DISUSUN OLEH:
AKHMAD ALVIAN NANDA
(115030700111016)
intelektual
gerakan
Saminisme
adalah
Raden
Surowijoyo.
Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini didapat dari ayah, yaitu anak dari
pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten
Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini
dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan
tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir), dan
mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi,
yaitu banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat
rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar
pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga
kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para
suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat
yang berbentuk kraman brandalan sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu
sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hindhu-Dharma. Beberapa sempalan
ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa Jawa baru yaitu dalam bentuk puisi
tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin
ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin
berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara
Hindhu Budha. Namun pada perjalanannya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran
ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang dibawa oleh muridnya
yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut dicatat, orang Samin merupakan bagian
masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) di
antaranya di Tapelan (Bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk
(Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan).
Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan
mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawanan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan
penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung.
Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak,
mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis
kereta, dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan
menyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung
padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih
mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa dan
menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada
momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk
mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu
berbegangan
sejenis
primbon
(kepek)
yang
mengatur
kehidupan
luas,
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa Kawi yang
ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa Kawi desa kasar. Orang Samin
memiliki kepribadian yang polos dan jujur, hal ini dapat dilihat setiap ada tamu
yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimiliki dan tidak
pernah menyimpan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan orang Samin
terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan
melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis)
yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial, kekeluargaan dan
tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya, dalam menuju kemajuan harus
dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak
mesin seperti traktor, huller, dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin
adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain
kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan
tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang
disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup
Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora), Purwosari (Cepu), dan
Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini
meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin di antaranya; menguasai adanya kekuasaan
tertinggi (sang Hyang Adi Budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama
mahluk,
tidak
terikat
kepada
barang-barang
dunia-kegembiraan-dan
dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan
Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di
Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki
jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance
Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890.
Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indi (1919) diterangkan, orang Samin
seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah
Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah,
(1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora,
Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang
terbanyak di Tapelan.
Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini
merupakan sebutan untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif
Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai 'Wong
Sikep' karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan jujur, sebagai alihalih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata
masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur. Wong
Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh
Samin Surontiko (1859-1914).
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
1. tidak bersekolah,
2. tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang
diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
3. tidak berpoligami,
4. tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
5. tidak berdagang.
6. penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya
Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah
prinsip dan falsafah hidup Masyarakat Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun
2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi
dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendapatkan penelitian,
yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang
mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga
tradisi untuk kelanggengan keyakinan.
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
1. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak
membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah
mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam
hidupnya.
2. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan
jangan suka mengambil milik orang.
3. Bersikap sabar dan jangan sombong.
4. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah
sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut
orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun
hanya menanggalkan pakaiannya.
5. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling
menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam
perdagangan terdapat unsur ketidakjujuran. Juga tidak boleh
menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai
agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat
Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer
Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat
Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan
dimuliakan oleh orang Samin. Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten
(pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu
genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa. Dengan mempedomani kitab itulah,
orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap
drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak
adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan
kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaikbaiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka
hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin
menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan
rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat
dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding
batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung, atau
joglo. Penataan ruang sangat sederhana dan masih tradisional, terdiri dari ruang
tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak
agak jauh dan biasanya digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada
di luar, di samping rumah.Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat
Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada
sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi
selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan,
perkawinan
dan
kematian.
Mereka
melakukan
tradisi
tersebut
secara
Bojonegoro
tidak
berdampak
signifikan
dalam
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Melihat fenomena di atas, yang terjadi di Bojonegoro saat ini adalah suatu
bentuk system kolonial baru, dimana masyarakat Bojonegoro dijajah oleh
pemerintahnya sendiri. Pemerintah yang menjual kekayaan alam bangsanya
kepada pihak asing, bukan untuk kesejahteraan rakyatnya, adalah bentuk baru
pemerintahan yang kolonial dan kapital yang pasti menyengsarakan rakyat.
Oleh karena itu, Masyarakat Bojonegoro tampaknya harus belajar kembali
pada masyarakat samin, dengan Gerakan Saminismenya. Karena kecintaan
mereka kepada bangsanya, masyarakat samin tidak rela memberikan kekayaan
yang dimiliki bangsanya kepada orang asing yang sebenarnya sama sekali tidak
berhak. Seharusnya kita pun demikian. Sejarah mengajarkan bahwa keterlibatan
asing dalam pengelolaan SDA sering bersifat merugikan. SDA yang kita miliki
seharusnya kita jaga dengan baik, keterlibatan asing diminimalisir dan
keterlibatan anak bangsa ditingkatkan. hingga suatu saat kita dapat mengelolanya
sendiri secara baik, optimal dan bijaksana. Sehingga manfaatnya pun bisa
dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat Bojonegoro.
Sumber Referensi :