BURUH BERGERAK;
SEMAUN DAN SURYOPRANOTO
DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH
1926
Oleh :
Mikael Yohanes Pradana Yapari
2001561034
ABSTRAK
Paper yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan
Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926”
berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa
Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua,
peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di
Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab
terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926.
Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, paper ini
mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut
dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan
teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain,
yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan
tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif
konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi.
Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pergerakan buruh yang
dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto memang terinspirasi dari
kondisi ketertindasan atas nasib kaum pekerja saat itu. Dalam pergerakan
buruh, Semaun terinspirasi atas gagasan Marxis yang dipelajarinya dari
Sneevliet, sedangkan Suryopranoto menyadari perlunya perbaikan
kesejahteraan kaum pekerja. Perjuangan mereka pada perjalanannya
berhasil memberikan posisi tawar kaum buruh terhadap majikan. Namun,
sifat kepemimpinan yang cenderung tunggal serta kurangnya kaderisasi
serta penangkapan tokoh-tokoh gerakan buruh oleh pemerintah kolonial
menjadikan gerakan ini melemah dan akhirnya ditumpas pada tahun 1926.
PENGANTAR
• Latar Belakang
Setelah cukup lama Indonesia dijajah oleh VOC dan kemudian oleh
Pemerintah Belanda, pada tahun 1870 muncul sebuah era baru. Sebelum
1870, melalui Culture Stelsel, pemerintah Hindia Belanda secara
monopolistik bertindak sebagai pelaku, namun sejak 1870 dimulai sistem baru
yaitu ekonomi liberal yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investasi
swasta asing, khususnya swasta Belanda. Sebagai contoh, Bila sebelum 1870
usaha perkebunan dikuasai oleh pemerintah kolonial, kini modal swasta
diperbolehkan melakukan pengelolaan. Sistem ekonomi liberal
menghapuskan kerja paksa dan rodi, serta memperkenalkan sistem kerja
upahan.
Pada era ekonomi liberal, modal swasta asing antara lain melakukan
usaha dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan usaha-usaha lain.
Namun, modal asing ini tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakat pribumi. Para pemodal swasta oleh Soe Hok Gie disebut
berada dalam free fight competition to exploit Indonesian. Meskipun
mereka tidak dapat membeli lahan untuk usaha perkebunan mereka
dapat menyewanya dari pemerintah atau pribumi. Hal ini diatur dalam
Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 yang sangat bermanfaat untuk
membantu terlaksananya sistem ekonomi liberal.
Penyewaan tanah seringkali dilakukan oleh pejabat desa (lurah).
Sawah yang sebelumnya adalah milik desa (tanah kas desa) dan dikelola oleh
petani disewakan kepada pihak swasta. Pihak swasta juga memanfaatkan
sistem tradisional yang ada, termasuk di dalamnya keterikatan antara pemilik
tanah dengan petani penggarap. Setelah tanah milik tuan tanah disewa oleh
swasta para petani penggarap menjadi buruh dalam perusahaan tersebut.
Namun, untuk para buruh tani (petani penggarap) sering sekali tidak
diperhatikan kesejahteraannya untuk menekan biaya produksi perusahaan.
Sewa-menyewa tanah memposisikan para lurah seolah sebagai raja-raja kecil.
Sejak 1870 jalur kereta api sebagai sarana pengangkutan bertumbuh
pesat, terutama di daerah Semarang dan Vorstenlanden. Dalam kurun waktu
lima tahun jumlah barang dagangan yang dapat diangkut dengan kereta api
naik hingga 270 persen. Kondisi ini menyatakan betapa tingginya
pembangunan jalur transportasi guna pengangkutan barang perusahaan.
Sejak tahun 1870-an pula meningkat secara drastis jumlah tanah di daerah
vorstenlanden yang disewakan kepada pihak swasta. Hal ini turut mendorong
pergerakan buruh kereta api dan pabrik gula dari tahun 1917 hingga tahun
1926.
Kondisi perekonomian Indonesia paska 1870 mengalami pertumbuhan
sangat cepat karena masuknya investasi swasta asing secara besar-besaran.
Namun hal ini juga berdampak pada kaum pribumi.
Pertumbuhan pesat lahan tebu menciptakan penderitaan baru bagi
masyarakat pribumi, seiring dengan terjadinya perubahan fungsi lahan pangan
menjadi lahan industri. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis bahan pangan,
sehingga berdampak pada naiknya harga. Kesengsaraan pribumi semakin
bertambah karena pengusaha senantiasa memegang prinsip untuk menekan
upah sekecil-kecilnya guna menghasilkan keuntungan sebesar-bersarnya,
yang antara lain diwujudkan dalam upah buruh yang rendah. Kondisi buruk
atas kelangkaan serta naiknya harga bahan pangan dan upah buruh yang
sedemikian rendah memicu rasa ketidaksenangan masyarakat pribumi
terhadap pemilik modal.
Namun dalam praktiknya, hanya anak-anak dari keluarga kaum elite
pribumi sajalah yang mampu mendapatkan pendidikan dan pengajaran itu.
Lagi pula, program Politik Etis ini kemudian bergulir tidak pertama-tama
dalam rangka menciptakan pendidikan yang layak (berkualitas) melainkan
terutama menciptakan buruh modern lokal yang murah. Penyelenggaraan
pendidikan berubah dari upaya mencerdaskan, menjadi kepentingan ekonomi
perusahaan swasta asing untuk memenuhi standar penguasaan alat-alat
produksi industri modern.
Meskipun demikian, kesempatan menempuh jalur pendidikan yang
hanya sebatas pada segelintir orang ternyata mampu melahirkan tokoh
pergerakan nasional dikemudian harinya, termasuk penggerak kaum buruh.
Semaun dan Suryopranoto
adalah contohnya. Keduanya sempat menjadi siswa sekolah Belanda, bahkan
Semaun sempat belajar di negeri Belanda, sedangkan Suryopranoto lulus hingga
sekolah tinggi Belanda untuk pribumi di Hindia Belanda. Keduanya merupakan
produk dari Politik Etis, namun mereka mampu memanfaatkan pendidikan itu
untuk mensiasati ketertindasan kaum pribumi, terutama buruh.
Meningkat pesatnya usaha-usaha swasta Barat di Indonesia pada tahun
1900- 1915 berdampak pada bertambah besarnya jumlah buruh pribumi.
Pada masa ini mulai berkembang organisasi-organisasi maupun serikat-
serikat yang berpihak pada kaum buruh, diantaranya adalah Sarekat Islam di
Semarang pada saat kepemimpinan Semaun dan Adhi Darmo yang kemudian
berkembang menjadi Personeel Fabrieks Bond yang digagas oleh
Suryopranoto.
Semaun, setelah kongres SI Semarang pada tanggal 6 Mei 1917, saat
berusia 19 tahun, resmi menjadi presiden Sarekat Islam Semarang. Pada era
kepemimpinannya berfokus pada situasi sosial yang relevan bagi kaum pribumi,
yaitu persoalan buruh. Besarnya jumlah buruh di Semarang memberikan ruang
kegiatan bagi SI Semarang antara lain berupa advokasi dan upaya-upaya
pensejahteraan, baik melalui bantuan, aksi politik, pendidikan buruh, hingga
mogok kerja guna menuntut perbaikan kesejahteraan buruh. Semaun dalam
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Henk Sneevliet, seorang penganut
komunis dari Belanda. Perjumpaan dengan Sneevliet membawanya tertarik
dengan gagasan komunisme, yang dianggapnya sesuai dengan kondisi pribumi
saat itu.
Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto merupakan anak bangswan
Yogyakarta. Ia berhasil menyelesaikan sekolah yang diperuntukkan bagi
kaum pribumi hingga tingkat akhir di Jawa. Kedekatannya dengan buruh
dimulai sejak ia menjadi kleine Ambtenaar, Assisten Wedono Sentono serta
perjumpaan secara langsung dengan kondisi perburuhan yang tidak layak di
Jawa. Ia berjuang dengan inisiatif pribadi dan pandangan ke-Jawa-an yang
diajarkan ayahnya bahwa tugas para priyayi adalah membantu serta menolong
sesama masyarakat yang tertindas. Hampir serupa dengan Semaun, ia juga
memiliki panutan dari dunia pewayangan, yakni Bimo dan Kokrosono.
Suryopranoto memimpikan dirinya dapat mendobrak masyarakat pribumi
menuju kehidupan yang lebih baik.
Semaun maupun Suryopranoto berpandangan bahwa hak atas kaum
buruh tidak terpenuhi, sehingga mereka mengeluarkan sebuah sikap serta
tindakan melalui pergerakan. Semaun bergerak melalui organisasi SI cabang
Semarang guna membangun kesadaran buruh untuk melakukan perlawanan
bilamana hak mereka tidak terpenuhi. Suryopranoto pun demikian, ia
melakukan pendidikan serta membentuk lembaga-lembaga bantuan bagi kaum
buruh.
• Metode Penelitian
Melakukan sebuah rekonstruksi sejarah bukan pekerjaan mudah
karena peristiwa masa lalu tidak terekam secara utuh dan objektif. Dalam
penulisan sejarah tidak dapat dipungkiri adanya faktor subjektif seorang
penulis dalam melihat peristiwa melalui cara pandangnya secara pribadi.
Cara pandang setiap orang berbeda-beda, dan dari perbedaan pandangan ini
diharapkan muncul gagasan yang maksimal dalam membedah peristiwa
tersebut.
Dalam penulisan sejarah dikenal adanya langkah-langkah metodis,
yang merupakan tahapan umum penyusunan historiografi. Secara berurutan
sebagai berikut: pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik sumber,
analisa, dan yang terakhir adalah penulisan atau historiografi.19 Berdasarkan
sistematisasi tersebut, penelitian ini menentukan topik perbandingan gagasan
Semaun dan Suryopranoto tentang pergerakan buruh. Setelah topik
ditentukan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan sumber sejarah
(heuristik), baik yang bersifat primer maupun sekunder. Sumber primer
adalah sumber-sumber yang berasal dari pelaku langsung atau berupa
dokumen (surat, karya tulis dan sejenisnya) dari situasi tersebut.
Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak
terlibat dari peristiwa itu namun mampu menjelaskan serta
mendokumentasikan data sumber primer. Penelitian ini berupa kajian pustaka
yang didapatkan dari karya tulis, catatan dokumentasi maupun laporan
penelitian dari, Semaun dan Suryopranoto dalam hal pergerakan buruh.
Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukanlah kritik sumber baik
secara eksternal maupun internal. Pemilihan sumber didasarkan pada
kesesuaiannya dengan topik penulisan. Langkah berikutnya adalah analisis
terhadap sumber yang telah teruji dan melalui analisis inilah kemudian
ditentukan gagasan-gagasan yang terangkum. Tahap terakhir adalah
penulisan.
Beberapa contoh sumber primer yang digunakan adalah:
• Hasil wawancara antara Soe Hok Gie dengan Semaun yang terangkum
dalam buku Lentera Merah
• Kumpulan tulisan, artikel di media massa, dan surat Semaun dalam
buku Bebareng Bergerak karya Soewarsono.
• Kumpulan data-data baik luas peralihan tanah dari petani kepada
penguasaha swasta di beberapa tempat di Jawa Tengah, panjang rel
serta jumlah beban angkutan kereta api di Semarang, jumlah produksi
gula di Yogyakarta dan jumlah sekolah beserta muridnya dari tahun
1862-1920 dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi.
BAB II
PEMBAHASAN
• Kereta Api
Tabel II. 2
Jumlah Kematian Penduduk
• Hadirnya Modernisasi
Tabel II.7
Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura
Pada kongres CSI ke-3 yang berlangsung pada bulan Oktober 1918 di
Surabaya, terjadi sebuah perdebatan antara Semaun dan Suryopranoto. Mereka
berdua memperdebatkan mengenai perlunya sebuah kesatuan organisasi buruh.
Dalam perumsannya di Jogjakarta pada 25-26 Desember 1919. Terjadi
perdebatan mengenai gagasan dan nama organisasi buruh yang akan di bangun
tersebut. Seamun mengusulkan untuk menggunakan nama Vakcentral. Namun
hal ini sisanggah oleh Suryopranoto karena dirasa politis dan memiliki potensi
konflik. Maka pada akhirnya disepakatilah nama PPKB (Persatoean
Pergerakan Kaoem Boereoeh) yang dirasa cukup mengakomodasi
kepentingan buruh dan tidak politis.
Aksi massa PPKB yang cukup besar terjadi pada tanggal 23 Februari
1920. Dalam aksi ini PPKB berhasil mengajak sekitar 819 pekerja percetakan.
Aksi mereka dapat dikatakan berhasil karena dampak dari kejadian tersebut
adalah perusahaan percetakan satu demi satu mengabulkan kenaikan gaji
buruh sebesar 10%.23
Pada Agustus 1920 dalam kongres I PPKB di Semarang, Semaun
terpilih menjadi ketua dan Suryoranoto sebagai wakil ketua. Keduanya
dianggap mampu melaksanakan mandat karena pengalaman dan keahliannya
dalam gerakan buruh. Semaun memang menjadi rekomendasi kuat
mengingat ia memiliki pendukung
24
Ibid., hlm 75.
25
Ibid.
berkebangsaan Belanda, maka naiklah para pengurus dari kaum pribumi pada
jabatan-jabatan penting organisasi tersebut, sehingga mempercepat ISDV
mendapatkan basis massanya.27
Setelah kepergian Sneevliet, partai diambil alih oleh Semaun dan
Darsono. Pada bulan Mei 1920 berubah nama menjadi Perserikatan Komunis
di Hindia dan pada tahun 1924 berganti nama lagi menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Partai ini merupakan organisasi politik pertama yang secara
legal didirikan oleh orang Indonesia.28
Kerjasama PKI melalui Semaun dengan SI yang diwakili oleh Semaun
sendiri serta Suryopranoto dalam PPKB mengalami perpecahan. Munculnya
dualisme ideologi menciptakan organisasi tersebut terpecah. Semaun
kemudian mempergunakan 22 serikat pekerja dan 72.000 orang yang berpihak
padanya membentuk Revolutionaire Vakcentraale.
Setelah kongres CSI ke-4 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1920,
dengan keputusan bahwa dalam tubuh SI diberlakukan disiplin partai, yakni
keanggotaan tunggal (kecuali anggota Muhammadiyah), maka anggota-
anggota PKI dikeluarkan dari SI. Perpecahan ini juga berdampak pada cabang-
cabang SI yang berpandangan sama dengan Semaun. Perpecahan pada tubuh
SI ini kemudian dikenal dengan pemilahan ”SI Merah” dan ”SI Putih”.
Semenjak keluar dari SI, PKI memulai membangun basis massanya
sendiri. Meskipun berpandangan sosialis, mereka merasa berbeda dengan
pergerakan dari Komunis Internasional (Komintern). Menurut Semaun,
gagasan yang ada di Rusia tidak sepenuhnya tepat untuk dilaksanakan di
Hindia Belanda, sehingga perlu adanya sebuah modifikasi pola pergerakan
PKI di Indonesia. PKI berbeda dengan doktrin Marx dan Lenin. PKI bersifat
Indonesia, sehingga perlu dibuat sebuah strategi yang cukup inovatif guna
membangun basis massa yang sesuai dengan tujuan PKI.
PKI dalam gerakannya lebih banyak berbicara dan mempermasalahkan
hal-hal yang secara umum dipahami oleh masyarakat pribumi. Masyarakat
tanpa kelas dikemukakan sebagai penjelmaan kembali Majapahit yang
diromantiskan, yang dipandang sebagai zaman persamaan derajat sebelum
datangnya bangsa Belanda, yang juga berarti sebelum Islam. Dalam
propagandanya disebutkan bahwa pahlawan-pahlawan PKI adalah Dipanegara,
Kyai Maja, dan Sentot dari Perang Jawa.3
Pada musim gugur 1921 Semaun berangkat ke Rusia, posisi ketua PKI
digantikan oleh Tan Malaka. Pada Mei 1922 Semaun kembali ke Indonesia
guna memperbaiki kinerja PKI dalam bertindak, namun dalam aksi mogok
buruh kereta api pada 1923, ia kembali diasingkan ke Belanda. Pada 20
September 1923 Semaun tiba di Amsterdam. Kedatangan Semaun merupakan
sebuah kesempatan bagi Communistche Partij Nederland (CPH) untuk
membangun sebuah komite bersama untuk Hindia Belanda. Bergsma yang
merupakan seorang anggota PKI yang berada di Belanda bersama Sneevliet
mengusulkan dibentuknya sebuah komite yang dari Partai Komunis Belanda
akan memberikan masukan atas kinerja PKI. Namun, Semaun menolak
usulan-usulan tersebut. Baginya CPH harus membatasi diri dalam memberikan
bantuan bagi PKI.
Di Belanda, Semaun berma Bergsma dan Sneevliet membuat majalah
”Pandoe Merah”. Majalah ini terbit dalam dua bahasa, Melayu dan Belanda.
Namun, setelah majalah jilid pertama masuk ke Indonesia, terjadi kesulitan
karena dilarang oleh pemerintah kolonial. Semaun kemudian memanfaatkan
para pelaut Indonesia di Belanda guna menjadi kurir, dan kedekatan ini
menghasilkan sebuah organisasi baru bernama Sarekat Pegawai Laoet
Indonesia (SPLI) tahun 1924. Melalui SPLI inilah artikel dan pesan Semaun
dihantarkan dari Belanda ke Indonesia.
Di Belanda, pada tahun 1923, Bergsma dan Sneevliet mengusulkan
kepada Semaun untuk kembali bersatu dengan Partai Sarekat Islam untuk
memperkuat gerakan pribumi. Namun, sikap Semaun lebih suka mendekati
kaum nasionalis radikal di Belanda yang diwakili oleh Perhimpunan Hindia
(PH). Pada tahun ini juga, Moskow mengangkat Semaun sebagai Komite
Eksekutif Komintern
Selain kepada SPLI, Semaun juga memberikan perhatiannya kepada
para mahasiswa pribumi di Belanda yang radikal. Pada tahun 1924 Semaun
tercatat
Pada abad ke XXI ini, banyak masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai
buruh. Buruh identik dengan pekerja kasar dan berstrata rendah dalam sebuah
perusahaan. Profesi ini memang dijalani oleh banyak orang karena sekarang
perusahaan-perusahaan baik asing maupun lokal telah membanjiri Indonesia.
Perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan
khusus dan diharapkan berbiaya rendah. Tidak jarang para buruh mengalami nasib
yang kurang layak, seperti terlihat dari upah yang mereka dapatkan tidak mampu
memenuhi kebutuhan harian secara wajar. Untuk dapat bersuara memperjuangkan
hak, guna mendapatkan penghidupan layak (pemenuhan kebutuhan hidup secara
wajar), mereka membangun organisasi serikat buruh. Melalui organisasi ini para
buruh bersatu memperjuangkan kepentingan mereka dan memberikan posisi tawar
yang menyatakan bahwa buruh memiliki hak yang patut dipenuhi oleh perusahaan.
Perjuangan buruh melalui pergerakan massa dan organisasi telah muncul sejak 1914
(VSTP). Awal pergerakan buruh dimulai oleh para pegawai berkebangsaan Belanda
di Indonesia. Para pegawai Belanda memiliki hak untuk berorganisasi, kondisi ini
terjadi karena di negeri asalnya mereka mendapatkan hak untuk bebas menyatakan
pendapat. Namun, pada perjalanannya pegawai pribumi pun semakin banyak yang
bergabung dalam kesatuan organisasi pekerja tersebut. Di sisi lain, pegawai Belanda
menyadari perlunya massa pegawai yang besar untuk mendukung dan
merepresentasikan kaum pekerja secara keseluruhan, dan tidak sebatas pada pegawai
Belanda saja, dengan demikian regenerasi pun dilakukan. Banyak pegawai pribumi
yang kemudian menjadi pengurus organisasi, salah satunya adalah Semaun yang
pada tahun 1916 menjabat sebagai propagandi VSTP.
DAFTAR PUSTAKA
Mufakhir, Abu dkk. 2014. Kebangkitan Gerakan Buruh Refleksi Era Reformasi.
Jakarta: Trade Union Rights Centre (TURC).
Cahyono, Kahar S. 2010. Buruh Bergerak Pengalaman Aliansi Serikat Buruh Serang.
Jakarta: Trade Union Rights Centre (TURC).
Sukmana, Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans
Publishing.
Usman, Husaini dkk. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ingleson, John. 2015. Buruh, Serikat, dan Politik. Serpong, Tangerang Selatan: CV
Marjin Kiri