Orang-Orang Samin
Meliana Feby W / 121811433072
Samin berasal dari kata “Sami-Sami Amin", namun orang-orang Samin lebih suka
dipanggil dengan sebutan “Wong Sikep" yang artinya orang yang bertanggung jawab. Orang-
orang Samin atau yang disebut juga dengan Paseduluran Sikep adalah sekelompok orang
yang enggan untuk tunduk pada perintah Kolonial Belanda. Mereka melakukan perlawanan
menggunakan cara-cara yang apik. Kelompok Samin terkenal tidak menggunakan kekerasan
fisik dalam aksi pemberontakannya. Mereka senang melawan menggunakan bahasa. Mereka
cerdik dalam mengolah jawaban sehingga seringkali membuat lawan bicaranya jengkel.
Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa jawa ngoko, tingkatan bahasa jawa yang paling
kasar. Hal tersebut dilakukan bukannya tanpa alasan, tetapi itulah yang menjadi senjata
mereka dalam melakukan pembangkangan terhadap kolonisasi Belanda. Selain itu, mereka
mencirikan kelompok mereka dengan menggunakan pakaian yang serba hitam dan abu-abu.
Serta beberapa kali melakukan aksi pura-pura gila sebagai bentuk perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan Pemerintah Belanda.
Pada awalnya hal tersebut tidak menjadi perhatian bagi pemerintah kolonial, namun
semakin hari pengikut Samin semakin berkembang dan tersebar dari desa ke desa. Tercatat
pada tahun 1903, kelompok Samin telah tersebar di 34 desa dengan jumlah pengikut kurang
lebih 772 orang di Blora, Jawa Tengah. Lalu semakin berkembang sampai pada tahun 1907,
pengikut Samin berjumlah 5000 orang di Jawa Tengah. Bukan jumlah yang sedikit dan akan
berbahaya bagi stabilitas kekuasaan pemerintah kolonial. Sehingga pada tahun 1907,
terjadilah pemberontakan yang menyebabkan ditangkapnya beberapa anggota kelompok
Samin, termasuk Raden Kohar yang baru saja dipilih dan ditetapkan sebagai Ratu Adil oleh
kelompok Samin. Seorang Ratu yang akan membebaskan tanah Jawa dari belenggu
kekuasaan kolonial Belanda. Seseorang yang akan membawa pencerahan di masa mendatang,
dengan menuntun orang-orang Samin melalui ajaran-ajarannya.
Keberadaan kelompok Samin kemudian menciptakan budaya sebagai identitas dan
alat pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Melalui ajaran-ajaran Samin yang merupakan
perpaduan antara ajaran kejawen, sinkretisme Hindu-Budha, dan ajaran islam tasawuf Syeikh
Siti Jenar. Orang-orang Samin tidak percaya dengan adanya Tuhan, mereka hanya
mempercayai konsep ketuhanan seperti yang disebutkan oleh ajaran-ajaran agama.
Masyarakat Samin hidup dengan budaya Sambatan. Yakni budaya gotong royong yang
dijalin antar masyarakat Samin. Budaya ini adalah budaya timbal balik, yang mana jika
seseorang membutuhkan bantuan tenaga untuk mengurus pertanian dan upacara-upacara adat,
maka mereka akan meminta bantuan pada kerabatnya, dan membayarnya dengan memberi
bantuan tenaga pula di lain hari. Berbeda dengan konsep ekonomi modern dimana jasa
ditukar dengan uang, masyarakat Samin masih memegang teguh budaya timbal balik atau
sambatan ini.
Masyarakat Samin juga menganggap pernikahan adalah suatu bagian dari kehidupan
yang sangat sakral. Seorang lelaki yang akan meminang perempuannya haruslah terlebih
dahulu mengucapkan ikrar untuk bersama hingga maut memisahkan. Pernikahan juga
dianggap hal yang sangat penting terkait dengan regenerasi Wong Sikep. Perselingkuhan
sangat dilarang terjadi, karena orang Samin yang telah berikrar untuk bersama hanya dengan
pasangannya saja. Mereka baru boleh menikah lagi ketika suami/isteri mereka meninggal
dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Matanasi, Petrik. 2017. “Cara Samin Melawan dan Membikin Resah Belanda"
https://tirto.id/cara-samin-melawan-dan-membikin-resah-belanda-clqN . Diakses pada 31
maret 2020.