Anda di halaman 1dari 30

Daftar Isi

DAFTAR ISI............................................................................................................1
Bab I Pendahuluan...................................2
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................2
B. Permasalahan..........................................................................................3
Bab II Kerangka Konseptual.....................................................4
Bab III Pembahasan......................................................................6
A.KonIlik Etnik di Sambas, Kalimantan Barat ................6
B.Faktor Penyebab Terjadinya KonIlik di Kalimantan Barat.......8
C. KonIlik dan Integrasi Sosial....................................................................8
Bab IV Kesimpulan..........................................................................................10
DaItar Pustaka.................................11
Lampiran.................................................................................................................12







Bab I
Pendahuluan

A.Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, hal ini
dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Sekarang ini jumlah pulau di Indonesia mencapai sekitar 13.000 pulau, besar dan kecil.
Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 210 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang
menggunakan lebih kurang 200 bahasa yang berbeda. Penduduk Indonesia juga menganut
agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Buddha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan yang bersifat lokal
(MPKT II:129)
Kondisi masyarakat yang majemuk seperti ini meiliki dampak positiI dan negatiI.
Dampak positiI dari kemajemukan adalah membuat bangsa kita kaya akan budaya dan
masyarakat yang dinamis. Jika diantara perbedaan-perbedaan yang ada terdapat keserasian,
keharmonisan dan keadilan, maka akan tercipta suatu integrasi sosial. Sedangkan dampak negatiI
dari kemajemukan adalah rawan timbulya konIlik antar etnis yang dapat mengarah kepada
terjadinya disintegrasi sosial.
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak
berdirinya negara ini. KonIlik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura
dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit.
Sebenarnya koIlik-konIlik di Kalimantan Barat telah terjadi sejak puluhan tahun lalu, namun
puncak dari konIlik ini terjadi pada tahun 1999 hingga 2000. KonIlik antar etnik antara etnis
Sambas dan Madura ini ditengarai terjadi karena terdapat dominasi dari kaum pendatang atas
hak-hak kepemilikan, mata pencaharian, kesempatan kerja dan hal ini diperparah dengan
ketidakmampuan aparat keamanan dalam mempertahankan keamanan yang ada serta terdapat
ketidakadilan pemerintah terhadap kepentingan daerah yang membuat kelompok etnis setempat

merasa terpinggirkan yang akhirnya memicu terjadinya konIlik etnis. Oleh karena itu, menjadi
menarik untuk membahas konIlik Sambas yang melibatkan etnis Madura dan Sambas dengan
menggunakan perspektiI struktural Iungsional.

B.Permasalahan
1. KonIlik sebagai salah satu dari dampak kemajemukan bangsa
2. Faktor-Iaktor penyebab terjadinya konIlik sambas
3. Terdapat keterkaitan antara konIlik dan integrasi














Bab II
Kerangka Konseptual

Konsep konsep terkait yang digunakan antara lain adalah :
O PerspektiI struktural, masyarakat dapat dianalogikan sebagai organisme biologis dan
merupakan suatu sistem dimana unsur-unsurnya saling terkait dalam suatu pola
keteraturan tertentu ( struktur sosial masing-masing unsur tersebut memiliki Iungsi yang
khas untuk menunjang keberlangsungan dari sistem tersebut)
O integrasi sosial adalah proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda
dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang
memilki keserasian Iungsi.
O Integrasi Iungsional, antara satu dengan yang lainnya saling terikat berdasarkan Iungsi
dan unsur-unsur didalam masyarakat. Intergrasi Iungsional terkait dengan solidaritas
organik dan sangat lekat dengan Iungsi ekonomi dalam masyarakat.
O Konsep kelompok mayoritas oleh Kinloch. Mayoritas dideIeisikan sebagai suatu
kelompok kekuasaan. Kelompok tersebut merasa dirinya normal, sedangkan kelompok
lain (minoritas) dianggap tidak normal serta lebih rendah.
O Secara sosiologis, konIlik diartikan sebagai proses antara dua atau lebih orang yang
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuat tidak
berdaya. Sedangkan etnisitas menurut Milton Gordon adalah perasaan bersama atau
senasib sepenanggungan dalam suatu kelompok etnis.
O Menurut Banton, terdapat beberbagai pola hubungan di dalam hubungan antar kelompok,
salah satunya adalah diskriminasi. Dalam kaitanya dengan diskriminasi terdapat empat
macam kemungkinan yang menurt Kronblum dapat terjadi dalam hubungan
antarkelompok, yaitu pembunuhan secara sengaja terhadap anggota kelompok tertentu,
pegusiran, perbudakan, segregasi dan asimilasi.

O Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000) konIlik adalah ekpresi
perjuangan diantara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai
tujuan tertentu, dimana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan,
memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain
dalam upaya pencapaian tujuan.
O Penyebab konIlik dapat dipengaruhi oleh Iaktor budaya, adanya perbedaan-perbedaan
budaya antara satu kelompok dengan kelompok etnis lainya. Faktor struktural, biasanya
berkaitan dengan kompetisi Iaktor ekonomi dan politik yang tidak adil.
















Bab IV
Pembahasan

A.Konflik Etnik di Sambas, Kalimantan barat
KonIlik antar etnik sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Namun, salah satu konIlik
terbesar yang melibatkan antar etnis adalah konIlik Sambas. Kelompok-kelompok etnis yang
terlibat di dalam koIlik Sambas antara lain adalah Dayak, Madura, Melayu dan Tionghoa.
KonIlik antar etnis ini sudah terjadi sebanyak 12 kali. Sepuluh kali melibatkan Dayak dengan
Madura, yakni pada tahun 1962, 1963, 1968, 1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997 dan 1999.
Sekali antara Dayak dengan Tionghoa, yakni 1967. Kemudian dua kali Melayu dengan Madura,
yakni tahun 1999 dan 2000. Dari ke-12 kali konIlik etnis tersebut, yang terdahsyat adalah
pertikaian Dayak dengan Madura pada tahun 1996 dan 1997 (www.hamline.edu). KonIlik
Sambas yang melibatkan suku dayak dan melayu ini juga kerap diwarnai dengan kekerasan,
anarkisme dan sudah banyak orang dari kelompok etnis Dayak dan Madura sendiri yang
meninggal akibat konIlik antar etnis tersebut
Apabila dirunut ke belakang, sebetulnya masyarakat Madura dan Kalimantan Barat memiliki
hubungan sejarah. Pada awal abad ke-18 saat perang melawan Kerajaan Riau, sejumlah
sukarelawan asal Madura yang tergabung dalam pasukan Kerajaan Mataram secara khusus
ditugaskan ke Kalimantan Barat untuk membantu Kerajaan Sambas. Setelah pertempuran
berakhir, sejumlah sukarelawan Madura tidak bersedia kembali ke tanah asalnya. Mereka
memilih bertahan di Sambas, lalu menikah dengan gadis Melayu setempat. Kedatangan
berikutnya pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1902. Semakin lama masyarakat jumlah
masyarakat Madura pun semakin bertambah dan menyebar di daerah pemukiman Melayu. Di
Kalimantan Barat, mereka umumnya bekerja sebagai petani, buruh kasar, peternak dan
pedagang. Pilihan pekerjaan ini disebabkan tingkat pendidikan mereka rata-rata tidak tamat
Sekolah Dasar (www.hamline.edu).

Dengan bertambahnya jumlah pendatang Madura ke kalimantan, kesempatan kerja dan


hak-hak kepemilikan secara perlahan-lahan pun berpindah tangan dari Melayu Sambas ke
pendatang baru Madura. Hilang dan berpindahnya kesempatan dan lapangan kerja kurang dari
sepuluh tahun mula-mula dilakukan dengan cara wajar. Namun, setelah alat-alat transportasi dan
lainya dimiliki oleh Madura Sambas, mereka mulai bertindak sesukanya, seperti menurunkan
jumlah setoran dibawah jumlah semua, menarikan tariI untuk langganan, dan lain sebagainya.
Tindakan tersebut semakin menguatkan Dominasi mereka seiring dengan dilakukanya kekerasan
dan intimidasi. Dalam hak kepemilikan sebelum terjadi pemindahan hak, kelompok melayu etnis
lainya menjadikan kelompok etnis lainya menjadi mitra kerja mereka dengan keuntungan bagi
hasil.
Pada mulanya kemitraan itu berjalan baik, tapi lama kelamaan hak kepemilikan jatuh ke
tangan orang-orang Madura. Hal itu terjadi karena keuntungan bagi hasil dinilai lebih
menguntungkan orang Madura sebagai pemelihara dan mereka juga selalu berkeinginan membeli
alat-alat produksi dengan harga yang sangat murah. Proses perpindahan atau pengambilalihan
kesempatan lapangan kerja dan hak-hak kepemilikan itu dianggap sebagai hak yang tidak wajar
oleh etnis Melayu Sambas dan kelompok Etnik lainya karena dilakukan dengan cara tidak jujur
dan intimidasi.
Kondisi ekonomi yang dialami oleh oleh penduduk Kalimantan Barat di perburuk dengan
struktur ketidakadilan selama tiga dekade oleh pemerintahan Orde Baru. Pemerintah lebih
memihak kepada kelompok pendatang baru. Pemerintah lebih memberikan kemudahan kepada
kelompok etnis pendatang baru menegenai mendapatkan pekerjaan, mengembangkan usaha dan
pengelolaan serta eksploitasi sumber daya alam yang memiskinkan kelompok etnis lokal.
Ketidakadilan itu juga terbentuk karena adanya ketidakpedulian dan kurangnya komitmen dari
petugas kemanan dan pemda terhadap penderitaan penduduk setempat dalam hidup
berdampingan dengan saudaranya, pendatang Madura. Selain itu, aparat keamanan tidak mampu
dan tidak tegas dalam menangani kasus-kasus kriminalitas yang telah berjalan selama puluhan
tahun.


B.Faktor Penyebab Terjadinya Konflik di Kalimantan Barat
Dari kejadian-kejadian tersebut, salah satu Iaktor penyebab konIlik Melayu dengan
Madura Sambas adalah Iaktor ekonomi, terutama mengenai lapangan pekerjaan dan kesempatan
kerja yang berpindah dari kelompok etnis lokal ke kelompok etnis pendatang. Hal ini
menimbulkan kompetisi sosial ekonomi yang tidak adil dan dominasi terhadap kelompok etnis
lokal yang akhirnya menimbulkan konIlik etnis. Selain Iaktor ekonomi, terdapat Iaktor politik
yang tidak adil yang memperburuk konIlik ini. Dalam hal ini pemerintah lebih memihak kepada
kelompok etnis pendatang, mementingkan kepentingan kelompok etnis tertentu dan
memarjinalkan kelompok etnis lokal melalui dominasi ekonomi dan eksploitasi terhadap sumber
daya alam.
Aparat keamanan juga seakan tidak tegas dan terkesan tidak adil dalam menagani
berbagai kerusuhan dan perselisihan yang terjadi diantara kelompok etnis Dayak dan Madura.
Akibat dari ini semua masyarakat lokal yaitu suku Dayak merasa semakin terpinggirkan,
termarjinalkan dan didiskrimasi. Terdapat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan yang dialami
kelompok etnis lokal terhadap pemerintah dan aparat keamanan. karena Iaktor-Iaktor inilah yang
menyebabkan konIlik antar etnis yaitu Dayak dan Madura dapat terjadi.

C.Konflik dan Integrasi Sosial
Menurut Hocker dan Wilmot, konIlik diartikan sebagai ekpresi perjuangan diantara
minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, dimana dua
pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan
merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan dan integrasi sosial
dapat diartikan sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam
kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki
keserasian Iungsi. KonIlik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi dan integrasi yang tidak
sempurna dapat menciptakan konIlik.

Dalam konIlik sambas, terdapat struktur ketidakadilan yang berkaitan dengan dominasi
oleh kelompok etnis pendatang baru yaitu Madura dan diskriminasi yang dilakukan oleh
pemerintah. Kesenjangan ekonomi antra kelompok etnis lokal dan kelompok etnis pendatang
baru amat mencolok. Kelompok etnis lokal mengalami berbagai eksklusi hak memperoleh modal
kerja, kesempatan kerja kepemilikan dan lain sebagainya, sehingga sulit untuk keluar dari
kemiskinan. Dengan kondisi seperti ini maka dapat mendorong terciptanya eksploitasi dan
dominasi kelompok pendatang baru terhadap pendatang lokal yang akhirnya menjurus kepada
konIlik antar etnik.
Salah satu bentuk pengendalian dari konIlik yaitu dengan adanya integrasi dan dalam
konIlik Sambas ini, integrasi yang terbentuk adalah integrasi Iungsional. Integrasi Fungsional
merupakan salah satu dimensi integrasi nasional yang melihat pentingnya menyatukan berbagai
Iungsi atau peran kelompok dalam masyarakat sehingga setiap kelompok dapat merasakan
manIaat dan kebutuhan akan integrasi. Integrasi Iungsional sangat dekat kaitanya dengan Iungsi
ekonomi dalam masyarakat. Apabila pemerintah sebagai penanggung jawab kesejahteraan dan
pemenuhan kebutuhan rakyatnya dapat menjalankan Iungsi dan peranya secara adil dan benar,
maka konIlik Sambas yang sampai menelan koban jiwa tidak perlu terjadi. Selain pemerintah,
setiap masyarakat termasuk kelompok-kelompok antar etnis memiliki peran atau Iungsi yang
terkait satu sama lain yang dapat membentuk suatu pola. Apabila unsur0unsur tersebut dapat
berIungsi sesuai dengan harapan masyarakat maka akan menciptakan suatu integrasi. Namun jika
tidak, akan mengarah kepada konIlik.







Bab IV
Kesimpulan

KonIlik Sambas merupakan salah satu konIlik antar etnik terbesar di Indonesia yang
melibatkan kelompok etnis Dayak dan Madura. Menurut kelompok kami dengan menggunakan
perspektiI struktural Iungsional, Iaktor penyebab dari terjadinya konIlik sambas adalah Iaktor
ekonomi dan Iaktor politik. Dari aspek ekonomi, terdapat perpindahan kesempatan kerja dan
lapangan pekerjaan yang akhirnya menimbulkan dominasi dan kesenjangan ekonomi antara
kelompok etnis lokal yaitu Dayak dan kelompok etnis pendatang baru yaitu Madura. Dalam
aspek politik, terdapat unsur ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, pemerintah
lebih memihak kepada kelompok etnis pendatang, mementingkan kepentingan kelompok etnis
tertentu dan memarjinalkan kelompok etnis lokal melalui dominasi ekonomi dan eksploitasi
terhadap sumber daya alam yang memiskinkan kelompok etnis lokal. Dari Iaktor ekonomi dan
politik inilah yang membuat Kelompok etnis Dayak merasa di pinggirkan,penumpukan rasa
ketidakadilan dan timbul rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah yang memicu timbulnya
konIlik. Integrasi yang timbul dalam konIlik sambas ini adalah intergrasi Iungsional. Setiap
unsur dalam konIlik ini seperti pemerintah dan kelompok-kelompok etnis harus menjalankan
Iungsinya dengan baik agara tercipta suatu integrasi. Agar tidak terjadi konIlik berkepanjangan
pemerintah harus bisa menciptakan suatu keadilan ditengah-tengah pluralitas masyarakat
Indonesia, penegakan hukum yang tidak diskriminatiI dan meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya.





Daftar Pustaka

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004.
Jurnal Antropolgi Indonesai, 6-8 Mei 1999. Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia,
Depok.
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/12/19/0052.html diunduh pada 24 Februari
2011 pukul 21:06
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/03/02/0029.html diunduh pada 24 Februari
2011 pukul 21:09
http://jasmeerah.wordpress.com/2010/02/11/penelusuran-lengkap-sejarah-pertikaian-sampit-asal-
mula-kerusuhan-sampit1/ diunduh pada 24 Februari 2011 pukul 21:22
http://zkarnain.tripod.com/REAKSI.HTM diunduh pada 25 Februari 2011 pukul 09.17
http://penakalbar.blogspot.com/2008/06/konIlik-etnis-sambas-1999-pelanggaran.html diunduh
pada 25 Februari 2011 pukkul 09:41
Dewi, R. Ismala, dkk. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi II. Manusia,
Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2010. Merujuk pada buku
Masyarakat Multikultural oleh M. Ainul Yaqin (2007).




Lampiran
1.FORUM - Ketika Kerusuhan Mengguncan

Gelombang kedua perang suku di Kalimantan Barat meledak awal Februari
lalu. Ratusan nyawa melayang, ribuan rumah musnah. Mengapa kerusuhan
berkepanjangan? Pagi itu, matahari bersinar cerah, membangkitkan kehidupan di Desa
Sungaikunyit Hulu, Kecamatan Sungaikunyit, 90 kilometer dari
Pontianak. Para petani desa dengan wajah berseri-seri bergegas menuju
ke sawah. Beberapa penduduk pergi ke kebun untuk menoreh getah. Namun,
indahnya pagi 18 Februari lalu itu tak bisa dirasakan terlalu lama.

Tiba-tiba, dari balik gunung, datang ratusan massa bersenjata senapan
lantak, tombak, mandau, dan panah. Mereka menyerang perkampungan orang
Madura itu. Ratusan rumah penduduk dibakar. Bentrok Iisik tak
terhindari. Sebanyak 17 orang tewas.Untunglah, "pertempuran" orang Dayak-Madura itu
segera bisa dipadamkanoleh pasukan dari Batalyon 643 Wanara Sakti dan Batalyon 612
Modang, siang hari. Sebanyak 86 pelaku ditangkap dan sejumlah senjata disita.
Pangdam VI/Tanjungpura, Mayjen TNI Namuri Anoem, sangat menyesalkan
kerusuhan itu. Sebab, pada hari yang sama, di Kota Pontianak justru
digelar ikrar perdamaian.

Memang, Selasa pagi itu, halaman kantor Wali Kota Madya Pontianak
dipadati oleh ribuan orang. Mereka menyaksikan ikrar yang dilakukan
para tokoh masyarakat. Dua puluh dua tokoh dari berbagai suku di kota
itu, Dayak, Madura, Melayu, Jawa, Aceh, Tapanuli, Bali, Bugis, Cina,
hadir saat itu dengan memakai pakaian adat masing-masing.
Ikrar yang disaksikan oleh para petinggi daerah itu menyatakan
keprihatinan terhadap "perang" suku Dayak dan Madura di Kalimantan
Barat (Kalbar) belakangan ini. "Peristiwa itu menunjukkan lemahnya
kesadaran berbangsa, bernegara, dan bunyi ikrar mereka.

Dalam acara itu, Pangdam VI/Tanjungpura, Mayjen TNI Namuri Anoem,
menyerukan agar masyarakat menjaga kerukunan, ketenangan, dan
keamanan. "Keamanan adalah segala-galanya. Coba kalau situasi tidak
aman, kita pun tidak enak tidur, tidak bisa pergi ke luar rumah.
Semuanya tidak enak," kata Namuri.

Kerusuhan itu bukan saja membuat masyarakat tidak bisa tidur nyenyak,

tapi gejolak selama dua bulan itusejak akhir Desember lalujuga


mengakibatkan ratusan nyawa melayang. Aspam KSAD, Mayjen TNI Zacky
Anwar Makarim, membenarkan jumlah korban yang tewas, yang saat ini
sekitar 300 orang. "Almost the same, dari kedua belah pihak," kata
Zacky. Padahal, keamanan di Kalbar pertengahan Februari laludi luar
bentrokan Sungaikunyitsecara umum mulai pulih. Lalu lintas antarkota
mulai ramai lagi, walaupun aparat keamanan masih bersiaga di
sana-sini. Jalur Pontianak-Kuching, dari pemantaun FORUM, sudah mulai
ramai. Walaupun di sepanjang jalan, sisa- sisa kerusuhan masih
membekas.

Gelombang pertama pertikaian suku Dayak-Madura berlangsung 30 Desember
1996 hingga beberapa hari. Ribuan orang Dayak menyerbu perkampungan
orang Madura di Sanggauledo. Beberapa orang Madura tewas. Ratusan
rumah dibakar. Saat itu, paling tidak sebanyak 6.886 orang Madura
harus diungsikan. Pemicu dari semua itu adalah perkelaian antara pemuda Madura dan
pemuda Dayak dalam pertunjukan dangdut di Pasar Sanggauledo, 29
Desember lalu. Bermula dari cekcok soal cewek, ujung-ujungnya pemuda
Madura, Bahari dan kawannya, menusuk pemuda Dayak, Akim dan Yukundus.
Kalangan Dayak pun marah besar. Apalagi sempat tersebar kabar burung
bahwa kedua pemuda Dayak itu tewas. Karena, sebelumnya sudah ada
kesepakatan antara dua suku yang kerap bentrok itu tak akan saling
mengganggu lagi. Tak boleh ada darah yang bercecer.

Sebenarnya, kerusuhan yang melanda Sanggauledo dan sekitarnya sempat
mereda. Dan, aparat keamanan pun tampak telah menguasai keadaan.
Namun, tiba-tiba, sebulan kemudian, 29 Januari lalu, di Pontianak
terjadi keributan. Waktu sahur, tak kurang dari 40 orang berpakaian
hitam dan bertopi ala ninja menyerang kompleks SMP dan SMU Santo
Fransiskus Asisi di kawasan Siantan. Sebuah truk dan dua sepeda motor
milik yayasan itu dibakar. Kerugian ditaksir sampai Rp 5 juta.
Mereka juga sempat menyerang rumah kos karyawati Pasar Swalayan Citra
Siantan. Dua cewek, EIrosena dan Elia, dibacok. Enam kawannya berhasil
melarikan diri. Untunglah, setelah dilarikan ke rumah sakit, nyawa dua
gadis itu bisa ditolong. Kebetulan pagi itu, sekitar pukul 09.00 WIB, Pangab Jenderal TNI
Feisal Tanjung sedang berkunjung ke Pontianak. Ia segera untuk
menangkap para pelaku. Sorenya, 10 orang diperiksa, beberapa di antara
mereka dijadikan tersangka. Kabarnya, "pasukan ninja" itu memang
sengaja membakar kembali perkelahian antarsuku itu.

Sehari setelah aksi ninja itu, di jalan raya Pontianak- Sanggauledo
terjadi pula insiden. Sebuah mobil Kijang merah berpelat nomor KB 8876
AR yang dikendarai Lanun, yang akan menuju Sanggauledo dengan sejumlah
penumpang, disetop orang Madura di kilometer 32. Para penumpang

digeledah. Ketika diketahui penumpang Dayak, mereka dibacok


ramai-ramai. Lanun, si sopir Kijang itu, tewas.
Tak cuma itu. Hari berikutnya, Jumat 31 Januari, bus Setia Jaya dari
Sanggauledo menuju Pontianak dicegat oleh orang Madura. Di dalamnya
ada penumpang Dayak, Djalan, 60 tahun, asal Batangtarang. Dan, ia pun
dihabisi. Malamnya, Martinus Nyungkat, yang sehari-hari Kepala Desa
Maribos, ditemukan tewas di Peniraman. Selain kepala desa, Nyungkat
adalah tumenggung alias kepala suku Dayak setempat. Nyungkat dicegat
di jalan sehabis pulang dari menghadiri wisuda anaknya di Universitas
Tanjungpura. Kematian Lanun, Djalan, dan Nyungkat segera membangkitkan amarah orang
Dayak. Genderang perang ditabuh lagi. Mangkuk merah sebagai pertanda
perang terus diedarkan di kalangan orang Dayak. Roh nenek moyang pun
dipanggil lagi. Maka, para lelaki yang dalam keadaan trance atau
kerasukan roh nenek moyang, keesokan harinya, 1 Februari, bergerak
secara spontan. Gelombang kedua kerusuhan di Kalbar pun dimulai.

Amukan massa Dayak di Pontianak, Sambas, dan Sanggau tidak bisa
dikendalikan lagi. Puluhan orang Madura di desa-desa di Kabupaten
Pontianak dibabat habis. Rumah-rumah penduduk di Kabupaten Sanggau
dibakar dan beberapa penduduk dibunuh. Warung-warung orang Madura di
Terinal Sosok rata dengan tanah.

Siang harinya, Danrem 121/ABW, Kol. Art. Zainuri Hashym, dengan
pesawat helikopter mendarat di Sosok. Ia membujuk agar kalangan Dayak
mau berdamai. Namun, ajakan itu ditolak mentah- mentah. Alasannya,
berkali-kali perjanjian telah dilanggar oleh orang Madura.
Untuk menghentikan kerusuhan itu, bantuan pasukan dari Batalyon Linud
623 Madang dan Brimob dari Kalimantan Timur didatangkan. Sekitar tiga
ratus pasukan dari Kostrad Jakarta pun diturunkan. Namun, orang Dayak
seakan sudah tidak takut lagi terhadap tentara. Mereka nekat hendak
menyerang orang Madura yang diungsikan di markas Batalyon Zipur di
Anjungan.
Bentrok dengan petugas tak terelakkan lagi. Belasan orang tewas dalam
bentrokan itu. Kabarnya, para korban, baik orang Dayak maupun Madura,
langsung dikubur massal.

Sanggaukapuas, terjadi insiden serupa. Delapan truk massa Dayak
memprotes mengapa orang Madura diungsikan ke situ. Mereka menuntut
agar semua orang Madura hengkang dari wilayah Sanggaukapuas. Ketika
mereka nekat merangsek ke Kodim, tembakan beruntun, kabarnya,
dilepaskan ke tanah. Akibatnya, lima orang tewas seketika.
Tragedi di Anjungan tak hanya terjadi sekali. Sore hari, 5 Februari
lalu, dua truk berisi massa Dayak tidak mau disetop ketika melewati

pos Batalyon Zipur. Bentrokan dengan petugas pun berlangsung. Menurut


sumber FORUM, beberapa orang tewas ditembak ketika itu.
Mayjen TNI Namuri Anoem menegaskan, penembakan itu terpaksa dilakukan
karena mereka mulai menyerang petugas. Bahkan yang terjadi di Kodim
Sanggaukapuas, para perusuh menembak lebih dulu dengan senapan lantak.
"Jadi, semua itu merupakan upaya anggota kami untuk membela diri,"
ujarnya.

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, 9 Februari, penduduk Kalimantan Barat
masih diliputi ketakutan dengan berbagai insiden yang memakan korban
di berbagai tempat. Sehari sebelum Lebaran, kerusuhan terjadi di
pedalaman Kecamatan Tebas. Orang- orang Dayak marah karena tokoh
mereka, Martinus Nyungkat, mati terbunuh di Paniraman.
Suasana lebaran di Kalbar pun terasa hambar. Apalagi, para penduduk di
berbagai daerah kesulitan mendapat barang kebutuhan pokok seperti
beras dan minyak goreng. Transportasi antarkota terputus karena mobil
angkutan tak berani beroperasi. Mereka takut dicegat di jalan dan
dihabisi. Sampai-sampai, Gubernur Kalbar, Aspar Aswin, perlu
memerintahkan agar Dolog menyuplai beras ke berbagai daerah. Tentu,
pengangkutannya mesti dikawal oleh tentara.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa kerusuhan gelombang kedua sampai
meledak lebih dahsyat? Padahal, selama sebulan setelah kerusuhan di
Sanggauledo dan sekitarnya, keadaan telah relatiI aman. Bahkan, Pangab
pun telah berkunjung ke sana.
Salah satu yang dianggap sebagai pemicu oleh aparat keamanan di Kalbar
adalah kronologi peristiwa Sanggauledo yang dibuat Zainuddin Isman,
koresponden harian Kompas di sana. Kronologi empat lembar itu, entah
kenapa, tiba-tiba beredar luas di kalan gan masyarakat. Disebutkan di
situ, antara lain, bahwa yang menusuk dua pemuda Dayak dalam kejadian
di Sanggauledo sebenarnya bukan pemuda Madura, tapi seorang pemuda
Dayak yang ibunya telah kawin dengan orang Madura.
Kronologi Zainuddin itu, caleg PPP nomor 2 untuk DPR wewakili Kalbar,
kabarnya dianggap memanasi orang Madura. Tapi, pemicu sesungguhnya
bentrokan gelombang kedua itu adalah aksi "pasukan ninja" yang
menyerang kompleks Santo Fransiskus Asisi, yang berlanjut dengan
sejumlah penyerangan terhadap orang Dayak. membuat selebaran yang
menghasut," kata Kapolda Kolonel Erwin Achmad.

Empat ulama Jawa Timur yang berkunjung ke Pontianak, 9-15 Januari
lalu, juga kena getahnya. Mereka dituding sebagai "pengompor" sehingga
orang Madura di sana panas. Ulama yang tergabung dalam tim Basra
(Badan Musyawarah dan Komunikasi Ulama Madura) itu terdiri dari K.H.
Abdullah Schal, K.H. Imam Buchori, K.H. Nuruddin Rachman, dan SyaIik
SyaIii. "Sebenarnya, rakyat di sana sudah rukun. Lalu, ada oknum yang
masuk," kata KSAD Jenderal TNI R. Hartono, tanpa menyebut nama.

Celakanya, mereka konon mengedarkan poster PPP Bangkalan di sana.


Namun, tudingan itu dibantah para ulama. Menurut Kiai Abdullah, mereka
datang ke sana justru untuk menyejukkan orang- orang Madura. Mereka
mengadakan ceramah dan pengajian. Dan, mereka pun bertemu dengan
muspida setempat. "Tidak benar kalau kami ke sana untuk memanasi,"
ujarnya.

Bagaimanapun, kerusuhan yang melanda Bumi Khatulistiwa kali ini
merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sebelumnya (tahun 1968,
1979, dan 1983), baik dalam soal jumlah korban, massa yang terlibat,
mapun rentang waktu. Tiga kerusuhan terdahulu /bisa diselesaikan tidak
sampai satu bulan. Jumlah korban pun tak sampai ratusan.
Ada yang mengatakan, dahsyatnya bentrok antarsuku kali ini karena
aparat keamanan kewalahan untuk meng-cover lokasi kejadian. Ini
berkaitan dengan restrukturisasi Kodam di Kalimantan pada awal
1980-an. Sebelum ada penyederhanaan, di Kalimantan ada tiga Kodam.
Kalbar mempunyai Kodam sendiri, yaitu Kodam XII Tanjungpura yang
kedudukan di Pontianak. Sejak ada penyederhanaan, di Kalimantan cuma
ada satu Kodam, yaitu Kodam VI Tanjungpura, yang bermarkas di
Balikpapan.

Namun, menurut Mayjen TNI Namuri Anoem, penyederhanaan Kodam tidak
mempengaruhi dalam pengamanan daerah. Karena, jumlah pasukan yang ada
pun tak berkurang. Yang menjadi soal, lokasi kerusuhan sekarang ini
terpencar-pencar dan berada jauh di pedalaman, dengan medan yang
sulit. "Wilayah Kalbar lebih luas daripada Pulau Jawa. Suasana medan
berat, umumnya hutan dan rawa-rawa. Jangan dikira tiga ribu personil
sudah bisa meng- cover wilayah seluas ini," ujarnya.
Selain soal penanganan keamanan yang rumit, kemelut antarsuku yang
terjadi sekarang tak kalah peliknya. Seperti yang dituturkan oleh
anggota Komnas HAM, Bambang Soeharto, yang telah meninjau ke sana.
Keterimpitan orang Dayak dalam ekonomi dan politik ikut mendorong
agresivitas mereka. "Faktor yang menyebabkan kerusuhan cukup kompleks.
Ya, Iaktor ekonomi dan juga budaya," ujarnya.

Bambang tak mau merinci. Namun, dari pengamatan FORUM, orang Dayak
kini semakin terdesak oleh para pendatang dalam itu justru menggunakan
pekerja dari luar. Hutan-hutan yang sebelumnya mereka kuasai kini
dipegang oleh penguasa HPH. Sementara itu, dalam bidang politik,
posisi mereka pun terancam. Sedikit sekali orang Dayak yang
mendapatkan posisi penting di pemerintahan.
Yang membuat konIlik berkepanjangan pada kerusuhan kali ini,
masyarakat Dayak seakan sudah tak percaya lagi terhadap ikrar atau
perdamaian dengan orang Madura. Sebab, berkali-kali mereka bersumpah
adat, berkali-kali pula orang Madura dianggap melanggarnya.
Itu semua tak lepas dari perbedaan budaya di antar kedua suku. Membawa

pisau atau celurit ke mana-mana bagi orang Madura adalah hal biasa.
Tapi, bagi orang Dayak, menenteng senjata semacam itu, kecuali bila
pergi ke ladang, dianggap sebagai sikap menantang. Perbedaan budaya
semacam itulah yang menurut Stephanus Djuweng, Direktur IDRD
(Institute oI Dayakology Research and Development), sering memicu
pertikaian. "Perbedaan ini tak pernah didialogkan, sehingga
menimbulkan konIlik," ujarnya.

Lalu, IilsaIah suku Dayak yang disebut "semangat rumah panjang". Satu
orang Dayak dilukai, berarti melukai dan mengancam seluruh masyarakat
Dayak. Inilah, menurut H. Sulaeman, seorang tokoh Madura di sana, yang
membuat masalah kecil menjadi besar. "Seharusnya, persoalan pribadi
biarlah diselesaikan secara pribadi," katanya.
Menurut Bupati Kapuas Hulu, Jakobus Frans Layang, upacara perdamaian
secara adat antara kedua belah pihak untuk sekarang sudah tidak
eIektiI lagi. Karena, satu pihak tidak merasa terikat dalam adat itu.
"Sekarang, perlu kita ubah. Masing- masing berjanji dengan cara
masing-masing kepada negara untuk menciptakan suasana aman," kata
bupati yang juga menjadi tokoh Dayak itu.
Khusus untuk orang Dayak, Jakobus melukiskan, proses kembali ke
suasana normal tak bisa segera. Mereka harus mengambil roh asli mereka
melalui upacara Nyaru Semangat. Karena, yang berada di badan mereka
saat ini adalah kamang (roh perang). Selanjutnya, mereka harus
melakukan Pemabang, untuk mengembalikan roh nenek moyang mereka.
Upacara ini tak mungkin dilakukan dalam sehari. Minimal, satu minggu.
"Itulah yang harus dilakukan agar orang Dayak normal lagi," ujar
Jakobus. Artinya, memang perlu waktu untuk "sebuah perdamaian".

Review :
Oleh Marcha Zoraya Adista Bakti, 1006708081
Faktor-Iaktor penyebab terjadinya konIlik sambas menurut saya dalam artikel ini cukup
kompleks. Terdapat banyak Iaktor yang menyebabkan timbulnya konIlik ini. Faktor-Iaktor ini
antara lain adalah Iaktor ekonomi dan politik serta Iaktor budaya. Dari Iaktor ekonomi,
kelompok etnis Dayak semakin terdesak oleh kelompok etnis pendatang baru. Kesempatan kerja
kelompok etnis lokal menjadi berkurang. Hal ini ditandai dengan lapangan pekerjaan yang ada
banyak yang diisi dengan kelompok etnis pendatang dibandingkan kelompok etnis lokal. Hutan-
hutan yang sebelumnya dikuasai oleh kelompok etnis lokal lalu berpindah tangan ke kelompok
etnis pendatang. Dari Iaktor politik, posisi kelompok etnis lokal pun terancam. Sedikit sekali

orang Dayak yang mendapatkan posisi penting di pemerintahan. Karena hal inilah timbulah
dominasi kelompok etnis pendatang terhadap kelopok etnis lokal.
Yang semakin memperkeruh konIlik ini adalah, masyarakat Dayak seakan sudah tak
percaya lagi terhadap ikrar atau perdamaian dengan orang Madura. Sebab, berkali-kali mereka
bersumpah adat, berkali-kali pula orang Madura dianggap melanggarnya. Itu semua tak lepas
dari Iaktor budaya, yaitu terdapat perbedaan budaya di antar kedua suku. Membawa pisau atau
celurit ke mana-mana bagi orang Madura adalah hal biasa. Tapi, bagi orang Dayak, menenteng
senjata semacam itu, kecuali bila pergi ke ladang, dianggap sebagai sikap menantang. Perbedaan
budaya semacam itulah yang sering memicu pertikaian.
Jika dikaitkan dengan integrasi, maka integrasi yang timbul adalah normatiI dan
Iungsional. Integrasi normatiI sendiri diwakili oleh unsur-unsur budaya,nilai,norma dan lain
sebagainya. Sedangkan integrasi Iungsional sangat erat kaitanya dengan Iungsi ekonomi dalam
masyarakat. Setiap pihak harus dapat mengahargai budaya, nilai dan norma yang ada.
Peningkatan kesejahteraan berkeadilan juga merupakan salah satu hal yang dapat meredam
konIlik. Apabila kesejahteraan berkeadilan sudah didapatkan oleh semua pihak, maka
permasalahan-permasalahan akan terselesaikan dan konIlik tidak akan muncul.

2.INDONESIA-NEWS] KMP - Konflik Etnis di Kalbar
#abu, 20 Desember 2000
KonIlik Etnis di Kalimantan Barat
Bak Luka yang Tak Sembuh-sembuh

SEJAK akhir tahun 1962, pertikaian etnis sepertinya sulit terpisahkan dari dinamika
kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Sekalipun sudah ribuan nyawa manusia yang
tidak berdosa melayang, puluhan ribu tempat tinggal dan tempat usaha hangus dibakar,
namun bibit konIlik itu terus saja membara. Bahkan, dalam empat tahun ini tercatat telah
empat kali meletus kerusuhan besar, sedangkan yang kecil tidak bisa dihitung lagi.

Setiap kali terjadi pertikaian etnis pasti dijumpai perlakuan yang tidak manusiawi
terhadap korban. Bayangkan saja, setelah tewas dibunuh, lawan dari etnis berlainan
tersebut memenggal tubuh korban menjadi beberapa potong. Kepalanya ditenteng dan
dipamerkan di jalan raya, atau ditendang seperti bola. Anehnya, pelaku pun tampak sangat

berbangga serta bergembira dengan tindakan itu. Nyawa manusia seolah menjadi tidak
berharga di hadapan mereka yang bertikai.

Kesepakatan perdamaian selalu digalakkan pejabat setempat serta pemimpin dari
kelompok yang bertikai. Namun, semua itu hanya manjur sesaat. Kalau terjadi lagi
senggolan kendaraan bermotor, perkelahian antarwarga yang melibatkan warga yang
kebetulan beretnis Melayu atau Dayak dengan Madura, kerusuhan tersebut berpotensi
meletus kembali. Persoalan antarpribadi dengan mudah serta cepat dapat berubah menjadi
konIlik antar-etnis. Dalam sekejap konIlik pun menjalar ke berbagai kawasan. Semua itu
karena luka batin yang diderita selama ini belum mampu tersembuhkan, sehingga
masyarakat juga dengan mudah terprovokasi dalam solidaritas sosial yang sempit.

BERDASARKAN catatan ProI Dr SyariI Ibrahim Alqadrie, Guru Besar Sosiologi
Universitas Tanjungpura (Untan), konIlik etnis di Kalbar sudah terjadi 12 kali. Sepuluh
kali melibatkan Dayak dengan Madura, yakni pada tahun 1962, 1963, 1968, 1972, 1977,
1979, 1983, 1996, 1997 dan 1999. Sekali antara Dayak dengan Tionghoa, yakni 1967.
Kemudian dua kali Melayu dengan Madura, yakni tahun 1999 dan 2000.

Dari ke-12 kali konIlik etnis tersebut, yang terdahsyat adalah pertikaian Dayak dengan
Madura pada tahun 1996 dan 1997. Saat itu konIlik yang berawal dari Kampung Sanggau
Ledo menyebar ke sejumlah kecamatan di Kabupaten Sambas, kemudian meluas hingga
ke Kabupaten Pontianak, Sanggau dan Kodya Pontianak. Tragisnya, di mana dan kapan
pun anggota dari kedua kelompok etnis ini bertemu cenderung saling kontak Iisik atau
saling membunuh.

Setelah itu, menyusul pertikaian antara Melayu dan Dayak dengan Madura di Kabupaten Sambas
pada tahun 1999. KonIlik yang ini menjadi lebih parah, sebab ribuan masyarakat Madura di
Sambas harus diungsikan ke berbagai lokasi di Kodya Pontianak dan Singkawang. Dan hingga
kini, pengungsi tetap dibiarkan bertahan dalam kamp pengungsian dan rumah keluarga sekaligus
bergulat dengan 1.001 penderitaan. Keinginan kembali ke Sambas pun ditolak penduduk asli.
Relokasi yang dijanjikan pemerintah, baru sebagian kecil yang direalisasikan. Rekonsiliasi antara
masyarakat Dayak, Melayu dengan Madura terkesan diambangkan penguasa, sehingga pengungsi
Sambas benar-benar berada di dalam ketidakpastian masa depan.

Lebih menyakitkan lagi, ketika persoalan yang satu belum tuntas, lalu meletus lagi pertikaian
yang sama yang melibatkan Melayu dan Madura di Kota Pontianak pada 25-27 Oktober 2000.
Peristiwa ini seolah ikut memupuskan harapan pengungsi Sambas untuk melakukan rekonsiliasi
dan kembali ke tempat asalnya di Kabupaten Sambas.

Sepertinya ada pihak tertentu yang tak rela melihat masyarakat Melayu, Dayak dengan Madura di
Sambas berdamai. Sebab Iakta yang ada selama ini selalu memperlihatkan bahwa setiap kali
pemuka masyarakat dari ketiga suku hendak tercapai kesepakatan, tiba-tiba saja meletus konIlik

baru baik berskala kecil maupun besar," tutur Muniran, tokoh masyarakat Madura. Harus diakui,
semakin beruntunnya konIlik etnis di Kalimantan Barat, khususnya selama empat tahun terakhir,
telah melahirkan bibit permusuhan antarkelompok masyarakat begitu subur berkembang.
Benih kecurigaan telah bertebaran di mana-mana. Masyarakat sendiri semakin sulit membedakan
persoalan pribadi maupun kelompok. Suasana hidup di
Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Landak, Pontianak dan Kota
Pontianak pun menyerupai api dalam sekam.

APABILA dirunut ke belakang, sebetulnya masyarakat Madura dan Kalimantan Barat memiliki
hubungan sejarah. Pada awal abad ke-18 saat perang melawan Kerajaan Riau, sejumlah
sukarelawan asal Madura yang tergabung dalam pasukan Kerajaan Mataram secara khusus
ditugaskan ke Kalbar untuk membantu Kerajaan Sambas. Setelah pertempuran berakhir, sejumlah
sukarelawan Madura tidak bersedia kembali ke tanah asalnya. Mereka memilih bertahan di
Sambas, lalu menikah dengan gadis Melayu setempat.

Kedatangan berikutnya pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1902. Setelah itu, eksodus
masyarakat Madura secara swakarsa tersebut makin marak hingga saat ini. Di Kalbar, mereka
umumnya bekerja sebagai petani, buruh kasar, peternak dan pedagang. Pilihan pekerjaan ini
disebabkan tingkat pendidikan mereka rata-rata tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Di mata
penduduk asli Kalbar, masyarakat Madura dinilai rajin, ulet dan terampil dalam memelihara
tanaman serta hewan. Seekor sapi yang sebelumnya sangat kurus, setelah dipelihara serta dirawat
orang Madura selama beberapa pekan, langsung gemuk. Maka tak heran, kalau kebutuhan daging
sapi di Kalbar sebagian besar dipasok masyarakat Madura setempat.

Di balik kelebihan ini, ternyata masih ada sederetan perilaku yang dinilai penduduk Kalbar
sebagai hal yang negatiI. Hal tersebut antara lain selalu menggunakan senjata tajam dalam
menghadapi atau menyelesaikan konIlik. Dan bagi penduduk asli, kalau salah seorang warganya
terkena senjata tajam, maka harus diselesaikan secepatnya dengan upacara adat setempat, baik
berupa pendinginan darah maupun pergantian biaya obat-obatan. Di sampin itu, pelakunya
menjalani proses hukum. "Inilah yang sering menjadi masalah, sebab orang Madura selalu
tidak bersedia menjalani hukum adat. Bahkan, ketika pelakunya sudah ditahan polisi pun, mereka
berusaha dengan segala cara supaya pelaku dibebaskan. Akibatnya, timbul kekecewaan dari
keluarga serta kerabat korban. Mereka lalu membalasnya dengan melukai atau membunuh pelaku
atau kerabat pelaku. Kemudian meletuslah kerusuhan," tutur Slamet AG (62), pensiunan Polri.
Lelaki asal Bantul, DI Yogyakarta ini sudah sekitar 30 tahun bertugas di Kalbar.
Arogansi lain dari beberapa warga Madura, tambah ProI Dr SyariI Ibrahim Alqadrie, adalah
cenderung membiarkan hewan piaraannya memasuki kebun milik orang lain. Batas lahan atau
tanah pun digeser semaunya. Kalau ditegur pemilik tanah yang dirugikan, langsung diancamnya
dengan senjata tajam. Hasil pertanian dan barang dagangan orang lain pun diambil sesuai
kehendaknya. "Kalau dituduh mencuri, mereka berkilah bahwa pencurian hanya dapat dilakukan
pada malam hari. Sedangkan pengambilan barang itu dilakukan siang hari," tutur SyariI Ibrahim
yang sudah beberapa kali meneliti kerusuhan sosial di Kalbar. Pelaku, katanya, umumnya mereka

yang baru datang dari kampung asalnya di Madura.



"Maka, kerusuhan sosial di Sanggau Ledo, Sambas atau konIlik etnis lainnya yang berskala kecil
maupun besar selama ini di Kalbar adalah akumulasi dari kemarahan, kekecewaan, kebencian,
keterhinaan, keterhimpitan, kepedihan maupun ketidakberdayaan. Hal itu merupakan implikasi
dari semua pengalaman pahit yang dialami selama ini lewat berbagai perilaku preman yang
menyakitkan," tambahnya. Kendati demikian, persoalan yang timbul adalah mengapa terjadi
penyamarataan terhadap setiap warga Madura? Tragisnya lagi, mereka yang tidak bersalah atau
beberapa perempuan atau lekaki Melayu dan Dayak yang sudah terasimilasi dalam perkawinan
ikut menjadi sasaran kebrutalan massa, serta dilarang menetap di Kabupaten Sambas.

"Terus terang, saya jadi tak mengerti lagi dengan kerusuhan di Sambas tempo hari. Bayangkan,
saya ini orang Melayu yang kebetulan beristrikan orang Madura. Tetapi, dalam kerusuhan
Sambas, rumah kami dibakar oleh orang Melayu. Bahkan, sampai sekarang dilarang kembali
ke Sambas. Apa salah kami?" tegas Thamrin (48), ayah enam anak yang kini menderita cacat
pada kedua tangannya. Dia bersama keluarganya sedang mengungsi di Stadion Sultan SyariI
Abdurrahman Pontianak. Di Sambas, mereka menetap di Desa Kaokan, Kecamatan
Sejangkang. Sejumlah masyarakat Madura mengakui ada sejumlah sesamanya yang agak kurang
menyatukan diri dengan lingkungan masyarakat Kalimantan Barat. Namun, kenyataan ini tidak
bisa digeneralisasikan semua warga Madura. Masih banyak orang Madura yang bersikap
akomodatiI, toleransi dan selalu bersahabat dengan masyarakat suku lain di Kalbar.

Akar persoalan, kata mereka, terletak pada tak adanya kepastian hukum. Kalau terjadi
kecelakaan, pencurian atau perkelahian, aparat penegak hukum tidak serius menindaknya.
Bahkan, memberi peluang bagi pelaku terbebas dari segala tuntutan hukum. Sebagai kompensasi,
mereka diberikan sejumlah uang. "Bagi orang Madura, tawaran polisi ini pasti langsung disambut
baik. Sebab tahanan dan penjara dalam pandangan orang Madura adalah menyakitkan dan
memalukan. Mereka rela menjual sapi beberapa ekor, yang penting sanak keluarganya
dibebaskan," kata Haji Ramini, Ketua Ikatan Keluarga Korban Kerusuhan Sambas (IK3S). "Jadi,
kalau mau jujur, aparat penegak hukum merupakan penyebab dari semua tragedi berdarah di
Kalbar. Kalau oknum-oknum yang sering mengganggu ketenangan dan keharmonisan warga
ditangkap, dan diadili, kemudian hukum pun benar-benar ditegakkan, takkan mungkin kasus
yang menyerupai pembasmian etnis ini terjadi terus-menerus," tambahnya.

Salah satu bukti kasus Pontianak 25-27 Oktober 2000 lalu. Kasus itu hingga kini sepertinya
hendak didiamkan, sebab belum satu pelaku utama atau provokator yang ditangkap atau diseret
ke pengadilan. Sebanyak 13 berkas perkara yang dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri
Pontianak pertengahan November 2000 silam, dengan pelakunya adalah mereka yang kedapatan
membawa senjata tajam saat sweeping aparat TNI/Polri."Ketidakseriusan aparat Polri dalam
mengusut, menangkap sekaligus menghukum pelaku serta dalang kerusuhan, berarti menyimpan
bom waktu bagi masyarakat Kalbar. Sebab, tidak tertutup kemungkinan, peristiwa yang sama
meletus kembali di waktu mendatang," tegas Muniran.

KETIDAKADILAN dan perilaku memang merupakan salah satu variabel utama mendorong
timbulnya konIlik antaretnis di Kalbar. Namun kasus ini tak berdiri sendiri. Apalagi peristiwa
yang sama sudah terjadi 12 kali di wilayah tersebut. Bahkan berpotensi untuk meletus lagi di
waktu-waktu mendatang. SyariI Ibrahim Alqadrie melihat kepemimpinan politik juga ikut
memicu pertikaian. Pemimpin Iormal setempat, seperti gubernur maupun bupati dinilai belum
mampu mengelola pluralitas etnik sebagai suatu kekuatan untuk memajukan kepentingan
bersama. Sebaliknya, perbedaan yang ada diupayakan sedemikian rupa agar tidak rukun,
sehingga dengan mudah diadu-domba untuk menimbulkan konIlik horizontal. Strategi ini
merupakan bagian dari upaya mempertahankan kekuasaan dan memperkuat posisi
kepemimpinan.
Dalam teori konIlik, jelas SyariI Ibrahim, kalau sebuah daerah atau negara sering terjadi konIlik,
timbullah instabilitas keamanan dan sistem ketatanegaraan serta pemerintahan pun akan semakin
lemah. "Keadaan demikian tentu sangat menguntungkan pemimpinnya. Kekuasaan tetap
langgeng, dan semakin tidak tergoyahkan. Sebab konsentrasi warga lebih tertuju kepada
bagaimana menjaga keamanan. Sebaliknya, kalau stabilitas keamanan terpelihara dengan baik,
sebagian masyarakat pun akan menggoyang kedudukan pemimpinnya. Ini yang paling ditakuti
para pemimpin Iormal yang tidak merakyat," jelas SyariI Ibrahim. Terlepas dari beragamnya
pendapat soal latar belakang pertikaian etnis di Kalbar, namun satu hal yang pasti seluruh
masyarakat selalu menginginkan ketenangan, kedamaian, persaudaraan, serta
penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Ini berarti, perlu dilakukan rekonsiliasi ke
arah perdamaian yang abadi antarkelompok etnis yang
bertikai. Dengan demikian, segala macam dendam, permusuhan maupun konIlik batin lainnya
yang masih bersemi dalam sanubari masyarakat segera dimusnahkan.

Persoalannya, dalam rekonsiliasi menuntut keikhlasan, kejujuran dan rendah hati. Artinya,
masing-masing kelompok yang bertikai harus jujur dan rendah hati mengakui kesalahan masa
lalu. Kemudian dengan ikhlas saling memberikan maaI kepada kelompok lainnya seraya berjanji
takkan mengulangi kesalahan yang pernah dibuatnya. Rekonsiliasi ini tidak hanya dilakukan di
tingkat elite kelompok etnis. Tapi juga harus digelar di lingkungan masyarakat terkecil, seperti
Rukun Tetangga (RT) sehingga melibatkan partisipasi serta dukungan seluruh lapisan
masyarakat.

Review :
Oleh Marcha Zoraya Adista Bakti, 1006708081

Berdasarkan artikel diatas, menurut saya perpektiI yang digunakan dalam melihat
konIlik Sambas adalah perspektiI konIlik. Masyarakat merupakan tempat bertemunya kelompok-
kelompok yang memiliki kepentingan dan kebutuhan sendiri yang harus diperjuangkan. Kaum

yang dianggap paling kuatlah yang akan memiliki kesempatan untuk berkuasa. Hal ini diperkuat
oleh pendapat SyariI Ibrahimdalam artikel diatas, kalau sebuah daerah atau negara sering terjadi
konIlik, timbullah instabilitas keamanan dan sistem ketatanegaraan serta pemerintahan pun akan
semakin lemah. Keadaan demikian tentu sangat menguntungkan pemimpinnya. Kekuasaan tetap
langgeng dan semakin tidak tergoyahkan. Sebab konsentrasi warga lebih tertuju kepada
bagaimana menjaga keamanan. Sebaliknya, kalau stabilitas keamanan terpelihara dengan baik,
sebagian masyarakat pun akan menggoyang kedudukan pemimpinnya. Ini yang paling ditakuti
para pemimpin Iormal yang tidak merakyat. Dalam hal ini, kelompok etnis Maduran dan Sambas
sama-sama memiliki kepentingan den kebutuhan, akan tetapi kelompok etnis Madura yang
dianggap sebagai kelompok yang lebih majulah yang akhirnya yang akhirnya berhasil
mendominasi kelompok etnis Sambas. Pemimpin Iormal setempat, seperti gubernur maupun
bupati dinilai belum mampu mengelola pluralitas etnik sebagai suatu kekuatan untuk memajukan
kepentingan bersama. Sebaliknya, perbedaan yang ada diupayakan sedemikian rupa agar tidak
rukun. Strategi ini merupakan bagian dari upaya mempertahankan kekuasaan dan memperkuat
posisi kepemimpinan. Upaya mempertahankan kekuasaan dan memperkuat posisi kepemimpinan
adalah kepentingan yang dimiliki pemerintah yang dapat memicu timbulnya konIlik.
Faktor budaya juga merupakan aspek yang menonjol dalam artikel ini. Kelompok etnis
Sambas dan Madura memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkanpola pikir
yang berbeda bagi keduanya dalam melihat sesuatu dan memicu timbulnya kesalahpahaman yang
berujung konIlik. Contoh dari perbedaan budaya ini adalah kebiasaan kelompok etnis madura
menggunakan senjata tajam. Pada etnis lokal, apabila ada masyarakatnya yang terkena senjata
tajam maka harus diselesaikan dalam upacara adat setempat, tapi kelompok etnis Madura tidak
mau mengikuti aturan tersebut. Selain itu, kelompok etnis Madura suka membiarkan hewan
piaraannya memasuki kebun milik orang lain. Batas lahan atau tanah pun digeser semaunya. Jika
ditegur pemilik tanah yang dirugikan, mereka akan langsung mengancam dengan senjata tajam.
Hasil pertanian dan barang dagangan orang lain pun diambil sesuai kehendaknya. Jika dituduh
mencuri, mereka berkilah bahwa pencurian hanya dapat dilakukan pada malam hari. Sedangkan
pengambilan barang itu dilakukan siang hari.
Menurut artikel diatas, agar dapat mengendalikan konIlik, hal-hal yang harus dilakukan
adalah rekonsiliasi menuntut keikhlasan, kejujuran dan rendah hati. Artinya, masing-masing

kelompok yang bertikai harus jujur dan rendah hati mengakui kesalahan masa lalu. Kemudian
dengan ikhlas saling memberikan maaI kepada kelompok lainnya seraya berjanji
takkan mengulangi kesalahan yang pernah dibuatnya. Rekonsiliasi ini tidak hanya dilakukan di
tingkat elite kelompok etnis. Tapi juga harus digelar di lingkungan masyarakat terkecil, seperti
Rukun Tetangga (RT) sehingga melibatkan partisipasi serta dukungan seluruh lapisan
masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang terbentuk adalah integrasi normatiI


3.Konflik Etnis di Sambas,Suatu Reaksi yang Berlebihan
Tulisan Saudara Didik J Rachbini berjudul "Nazisme Lokal di Kalimantan Barat" di Harian
Umum Republika edisi 26 Maret 1999 sangat menarik, dan keprihatinannya dapat dipahami
mengingat akibat kerusuhan di Sambas, 11.131 warga asal Madura di Kalimantan Barat --
termasuk sejumlah anggota kelompok etnik lain yang telah berbaur dengan warga Madura --
terpaksa diungsikan ke Kodya Pontianak. Jumlah tersebut belum terhitung orang-orang Melayu
Sambas yang juga diungsikan ke berbagai tempat di kota Sambas, termasuk di Keraton Sambas.
Keprihatinan mendalam atas Tragedi Sambas dirasakan juga oleh sebagian besar bangsa
Indonesia, termasuk warga Madura dan warga Kalbar di dalam dan di luar daerah mereka.
Sebagian dari perantau Madura di Kalbar telah berada di daerah ini lebih dari 25 tahun, sehingga
mereka telah dianggap sebagai "orang Kalbar". Dengan demikian, kasus Sambas dan asalah
pengungsi itu adalah juga tragedi dan masalah masyarakat Kalbar dan pemerintah daerahnya.
Dalam tulisannya, Saudara Didik menyatakan bahwa masyarakat dan pemimpin lokal Kalbar
mengidap benih Nazisme dan potensi Hitler tersembunyi. "Kemarahan" itu juga dapat dipahami,
karena ia timbul dalam kondisi tidak biasa dalam berhadapan dengan tragedi kemanusiaan
melalui media massa. Namun, saya khawatir terhadap pernyataan itu untuk tiga hal. Pertama,
gambaran Nazisme dan Hitler itu akan mempersulit upaya pemerintah mencarikan permukiman
baru di daerah Kalbar bagi pengungsi Madura. Semoga tudingan yang berbau rasis itu tidak
membuat masyarakat Kalbar dan berbagai kelompok etnik di kabupaten lain menolak kehadiran
pengungsi Madura. Kedua, tuduhan bersiIat rasis ini akan mempersulit proses cooling down dan
rekonsiliasi antara kedua kelompok etnik tersebut. Ketiga, pernyataan tersebut merupakan
"siraman bensin di atas api yang sedang membara" dan celah bagi masuknya provokator.
Merangkul
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk berpolemik, tetapi dimaksudkan sebagai salah satu upaya
merangkul kedua belah pihak. Pendatang baru Madura dan warga Melayu Sambas -- bahkan
orang-orang Madura dan Melayu di Kalbar -- serempak menolak pernyataan Saudara Didik
bahwa Tragedi Sambas merupakan maniIestasi dari Nazisme lokal dan Hitler, tetapi sebaliknya
lebih merupakan reaksi kolektiI yang berlebihan.

Upaya mendesak sekarang adalah bagaimana kita membantu meringankan penderitaan


pengungsi dari semua pihak yang terlibat, dan berusaha membangun kembali hubungan
silaturahmi yang pernah terjalin antara mereka sesama muslim dalam ukhuwah Islamiyah.
Pernyataan, dukungan, dan kutukan; polemik atau tuduhan dan sejenisnya terhadap peristiwa
tersebut -- khususnya dari mereka yang tidak mengetahui keadaan di lapangan -- dikhawatirkan
akan memanasi situasi, bahkan akan mengganggu proses rekonsiliasi. Setiap Ienomena sosial
politik merupakan produksejarah dan tidak terlepas dari latar belakang sejarahnya (ahistory). Ini
berlaku pada Ienomena konIlik di Kalbar. Sejak tahun 1960-an di Kalbar telah terjadi sembilan
kali konIlik yang cukup besar. Delapan kali di antaranya adalah konIlik antara pendatang baru
Madura dengan warga Dayak, dan hanya satu kali dengan Melayu -- Melayu Sambas. Selama
delapan kali konIlik antara Madura Kalbar dengan Dayak, tak seorang pun dan tak sekali pun
Melayu Kalbar bergabung dengan saudaranya, Dayak, memberikan reaksi terhadap Madura
Kalbar, walaupun mereka memiliki pengalaman pahit yang sama dalam berhubungan dengan
pendatang baru Madura.
Kalau kemarahan kolektiI Melayu hanya terjadi satu kali, sedangkan warga Dayak dan Madura
Kalbar mengalami delapan kali konIlik, lalu bagaimana mengukur tingkat kesabaran si Melayu,
sedangkan Dayak juga terkenal penyabar? Itulah sebabnya Dayak dan Melayu dapat menjalin
hubungan dengan kelompok etnik mana pun. Dalam beberapa cerita, istilah "melayu" dikaitkan
dengan lari (minggat) atau usaha menghindarkan diri dari persaingan yang tidak adil, dari
konIlik, ancaman, dan bahkan dari segala yang menghancurkan martabatnya, termasuk mitos
Melayu sebagai "malas" dan "penakut". Karena itu, ada kesan dari luar bahwa Melayu mudah
digertak dan tidak berani melawan. Lalu, bagaimana hal ini berkaitan dengan Nazisme lokal,
padahal istilah Nazisme berkaitan dengan keberanian, kekuatan Iisik dan mental, arogansi dan
dominasi etnik atau ras?
Di samping kesan miring, ternyata tingkat mobilitas Melayu Sambas cukup tinggi -- seperti
dalam sektor birokrasi pemerintahan, perdagangan, dan kekaryaan. Namun, tingginya mobilitas
petani yang meninggalkan kampung halaman mereka disebabkan oleh upaya menghindarkan
konIlik dengan saudara mereka -- Madura Kalbar.
Latar belakang sosial budaya, Iaktor keadaan alam atau geograIis, demograIis, sosial ekonomi di
daerah asal, ditambah dengan limbasan sistem ekonomi konglomerasi dari Orde Baru selama 32
tahun -- yang berpihak kepada Madura pendatang baru -- membentuk karakter berani, kuat, ulet,
keras hati, kerja keras, hemat, tidak memilih jenis pekerjaan, bersedia menerima upah rendah,
juga karakter miring, yang berbeda dengan Madura pendatang lama, karena mereka
meninggalkan daerah asal dalam waktu berbeda. KonIlik etnik yang baru terjadi ini bukan
semata-mata disebabkan oleh karakter "negatiI" dari orang-orang Madura Kalbar. Saya setuju
dengan Saudara Didik bahwa anggapan miring terhadap Madura Kalbar tidak dapat dijadikan
justiIikasi bagi pembunuhan sadis terhadap mereka. Kalau memang demikian, setiap hari akan
terjadi pembunuhan atau konIlik antara Madura Kalbar dengan anggota kelompok etnik lain.
Tapi, konIlik ternyata dapat dihindari walaupun harus menghindarinya selama bertahun-tahun.
KonIlik tersebut lebih merupakan reaksi spontan terhadap tindakan 200 orang Madura pendatang
baru yang menyerang perkampungan Melayu pada Idul Fitri (19 Januari 1998), mengobrak-
abrik, membunuh, dan melukai sejumlah orang tidak berdosa. Kalau mau dikatakan Nazi(izme),

siapa yang lebih tepat disebut demikian? Lalu, mengapa mereka bertindak secara kolektiI?
Pemukulan terhadap seorang pelaku kriminal oleh warga Melayu merupakan perbuatan tercela,
tetapi dapatkah itu dijadikan justiIikasi bagi penyerangan dan pembunuhan? Petugas keamanan
yang tidak adil, tidak adanya introspeksi dari si pelaku, dan berlanjutnya arogansi budaya yang
merendahkan martabat, semuanya itu memicu kembali kemarahan kolektiI. Dalam kerumunan
massal, kepribadian normal individu dapat larut sangat dalam, sehingga menjadi tindakan
kolektiI yang di luar kemampuan nalar untuk memahaminya. Apalagi kerumunan massal itu
memiliki pengalaman kolektiI yang sama. Hal itu tidak mereIleksikan kualitas pimpinan lokal.
Kalaupun mau dihubungkan, itu juga berkaitan dengan sistem kepemimpinan nasional yang
meminggirkan rakyat Kalbar selama 32 tahun, walaupun sumberdaya alam mereka berlimpah.
Lalu adilkah kita menyalahkan pimpinan inIormal Madura, termasuk intelektual, atas reaksi
kolektiI mereka? Saya sangat menghargai sikap ulama dan pimpinan inIormal Madura yang telah
mempersejuk suasana melalui pengertian mereka yang mendalam. Dengan rata-rata 83 persen
dari jumlah penduduk berpendidikan SD, dapatkah disamakan struktur masyarakat Kalbar
dengan struktur masyarakat kulit putih di mana kemarahan kolektiI dapat menjadi sentimen
merendahkan dan tidak meluap menjadi kriminal massal? Dapatkah itu terjadi sepihak, ketika
satu pihak nrimo dan menghindari konIlik meski martabat sudah terinjak, sedangkan pihak lain
memiliki agresivitas budaya dan ekonomi? Apa yang terjadi? Kolonialisme interen atau
dominasi etnik yang mematikan harta kemanusiaan?. Lalu sampai di mana batas kesabaran?
KonIlik Sambas merupakan reaksi massal yang berlebihan dan patut disesalkan, tapi bukan
merupakan upaya menutup kelemahan pemimpin lokal.
Adalah wajar jika pimpinan daerah mengemukakan realitas di daerahnya sendiri, karena ia
diterima oleh kedua pihak dan tahu apa yang dialami oleh rakyatnya. Namun, konIlik etnik tidak
dapat diletakkan hanya pada pundak pemimpin lokal, tetapi juga pada sistem politik nasional,
bahkan pemimpin inIormal etnik tersebut dan para ilmuwan. Dua hal terakhir dapat
menetralisasikan sistem nilai carok yang potensial ada dalam diri Madura Kalbar. Faktor
netralitas budaya yang mengimbangi unsur nilai budaya agresiI pada diri individu -- seperti
Bugis dengan siri ripakasiri ada di dalam diri individu Bugis, tetapi Iaktor netralitas itu berada di
luar diri Madura pendatang baru ini, yaitu ulama atau kyai dan habib yang memiliki wawasan
hubungan sosial (hablumminannas) yang tinggi. Mereka juga diharapkan berperan aktiI dalam
proses sosialisasi bagi penyesuaian budaya lokal terhadap Madura Kalbar sebagai salah satu
solusi jangka panjang pencegahan konIlik.

Review :
Oleh Marcha Zoraya Adista Bakti, 1006708081
Menurut saya, terdapat keunikan di dalam artikel ini. KonIlik yang terjadi di Kalimantan
Barat bukan hanya terjadi karena adanya Iaktor ekonomi, politik, budaya, demograIis dan
psikologis saja tetapi, cenderung disebabkan oleh adanya etnisitas yaitu adanya perasaan

keetnisan atau etnisitas bersama dalam kelompok etnis. Etnisitas inilah yang menimbulkan
perasaan kebersamaan dan senasib sepenanggungan dalam suatu kelompok etnis. Etnisitas inilah
yang menyebabkan timbulnya reaksi kolektiI yang berlebihan. Perilaku kolektiI merupakan
perilaku menyimpang yang merupakan tindakan bersama sejumlah orang dan tidak bersiIat rutin.
Perilaku kolektiI dipicu oleh suatu rangsangan dan dapat terdiri dari suatu peristiwa.
KonIlik etnik yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh karakter negatiI dari
kelompok etnis Madura. Saya setuju dengan Saudara Didik bahwa anggapan miring terhadap
Madura Kalbar tidak dapat. KonIlik tersebut lebih merupakan reaksi spontan terhadap tindakan
200 orang Madura pendatang baru yang menyerang perkampungan Melayu pada Idul Fitri (19
Januari 1998), mengobrak-abrik, membunuh, dan melukai sejumlah orang tidak berdosa. Hal
inilah yang memicu munculnya perilaku kolektiI. Petugas keamanan yang tidak terkesan tidak
dapat berbuat apa-apa di dalam kerusuhan dan tidak adil juga memicu timbulnya perilaku
kolektiI. KonIlik etnik tidak dapat diletakkan hanya pada pundak pemimpin lokal, tetapi juga
pada sistem politik nasional, bahkan pemimpin inIormal etnik tersebut dan para ilmuwan
menggambarkan terdapat integrasi bersiIat koersiI dan harus adanya netralitas budaya
menggambarkan adanya integrasi normatiI dalam mengendalikan konIlik tersebut.
.Penelusuran lengkap sejarah Pertikaian Sampit, Asal Mula
kerusuhan Sampit

Kerusuhan yang terjadi di Sampit hanyalah salah satu rangkaian peristiwa kerusuhan yang terjadi
oleh etnis Madura yang sejak berdirinya Kalimantan Tengah telah melakukan lebih dari 16
(enam belas) kali kerusuhan besar dan banyak sekali kerusuhan kecil yang banyak
mengorbankan warga non Madura. Beberapa catatan hal tersebut antara lain (di kutip dari Buku
Merah: KonIlik Etnik Sampit, Kronologi Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran;
Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMMDDKT);
Tahun 2001).
Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak digodai dan diperkosa, terhadap kejadian itu
diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.
Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak
tertangkap, pengusutan / penyelesaian secara hukum tidak ada.
Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di
bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh 30 (tigapuluh) orang madura).
Terhadap pembunuhan atas

warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan
Madura diadakan perdamaian: dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku
pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak,
isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka
siap untuk keluar dari Kalteng.
Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di
bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura
dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua, tindakan
hukum terhadap orang
Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan
ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.
Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki
bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura yang ?tukang jualan sate?. Si belia
Dayak mati secara mengenaskan, ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan.
Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai
dengan si tukang sate telah lari kabur ?.Yang tidak dapat dikejar oleh si tukang sate itu, si korban
Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian.
Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh 4 (empat) orang Madura, pelakunya
belum dapat ditangkap karena melarikan diri dan korbannya meninggal, tidak ada penyelesaian
secara hukum.
Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang
Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok
suku Madura menuntut
temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan; ternyata pihak Polresta Palangka Raya
membebaskannya tanpa tuntutan hukum;

Tahun 1999, di Palangka Raya,seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura
masalah sengketa tanah ; 2 (dua) orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati
semua, sedangkan pembunuh lolos, malah orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena
dianggap membuat kesaksian Iitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi
perkelahian massal dengan suku Madura, gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas
pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada ke
dua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama IBA oleh 3
(tiga) orang Madura; pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka
Raya, biaya operasi /perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Para pembacok / pelaku tidak
ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura sana!. (Tiga orang Madura memasuki rumah

keluarga IBA dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus,
sewaktu IBA menuangkan air di gelas, mereka
membacoknya, isteri IBA mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut
cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat).
Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, 1 (satu) keluarga Dayak mati dibantai oleh orang
Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1
(satu) orang suku Dayak di bunuh / mati oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja
Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan
terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku
kabur / lari, tidak tertangkap, karena lagi-lagi ?katanya? sudah lari ke Pulau Madura, proses
hukum tidak ada karena pihak
berwenang tampaknya ?belum mampu? menyelesaikannya (tidak tuntas).
Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh / dibantai. Suku
Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh / mati
diserang oleh suku Madura. Belum terhitung masalah warga Madura di bagian Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan
Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Lanjutan kerusuhan tersebut adalah peristiwa Sampit
yang mencekam itu.

Review :
Oleh Marcha Zoraya Adista Bakti, 1006708081
Faktor penyebab terjadinya konIlik Sambas dalam artikel ini lebih kearas kepada Iaktor politik
yang dalam hal ini adalah tidak adanya keadilan yang diberikan aparat penegak hukum kepada
kelompok etnis lokal. Aparat penegak hukum cenderung lebih memihak kepada kelompok etnis
pendatang yaitu Madura. Banyak berbagai bentuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
kelompok etnis Madura, tetapi oleh aparat penegak hukum hanya diberikan hukuman ringan,
sering tidak ada penyelesaian secara hukum dan terkesan lebih memberi kemudahan pada
kelompok etnis madura. Hal itu sering kali berbanding terbalik jika yang membuat pelenggaran-
pelanggaran tersebut adalah masyarakat lokal. Aparat keamanan sering kali tidak dapat atau
tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketidakadilan dan ketidakmampuan yang

dimiliki oleh aparat keamanan ini membuat kelompok etnis lokal menjadi tidak percaya lagi
aparat penegak hukum yang dapat memicu timbulnya konIlik. Untuk mengendalikan konIlik ini,
maka harus terdapat integrasi koersiI yaitu aparat penegak hukum harus dapat bertindak dengan
tegas, mengutamakan kepentingan bersama, tidak memihak dan berkeadilan.

Anda mungkin juga menyukai