Oleh:
Nama : Dian Octaviani
NIM : 20/463158/SA/20725
Fakultas : Fakultas Ilmu Budaya
Prodi : Sejarah
Ucapan syukur tidak henti – hentinya saya ucapkan kehadirat Allah sebab dengan segala karunia dan
rahmat – Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Datangnya Ratu Adil, Sedulur Sikep:
Gerakan Samin Perlawanan Tanpa Kekerasan Terhadap Kolonial” . Dengan segala kemudahan dan
kelancaran dari Allah saya dapat menyelesaikan makalah tersebut dengan tepat waktu. Makalah ini akan
membahas mengenai perlawanan yang dilakukan oleh kelompok wong sikep yang masuk dalam sebuah
gerakan yang dikenal dengan gerakan samin. Gerakan ini dipelopori oleh seseorang yang bernama Samin
Surosentiko, perlawanan dilakukan tanpa adanya kekerasan.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester. Selain sebagai
pemenuhan tugas Ujian Akhir Semester makalah ini saya buat untuk menambah wawasan dan
pengetahuan bagi masyarakat umum. Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak
Julianto Ibrahim selaku dosen Sejarah Asia II, sebab tanpa tugas dari beliau saya tidak bisa menambah
wawasan dan pengetahuan saya. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman – teman saya yang
telah mendukung dalam proses penulisan makalah ini serta ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada orang – orang yang telah menyediakan jurnal maupun buku dengan tema yang sesuai dengan
topik bahasan saya.
Yogyakarta, 04 Oktober 2022
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Munculnya Gerakan Samin Dalam Melawan Pemerintahan Belanda
2.2 Pola Gerakan dan Ajaran Samin Melawan Pemerintahan Belanda
2.3 Perlawanan Gerakan Samin Melawan Terhadap Kebijakan Pemerintah Belanda
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saminisme adalah sebuah gerakan yang dibawa oleh Raden Kohar yang mengubah namanya
menjadi Samin Surosentiko. Raden Kohar dilahirkan di daerah Randublatung, Blora, Jawa
Tengah pada 1859, dan mulai tahun 1890, ia menyebarkan ajarannya di sejumlah daerah, antara
lain di Klopodhuwur dan Blora. Ajaran Samin akhirnya juga berkembang di daerah lainnnya
seperti Pati, Kudus, Madiun, Bojonegoro, Rembang, Grobogan, Brebes, Tuban, Ngawi, dan
Lamongan.
Sebagaimana diketahui pada umumnya, masyarakat Samin adalah golongan yang mendapat
stigma negatif dari masyarakat luas. Stigmatisasi negatif orang Samin ini bahkan sampai saat ini
masih dirasakan oleh warga di Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Hal itu terbukti ketika warga
di sana enggan atau bahkan tidak mau disebut sebagai wong samin. Mereka menolak dikatakan
Samin, dan lebih suka disebut sebagai wong sikep. Alasan mereka, pada umumnya adalah karena
Samin itu identik dengan kebodohan, dan identik dengan segolongan masyarakat yang tidak
kooperatif, tak mau membayar pajak, tidak mau ikut ronda, suka membangkang, dan bahkan
tuduhan ateis. Singkatnya, perilaku dan tingkah laku orang Samin dianggap tidak sejalan seperti
orang pada umumnya.
Orang pada umumnya menganggap Samin sebagai orang yang tidak taat aturan. Perilaku dan
tingkah laku yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari, memiliki keanehan dan keunikan,
salah satunya adalah komitmen mereka untuk memegang teguh budaya leluhur. Mereka tidak
mau terkontaminasi dengan budaya Barat. Orang samin adalah orang yang nyeleneh dan
perilakunya sangat berbeda dengan orang pada umumnya. Orang samin itu tidak mau sekolah,
mereka tidak mau terbawa arus modernisasi, apalagi untuk berdagang dan berbisnis. Orang
samin hanya mengandalkan kehidupan melalui alam semesta, yakni dengan bercocok tanam,
atau bekerja di sawah.
Perilaku dan tindakan yang aneh seperti orang gila inilah yang membuat image orang samin
hingga kini masih membekas di kalangan masyarakat di Jawa, terutama di daerah Blora. Orang
Samin dianggap sebagai golongan orang yang berperilaku di luar kodratnya. Orang Samin adalah
orang yang jauh dari peradaban dan tidak mau ikut trend yang ada. Menurut J Benda dan Lance
Castles, orang-orang samin di desa Tapelan memeluk Saminisme telah ada sejak tahun 1890.
Dalam Encyclopedia van Nederlandch Indie (1919) diterangkan orang-orang samin itu
seluruhnya berjumlah 2.300 orang tersebar di beberapa daerah di Blora, Bojonegoro, Pati dan
Kudus.1
Samin Surosentiko mulai ada sejak akhir abad ke 19 dan awal abad 20, Samin Surosentiko
adalah sebuah fenomena sejarah kehidupan sosial yang panjang dalam sejarah Jawa. Samin
Surosentiko ternyata memiliki pengaruh yang banyak terhadap karakter dan perilaku dari
masyarakat Jawa secara umum, termasuk yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Jawa
dalam berpikir pun tak bisa dilepaskan dari ajaran samin terhadap orang Jawa. Samin adalah
nama yang umum pada orang Jawa, dan unsur-unsur nama suro dan sentiko pun umum, seperti
tampak pada nama-nama Surosadikin, Suroprayitno, di samping Noyosentiko, Wongsosentiko,
1
Suripan Hadi Hutomo, 1985, Samin Surosentiko dan Ajaran-Ajarannya, di Majalah Basis, Januari-XXXIV, hal. 2-3.
Ia seorang petani, menurut dokumen resmi ia punya sawah 3 bau, sawah kering 1 bau, dan 6 ekor
lembu. Melihat jumlah sawahnya dan keluarganya, ia anak kelurga yang kaya raya.2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana munculnya gerakan Samin dalam melawan pemerintah Kolonial?
2. Bagaimana pola gerakan yang dilakukan oleh kelompok wong singkep melawan
pemerintah Kolonial?
3. Bagaimana perlawanan yang dilakukan orang Samin terhadap kebijakan pemerintah
Kolonial?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kemunculan gerakan orang Samin dalam melawan Pemerintah
Kolonial
2. Untuk mengetahui pola gerakan orang Samin dalam melawan Pemerintah Kolonial
3. Untuk mengetahui perlawanan yang dilakukan orang Samin terhadap kebijakan
pemerintah Kolonial
2
Paulus Widiyanto, 1983, Samin Surosentiko dan Konteksnya, di Majalah Prisma, No. 8, Agustus tahun XII, hal. 60.
BAB II
PEMBAHASAN
6
Nurmalitasari, 2016, “Gerakan Samin Melawan Kolonialisme Belanda: Perlawanan Petani Kawasan Hutan Di
Blora”, Skripsi, hal. 52.
7
Agus Budi Purwanto, 2011, Samin dan Kehutanan Abad XIX, Yogyakarta: Perpustakaan Sanata Dharma, hal. 74.
8
Andrik Purwasito, 2003, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta:
Lkis, hal. 19.
Sawahlunto hinhha akhirnya meninggal.9 Penangkapan samin tidak lantas membuat perlawanan
orang samin terhenti.pada 1908 sejumlah pengikut samin giat mengembangkan ajaran Samin ke
berbagai daerah sekaligus.10 Seperti wangsarejo yang menyebarkan ajaran samin hingga distrik
Jiwan, Madiun, Samat di daerah Pati, Serta Karsiyah dan mbah Engkrek di daerah Grobogan. Di
sini orang-orang desa dihasut untuk tidak membayar pajak pada pemerintahan kolonial Belanda.
Gerakan samin mencapai puncaknya pada tahun 1914 atau dikenal sebagai Geger Samin.
Hal ini disebabkan karena pajak yang dibebankan kepada warga semakin tinggi. Pajak yang kian
mencekik membuat masyarakat makin menarih kebencian terhdaa pemerintah Belanda. Pamong
desa dan pemerintah Belanda semakin tidak dihormati lagi. Di desa larangan, Kabupaten Blora
pengikut Samin mulai menyerang lurah dan polisi. Penyerangan ini membuat pemerintah
Belanda mulai khawatir akan adanya perlawanan yang lebih besar.
Untuk mengantisipasi pertumbuhan pengikut Samin, pemerintah Belanda menyerang dan
membakar desa-desa pusat pertahanan pengikut samin di jawa tengah dan jawa timur. Banyat
pengikut samin terbunuh, sedangkan yang selama tercerai berai. Selanjutnya, belanda melarang
ajaran samin dan mengancam masyarakat yang menyembunyikan para pengikut samin yang
masig selamat. Untuk lebih menghancurkan komunitas tersebut, belanda mendiskreditkan 11
pengikut samin sebagai kaum perampok dan penjahat sehingga pada akhirnya masyarakat
menolak keberadaan pengikut samin.12
Dari buku berjudul Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora
Jawa Tengah yang ditulis oleh Titi Mumfangati dan kawankawan merumuskan lima ajaran
pokok Saminisme. Pertama, agama adalah senjata atau pegangan hidup. Kedua, jangan
mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati, dan jangan mengambil hak milik orang
lain. Ketiga, Bersikap sabar dan jangan sombong. Keempat, manusia harus memahami
kehidupannya sebab hidup hanya satu dan akan dibawa abadi selamanya. Kelima, bila berbicara
harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Buku ini tampaknya berupaya
menghindari realitas sosial dan politik yang mengitari keberadaan Saminisme, dan cenderung
membahas hal-hal yang
sifatnya normatif.13
Ada kata-kata yang sangat terkenal yang diucapkan oleh Samin Surosentiko ketika
berceramah di tanah lapang di Desa Bapangan Blora. Ia mengatakan bahwa tanah Jawa bukan
milik Belanda, melainkan milik wong Jowo, maka tidak perlu membayar pajak, justru sang
pemiliklah yang harus memanfaatkannya (Murbandono, Sinar Harapan 5 Februari 2005). Ajaran-
ajaran perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas dan tidak adil secara detail ditulis Samin
Surosentiko dalam sebuah kitab Serat Jamus Kalimasada. Menurut Sastroatmodjo serat ini jatuh
ke tangan pejabat Belanda dan dimusnahkan hingga sulit untuk melacak ajaran perlawanan
Saminisme,14 namun sebagian masih dapat ditelusuri dari tembang macapatan dan juga dari
salinan serat tersebut yang masih disimpan penduduk.
Dalam konteks politik, pengaruh ajaran Saminisme telah mampu menggerakkan perlawanan
non violence (tanpa kekerasan) yang dilakukan oleh pengikut Samin terhadap pemerintah
9
Agus Budi Purwanto, Op.cit, hal. 77.
10
Nurmalita, Ibid, hal. 53.
11
Usaha untuk menjelekkan atau memperlemah kewibawaan seseorang atau pihak tertentu.
12
Nurmalita, Ibid, hal. 54.
13
Huzeir Apriansyah, 2013, “Saminisme Dan Islam Jawa”, Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11, No. 1, hal 103.
14
Soerjanto Sastroatmodjo, 2003, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka?, Yogyakarta: Penerbit Narasi, hal. 12.
Belanda. Pembangkangan-pembangkanganterhadap negara dilakukan oleh pengikut Samin di
Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, dan Grobogan serta beberapa daerah lainnya. Adapun
penganjur
ajaran Samin, Ki Samin Surosentiko, meninggal dunia di pembuangannya di Sawahlunto
Sumatera Barat pada tahun 1914. Menurut Murbandono, orangorang Samin sampai saat ini
masih mendapat hinaan dari orang di luar pengikut Samin. Begitupun dengan kehidupan
berpolitik masyarakat Samin cenderung masih dimarginalkan.
23
Burhanuddin, Op.cit, hal. 36.
24
Huzeir Apriansyah, Op.cit, hal. 107.
25
Soerjanto Sastroatmodjo, Op.cit, hal. 36-37.
Ajaran yang menyerupai hal di atas juga dapat ditemukan dalam dokumen ceramah Samin
Surosentiko di lapangan Desa Kasiman pada 11 Juli 1901.26
Lan lakunira saputat-saputat
Nastyasih kukuluwung,
Lagangan harah
Kadyatmikan cuwul heneng
Pambudi malatkung
Sing dingin, hakarsa
Adyatmika tanpolih.
Dwinya maneges tapi
Hakarep tumiyang
Katinempuh Gendholan
Batin, nagarah-arah
Catur mangeran ayun lweh
Dening tatasnya ngadil
Myang
Peneamangkin, sumarah
Rengkep hatikel patuh
(Janganlah mengganggu orang, jangan suka bertengkar, jangan iri hati, jangan suka
mengambil barang milik oang tanpa seizin pemiliknya)
Sabar lan trokal empun ngantos jrengkei srei empun ngantos riya, sepadan empun nganti
pek pinek kutil jumput bedhog colong. Napa malih bedhog colong, napa malih milik
barang, nemu barang neng dalan mawon kula simpangi.
(Berbuatlah sabar dan trokal, janganlah mengganggu orang, janganlah takabur pada
sesama orang, janganlah mengambil barang milik orang tanpa seijin pemiliknya. Apalagi
mencuri, menemukan barang tercecer di jalan saja itupun dijauhi).
26
Huzeir Apriansyah, Ibid, hal. 108.
Di samping ajaran-ajaran tersebut, ada lagi sebuah keyakinan yang dimiliki oleh
masyarakat pengikut Saminisme yang berkaitan dengan sifat kebersamaan. Semua orang bagi
masyarakat Samin adalah saudara (sedhulur) sehingga masyarakat Samin memanggil orang
dengan panggilan lur sedhulur. Seperti dikemukakan oleh Mbah Randim, “urip iku nggolek
sedhuluran sing okeh, menyang nduk ngendi yo nggolek sedhulur”, rak kabeh iki sedhulur”.27
Secara umum, ajaran-ajaran mengenai pola laku individu ini telah dipahami lama oleh
masyarakat dan bagi pengikut Saminisme hingga hari ini tetaplah diperhatikan. Dalam konteks
ajaran sosial dalam Saminisme, tampak ada irisan yang signifikan dengan ajaran Islam.
Buku-buku peninggalan ajaran samin yang masih ada di desa tapelan Jawa Timur disebut
Serat Jamus kalimasada. Buku ini bersi tentang pemeliharaan tingkat laku manusia yang berbudi,
nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras. Mereka
menganggap semua orang adalah saudara. Sehingga mereka harus hidup rukun dan harmonis
dengan orang lain.28 Mereka menolak dipimpin oleh eksternalitas karena mereka dianggap bukan
orang Jawa dan keberadaan mereka tidak mendatangkan keuntungan apa-apa.
Semua ajaran samin adalah demi hidup yang lebih baik. Ia memiliki pemahaman sendiri
mengenai konsep ketuhanan atau sering disebut Manunggaling Kawula Gusti. Hal ini diartikan
sebagai dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini, dan kemana tujuan hidup
yang dijalani dan dituju.29 Ajaran tersebut oleh beberapa peneliti disebut sebagai Agama Adam
atau The Religion of Adam.30 Menurut Samin, Perihal Manunggaling Kawula Gusti itu dapat
diibaratkan sebagai rangka umajining curiga atau tempat keris yang meresap masuk ke dalam
kerisnya.
Meskipun Samin sering memaki istilah-istilah Arab, namun kepercayaan ini tidak
bertalian langsung dengan agama Islam. Terdapat semacam kompleksitas dari ajaran Samin di
mana cakupan ajaran menjangkau berbagai segi kehidupan dari pengikutnya, baik dalam bidang
spiritual, kekerabatan, ekonomi, dan politik. Ricklefs berpendapat bahwa ajaran samin
merupakan doktrin yang tidak jelas.
“ajaran ssamin lebih merupakan kumpulan doktrin-doktirn etika dan agama yang tidak
jelas. Menitikberatkan pada mistik, kekuatan seksual, perlawanan, dan keutamaan
keluarga. Mereka menolak perekonomian uang, struktur-struktur, dan segala bentuk
kekuasaan”31
Gerakan Samin juga menjadi tradisi Abangan di Jawa. 32 Samin menganut agama Adam,
tentang agama yang dianutnya merekamenegaskan bahwa “Agama niku gaman, man gaman
lanang”. Tetapi Samin tidak membedakan agama yang ada, mereka menganggap semua agama
baik dan mereka merasa memilikinya.
27
Huzeir Apriansyah, Op.cit, hal. 109.
28
Nurmalitasari, Op.cit, hal. 57.
29
Kata pengantar Pasudi Suparlan pada buku Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa Karangan Clifford
Geertz, Jakarta: Pustaka Jaya.
30
Bagi orang Samin, Adam adalah suara sehingga di dalam bersuara membutuhkan Hawa.
31
M.C. Ricklefs, 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 254.
32
Titi Mumfangati, dkk, 2004, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Jawa Tengah,
Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, hal. 45.
Pada tahun 1890 praktik kolonialisme dan imperialisme melanda di Indonesia. Para penjajah
memeras sumber daya manusia maupun alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pada masa
kolonialisme akhir abad 19 sampai awal abad 20 sering terjadi pemberontakan oleh masyarakat
Jawa akibat kebijakan-kebijakan kolonial yang sangat merugikan masyarakat Jawa. Menurut
Indah Saminisme muncul dari berbagai reaksi pemerintahan kolonial saat itu, masyarakat samin
memberontak tanpa fisik tetapi dengan sikap-sikap non fisik. 33 Contohnya masyarakat samin
dipaksa untuk melepaskan tanahnya tetapi masyarakat samin mengatakan bahwa tanah ini milik
komunal dan sebagai perwujudan pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat adat tak luput
dari kebijakan kolonial yang diterapkan di Jawa. Sektor pertanian dan hak kepemilikan sering
terjadi permasalahan antara masyarakat Jawa dengan pihak penjajah. Dominasi bangsa barat
yang kuat di Jawa menciptakan masyarakat membentuk kelompok dengan tujuan memprotes
kebijakan. Adanya ajaran saminisme di kehidupan masyarakat Jawa merupakan hal yang positif
dan menyadarkan masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya. Ajaran saminisme ini mendapat
respon dan diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Kelompok yang dibentuk oleh Samin
Surosentiko merupakan wadah untuk masyarakat mengaspirasikan kegelisahannya yang
dirasakan selama kebijakan kolonialisme diterapkan di masyarakat Jawa. Samin Surosentiko
menyebarkan ajarannya ke desa-desa dengan metode ceramah yang dilakukan di balai desa dan
tanah lapang.
Masyarakat samin tersebar di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada
umumnya, pekerjaan masyarakat samin berada di sektor agraria yaitu berladang, petani dan
peternak. Pada tahun 1905, Samin Surosentiko berhasil memikat masyarakat untuk melakukan
gerakas sosial dengan menolak semua kebijakan kolonialisme yang diberikan. Masyarakat samin
menolak untuk membayar pajak, menolak menyumbang lumbung desa yang dikuasai oleh
kolonial, menolak menggembala ternak bersama-sama.34
Sejak melakukan gerakan kepada pemerintah kolonial, masyarakat samin memilki strategi
yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang melakukan aksi secara verbal.
Masyarakat samin mempercayai bahwa komunikasi merupakan hal yang penting dalam
melakukan gerakan. Berhasil atau tidaknya suatu gerakan mengacu kepada pengelolahan
komunikasi yang dilakukan masyarakat. Menurut Burt komunikasi berfungsi sebagai metode
untuk menyebarluaskan orang-orang, kelompok dan organisasi sebagai bentuk penyaluran
informasi, pesan maupun perilaku.35 Pola komunikasi masyarakat samin dilakukan non verbal
atau sikap diam terhadap kebijakan pemerintah kolonial dengan menolak kebijakan-kebijakan
yang ditujukan kepada masyarakat.
Masyarakat samin melawan dominasi bangsa barat atas hak tanah dengan kebijakan
mewajibkan membayar pajak. Menurut Budi, aksi yang dilakukan oleh masyarakat samin
merujuk kepada kepercayaan dan pemahaman bahwa tanah dan seisi alam merupakan warisan
nenek moyangnya.36 Pemahaman masyarakat samin sebagai pewaris dari tanahnya untuk dijaga
33
Indah Puji Lestari, 2013, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar,”
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol. 5, No. 1, hal 74-86.
34
Munawir Aziz, 2012, “IDENTITAS KAUM SAMIN PASCA KOLONIA PERGULATAN NEGARA, AGAMA,
DAN ADAT DALAM PRO-KONTRA PEMBANGUNAN PABRIK SEMEN DI SUKOLILO, PATI, JAWA
TENGAH,” Kawistara, Vol. 2, No. 3, hal. 225-328.
35
Dwi Retno Hapsari, 2016, “Peran Jaringan komunikasi Dalam Gerakan Sosial Untuk Pelestarian Lingkungan
Hiduap,” Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol. 1, No. 1, hal. 25.
36
Budi Santoso, Op.cit, hal…
dan dilestarikan kepada generasi selanjutnya dan tidak mengharuskan membayar pajak oleh para
penjajah yang sebagai pendatang di tanahnya.
Gerakan Samin baik secara panduan ideologis gerakan maupun cara-cara pergerakannya
nyaris disandarkan pada pengetahuan lokal tentang konsep kekuasaan tanah jawa serta mitologi
pewayangan warisan tradisi leluhur Jawa melalui pujangga-pujangga Keraton. 37 Keyakinan
bahwa mereka adalah keturunan Pandawa membuat mereka berusaha untu menjadi warisan
leluhur mereka yakni Jawa dan seisinya adalah miliki mereka dan tidak boleh ada yang
menguasai. Keyakinan bahwa mereka adalah kuturnan Pandawa dapat dilihat dari Serat Punjer
Kawitan.
Dengan dasar dari Serat Punjer Kawitan tersebut maka, Samin mengajak pengikutnya untuk
melwawan pemerintah kolonial belanda. Tanah jawa bukan milik Belanda, tanah jawa adalah
miliki orang Jawa. Oleh karena itu, tarikan pajak tidak dibayarnya, pohon-pohon jati di hutan
ditebang karena pohon jati yang ditanam oleh belanda juga dianggap sebagai miliknya yaitu
warisan Pandawa. Perlawanan yang dilakukan oleh Samin dan pengikutnya memang berbeda
dengan perlawanan lain yang terjadi di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan sebagai
perlawanan tanpa menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan oleh Gandhi (1869-1948) di
India.
Meskipun apa yang dilakukan oleh Samin dan pengikutnya adalah gerakan tanpa kekerasan,
namun apa yang mereka lakukan adalah gerakan yang radikal. Gerakan yang mereka lakukan
adalah gerakan yang prinsipal dimana mereka tetap pada pendirian untuk pendirian untuk tidka
membayar pajak, menolak mengandangkan sapi, maupun melawan dengan kata-kata. Semua itu
menunjukkan ketidakpatuhan masyarakat terhadap kelompok yang berkuasa saat ini adalah
pemerintah Belanda. Dengan demikian ciri tersebut sangat berkaitan dengan nilainilai yang
menjadi acuan masyarakat Randublatung pada saat itu. Gerakan tanpa kekerasan yang dijalankan
Samin dan pengikutnya misalnya pembakangan melalui kata-kata. Contohnya seperti pada bulan
Desember 1914, dilaporakan oleh wartawan Jawa yang kemudian dimuat dalam De Locomotif
Semarang bahwa Rembang terdapat persidangan kasus pajak. Berikut ini salh satu sesi tanya
jawab seorang Patih yang menginterogasi salah satu pengikut Samin dalam persidangan:
Setelah proses interograsi di pengadilan berjalan cukup sengit, sang patih akhirnya
memutuskan: “Pengadilan distrik memerintahkan anad untuk membayar utang anda kepada
negara. Jika selama 8 hari, anda tidak membayar, maka harta benda anda akan disita. Pergi!.
Pengikut Samin tersebut pergi, delapan hari telah berlalu dan pengikut Samin tersbut tetap tidak
mau membayar pajak, akhirnya barangbarangnya disita oleh pemerintah Belanda dan tidka ada
perlawanan apapun. Pada tanggal 8 Januari 1914 barang-barang sitaan tersebut dijual dan
dilelang oleh pemerintah kolonial. Uangnya hendak diserahkan kembali kepada pengikut Samin
tersebut. Namun pengikut Samin tersebut menolak dengan berkata: “Sepanjang yang saya
ketahui, saya tidak pernah menyewakan apapun.”
Perdebatan antara salah satu orang Samin dengan Patih tersebut memperlihatkan bentuk
pembangkangan melalui kata-kata. Para petani dalam gerakan Samin mempertanyakan mengapa
mereka harus membuat jalan-jalan yang mereka tidak lalui. Kalaupun mereka memerlukan jalan
atau memperbaiki jalan, maka dengan sendirinya mereka akan membuat ataua memperbaikinya
sendiri. Para petani juga mempertanyaan mengapa mereka harus membayar pajak. Kalau
pemerintahan kolonial memerlukan, mereka akan memberikan namun para petani yang
menentukan sendiri jumlahnya.39 Munculnya perlawanan dnegan kata-kata bukan tanpa maksud.
Selain melawan dengan cara halus, perlawanan dengan katakata dapat menunjukka sikap-sikpa
kultural dan politik Samin dan pengikutnya. Misalnya untuk menyebut mati/meninggal,
masyarakat akan mengatakan salin sandhang (berganti baju). Karena tubuhnya ini hanyalah baju
dari roh kita.40 Hal ini bisa dilihat sebagai berikut:
1. Jenengmu sinten mbah?
1a. Jenengku lanang pangaran Samin.
2. Mpun pinten taun teng mriki?
2a. Nggih mboten ngetung taune.
3. Umure pinten?
3a. Setunggal kangge selawase.
4. Anake pun disekolahake?
4a. Mpun kulo sekolahake dhewek. Sekolah macul.
5. Mbah anda harus disuntik (periksa dokter) biar cepet sembuh
5a. Kula pun gadhah suntikan dhewek.
6. Sapinya berapa mbah?
6a. Lanang kalih wedok.
7. Berapa hitungannya?
7a. Sekawan.
Dialog no 1, 2, dan 3 memperlohatkan falsafas khiudpan masyrakan pengikut Samin.
Terutama pada jawaban atas pertanyaan umur yang menyatakan “Satu untuk selamanya”.
Menurut mereka umur mansusia itu satu, umur ialah hidup. Hidup iadalh roh dan nyawa,
manusia hanya memiliki umur satu. Hal itu selamanya akan dibawa. Lahir dan mati, oleh karena
itulah orang yang meninggal di sebut saling sandhang.41 Sementara untuk dalam dialog 4, 5, 6,
38
Harry J. Benda dan Lance Castle, The Samin Movement, Dalam Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde, Vol.
125, hal. 225.
39
Onghokham, 1979, “Peranan Rakyat dalam Politik”, dalam Prisma, Agustus 2019, Jakarta, hal. 43.
40
Suripan Sadi Hutomo, 1985, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin”, dalam Basis edisi Januari.
41
Agus Budi Purwanto, Op.cit, hal. 85.
dan 7 menunjukkan bahasa politik. Bahasa politik ialah bahasa yang berisi politik. Dalam bidang
politik, pengikut Samin pernanh berurusan dengan pemerintah kolonial. Mereka anti dnegan
Belanda. Oleh karena itu apa saj ayng berbau Belanda mereka tolak. Menolakn dnegan cara
halus yakni dengan cara berbahasa yang lazim disebut bahasa Sangkaki atau bahasa sangka.42
Misalnya menolak untuk menyekolahkan anaknya dengan perkataan “saya sudah sekolahkan
sendiri, sekolah mencangkul”. Kemudian soal perminataan untuk memeriksa kesehatan ke
petugas kesehatan pemerintah Belanda, mereka secara halus mengatakan “saya sudah punya alat
suntik sendiri”.
Dalam konteks lian pembangkangan dnegan kaa-kata juga digunakan untuk
memperlihatkan posisi serta prinsip masyarakat terhadap kehidupan yang dipaksakan oleh
pemerintah kolonial. Misalnya masalah membayar pajak, pelarangan pemanfaatan hutan, seerta
pemakaian air untuk pertanian. Pemaksaan tata kehidupan yang dibangung dengan nilai-nilai
masyarakat pengikut Samin. Terlebih lagi, keyakinan bahwa tanah Jawa merupakan warisan dari
Pandawa yang diwariskan kepada mereka semakin bertentnagan dnegan pengakuan dan
pemaksaan perluasan areal hutan jati yang diterapkan oleh pemerintah Belanda. 43 Terkait dengan
masalag perutananmereka menolak berbicara dengan para pejabat hutan dengan menggunakan
bahasa krama. Misalnya beberapa pengikut Samin membanringkan diri di atas tanah mereka
ketika ada penataan ulang tananh komunal. Mereka bilang “Kanggo” (tanah inimasih saya
pakai). Karena penataan ulang tanah komunal pada tahun 1914 berujung pada pengurangan atau
bahkan memintakan paksa tanah-tanah tersebut untuk dijadikan hutan jati atau keperluan
pemerintah Belanda yang lain.
Kekuaaan kolonial dan ketertiban masyarakat kolonial mulai terganggu hingga berujung
pada penangkapan Samin pada tahun 1914. Pada prinsipnya Samin dan pengikutnya merasa
heran ketika ada sekelompok entitas bernama pemerintah Belanda mengklaim diri sebagai
penguasa sekaligus pemilik tanah kehutanan seuas itu, yang di dalamnya termuat segala hal yang
diperlukan bagi masyarakat agraris. Peraturan-peraturan kolonial pada abad XIX hingga awal
abad ke XX telah menyasar petani hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Persentuhan petani
dnegan peratuan kolonian selalu berimplikasi dalam dua hal: pertama jika peraturan tersebut
dipatuhi, maka politik pertanian, perkebunan,dan kehutanan dapat berjalan dnegan lancar, petani
mendapatkan insentif berupa uang tunai, terutama pad amasa liberalisasi dimulai. Kedua jika
peraturan kolonial tidak dipatuhi oleh petani, maka politik pertanian, perkebunan, dan kehutanan
kolonial tidak dapat berjalan lancar. Sementara itu petani harusmenerima konsekuensi berupa
sanksi-sanks, karne aitu tidak melaksanakan peraturan berarti melanggar peraturan.
BAB III
KESIMPULAN
Intervensi pemerintah kolonial dalam sistem kehidupan masyarakat pinggir hutan serta
tekanan-tekanan dari pemerintah berupa kerja wajib, hukum pengelolaan kehutanan dan
kenaikan pajak membuat kehiudpan masyarakat mulai terganggu. Masyarakat Randublatung,
Kabupaten Blora yang merupakan tempat tinggal Samin dan pengikutnya merasa harga dirinya
telah diinjak-injak oleh pemerintah kolonial karena telah merampas hak mereka terhadap
pemanfaatan hutan dengan penerapan berbagai peraturan kehutanan. Selama ini hutan telah
42
Agus Budi Purwanto, Ibid, hal. 86.
43
Op.cit, hal. 64.
menjadi sumber kehidupan masyarakat. Bagi Samin dan pengikutnya, hutan adaah miliki
merekayang merupakan warisan dari leluhur sehingga tidak bole ada yang menguasai.
Munculnya gerakan Samin juga tidak dapat terlepas dari faktor geografis. Kawasan
Randublatung sendiri merupakan tanah kapur yang membuat pohon jati tumbuh subur di sana.
Saminisme bukanlah sebuah komunitas yang melakukan perlawanan politik maupun fisik
terhadap kekuasaan (baca kolonialisme) tapi lebih pada ajaran sikap hidup. Sedari awal
kelahirannya Hindu dan Islam memberi peran dalam pembentukan ajaran Saminisme oleh Samin
Surosentiko yang memiliki nama asli Raden Kohar. Menilik nama Kohar sendiri telah tersirat
pengaruh Islam. Ajaran-ajaran religius dan ajaran sosial Saminisme juga mengarah pada
substansi ajaran Islam. Interpretasi atas teks-teks agama yang dilakukan Samin Surosentiko
maupun pemimpin penerusnya mengalami penyesuaian dengan realitas sosial dan budaya
setempat. Ajaran tentang kesalehan religius dan sosial juga mencerminkan pengaruh Islam yang
kuat. Masyarakat samin berada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masyarakat samin
berpegang teguh kepada ajaran Samin Surosentiko yang membentuk kelompok untuk melakukan
gerakan menolak kebijakan kolonialisme. Kemudian ajaran tersebut hingga saat ini masih
dipertahankan.
Masyarakat Samin adalah salah satu kelompok masyarakat yang masih terbelakang, namun
memiliki nilai-nilai dan norma yang relevan dengan pendidikan karakter. Ajaran Samin
dicetuskan oleh Samin Surosentiko pada tahun 1890 dan mudah diterima oleh masyarakat Blora.
Hal ini dikarenakan keadaan masyarakat Blora pada abad ke-19 sangat memprihatinkan.
Disamping keadaan alam yang kurang berpotensi, juga adanya tekanan dari pemerintah kolonial
yang ditandai dengan masuknya sistem ekonomi uang, serta tuntutan pajak yang tinggi.
Perampasan tanah milik rakyat yang dijadikan hutan jati milik negara dan masuknya budaya
barat membuat Masyarakat Samin memilih mengasingkan hidupnya dari tekanan hidup yang
berlainan dengan mereka. Terdesaknya nilai-nilai dalam masyarakat membuat warga masyarakat
tersentuh oleh ajaran Samin yang mengalihkan orientasi hidup pada dunia kebatinan.
Daftar Pustaka
Apriansyah, H. (2013). Saminisme Dan Islam Jawa. Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11, No. 1,
hal 103.
Aziz, M. (2012). Identitas Kaum Samin Pasca Kolonial Pergulatan Negara, Agama, Dan Adat
Dalam Pro-Kontra Pembangunan Pebrik Semen Di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.
Kawistra, Vol. 1, No. 1, 225-328.
Benda, H. J., & Castle, L. (-). The Samin Movement. Bijdragen tot de Taal, land-en
Volkenkunde, Vol. 125, 225.
Burhanuddin, Mukodi, & Afid. (2015). Pendidikan Samin Surosentiko. Yogyakarta: Lentera
Kreasindo.
Hapsari, D. R. (2016). Peran Jaringan Komunikasi Dalam Gerakan Sosial Untuk Pelestarian
ingkungan Hidup. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vo. 1, No.
1, 25.
Hutomo, S. S. (1985). Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin. Basis, Januari.
Lestari, I. P. (2013). Interaksi Sosial omunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar. Internasional
Journal of Indonesian Society and Culture, Vol. 5, No. 1, 74-86.
Nurdin, N., & Adzkiya, U. (2021). Tradisi Perlawanan Kultural Masyarakat Samin. Jurnal
Sosiologi Agama: Jurnal ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial, Vol. 15, No. 1,
76.
Onghokham. (2019). 1979, Peranan Rakyat dalam Politik. Prisma, Agustus, 43.
Peloso, N. L. (1992). Richt Forest, Poor People Resource Control and Resistance in Java.
Berkeley: University of California Press.
Purwanto, A. B. (2011). Samin dan Kehutanan Abad XIX. Yogyakarta: Perpustakaan Sanata
Dharma.
Purwasito, A. (2003). Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan
Tengger. Yogyakarta: LKis.
Ricklefs, M. C. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Santoso, B. (2016). Hango Puspa Aji: Ajaran dan Sejarah Pergerakan Samin Surosentiko.
Semarang: ELSA Press.
Sri, I., & Lestari, P. (2017). Masyarakat Samin Ditinjau Dari Sejarah dan Nilai-Nilai Pendidikan
Karakter . Vol. 13, No. 1, hal 10.
Widiyanto, P. (1983). Samin Surosentiko dan Konteksnya, dalam Majalah Prisma, No. 8,
Agustus. -: Majalah Prisma.