Anda di halaman 1dari 15

SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT

DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO

DISUSUN OLEH:
AKHMAD ALVIAN NANDA

(115030700111016)

PRODI ILMU PERPUSTAKAAN


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2012

Pengertian Sistem Sosial Budaya


Sistem berasal dari bahasa Latin (systma) dan bahasa Yunani (sustma)
yang berarti suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang
dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi.
Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang
berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.
Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan
yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh
umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa
elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga
membentuk suatu negara dimana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu
rakyat yang berada dinegara tersebut. Kata "sistem" banyak sekali digunakan
dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi maupun dokumen ilmiah.
Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga
maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem
adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.
Istilah sosial budaya merupakan bentuk gabungan dari istilah soial dan
budaya. Sosial dalam arti masyarakat, budaya atau kebudayaan dalam arti sebagai
semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sosial budaya dalam arti luas
mencakup segala aspek kehidupan. Karena itu, atas dasar landasan pemikiran
tersebut maka pengertian sistem sosial budaya Indonesia dapat dirumuskan
sebagai totalitas tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia Indonesia yang
merupakan manifestasi dari karya, rasa dan cipta didalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Degan demikian, sistem sosial budaya Indonesia memungkinkan setiap
manusia mengembangkan dirinya dan mencapai kesejahteraan lahir batinnya
selengkap mungkin secara merdeka sesuai dengan kata hatinya dalam kerangka
pola berpikir dan bertindak yang berdasarkan pancasila.

Sejarah Kabupaten Bojonegoro


Masa kehidupan sejarah Indonesia kuno ditandai oleh pengaruh kuat
kebudayaan Hindu yang datang dari India sejak abad I yang membedakan warna
kehidupan sejarah Indonesia jaman Madya dan jaman Baru. Sedangkan
Bojonegoro masih dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sampai abad XVI ketika
runtuhnya kerajaan Majapahit, kekuasaan pindah ke Demak, Jawa Tengah.
Bojonegoro menjadi wilayah kerajaan Demak, sehingga sejarah Bojonegoro kuno
yang bercorak Hindu dengan fakta yang berupa penemuan-penemuan banyak
benda peninggalan sejarah asal jaman kuno di wilayah hukum Kabupaten
Bojonegoro mulai terbentuk. Slogan yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak
masa Majapahit "sepi ing pamrih, rame ing gawe" tetap dimiliki sampai sekarang.
Bojonegoro sebagai wilayah kerajaan Demak mempunyai loyalitas tinggi
terhadap raja dan kerajaan. Kemudian sehubungan dengan berkembangnya
budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah
pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam
tanpa disertai gejolak. Raden Patah, Senopati Jumbun, Adipati Bintoro,
diresmikan sebagai raja I awal abad XVI dan sejak itu Bojonegoro menjadi
wilayah kedaulatan Demak. Dalam peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan
membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah kerajaan Pajang dengan raja Raden
Jaka Tinggkir Adipati Pajang pada tahun 1568. Pangeran Benawa, putra Sultan
Pajang, Adiwijaya merasa tidak mampu untuk melawan Senopati yang telah
merebut kekuasaan Pajang 1587. Maka Senopati memboyong semua benda
pusaka kraton Pajang ke Mataram, sehingga Bojonegoro kembali bergeser
menjadi wilayah kerajaan Mataram. Daerah Mataram yang telah diserahkan
Sunan Amangkurat kepada VOC berdasarkan perjanjian, adalah pantai utara Pulau
Jawa, sehingga merugikan Mataram.
Perjanjian tahun 1677 merupakan kekalahan politik berat bagi Mataram
terhadap VOC. Oleh karena itu, status kadipaten pun diubah menjadi kabupaten
dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Toemapel yang juga merangkap
sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang pada tanggal 20 Oktober 1677.
Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan sebagai HARI JADI

KABUPATEN BOJONEGORO. Pada tahun 1725 Susuhunan Pakubuwono II naik


tahta. Tahun itu juga Susuhunan memerintahkan agar Raden Tumenggung Haria
Mentahun I memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Jipang dari Padangan ke
Desa Rajekwesi. Lokasi Rajekwesi 10 Km di selatan kota Bojonegoro. Sebagai
kenangan pada keberhasilan leluhur yang meninggalkan nama harum bagi
Bojonegoro, tidak mengherankan kalau nama Rajekwesi tetap dikenang di dalam
hati rakyat Bojonegoro sampai sekarang.
Kebudayaan Samin
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko
(1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda
dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda
abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh
sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah
dan digunakan untuk perluasan hutan jati. Ajaran Saminisme muncul sebagai
akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenangwenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan
terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap
Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang
menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaankebiasaan tersendiri.
Otak

intelektual

gerakan

Saminisme

adalah

Raden

Surowijoyo.

Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini didapat dari ayah, yaitu anak dari
pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten
Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini
dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan
tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir), dan
mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi,
yaitu banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat
rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar
pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga
kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para

berandalan di Rajegwesi dan Kanner yang di kemudian hari menyusahkan pihak


Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh
masyarakat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata sami-sami
amin yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan
langkah memberandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat
miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif
revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai
bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan
cara ceramah di pendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi ceramah ini yaitu
keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang
didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak,
ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan jatmiko selalu berpegangan
akan budi pekerti.
Namun, akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko dicekal oleh
Belanda dan ia dibuang ke Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat
mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan
kitab orang Samin yang ditulisnya juga disita yang berjudul Serat Jamus
Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang
Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang
melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga
masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte
Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara matimatian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai
Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu
dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan
kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama,
gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme
dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat
utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam
diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaga untuk
negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa

suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat
yang berbentuk kraman brandalan sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu
sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hindhu-Dharma. Beberapa sempalan
ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa Jawa baru yaitu dalam bentuk puisi
tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin
ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin
berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara
Hindhu Budha. Namun pada perjalanannya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran
ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang dibawa oleh muridnya
yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut dicatat, orang Samin merupakan bagian
masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) di
antaranya di Tapelan (Bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk
(Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan).
Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan
mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawanan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan
penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung.
Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak,
mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis
kereta, dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan
menyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung
padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih
mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa dan
menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada
momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk
mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu
berbegangan

sejenis

primbon

(kepek)

yang

mengatur

kehidupan

luas,

kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja,


dewasa, dan antarwarga Samin.

Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa Kawi yang
ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa Kawi desa kasar. Orang Samin
memiliki kepribadian yang polos dan jujur, hal ini dapat dilihat setiap ada tamu
yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimiliki dan tidak
pernah menyimpan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan orang Samin
terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan
melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis)
yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial, kekeluargaan dan
tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya, dalam menuju kemajuan harus
dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak
mesin seperti traktor, huller, dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin
adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain
kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan
tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang
disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup
Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora), Purwosari (Cepu), dan
Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini
meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin di antaranya; menguasai adanya kekuasaan
tertinggi (sang Hyang Adi Budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama
mahluk,

tidak

terikat

kepada

barang-barang

dunia-kegembiraan-dan

kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin di kalangan antar warga.


Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang
bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran
politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat
leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai
orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.
Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin tersebar pertama kali
di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin
berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro,
Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai

dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan
Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di
Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki
jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance
Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890.
Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indi (1919) diterangkan, orang Samin
seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah
Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah,
(1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora,
Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang
terbanyak di Tapelan.
Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini
merupakan sebutan untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif
Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai 'Wong
Sikep' karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan jujur, sebagai alihalih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata
masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur. Wong
Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh
Samin Surontiko (1859-1914).
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
1. tidak bersekolah,
2. tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang
diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
3. tidak berpoligami,
4. tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
5. tidak berdagang.
6. penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya
Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah
prinsip dan falsafah hidup Masyarakat Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun

2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi
dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendapatkan penelitian,
yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang
mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga
tradisi untuk kelanggengan keyakinan.
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
1. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak
membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah
mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam
hidupnya.
2. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan
jangan suka mengambil milik orang.
3. Bersikap sabar dan jangan sombong.
4. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah
sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut
orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun
hanya menanggalkan pakaiannya.
5. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling
menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam
perdagangan terdapat unsur ketidakjujuran. Juga tidak boleh
menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai
agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat
Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer
Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat
Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan
dimuliakan oleh orang Samin. Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten
(pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu
genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa. Dengan mempedomani kitab itulah,
orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap
drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak

mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali


dilakoni."
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi
kritis.Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai
adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa
yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.Pakaian orang Samin
biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah, berwarna hitam. Laki-laki
memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang,
berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.Dalam hal
kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa
pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja
mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah
Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar
Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan
kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama
pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu
merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan
Atmaja (U)Tama (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki
diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian :
Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang
perempuan bernama Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah
kami jalani berdua. Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan
Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga
samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang
menikahkan hanya orang tua pengantin.Pandangan masyarakat Samin terhadap
lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil
kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan
pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa

adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan
kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaikbaiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka
hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin
menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan
rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat
dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding
batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung, atau
joglo. Penataan ruang sangat sederhana dan masih tradisional, terdiri dari ruang
tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak
agak jauh dan biasanya digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada
di luar, di samping rumah.Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat
Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada
sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi
selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan,
perkawinan

dan

kematian.

Mereka

melakukan

tradisi

tersebut

secara

sederhana.Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin.


Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian,
serta menggunakan peralat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain.
Berbicara kondisi Bojonegoro terkini, yang timbul adalah rasa prihatin.
Bagaimana tidak, di atas tanahnya yang kaya, masih banyak masyarakat
Bojonegoro yang hidup miskin dan serba kekurangan. Mereka kehilangan hak dan
tak punya kuasa untuk mempertahankan dan menikmati kekayaan alam yang
dimilikinya. Dalam kondisi demikian, seharusnya masyarakat Bojonegoro berguru
pada masyarakat samin dalam hal mempertahankan kakayaan alam dan
kedaulatan mereka menentang kesewenangan pemerintah kolonial.
Suku Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang sejak awal
menerapkan konsep perlawanan kepada budaya kolonialisme dan kapitalisme,
dengan ajaran saminismenya sejak abad ke-19. Masyarakat samin Bojonegoro
mulai terbentuk pada tahun 1890, di kawasan hutan Randublatung, Desa Tapelan,
Kecamatan Ngraho, Bojonegoro. Ajaran Saminisme muncul sebagai reaksi

terhadap pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan


dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala
peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap pemerintah
Kolonial. Tiga unsur gerakan saminisme adalah: pertama, gerakan yang mirip
organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial
dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa
perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan
cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk pemerintah
kolonial, menjegal peraturan agraria yang dianggap merugikan petani dan
bertindak non kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Bojonegoro adalah salah satu daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam
(SDA), baik hayati maupun non hayati. Wilayahnya yang terbentang seluas
230.706 Ha, dengan bagian utara dilewati oleh aliran sungai Bengawan Solo
sehingga memiliki tanah yang subur. Oleh karena itu, Bojonegoro seharusnya
mampu menjadikan sektor agraris menjadi salah satu sektor penting dan dapat
diandalkan untuk menyokong perekonomian masyarakat Bojonegoro. Selain itu,
keberadaan hutan jati dan penemuan ladang minyak di daerah Ngasem dan
Sukowati semakin menjadikan Bojonegoro sebagai salah satu kabupaten yang
memiliki SDA terkaya di Indonesia.
Akan tetapi kekayaan alam yang melimpah tersebut ternyata belum
mampu dikelola secara optimal oleh Pemerintah Daerah (PEMDA). Akibatnya
kekayaan alam yang seharusnya menjadi hak bagi seluruh masyarakat
Bojonegoro, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Rendahnya Upah
Minimum Daerah (UMD), yakni sekitar Rp.475.000,00 (th.2006), merupakan
salah satu bukti bahwa masyarakat Bojonegoro masih jauh dari standar sejahtera.
Namun sayangnya, masyarakat Bojonegoro sendiri terlambat
menyadari hal tersebut. Dan ketika mereka sadar, yang mereka saksikan hanyalah
berhektar-hektar hutan jati yang telah gundul akibat penebangan liar. Hutan yang
gundul mengakibatkan penyerapan air pada musim penghujan tidak maksimal,
dan berdampak pada meluapnya air sungai Bengawan Solo yang membanjiri DAS
disekitarnya. Hasilnya adalah banjir, seperti banjir besar yang terjadi tahun 2008,
di Bojonegoro. Selain itu penggundulan hutan juga merupakan salah satu

penyebab terjadinya pemenasan global, yang juga berdampak pada kacaunya


musim. Ketika hal ini terjadi maka yang paling dirugikan adalah para petani, yang
berjumlah 5% dari total penduduk Kab.Bojonegoro.
Ditemukannya ladang minyak di Bojonegoro memberikan harapan besar
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bojonegoro. Bagaimana tidak, dari
sumur Sukowati yang dikelola oleh Pertamina-Petro China tersebut setiap harinya
dapat menghasilkan 8000 barel minyak mentah. Terhitung setahun sejak
pengeboran, yakni mulai tahun 2005, telah dihasilkan minyak mentah sebanyak
2,2 juta barel dengan total penjualan mencapai US $150 juta. Akan tetapi
kenyataan berkata lain. Keterlibatan masyarakat Bojonegoro dalam pengelolaan
ladang minyak sangatlah kecil. Pemerintah lebih percaya dengan orang asing
daripada anak bangsa sendiri. Akibatnya dari angka penjualan yang sangat besar
tersebut, berdasarkan Undang-Undangan Perimbangan Pemerintah Pusat dan
Daerah, Bojonegoro hanya mendapat dana bagi hasil sebesar Rp. 25 miliar pada
tahun 2006. Nilai tersebut termasuk sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai
total penjualan. Dan dalam prakteknya pun, dana bagi hasil yang diterima oleh
PEMDA

Bojonegoro

tidak

berdampak

signifikan

dalam

meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.
Melihat fenomena di atas, yang terjadi di Bojonegoro saat ini adalah suatu
bentuk system kolonial baru, dimana masyarakat Bojonegoro dijajah oleh
pemerintahnya sendiri. Pemerintah yang menjual kekayaan alam bangsanya
kepada pihak asing, bukan untuk kesejahteraan rakyatnya, adalah bentuk baru
pemerintahan yang kolonial dan kapital yang pasti menyengsarakan rakyat.
Oleh karena itu, Masyarakat Bojonegoro tampaknya harus belajar kembali
pada masyarakat samin, dengan Gerakan Saminismenya. Karena kecintaan
mereka kepada bangsanya, masyarakat samin tidak rela memberikan kekayaan
yang dimiliki bangsanya kepada orang asing yang sebenarnya sama sekali tidak
berhak. Seharusnya kita pun demikian. Sejarah mengajarkan bahwa keterlibatan
asing dalam pengelolaan SDA sering bersifat merugikan. SDA yang kita miliki
seharusnya kita jaga dengan baik, keterlibatan asing diminimalisir dan
keterlibatan anak bangsa ditingkatkan. hingga suatu saat kita dapat mengelolanya

sendiri secara baik, optimal dan bijaksana. Sehingga manfaatnya pun bisa
dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat Bojonegoro.

Sumber Referensi :

http://www.bojonegorokab.go.id/ diakses pada tanggal 15 Juni pukul 19.30


http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bojonegoro diakses pada tanggal 15 Juni
pukul 20.00
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya diakses pada tanggal 15 Juni pukul 19.00
http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin diakses pada tanggal 15 Juni pukul
20.30
https://bedunduk.wordpress.com/2010/11/02/lebih-dekat-dengan-orang-samin-dibojonegoro/ diakses pada tanggal 15 Juni pukul 21.00

Anda mungkin juga menyukai