulistyo. op.
cit.,hlm 46.dan menyediakan sejumlah dana, baik dengan cara berdagang,
berjualan, memproduksi kerajinan maupun menerbitkan surat kabar. Selain itu
organisasi ini juga memiliki lembaga bantuan hukum. Pemasok anggaran dana
terbesar adidarmo adalah lembaga bantuan hukum yang mereka namakan
Rechkundig Buereau. Lembaga sosial ini juga memberikan bantuan tanpa
pungutan uang kepada seluruh warga pribumi yang tidak mampu.15Adidarmo
dalam melakukan kegiatannya cukup menarik minat masyarakat pribumi,
salah satunya adalah dengan membentuk lembaga pendidikan. Kegiatan rutin
dalam bidang pendidikan yang dilakukan oleh Adidharmo berupa kursus
pemberantasan buta huruf, kursus kerajinan, serta ceramah dan diskusi untuk
membangun kesadaran politik dan sosial. Perkembangan dari forum diskusi
sosial dan politik cukup signifikan, dan hal ini terbukti dengan berkembangnya
forum tersebut manjadi Jong Islamienten Bond (JIB).16Dalam kepemimpinan
Suryopranoto, nampak bahwa Adidharmo diajak menuju pada arah
pembangunan kesadaran terhadap kondisi sosial yang terjadi. Melalui biro
bantuan hukum, Adidarmo juga membantu para buruh yang
bermasalah.Adidarmo juga kritis dalam mensikapi kondisi organisasi yang ada
pada saat itu, terutama SI. Dalam pandangan Adidarmo tahun 1918, kinerja
ketua SI Jogjakarta dipandang terlalu kooperatif dengan pemerintah kolonial
Belanda. Hal ini menyebabkan Adidarmo merasa perlu terjadinya sebuah
perubahan sikap yangtegas dalam tubuh organisasi-organisasi pribumi.
Kritik atas SI Jogjakarta ini mereda ketika Suryopranoto mengambil alih
pimpinan.17Pada tahun 1918 Adidarmo menjadi bagian dari Sarekat Islam. Di
bawah pimpinan Suryopranoto, Adidarmo maju pesat. Keanggotaan organisasi
tersebut berasal dari beragam profesi seperti guru, advokat, pegawai pegadaian
dan juga saudagar. Keberagaman profesi tersebut menunjang kebaradaan
Adidarmo sebagai sebuah organisasi.Pada Oktober 1918, dalam kongres CSI
di Surabaya, Adidarmo hendak mengerahkan buruh pabrik gula untuk
menentang kaum kapitalis. Namun niat ini ditertawakan oleh para pimpinan SI
cabang Semarang. Semaun kemudian menyatakan bahwa, kemenangan atas
kaum kapitalis dapat diperoleh bila kondisi sudah matang, yaitu ketika
industrialisasi sudah meluas dan buruh telah sadar serta bersatu di dalam
kelasnya. Sehingga usul dari pertemuan itu adalah, pergerakan buruh dimulai
dari kota-kota yang merupakan pusat industri.18Adidarmo dalam usaha
meningkatkan derajat kaum pribumi turut pula membentuk sekolah sebagai
wahana pendidikan. Ia mendirikan sekolah dengan beragam tingkatan dan
jurusan agar dapat mengembangkan kemampuan seorang murid secara
maksimal. Selain menjabat sebagai anggota komisaris CSI, ia juga menjadi
pengurus SI cabang Yogyakarta. Sekolah Adidarmo ini pun seringkali disebut
sebagai sekolah SI.Dalam perkembangnnya jumlah anggota Adidarmo makin
meningkat. Hal ini disebabkan karena kondisi perekonomian yang semakin
memburuk. Keterpurukan akan kondisi pangan terlihat jelas dengan perluasan
areal perkebunan gula serta minimnya areal persawahan sehingga harga
pangan melambung tinggi dan kelangkaan beras mulai terjadi.Pada bulan
oktober 1918, dalam kongres ke-4 CSI di Surabaya, Adidarmo hendak
menggerakan buruh pabrik gula menentang kaum kapitalis Belanda yang
menguasai gula. Namun aksi ini sempat ditanggapi oleh Semaun. Semaun
menyatakaan bahwa kemenangan buruh atas kaum kapitalis hanya dapat
terjadi bilamana industrialisasi sudah meluas dan kesadaran buruh akan posisi
kelas muncul. Namun Suryopranoto menjelaskan bahwa kondisi buruh dan
tani diYogyakarta sudah menyedihkan.19
Dalam perdebatan ini, tidak ditemukankesepakatan akan bersikap
seperti apa selama kaum buruh secara pribadi belum sadar secara sepenuhnya
akan posisi mereka, sehingga para pimpinan organisasi buruh harap tidak
terburu-buru dalam bersikap.Suryopranoto dari Personeel Fabriek Bond
hingga Persatuan Pergerakan Kaum BuruhPersoneel Fabriek Bond (PFB)
dibentuk pada tahun 1918 sebagai bagian dari Adidarmo oleh R.M.
Suryopranoto di Yogyakarta. Jumlah anggota organisasi ini pada awalnya 700
orang. PFB terdiri dari para buruh pabrik gula Yogyakarta, buruh pabrik gula
Wonosari, dan para buruh perkebunan tembakau di Klaten. Pada kongres
tahun 1919, jumlah anggota PFB meningkat menjadi 6.000 orangdan jumlah
calon anggotanya 2.000 orang. Peningkatan jumlah anggota PFB tidak hanya
disebabkan karena kecakapan bicara Suryopranoto namun juga karena
masyarakat melihat sosok Suryopranoto sebagai anggota keluarga bangsawan.
Suryopranoto dikenal tidak hanya sekedar sebagai seorang organisator buruh,
namun juga sebagai penjaga tradisi masyarakatnya.20Tujuan dari PFB adalah
memperjuangkan kepentingan dari para pekerja perkebunan dan pabrik yang
mengelola hasil perkebunan. Pada akhir tahun 1919 anggotanya bertambah di
sebagian besar daerah penghasil gula. PFB menyalurkan konflik menjadi
gerakan perundingan untuk memperbaiki sistem kerja dan gaji. Beberapa kali
PFB menggelar aksi pemogokan karena manajer pabrik menolak berunding
bersama.Karena melihat sikap dari para manajer pabrik yang tidak bersedia
bersikap kooperatif, CSI dan PFB mempersiapkan pemogokan umum se-Jawa.
PFB berhasil menghimpun para buruh musiman di berbagai daerah sekitar
perkebunan tebu dalam Perserikatan Kaoem Boeroeh Oemoem (PKBO); dan
menghimpun petani pemilik tanah yang disewa oleh para pengusaha pabrik
gula dalam Perserikatan Kaoem Tani (PKT). Kedua perserikatan tersebut
berada langsung di bawah koordinasi Suryopranoto yang juga menjadi ketua
umum pengurus pusat PFB.Suryopranoto sebagai pemimpin organisasi PFB
mampu memberikan peranan yang berarti bagi para buruh pabrik gula pada
tahun 1919-1920. Pada Maret 1920 serikat buruh memberikan memorandum
kepada Sindikat Pabrik Gula(Suikersyndikaat) tentang tututan kenaikan gaji
serta pengakuan organisasi PFB sebagai perwakilan para buruh pabrik gula.
Sikap PFB ini ditanggapi oleh para pemilik perusahaan dengan ancaman
pemecatan. Pada kondisi ini, pemerintah mengambil tindakan dengan cara
meyakinkan para pemilik pabrik agar tidak memberikan toleransi pada aksi
pemogokan yang bersifat politis, namun memberikan ruang bagi PFB untuk
melakukan negosiasi hal-hal yang berkaitan dengan perburuhan guna
meredam gejolak sosial kaum pribumi yang berujung pada tindakan
politis.21Kemenangan memang tercapai, namun PFB meyakini, bahwa hal itu
bukanlah akhir dari perjuangan buruh. Meskipun pemerintah menjanjikan
peranan PFB dalam negosiasi antara buruh dengan pengusaha, namun PFB
sendiri belum mendapat pengakuan sebagai lembaga perwakilan buruh. Hal ini
kemudian disiasati oleh Suryopranoto guna pengakuan terhadap PFB sebagai
perwakilan kaum buruh.Pada Juni 1920, sebelum masa panen (waktu di mana
perkebunan membutuhkan banyak tenaga kerja) Suryopranoto mengumumkan
pemogokan umum para buruh pabrik gula. Namun dalam negosiasinya
dinyatakan bahwa gerakan mogok akan dibatalkan bila pengusaha dan
pemerintah mau mengakui PFB sebagai perwakilan buruh. Aksi mogok
didukung oleh Tjokoroaminoto dan Haji Agus Salim sebagai upaya
memperlihatkan peranan gerakan buruh Jogjakarta. Namun, pihak Semarang
tidak menanggapi hal ini.Melihat sikap dari pihak Semarang, pada 1 Agustus
1920 terjadi perdebatan antara Semaun dan Suryopranoto di Semarang. Dalam
perdebatan itu, peranan PPKB sebagai kesatuan gerakan buruh dipertanyakan.
Tjokroaminoto, tampil menengahi perdebatan, ia menyatakan bahwa dirinya
tidak sepenuhnya sosialis dan tidak pula sepenuhnya berpihak pada
pemerintah dan menghasilkan keputusan bahwa pusat pimpinan PPKB berada
di tangan Semaun dan pusat kegiatan organisasi dipindahkan ke Jogjakarta
dengan pengawasan Tjokroaminoto.22Setelah Kongres berakhir, perdebatan
terhadap sikap Semaun dan Suryopranoto atas PPKB untuk mendukung aksi
PFB berlanjut. Suryopranoto menyatakan bahwa, ia mengharapkan
dukungan dari VSTP melakukan mogok atas pengangkutan hasil gula, hal
ini untuk mendukung aksi PFB, ini disebabkan karena musim panen telah
lewat. Pihak komunis akhirnya menyetujuinya, meskipun dengan penuh
kehati-hatian, karena Bergsma dan Semaun sedang melakukan negosiasi
kenaikan upah bagi para anggota VSTP, yang dikhawatirkan akan gagal bila
terjadi pemogokan.Keputusan dari Sindikat Pabrik Gula akhirnya keluar,
mereka menolak melakukan negosiasi dengan PFB untuk alasan apapun. Salah
satu hal yang menurunkan posisi tawar adalah aksi yang dilakukan oleh PFB
dalam mogok kerja pegawai gula baru berjumlah 3 kali dari 36 aksi
pemogokan yang terjadi.Rasa kekecewaan atas sikap Sindikat Pabrik Gula,
menurut Suryopranoto disebabkan tidak adanya peran aktif dari pihak
Semarang untuk mendukunggerakan kaum buruh. Hal ini menciptakan awal
dari perselisihan yang berakhir dengan pemisahan diri SI dengan para anggoa
SI yang juga PKI dengan disahkannya disiplin partai.23Pertentangan
Suryopranoto dan SemaunDalam Kongres CSI ke-4 di Surabaya,
Suryopranoto dengan tegas mengatakan bahwa ”kemenangan perjuangan dan
usaha menjadikan alat-alat produksi sebagai milik umum tidak harus dicapai
dengan aksi bersenjata, tetapi dengan paksaan batin (moral), protes,
perundingan di muka umum, dan jika perlu dengan pemogokan”.24Dalam
pidatonya, Suryopranoto nampak fasih mempergunakan istilah Marxisme,
yaitu “perjuangan kelas” dan “alat-alat produksi menjadi milik umum”.
Namun demikian, perjuangan untuk mencapai tujuan tersebut tidak ia anjurkan
mempergunakan cara-cara kekerasan berupa perlawanan bersenjata. Melihat
hal ini Semaun menyatakan bahwa Suryopranoto adalah seorang yang radikal
namun tidak “revolusioner”. Suryopranoto percaya akan cita-cita Marx, tetapi
ia berbeda dalam memandang cara pencapaiannya. Gagasannya tersebut
disambut baik oleh kelompok revolusioner maupun nonrevoluisoner. Melalui
peristiwa inilah kemudian berkembang upaya mempersatukan gerakan
buruh.Pada bulan Desember 1919 CSI mengadakan kongres di Yogyakarta
untuk mendirikan Vak Centrale Perserikatan Pergerakan Kaoem Boereoh
yang disebut dengan PPKB atau Vak Centrale. PPKB merupakan kesatuan
dari 44 organisasi23 Ibid.buruh, PFB sebagai organisasi terbesar. Dalam
peristiwa ini Semaun terpilih sebagai ketua dan Suryopranoto sebagai wakil
ketua.Dalam pengertian Suryopranoto, sebuah aksi pemogokan merupakan
“pisau bermata dua”, di mana bisa dipergunakan untuk menyerang dan juga
dapat berbahaya bagi diri sendiri. Pertama, aksi itu bisa menguntungkan kaum
buruh, akan tetapi di sisi lain bisa merugikan diri sendiri, dan menguntungkan
majikan. Kedua, pemogokan dapat terjadi bilamana permintaan akan hasil
produksi tengah merosot dan perusahaan cenderung mengurangi hasil
produksinya. Dalam keadaan yang demikian, apabila buruh melakukan aksi
mogok, pihak majikan justru beruntung. Perusahaan merasa tidak perlu
menggaji buruh, dan hal ini merupakan tindakan penghematan ongkos
produksi. Selain momentum, faktor penting lainnya adalah persatuan di antara
sesama buruh sendiri.Pada Oktober 1918 terjadi perdebatan dalam kongres di
Surabaya tentang watak dan orientasi gerakan. Kelompok Semaun yang
minoritas dalam SI, kembali menghendaki munculnya gagasan perjuangan
revolusioner dan politis. Maksudnya adalah memandang aksi pemogokan
tidak hanya semata-mata menuntut perbaikan nasib melainkan juga sebagai
alat perjuangan untuk merebut kekuasaan. Sementara itu pihak Suryopranoto
tetap menghendaki aksi pemogokan (untuk sementara) terbatas pada upaya
menuntut perbaikan nasib buruh. Alasan Suryopranoto, jika pemogokan masih
sebatas tututan ekonomi, maka pemerintah akan mengambil sikap netral. Bila
pemogokan berhaluan politis, maka pemerintahkemungkinan besar akan
mengambil tindakan keras untuk membendung gerakan- gerakan
pemogokan.25Perbedaan pandangan di atas kemudian memecah gerakan buruh
Semaun dan Suryopranoto. Semaun dalam salah satu pidatonya dalam
perumusan nama pesatuan organisasi buruh Revolutionnair Socialistische Vak-
centrale menyampaikan gagasan perlunya penegasan sikap “revolusioner”
dalam mensikapi permasalahan dan memberikan penjelasan mengenai haluan
program kerja organisasi buruh. Ia mengutarakan gagasannya tentang gerakan
revolusioner menuju kemerdekaan dan pentingnya rakyat di Hindia Belanda
untuk bersatu demi menentukan kehidupannya sendiri. Gagasan ini ditolak
oleh Suryopranoto dan pengurus pusat SI lainnya. Akhirnya organisasi ini
dinamakan PPKB (Perserikatan Pergerakan Kaum Buruh Hindia Belanda).
Memang dalam hal ini VSTP (Vereeniging voor Spoor en Tramweg
Personeel) dan Semaun cenderung berhaluan sosialis demokrat yang
cenderung radikal (kiri), sementara PFB dan Suryopranoto berhaluan sosial
demokrat yang berhaluan moderat dan kompromis (kanan).Sejak awal
pendiriannya, ada perbedaan politik yang tajam antara Suryopranoto dan
Semaun dalam tubuh PPKB. Tjokroaminoto selaku ketua Sarekat Islam dan
priyayi Jawa yang paling berpengaruh pada masa itu, berusaha menengahi.
Namun, perselisihan di antara mereka tidak dapat diselesaikan, sehingga
PPKB tidak berhasil menjalankan program-programnya. Hasilnya25 Ibid..,
hlm 102.PPKB hanya bertahan selama 2 tahun, ini disebabkan karena warna
dari politik organisasi-organisasi di dalamnya tidak dapat
dilepaskan.Melemahnya Gerakan BuruhPaska pecahnya PPKB serta
ketidakharmonisan hubungan antara Semaun dan Suryopranoto, masing-
masing kelompok dalam melancarkan aksi cenderung sepihak. Beberapa pihak
buruh kubu Suryopranoto berpindah pada kubu Semaun, sehubungan dengan
propaganda-propaganda mengenai sebuah gerakan yang “revolusioner”.
terbius oleh propaganda tersebut, banyak gerakan buruh merasa bahwa jalan
yang ditempuh oleh Suryopranoto cenderung “lamban” dan jalan Semaun
lebih “cepat”.Hal penting setelah terpecahnya PKI dengan SI adalah
diberlakukannya disiplin organisasi. Setiap anggota tidak boleh
berkeanggotaan ganda. Dampak lainnya adalah hadirnya rasa sakit hati para
pemimpin SI di Jogjakarta. Mereka memunculkan tiga serangan terhadap PKI.
Pertama, Suryopranoto menyatakan bahwa PKI tidaklah memiliki cukup
keberanian dalam menentang pemerintah kolonial, yang terbukti dengan surat
dan telegram dari Semaun yang selalu berhati-hati dalam bertindak. Kedua
adalah tesis Lenin dari komintern yang diterbitkan PKI bahwa gagasan
komunis adalah menolak Islam, meskipun hal ini dibantah oleh pihak
Semarang, bahwa Islam yang dimaksud ketika agama dijadikan alat
pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Ketiga adalah sikapdari PFB
dan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) menolak bergabung
dengan PKI dan segala kegiatannya. 26
Keadaan tersebut di atas tidak hanya
memecah SI Semarang dan Jogjakarta, namun juga semua cabang SI di
daerah. Akibatnya, kekuatan SI dan PKI menurun, antara lain disebabkan oleh
tidak terjadinya lagi kerjasama dalam aksi-aksi massa. Kondisi ini turut
memecah gerakan buruh, pada pihak Suryopranoto (jogjakarta) hanya
bergabung PPPB dan PFB, sedangkan banyak organisasi buruh lainnya
berpindah ke Semaun (Semarang) yang berhaluan PKI. Seiring dengan
keberhasilan-keberhasilan atas kinerja PKI dalam melancarkan aksi.
BAB III
KESIMPULAN

Pada abad ke XXI ini, banyak masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai
buruh. Buruh identik dengan pekerja kasar dan berstrata rendah dalam sebuah
perusahaan. Profesi ini memang dijalani oleh banyak orang karena sekarang
perusahaan-perusahaan baik asing maupun lokal telah membanjiri Indonesia.
Perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan
khusus dan diharapkan berbiaya rendah. Tidak jarang para buruh mengalami nasib
yang kurang layak, seperti terlihat dari upah yang mereka dapatkan tidak mampu
memenuhi kebutuhan harian secara wajar. Untuk dapat bersuara memperjuangkan
hak, guna mendapatkan penghidupan layak (pemenuhan kebutuhan hidup secara
wajar), mereka membangun organisasi serikat buruh. Melalui organisasi ini para
buruh bersatu memperjuangkan kepentingan mereka dan memberikan posisi tawar
yang menyatakan bahwa buruh memiliki hak yang patut dipenuhi oleh perusahaan.
Perjuangan buruh melalui pergerakan massa dan organisasi telah muncul sejak 1914
(VSTP). Awal pergerakan buruh dimulai oleh para pegawai berkebangsaan Belanda
di Indonesia. Para pegawai Belanda memiliki hak untuk berorganisasi, kondisi ini
terjadi karena di negeri asalnya mereka mendapatkan hak untuk bebas menyatakan
pendapat. Namun, pada perjalanannya pegawai pribumi pun semakin banyak yang
bergabung dalam kesatuan organisasi pekerja tersebut. Di sisi lain, pegawai Belanda
menyadari perlunya massa pegawai yang besar untuk mendukung dan
merepresentasikan kaum pekerja secara keseluruhan, dan tidak sebatas pada pegawai
Belanda saja, dengan demikian regenerasi pun dilakukan. Banyak pegawai pribumi
yang kemudian menjadi pengurus organisasi, salah satunya adalah Semaun yang
pada tahun 1916 menjabat sebagai propagandi VSTP.

DAFTAR PUSTAKA

Munir.2014. Gerakan Perlawanan Buruh. Malang: Intrans Publishing.

Mufakhir, Abu dkk. 2014. Kebangkitan Gerakan Buruh Refleksi Era Reformasi.
Jakarta: Trade Union Rights Centre (TURC).

Cahyono, Kahar S. 2010. Buruh Bergerak Pengalaman Aliansi Serikat Buruh Serang.
Jakarta: Trade Union Rights Centre (TURC).

Sukmana, Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans
Publishing.

Situmorang, Wahid, Abdul. 2013. Gerakan Sosial: Teori& Praktik. Yogyakarta:


Pustaka Belajar.

Indrawan, Poppy. 2014. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Campuran


Untuk Manajemen, Pembangunan, dan Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama.

Sujarweni, Wiratna V. 2019. Metodologi Penelitian Lengkap, Praktis, dan Mudah


Dipahami. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Indrawati. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif Manajemen dan Bisnis Korvergensi


Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: PT Refika Aditama.

Usman, Husaini dkk. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ingleson, John. 2015. Buruh, Serikat, dan Politik. Serpong, Tangerang Selatan: CV
Marjin Kiri

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai